Sabtu, 21 Agustus 2021

ALLAMANDA BERSERAK (Cerbung) BAGIAN I

 

ALLAMANDA BERSERAK

 

BAGIAN I

PERTEMUAN

 

Pagi pertama setelah semalam aku menginap di hotel bintang lima di Pantai Seminyak Bali. Hari ini pertama Diklat Pengadaan barang dan Jasa untuk Perusahaan. Aku duduk menyendiri di sudut restaurant untuk breakfast, kutempat kursi dekat kolam renang, Aku mewakili bosku, untuk mengikuti acara ini. Nikmatnya menghirup udara pagi Bali yang sudah lama tidak kukunjungi.  Pilihan menu makan pagi nasi goreng, jus lemon dan dua telor mata sapi setengah matang. Aku baru mulai menyuap nasi goreng, terasa oleh naluriku seseorang mendekat, kukira waitress yang mengantar teh manis yang kupesan, seseorang mengambil tempat duduk di hadapanku. Pikiranku negative betapa tidak sopannya orang ini. Kutelusuri gerak tangannya ke atas hingga sampai ke wajahnya. Aku mendongak, seperti bermimpi rasanya kembali melihat sosok itu. Mas Panji, Lelaki berjas formal biru dongker duduk tegak di hadapanku. Melontarkan senyum indah, menangkupkan tangan bersalaman jarak jauh, sepertinya mas Panji tahu kalau tangan kami tidak mungkin saling menyentuh.

 

“Apa kabar ?” senyum manis dilontarkan padaku, melihat keterkejutanku senyumnya semakin melebar, aku bagai melayang, kejut tanpa kendali ini membuat aku terperangah.

“Mas…” hanya itu yang keluar dari bibirku. Tentu saja ini bukan jawaban untuk pertanyaannya.

“Prita… “panggilnya dengan suara khas halus. Ingin aku berlari menghindar, tidak mungkin kulakukan.

“Apa kabar, mas ?” simpang siur percakapan ini. Dia bertanya, memanggil dan bertanya.

“Kamu pasti datang ke acara ini.” tanpa menjawab dia sudah membuat suatu pernyataan.

“Maksud, mas?” tanyaku tak mengerti.

“Asikin pasti mengirimmu ke acara ini.” Balasnya datar dan seperti tidak sedang berbasa-basi, sejak dulu aku mengenal mas Panji bukan orang yang suka basa-basi. Aku terkejut karena ternyata mas Panji kenal pak Asikin, bosku.

“Mas kenal pak Asikin ?” tanyaku dengan dahi sedikit kukerutkan, Mas Panji mengangguk. Jadi selama ini mas Panji tahu keberadaanku, mas Panji tahu tentang aku dan kehidupanku.

“Semoga bukan mas Panji yang meminta saya mewakili pak Asikin” kataku setengah menggerutu.

“Tidak, Prita. Waktu saya undang Asikin bilang sibuk. Aku yakin kamu yang dimnta mewakili, kebetulan kita bisa bertemu.”

“Tapi, mas, seharusnya ini tidak boleh terjadi“ kataku kecewa.

“Ini terjadi karena Kehendak Yang di Atas sana.” Jawab mas Panji, ujung jarinya menunjuk ke atas. Ada sebuah kesungguhan yang terpancar dari wajahnya. Hanya sejenak kulihat, aku takut melakukan sebuah kesalahan dengan menatapnya terlalu lama apalagi terlalu dalam,  statusku sudah berbeda, menatap pria bukan suami adalah hal yang terlarang.

 

“Saya… “ aku tidak melanjutkan kata-kataku, wajahku tertunduk mengamati nasi goreng di hadapanku.

“Maksud saya…” suaraku terpotong.

“Ga apa-apa, Prita. Kita bisa tetap bersahabat ” Katanya santai. Sikap ini yang membuat aku berusaha  untuk bersikap sama, tenang dan santai.

Waitress datang  menyodorkan roti bakar dan kopi susu yang mungkin sudah dipesannya. Mas Panji merapikan duduknya, kemudian sibuk  memotong-motong roti yang tersaji di hadapannya tanpa suara. 

Roti tawar dengan jam coklat sudah rapi dan siap disantap. Kesukaannya masih seperti dulu, Roti isi coklat. Aku masih ingat mas Panji sangat suka Roti isi coklat yang dulu sering kami beli di Sakura Anpan Cake Shop Menteng Jakarta. Toko Roti yang bisa dibilang jadul, tapi rasanya tetap lezat, mas Panji sangat suka rotinya, waktu kami masih bersama mas Panji sering mengajakku membeli roti isi coklat. Kami naik motor ke sana, masa itu…

 

“Ayo kita makan…” mas Panji memutus lamunanku tentang roti coklat di masa lalu.

“Eh… iya, mas “ aku berfokus kembali pada nasi gorengku. Kikuk juga rasanya makan bersama orang yang terasa asing.

“Kamu lihat nih, aku masih suka roti isi coklat..” mas Panji mengangkat wajah dan tersenyum, penyataan sangat  mengejutkan, aku pun mencoba tersenyum. Duh,, kenapa dia berbicara mengingatkan masa lalu kami dengan begitu rileks tanpa beban.

 

“Jadi kangen roti coklat Sakura Anpan yang lezat..” huff aku hampir tersedak mendengar ucapan.  Terburu-buru kuambil gelas jus dan kuseruput sedikit, berharap mas Panji tidak mengetahui kegrogianku.

“Kamu ingat itu toko roti kita.. ?” pertanyaannya mengundang rasa geli di hati,

“Bukan toko roti kita, mas…” aku menyangkal, hatiku sudah mulai rileks.

“Bukan punya kita, tapi toko roti yang dulu suka kita kunjungi…” katanya membalas kata-kataku.

“Iya, mas..”

“Kamu masih seperti dulu..”

“Apanya mas ?”

“Sikapmu, kalem dan lembut,,” aku tersenyum atas pujiannya, syukurlah dia  tidak tahu kalau sebenarnya aku grogi. Atau mas Panji  berpura-pura tidak tahu.   Ingin rasanya aku menghindar dari percakapan yang bisa bikin baper setengah mati. Mana mungkin ? aku hanya terus  menyantap nasi gorengku dengan super lambat, berharap mas Panji lebih dahulu menyelesaikan santapan paginya. Roti dan kopi susu segera dihabiskan, kemudian mendesah lega, sementara aku dirundung kegalauan

 

“Yuk kita siap-siap. Saya akan memberikan materi sesi satu.” Katanya sambil melihat arloji di tangan kanannya.  Lembut suaranya, aku tak mampu mengatakan apa pun. Dia berdiri, sementara aku masih tetap duduk.

“Masih ada waktu ya, mas ? saya selesaikan makan dulu.” Aku sudah berhasil menguasai perasaan dan hampir lega juga karena mas Panji sudah beranjak dari duduknya.

“Ok. Semangat ya.” Ucapnya sebelum  berlalu meninggalkanku.

“Siap, mas. Terima kasih”

Perjumpaan pagi ini membuat pikiranku kalang kabut. Sikap halusnya yang masih seperti dulu. Tak dapat kuurai perasaanku, apakah ini sarapan yang menyenangkan atau apa, yang pasti hatiku jungkir balik tak karuan.

 

Di Event ini, aku hanya peserta Diklat, mas Panji  bagian dari panitia penyelenggara. Bahkan berkedudukan sebagai penanggungjawab Diklat. Tertulis namanya Panji Asmara di buku schedule acara diklat yang dibagikan kemarin sore oleh panitia saat mendaftar ulang dan ceck in. Semalam sempat kubaca  itu, aku tidak begitu tahu kalau nama Panji Asmara itu nama yang pernah sangat lekat di hatiku. Pagi ini terbukti kalau Panji Asmara itu mas Panjiku di masa silamku.

 

Materi tentang Emarket Place disajikan mas Panji dengan baik, luar biasa mas Panji menguasai materi itu. Sayang sekali hanya sebagian yang masuk ke dalam otakku. Aku hanya menulis pedoman peraturannya saja. Suaranya dengan nada ringan menjelaskan, nada ringan itu menyiksaku, bagaimana tidak, suara laki-laki yang selalu melontarkan kalimat menyamankan hati, tak kuat rasanya, aku serasa ingin kabur dari diklat ini. Kenapa harus ada mas Panji di sini. Kenapa harus bertemu lagi setelah 9 tahun kami terpisah. Aku menggusur resahku walau sepenuhnya aku tak mampu.

 

Dengan ketenangan, keyakinan, kecerdasan dan penuh percaya diri dia berbicara, lancar tertata dan mudah dimengerti, semua materi yang disampaikan kuterima dengan perasaan gundah gulana. Sekali-kali matanya melirikku yang duduk di deretan depan paling kanan.

 

Pagi tadi  dia sudah membuat aku terkejut, sekarang membuat aku resah. Jika hanya mendapat kejut dan resah begini sungguh aku akan menolak perintah pak Asikin untuk hadir di sini. Tapi aku bisa apa ? aku hanya asisten pak bos, aku harus selalu menuruti perintahnya, Ah.. mas Panji. Kenapa kita  harus bertemu lagi setelah aku menikah  dengan laki-laki lain dari perjodohan yang ditetapkan ayah, aku dipaksa ayah menikah dengan anak sahabatnya. Mas Rangga laki-laki kaya yang sekarang menjadi suamiku.

 

Mau tidak mau aku harus cermat mengikuti  Diklat ini. Semua materi kujadikan satu dalam file, Materi EMarket Place dari mas Panji dan satu lagi materi Mekanisme Pengadaan Barang yang diberikan oleh tutor lain di sesie pagi. Aku meminta materi lengkap pada panitia untuk dimasukkan ke dalam flashdisk ku. Ini cara mudah untuk membuat laporan hasil diklat pada pak bos Asikin.

 

∞∞∞


Di acara makan siang mas Panji mendekatiku lagi, bahkan dia makan bersama di mejaku. Kusesali kenapa tidak ada ibu-ibu yang mau mengambil tempat duduk di mejaku, biar mas Panji ga bisa ke sini.

 

“Enak masakannya ?” pertanyaan seperti dulu kalau aku sudah mulai menyantap makanan berdua di resto saat kami masih bersama.

“Ya pak.”

“Kenapa harus merubah panggilan?”

“Maksud bapak?”

“Aku lebih senang dipanggil mas..”

“Sekarang sudah tidak pas.”

“Prita… aku masih pantas memanggilmu Prita. Tidak harus bu Prita. Boleh kan?” aku mengangguk memastikan kalau aku tidak keberatan.

“Ya, pak. Tidak apa-apa.”

 

 

Santai mas Panji makan di depanku. Membuat galau merajam hati, pertemuan ini tidak pernah kuharapkan. Harus kuusir kegalauan ini demi profesionalism pada pekerjaan. Berusaha bersikap biasa saja itu yang terbaik. Dengan usaha kerasku akhirnya aku bisa menguasai diri. Aku tidak perlu menyibukkan hatiku kepada pria yang juga menyikapiku dengan santai dan biasa saja. Sekali pun dulu dia adalah laki-laki yang penting dan nama tercatat dalam hatiku.

 

 

 

Malam ini tidak ada materi lagi, selesai dari sesi terakhir aku langsung mandi dan sholat Maghrib. Aku baru selesai sholat, ponselku bergetar ada pesan masuk. 

“Prita, aku tunggu di lobbi hotel” singkat pesannya. aku yakin ini pesan dari mas Panji, Aku tidak perlu terkejut mas Panii tahu nomor ponselku, tidak sulit baginya mencari nomorku, data lengkapku ada di panitia diklat. Mudah lah bagi seorang tutor mencari nomor ponsel para peserta. Bagaimana ini ? aku kebingungan. Apa aku harus menjumpainya ? Pikiran buruk melintas dalam otakku. Aku takut dia bertanya tentang hal-hal yang tidak berkaitan dengan urusan kantor. Aku takut urusan pribadi menjadi niatnya bertemu denganku.

“Maaf, mas..” balasku

Ayo lah, Prita, saya tunggu.” Pesannya sekali lagi. Dengan perasaan galau aku mengganti pakaianku dan memasang kembali hijabku. Mengenakan gamis ungu gelap menjadi pilihanku agar lebih rileks. Aku bercermin sebentar, yakin dengan riasan wajah yang natural, kemudian berangkat menuju lobby hotel.

 

Mas Panji menyambutku dengan senyum tulusya.  Kubalas senyuman itu dengan pikiran tak menentu. Sebenarnya tidak ada yang harus diresahkan, setidaknya ini sebuah kepatuhan pada seorang penyelenggara dari diklat ini.

Bertemu kembali dengan wajah baru pria masa laluku bukan suatu hal yang nyaman. Aku terbebani dengan situasi ini. Mas Panji mengajakku berjalan ke arah pantai. Ingin menolak bibir ini tak sanggup berucap. Biar lah ikuti saja semoga yang kudapat adalah kebaikan untukku.

 

 

Deru ombak malam menjalar di  pendengaran. Pelan-pelan kami berdua melangkah menyusuri pantai. Perjalanan yang sebenarnya sangat indah ini kurasakan dengan penuh rasa ketakutan.

 

Angin pantai mulai menyergap tubuhku, di remang cahaya bulan dari atas pantai, tubuhku bergindik kedinginan, kutahan gigil agar tidak terlihat oleh mas Panji kalau aku sedang kedinginan. Santai mas Panji melangkah pelan-pelan di sisiku, kedua tangannya masuk ke dalam saku celananya. Aku agak memberi jarak, walau langkah kami tanpa sengaja kadang sedikit mendekat dan aku selalu berusaha menjauhkan posisiku.

 

Entah untuk apa aku menuruti permintaannya jalan-jalan di pantai berdua seperti ini, apalagi dengan suami orang. Getaran resah semakin mendera. Jika ini kami lakukan sembilan tahun lalu mungkin takut dan resahku tidak seperti ini.

 

Mas Panji masih bersikap tenang, sweater maroon yang membalut tubuhnya sepertinya tidak membuat mas Panji merasakan dingin. Tampan dan berwibawa sejak dulu jadi ciri khasnya, sekarang kewibawaan itu bertambah selaras dengan jabatannya sebagai pimpinan kantor cabang BUMN ternama di Jawa Timur.

 

Bertahun aku menghapus sosoknya. Dan rasanya tidak ingin bertemu lagi. Aku sudah menghentikan tangisku menangisi lelaki yang tidak ditakdirkan jadi jodohku. Kali ini ada kesempatan yang membuatku harus bertemu. Aku gamang, takut dan bingung.

 

“Prita…” panggilnya lirih hampir tak terdengar.

“Ya, Pak.” Jawabku lirih juga.

"Aku ingat dulu pernah berjanji “ kalimatnya terhenti seperti sedang memikirkan kelanjutannya, mas Panji terdiam.

“Janji apa. Pak?” tanyaku.

“Aku pernah berjanji akan hidup berdampingan denganmu.” Huff dadaku mulai bergetar, denyut jantungku serasa mulai berpacu kencang,  hal  yang kutakutkan sepertinya akan tiba.   

Aku takut membicarakan lagi masa lalu kami. Aku takut mas Panji membangkitkan kesalahanku karena telah meninggalkannya menikah lebih dulu. Berbagai rasa takut berkecamuk di hati, demi menguasai hati aku pun diam.

“Aku berusaha menepati janjiku, tapi kamu sudah menikah dengan pria lain.“ ucapan kalimat dengan tenang sungguh memporak-porandakan perasaanku, seketika hatiku merasa jumpalitan. Aku terdiam dalam rasa bersalah, tidak perlu menyangkal karena itu kebenaran.

“Kamu menikah dengan pria lain, aku berusaha bertahan pada kemungkinan untuk selalu sendiri, tanpa mencari penggantimu.” Mas Panji terdiam sesaat.

 

“Ternyata nasib berkata lain. Aku harus segera menuruti keinginan ibu yang menjodohkanku dengan gadis pilihannya. Maafkan aku " ungkapnya seperti merasa bersalan. Mas Panji ini aneh,  seharusnya aku meminta maaf padanya karena aku meninggalkannya menikah dengan pria lain, tapi malah mas Panji yang meminta maaf padaku, atau dia sedang menyindirku. Pikiran buruk menyelinap, aku berusaha menerima kesungguhannya dan segera kutepis demi suara sejuknya, Sungguh dia laki-laki baik dalam mengoreksi dirinya, tanpa menyalahkan orang lain, dia yang merasa bersalah.

 

“Bapak tidak perlu minta maaf pada saya karena saya yang salah” akhirnya aku berani membuka suara.

“Aku yang salah sebagai laki-laki aku tak mampu memperjuangkan  cinta.”

“Duh, pak. Saya takut membahas lima huruf itu ”

“Maksudmu?” belum kujawab mas Panji  berkata lagi

“Oh iya aku tahu maksudmu. Lima huruf itu “CINTA”, kan. Ha.. haa..” Mas Panji tertawa renyah. Aku tersenyum malu mungkin tak tampak olehnya, tapi aku memang tidak ingin membahas masalah cinta dengan mas Panji.

 

“Saya yakin, bapak sudah bahagia bersama keluarga?” langkah mas Panji terhenti demi mendengar pertanyaanku, sejenak menatap wajahku dan membuangnya lagi ke arah laut.

“Saya bahagia walau rumah tangga saya sudah berakhir.”

“Pak Panji..?” aku tak melanjutkan kata-kataku.

 

“Kami sudah berpisah baik-baik. Mantan isteri menikah lagi dengan mantannya anak saya satu laki-laki dibawanya.”

“Sampai sedemikian, pak?”

“Itu takdir, saya terima takdir hidup dengan ikhlas.” Katanya dengan nada pasrah dan bersemangat. Ikhlas akan takdir? Aku merenung, sehebat itu mas Panji apakah aku bisa demikian? Ikhlas menerima takdir dan jodohku, karena hidup bersama dengan orang yang ditakdirkan jadi jodohku,  aku selalu pura-pura bahagia.

 

“Takdir itu nyata dan itu harus kita nikmati. Mungkin ini bagian dosaku sehingga aku harus meminta maaf padamu”

 

“Pak…” panggilku lirih takut terdengar, tak urung dia mendengar.

“Ya Prita,,”

“Bapak, baik sekali.” Kataku sekenanya.

“Ya alhamdulillah, tapi tentu tidak baik untuk kamu.”

“Saya tidak berpikir seperti itu, pak”

“Semoga dinda memaafkan, ya.”

“Ah Bapak.. jangan gunakan panggilan itu lagi.”

“Saya diprotes tapi kamu ga mau saya protes.”

“Bapak protes  apa?”

“Itu panggil saya, pak...pak. rasanya saya sudah tua dipanggil bapak. “

 

“Iya, pak. Ya sudah terserah bapak saja.”

“Kamu ini ga berubah ya..”

“Apanya pak ?”

“Penurut..”

“Itu pilihan sikap terbaik menurut saya.” Aku tersenyum, kali ini mas Panji pasti melihat senyumku, wajahnya menoleh ke arahku. Kemudian dia pun tersenyum dan berjalan lagi pelan.

 

“Saya harap kamu bahagia, ya,”

“Iya pak. Terima kasih doanya.”

“Oh ya, Asikin bercerita kamu pekerja keras.”

“Biasa saja, pak sesuai dengan tugas yang ada.”

“Luar biasa kamu. “

“Terima kasih, pak. Semoga jadi doa.”

“Ya..yaaa… saya selalu berdoa untuk kebaikanmu.”

“Aamiin” sambutku.

 

Sungguh hatiku bergetar mendengar kata-kata itu, mas Panji mendoakanku, kalau gitu sama aku juga selalu mendoakan kebaikan untuk mas Panji, Tapi sayang rumah tangga mas Panji kandas, mungkin ini suatu kebaikan juga untuk mas Panji karena dia mengatakan bahagia walau sudah sendiri lagi.

“Anakmu berapa?”

“Satu, Pak. Perempuan usianya 2,5 tahun”

“Alhamdulillah, bahagianya kamu.”

“Terima kasih, pak”

“Saya juga berterima kasih padamu sudah mau saya ajak bicara, dan saya berterima kasih pada Tuhan yang memberi kesempatan bertemu denganmu dan menyelesaikan masalah kita.” Masalah kita? Rasanya aku yang membuat masalah karena meninggalkannya dan tidak menghubungi saat aku akan menikah. Kurutuki hatiku mengapa aku dulu tidak pamit pada mas Panji sebelum aku menikah, aku sudah melukainya.

 

Lama kami sama-sama terdiam dan tetap melangkah perlahan menyusuri pantai. Aku tak berani menengadah melihat langit cerah yang bisa merubah suasana hatiku.  Tapi sekali-kali mataku melirik menikmati pemandangan malam di bibir pantai.

 

“Sudah malam, pak” kataku.

“Oh iya, yuk kita balik.” kami pun memutar arah kembali ke hotel.

Angin malam semakin menyusup  sayup di tubuhku. Mas Panji sepertinya mengerti kalau aku mulai kedinginan.

“Dingin ya.”

“Iya, sedikit, pak”

“Mau pakai sweater saya.”

“Tidak, pak. ”

“Ga apa ini baju saya rangkap dua.” Mas Panji hampir membuka sweaternya, aku mencegah.

“Maaf pak, bukan tidak mau tapi tidak baik.”

“Oh iya, maaf “

“Tidak apa, pak”

“Kamu tidak ingin bercerita tentang keluargamu ?”

“Tidak pak. Keluarga saya biasa saja.”

“Saya dengar suamimu pengusaha, ko kamu masih mau bekerja ?”

“Saya senang bekerja, agar orang tua saya tidak kecewa telah menyekolahkan saya, kasihan sudah membiayai saya kalau akhirnya tidak menghasilkan apa-apa.”

“Oh gitu ya, benar kata Asikin, kamu luar biasa”

“Info dari pak Asikin yang luar biasa, saya biasa saja.” Akhirnya kami tertawa ringan bersama.

"Prita, saya berharap setelah pertemuan ini kita tidak saling mendendam dan mencurigai siapa yang paling bersalah di antara kita.  Jodoh adalah ketentuanNya. “

“Iya, pak.”

“Untuk yang ini saya ingin dipanggil dengan sebutan mas” aku tidak ingin menolak permintaannya. Apa salahnya sekali mengubah kata dari pak menjadi mas. 

“Iya mas, maafkan saya juga.” Mas Panji terbahak meluapkan rasa bahagianya setelah kupanggil dengan sebutan “mas”.

“Tuh kan malah ditertawakan memanggil bapak dengan sebutan, mas. Kenapa ?”

“Ah gak apa-apa, ada yang sedikit berbeda dari waktu itu..”

“Maksudnya..” mas Panji pun terkekeh-kekeh.

“Tuh kan ditertawakan. “ aku memberengut walau tak terlihat oleh mas Panji.

“Ya sudah, maafkan aku. Aku tertawa karena kamu itu sangat patuh. Alangkah bahagianya laki-laki yang memiliki isteri sepertimu.” Masih ada sisa tawa yang hampir terhenti. Aku jadi ikut tertawa.

“Semoga, ya pak”

“Ya pastilah. Wah.. boleh dong saya kecewa.”

“Bapak ini, mulai lagi “

Just Kidding, I’m so sorry” dan kami pun tertawa bersama sambil melangkah menuju hotel.

 

 

Di lobby hotel mas Panji masih menawarkan untuk minum kopi di café hotel, kikuk rasanya kalau terus harus ngobrol bersama pria ini. Sejak tadi saja aku sudah sekuat tenaga menguasai hati untuk biasa saja. Aku pun mohon diri untuk segera masuk kamar.

 

Pantai seminyak memberi sedikit kelegaan hatiku. Mas Panji telah membuat kelegaan hubungan kami. Kami berjanji saling bersapa dalam persahabatan. Kalau istilah umum sahabat jadi cinta kini aku menjadikan  kalimat yang sebaliknya  cinta jadi sahabat. Aku senang mas Panji sudah memaafkanku dan kami sudah saling memaafkan.

 

Esok sore aku harus kembali ke Jakarta. Jakarta ya.. Jakarta tempatku dilahirkan dan dibesarkan. Memberiku banyak pelajaran, tentang rasa sakit dan bahagia, tentang luka dan airmata.

Aku ingat kata mas Panji dulu. Waktu bilang ingin main ke Bandung kalau sudah tidak sibuk dan ingin mengajakku jalan-jalan ke sana. Keinginan yang tidak pernah terlaksana. Aku pernah menggodanya dengan ucapanku.

“Jadi mas Panji kangennya sama kota Bandung, bukan Jakarta?” aku cemburu pada kota Bandung.

“Yah saya suka Bandung dengan kebisingan yang sejuk.. untuk Jakarta yang saya suka bagian isinya, ada gadis yang kucintai sebening embun” ingat itu tidak ingin menangis tapi bulir airmata halus turun dari sudut mataku. Satu kalimat halus kupatrikan di hatiku “Cinta Sebening Embun”, kususupi lagi dengan kalimat berikutnya : “Cinta tidak harus memiliki” aku tersenyum bersama tetesan airmata, mulai memejamkan mata pelan-pelan. Semoga ini menjadi awal yang baik untuk hari-hariku. Kuharap mas Panji pun lega seperti hatiku.

∞∞∞

Entah apa yang menggerakkan hatiku, jelang sore sebelum berangkat ke Bandara Ngurah Rai, aku berjalan lagi mendekati pantai Seminyak tempat aku berjalan dengan mas Panji semalam. Aku ingin melihat tempat ini lagi.

 

Peluh mulai mengguyur tubuhku. Udara panas Bali tak bisa kuhindari. Aku membeli topi Bali dan kupakai untuk selfi. Kulambaikan sarung pantai untuk atraksiku berfoto, meminta tolong penjual sarung pantai untuk memotretku. Kali ini aku bisa melenggang asyik dengan gaya-gayaku,  kuabadikan dengan camera ponselku. Bertahun-tahun kulalui hidupku baru ini aku merasakan kelegaan hati. Puas dan bersyukur itu pasti setelah rasa bersalah itu termaafkan.

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar