ALLAMANDA BERSERAK
BAGIAN I
PERTEMUAN
Pagi pertama setelah semalam aku menginap
di hotel bintang lima di Pantai Seminyak Bali. Hari ini pertama Diklat
Pengadaan barang dan Jasa untuk Perusahaan. Aku duduk menyendiri di sudut restaurant
untuk breakfast, kutempat kursi dekat kolam renang, Aku mewakili
bosku, untuk mengikuti acara ini. Nikmatnya menghirup udara pagi Bali yang
sudah lama tidak kukunjungi. Pilihan
menu makan pagi nasi goreng, jus lemon dan dua telor mata sapi setengah matang.
Aku baru mulai menyuap nasi goreng, terasa oleh naluriku seseorang mendekat,
kukira waitress yang mengantar teh manis yang kupesan, seseorang
mengambil tempat duduk di hadapanku. Pikiranku negative betapa tidak sopannya
orang ini. Kutelusuri gerak tangannya ke atas hingga sampai ke wajahnya. Aku
mendongak, seperti bermimpi rasanya kembali melihat sosok itu. Mas Panji,
Lelaki berjas formal biru dongker duduk tegak di hadapanku. Melontarkan senyum
indah, menangkupkan tangan bersalaman jarak jauh, sepertinya mas Panji tahu
kalau tangan kami tidak mungkin saling menyentuh.
“Apa kabar ?” senyum manis dilontarkan
padaku, melihat keterkejutanku senyumnya semakin melebar, aku bagai melayang,
kejut tanpa kendali ini membuat aku terperangah.
“Mas…” hanya itu yang keluar dari bibirku.
Tentu saja ini bukan jawaban untuk pertanyaannya.
“Prita… “panggilnya dengan suara khas
halus. Ingin aku berlari menghindar, tidak mungkin kulakukan.
“Apa kabar, mas ?” simpang siur percakapan
ini. Dia bertanya, memanggil dan bertanya.
“Kamu pasti datang ke acara ini.” tanpa
menjawab dia sudah membuat suatu pernyataan.
“Maksud, mas?” tanyaku tak mengerti.
“Asikin pasti mengirimmu ke acara ini.”
Balasnya datar dan seperti tidak sedang berbasa-basi, sejak dulu aku mengenal
mas Panji bukan orang yang suka basa-basi. Aku terkejut karena ternyata mas
Panji kenal pak Asikin, bosku.
“Mas kenal pak Asikin ?” tanyaku dengan
dahi sedikit kukerutkan, Mas Panji mengangguk. Jadi selama ini mas Panji tahu
keberadaanku, mas Panji tahu tentang aku dan kehidupanku.
“Semoga bukan mas Panji yang meminta saya
mewakili pak Asikin” kataku setengah menggerutu.
“Tidak, Prita. Waktu saya undang Asikin bilang
sibuk. Aku yakin kamu yang dimnta mewakili, kebetulan kita bisa bertemu.”
“Tapi, mas, seharusnya ini tidak boleh
terjadi“ kataku kecewa.
“Ini terjadi karena Kehendak Yang di Atas
sana.” Jawab mas Panji, ujung jarinya menunjuk ke atas. Ada sebuah kesungguhan
yang terpancar dari wajahnya. Hanya sejenak kulihat, aku takut melakukan sebuah
kesalahan dengan menatapnya terlalu lama apalagi terlalu dalam, statusku sudah berbeda, menatap pria bukan
suami adalah hal yang terlarang.
“Saya… “ aku tidak melanjutkan
kata-kataku, wajahku tertunduk mengamati nasi goreng di hadapanku.
“Maksud saya…” suaraku terpotong.
“Ga apa-apa, Prita. Kita bisa tetap
bersahabat ” Katanya santai. Sikap ini yang membuat aku berusaha untuk bersikap sama, tenang dan santai.
Waitress datang menyodorkan roti bakar dan kopi susu yang
mungkin sudah dipesannya. Mas Panji merapikan duduknya, kemudian sibuk memotong-motong roti yang tersaji di hadapannya
tanpa suara.
Roti tawar dengan jam coklat sudah
rapi dan siap disantap. Kesukaannya masih seperti dulu, Roti isi coklat. Aku
masih ingat mas Panji sangat suka Roti isi coklat yang dulu sering kami beli di
Sakura Anpan Cake Shop Menteng Jakarta. Toko Roti yang bisa dibilang
jadul, tapi rasanya tetap lezat, mas Panji sangat suka rotinya, waktu kami
masih bersama mas Panji sering mengajakku membeli roti isi coklat. Kami naik
motor ke sana, masa itu…
“Ayo kita makan…” mas Panji memutus
lamunanku tentang roti coklat di masa lalu.
“Eh… iya, mas “ aku berfokus kembali pada
nasi gorengku. Kikuk juga rasanya makan bersama orang yang terasa asing.
“Kamu lihat nih, aku masih suka roti isi
coklat..” mas Panji mengangkat wajah dan tersenyum, penyataan sangat mengejutkan, aku pun mencoba tersenyum. Duh,, kenapa
dia berbicara mengingatkan masa lalu kami dengan begitu rileks tanpa beban.
“Jadi kangen roti coklat Sakura Anpan yang
lezat..” huff aku hampir tersedak mendengar ucapan. Terburu-buru kuambil gelas jus dan kuseruput
sedikit, berharap mas Panji tidak mengetahui kegrogianku.
“Kamu ingat itu toko roti kita.. ?”
pertanyaannya mengundang rasa geli di hati,
“Bukan toko roti kita, mas…” aku
menyangkal, hatiku sudah mulai rileks.
“Bukan punya kita, tapi toko roti yang
dulu suka kita kunjungi…” katanya membalas kata-kataku.
“Iya, mas..”
“Kamu masih seperti dulu..”
“Apanya mas ?”
“Sikapmu, kalem dan lembut,,” aku
tersenyum atas pujiannya, syukurlah dia
tidak tahu kalau sebenarnya aku grogi. Atau mas Panji berpura-pura tidak tahu. Ingin rasanya aku menghindar dari percakapan
yang bisa bikin baper setengah mati. Mana mungkin ? aku hanya terus menyantap nasi gorengku dengan super lambat, berharap
mas Panji lebih dahulu menyelesaikan santapan paginya. Roti dan kopi susu
segera dihabiskan, kemudian mendesah lega, sementara aku dirundung kegalauan
“Yuk kita siap-siap. Saya akan memberikan
materi sesi satu.” Katanya sambil melihat arloji di tangan kanannya. Lembut suaranya, aku tak mampu mengatakan apa
pun. Dia berdiri, sementara aku masih tetap duduk.
“Masih ada waktu ya, mas ? saya selesaikan
makan dulu.” Aku sudah berhasil menguasai perasaan dan hampir lega juga karena
mas Panji sudah beranjak dari duduknya.
“Ok. Semangat ya.” Ucapnya sebelum berlalu meninggalkanku.
“Siap, mas. Terima kasih”
Perjumpaan pagi ini
membuat pikiranku kalang kabut. Sikap halusnya yang masih seperti dulu. Tak
dapat kuurai perasaanku, apakah ini sarapan yang menyenangkan atau apa, yang
pasti hatiku jungkir balik tak karuan.
Di Event ini, aku hanya
peserta Diklat, mas Panji bagian dari
panitia penyelenggara. Bahkan berkedudukan sebagai penanggungjawab Diklat.
Tertulis namanya Panji Asmara di buku schedule acara diklat yang
dibagikan kemarin sore oleh panitia saat mendaftar ulang dan ceck in.
Semalam sempat kubaca itu, aku tidak
begitu tahu kalau nama Panji Asmara itu nama yang pernah sangat lekat di
hatiku. Pagi ini terbukti kalau Panji Asmara itu mas Panjiku di masa silamku.
Materi tentang Emarket
Place disajikan mas Panji dengan baik, luar biasa mas Panji menguasai
materi itu. Sayang sekali hanya sebagian yang masuk ke dalam otakku. Aku hanya
menulis pedoman peraturannya saja. Suaranya dengan nada ringan menjelaskan,
nada ringan itu menyiksaku, bagaimana tidak, suara laki-laki yang selalu
melontarkan kalimat menyamankan hati, tak kuat rasanya, aku serasa ingin kabur
dari diklat ini. Kenapa harus ada mas Panji di sini. Kenapa harus bertemu lagi
setelah 9 tahun kami terpisah. Aku menggusur resahku walau sepenuhnya aku tak
mampu.
Dengan ketenangan,
keyakinan, kecerdasan dan penuh percaya diri dia berbicara, lancar tertata dan
mudah dimengerti, semua materi yang disampaikan kuterima dengan perasaan gundah
gulana. Sekali-kali matanya melirikku yang duduk di deretan depan paling kanan.
Pagi tadi dia sudah membuat aku terkejut, sekarang
membuat aku resah. Jika hanya mendapat kejut dan resah begini sungguh aku akan
menolak perintah pak Asikin untuk hadir di sini. Tapi aku bisa apa ? aku hanya
asisten pak bos, aku harus selalu menuruti perintahnya, Ah.. mas Panji. Kenapa
kita harus bertemu lagi setelah aku
menikah dengan laki-laki lain dari
perjodohan yang ditetapkan ayah, aku dipaksa ayah menikah dengan anak
sahabatnya. Mas Rangga laki-laki kaya yang sekarang menjadi suamiku.
Mau tidak mau aku harus
cermat mengikuti Diklat ini. Semua
materi kujadikan satu dalam file, Materi EMarket Place dari mas Panji
dan satu lagi materi Mekanisme Pengadaan Barang yang diberikan oleh tutor lain
di sesie pagi. Aku meminta materi lengkap pada panitia untuk dimasukkan ke
dalam flashdisk ku. Ini cara mudah untuk membuat laporan hasil diklat
pada pak bos Asikin.
∞∞∞
Di acara makan siang mas
Panji mendekatiku lagi, bahkan dia makan bersama di mejaku. Kusesali kenapa
tidak ada ibu-ibu yang mau mengambil tempat duduk di mejaku, biar mas Panji ga
bisa ke sini.
“Enak masakannya ?”
pertanyaan seperti dulu kalau aku sudah mulai menyantap makanan berdua di resto
saat kami masih bersama.
“Ya pak.”
“Kenapa harus merubah
panggilan?”
“Maksud bapak?”
“Aku lebih senang
dipanggil mas..”
“Sekarang sudah tidak
pas.”
“Prita… aku masih pantas
memanggilmu Prita. Tidak harus bu Prita. Boleh kan?” aku mengangguk memastikan
kalau aku tidak keberatan.
“Ya, pak. Tidak apa-apa.”
Santai mas Panji makan di
depanku. Membuat galau merajam hati, pertemuan ini tidak pernah kuharapkan.
Harus kuusir kegalauan ini demi profesionalism pada pekerjaan. Berusaha
bersikap biasa saja itu yang terbaik. Dengan usaha kerasku akhirnya aku bisa
menguasai diri. Aku tidak perlu menyibukkan hatiku kepada pria yang juga
menyikapiku dengan santai dan biasa saja. Sekali pun dulu dia adalah laki-laki
yang penting dan nama tercatat dalam hatiku.
Malam ini tidak ada
materi lagi, selesai dari sesi terakhir aku langsung mandi dan sholat Maghrib.
Aku baru selesai sholat, ponselku bergetar ada pesan masuk.
“Prita, aku tunggu di
lobbi hotel” singkat pesannya. aku yakin ini pesan
dari mas Panji, Aku tidak perlu terkejut mas Panii tahu nomor ponselku, tidak
sulit baginya mencari nomorku, data lengkapku ada di panitia diklat. Mudah lah
bagi seorang tutor mencari nomor ponsel para peserta. Bagaimana ini ? aku
kebingungan. Apa aku harus menjumpainya ? Pikiran buruk melintas dalam otakku.
Aku takut dia bertanya tentang hal-hal yang tidak berkaitan dengan urusan
kantor. Aku takut urusan pribadi menjadi niatnya bertemu denganku.
“Maaf, mas..”
balasku
“Ayo lah, Prita, saya
tunggu.” Pesannya sekali lagi. Dengan perasaan galau aku mengganti
pakaianku dan memasang kembali hijabku. Mengenakan gamis ungu gelap menjadi
pilihanku agar lebih rileks. Aku bercermin sebentar, yakin dengan riasan wajah
yang natural, kemudian berangkat menuju lobby hotel.
Mas Panji menyambutku
dengan senyum tulusya. Kubalas senyuman
itu dengan pikiran tak menentu. Sebenarnya tidak ada yang harus diresahkan,
setidaknya ini sebuah kepatuhan pada seorang penyelenggara dari diklat ini.
Bertemu kembali dengan
wajah baru pria masa laluku bukan suatu hal yang nyaman. Aku terbebani dengan
situasi ini. Mas Panji mengajakku berjalan ke arah pantai. Ingin menolak bibir
ini tak sanggup berucap. Biar lah ikuti saja semoga yang kudapat adalah
kebaikan untukku.
Deru ombak malam menjalar
di pendengaran. Pelan-pelan kami berdua
melangkah menyusuri pantai. Perjalanan yang sebenarnya sangat indah ini
kurasakan dengan penuh rasa ketakutan.
Angin pantai mulai
menyergap tubuhku, di remang cahaya bulan dari atas pantai, tubuhku bergindik
kedinginan, kutahan gigil agar tidak terlihat oleh mas Panji kalau aku sedang
kedinginan. Santai mas Panji melangkah pelan-pelan di sisiku, kedua tangannya
masuk ke dalam saku celananya. Aku agak memberi jarak, walau langkah kami tanpa
sengaja kadang sedikit mendekat dan aku selalu berusaha menjauhkan posisiku.
Entah untuk apa aku
menuruti permintaannya jalan-jalan di pantai berdua seperti ini, apalagi dengan
suami orang. Getaran resah semakin mendera. Jika ini kami lakukan sembilan
tahun lalu mungkin takut dan resahku tidak seperti ini.
Mas Panji masih bersikap
tenang, sweater maroon yang membalut tubuhnya sepertinya tidak
membuat mas Panji merasakan dingin. Tampan dan berwibawa sejak dulu jadi ciri
khasnya, sekarang kewibawaan itu bertambah selaras dengan jabatannya sebagai
pimpinan kantor cabang BUMN ternama di Jawa Timur.
Bertahun aku menghapus
sosoknya. Dan rasanya tidak ingin bertemu lagi. Aku sudah menghentikan tangisku
menangisi lelaki yang tidak ditakdirkan jadi jodohku. Kali ini ada kesempatan
yang membuatku harus bertemu. Aku gamang, takut dan bingung.
“Prita…” panggilnya lirih
hampir tak terdengar.
“Ya, Pak.” Jawabku lirih
juga.
"Aku ingat dulu
pernah berjanji “ kalimatnya terhenti seperti sedang memikirkan kelanjutannya,
mas Panji terdiam.
“Janji apa. Pak?”
tanyaku.
“Aku pernah berjanji akan
hidup berdampingan denganmu.” Huff dadaku mulai bergetar, denyut jantungku
serasa mulai berpacu kencang, hal yang kutakutkan sepertinya akan tiba.
Aku takut membicarakan
lagi masa lalu kami. Aku takut mas Panji membangkitkan kesalahanku karena telah
meninggalkannya menikah lebih dulu. Berbagai rasa takut berkecamuk di hati,
demi menguasai hati aku pun diam.
“Aku berusaha menepati
janjiku, tapi kamu sudah menikah dengan pria lain.“ ucapan kalimat dengan
tenang sungguh memporak-porandakan perasaanku, seketika hatiku merasa
jumpalitan. Aku terdiam dalam rasa bersalah, tidak perlu menyangkal karena itu
kebenaran.
“Kamu menikah dengan pria
lain, aku berusaha bertahan pada kemungkinan untuk selalu sendiri, tanpa
mencari penggantimu.” Mas Panji terdiam sesaat.
“Ternyata nasib berkata
lain. Aku harus segera menuruti keinginan ibu yang menjodohkanku dengan gadis
pilihannya. Maafkan aku " ungkapnya seperti merasa bersalan. Mas Panji ini
aneh, seharusnya aku meminta maaf
padanya karena aku meninggalkannya menikah dengan pria lain, tapi malah mas
Panji yang meminta maaf padaku, atau dia sedang menyindirku. Pikiran buruk
menyelinap, aku berusaha menerima kesungguhannya dan segera kutepis demi suara
sejuknya, Sungguh dia laki-laki baik dalam mengoreksi dirinya, tanpa
menyalahkan orang lain, dia yang merasa bersalah.
“Bapak tidak perlu minta
maaf pada saya karena saya yang salah” akhirnya aku berani membuka suara.
“Aku yang salah sebagai
laki-laki aku tak mampu memperjuangkan
cinta.”
“Duh, pak. Saya takut
membahas lima huruf itu ”
“Maksudmu?” belum kujawab
mas Panji berkata lagi
“Oh iya aku tahu
maksudmu. Lima huruf itu “CINTA”, kan. Ha.. haa..” Mas Panji tertawa renyah.
Aku tersenyum malu mungkin tak tampak olehnya, tapi aku memang tidak ingin
membahas masalah cinta dengan mas Panji.
“Saya yakin, bapak sudah
bahagia bersama keluarga?” langkah mas Panji terhenti demi mendengar
pertanyaanku, sejenak menatap wajahku dan membuangnya lagi ke arah laut.
“Saya bahagia walau rumah
tangga saya sudah berakhir.”
“Pak Panji..?” aku tak
melanjutkan kata-kataku.
“Kami sudah berpisah
baik-baik. Mantan isteri menikah lagi dengan mantannya anak saya satu laki-laki
dibawanya.”
“Sampai sedemikian, pak?”
“Itu takdir, saya terima
takdir hidup dengan ikhlas.” Katanya dengan nada pasrah dan bersemangat. Ikhlas
akan takdir? Aku merenung, sehebat itu mas Panji apakah aku bisa demikian?
Ikhlas menerima takdir dan jodohku, karena hidup bersama dengan orang yang
ditakdirkan jadi jodohku, aku selalu
pura-pura bahagia.
“Takdir itu nyata dan itu
harus kita nikmati. Mungkin ini bagian dosaku sehingga aku harus meminta maaf
padamu”
“Pak…” panggilku lirih
takut terdengar, tak urung dia mendengar.
“Ya Prita,,”
“Bapak, baik sekali.”
Kataku sekenanya.
“Ya alhamdulillah, tapi
tentu tidak baik untuk kamu.”
“Saya tidak berpikir
seperti itu, pak”
“Semoga dinda memaafkan,
ya.”
“Ah Bapak.. jangan gunakan
panggilan itu lagi.”
“Saya diprotes tapi kamu
ga mau saya protes.”
“Bapak protes apa?”
“Itu panggil saya,
pak...pak. rasanya saya sudah tua dipanggil bapak. “
“Iya, pak. Ya sudah
terserah bapak saja.”
“Kamu ini ga berubah
ya..”
“Apanya pak ?”
“Penurut..”
“Itu pilihan sikap
terbaik menurut saya.” Aku tersenyum, kali ini mas Panji pasti melihat
senyumku, wajahnya menoleh ke arahku. Kemudian dia pun tersenyum dan berjalan
lagi pelan.
“Saya harap kamu bahagia,
ya,”
“Iya pak. Terima kasih
doanya.”
“Oh ya, Asikin bercerita
kamu pekerja keras.”
“Biasa saja, pak sesuai
dengan tugas yang ada.”
“Luar biasa kamu. “
“Terima kasih, pak.
Semoga jadi doa.”
“Ya..yaaa… saya selalu
berdoa untuk kebaikanmu.”
“Aamiin” sambutku.
Sungguh hatiku bergetar
mendengar kata-kata itu, mas Panji mendoakanku, kalau gitu sama aku juga selalu
mendoakan kebaikan untuk mas Panji, Tapi sayang rumah tangga mas Panji kandas,
mungkin ini suatu kebaikan juga untuk mas Panji karena dia mengatakan bahagia
walau sudah sendiri lagi.
“Anakmu berapa?”
“Satu, Pak. Perempuan
usianya 2,5 tahun”
“Alhamdulillah,
bahagianya kamu.”
“Terima kasih, pak”
“Saya juga berterima
kasih padamu sudah mau saya ajak bicara, dan saya berterima kasih pada Tuhan
yang memberi kesempatan bertemu denganmu dan menyelesaikan masalah kita.”
Masalah kita? Rasanya aku yang membuat masalah karena meninggalkannya dan tidak
menghubungi saat aku akan menikah. Kurutuki hatiku mengapa aku dulu tidak pamit
pada mas Panji sebelum aku menikah, aku sudah melukainya.
Lama kami sama-sama
terdiam dan tetap melangkah perlahan menyusuri pantai. Aku tak berani
menengadah melihat langit cerah yang bisa merubah suasana hatiku. Tapi sekali-kali mataku melirik menikmati
pemandangan malam di bibir pantai.
“Sudah malam, pak”
kataku.
“Oh iya, yuk kita balik.”
kami pun memutar arah kembali ke hotel.
Angin malam semakin
menyusup sayup di tubuhku. Mas Panji
sepertinya mengerti kalau aku mulai kedinginan.
“Dingin ya.”
“Iya, sedikit, pak”
“Mau pakai sweater saya.”
“Tidak, pak. ”
“Ga apa ini baju saya
rangkap dua.” Mas Panji hampir membuka sweaternya, aku mencegah.
“Maaf pak, bukan tidak
mau tapi tidak baik.”
“Oh iya, maaf “
“Tidak apa, pak”
“Kamu tidak ingin
bercerita tentang keluargamu ?”
“Tidak pak. Keluarga saya
biasa saja.”
“Saya dengar suamimu
pengusaha, ko kamu masih mau bekerja ?”
“Saya senang bekerja,
agar orang tua saya tidak kecewa telah menyekolahkan saya, kasihan sudah
membiayai saya kalau akhirnya tidak menghasilkan apa-apa.”
“Oh gitu ya, benar kata
Asikin, kamu luar biasa”
“Info dari pak Asikin
yang luar biasa, saya biasa saja.” Akhirnya kami tertawa ringan bersama.
"Prita, saya
berharap setelah pertemuan ini kita tidak saling mendendam dan mencurigai siapa
yang paling bersalah di antara kita.
Jodoh adalah ketentuanNya. “
“Iya, pak.”
“Untuk yang ini saya
ingin dipanggil dengan sebutan mas” aku tidak ingin menolak permintaannya. Apa
salahnya sekali mengubah kata dari pak menjadi mas.
“Iya mas, maafkan saya
juga.” Mas Panji terbahak meluapkan rasa bahagianya setelah kupanggil dengan
sebutan “mas”.
“Tuh kan malah
ditertawakan memanggil bapak dengan sebutan, mas. Kenapa ?”
“Ah gak apa-apa, ada yang
sedikit berbeda dari waktu itu..”
“Maksudnya..” mas Panji
pun terkekeh-kekeh.
“Tuh kan ditertawakan. “
aku memberengut walau tak terlihat oleh mas Panji.
“Ya sudah, maafkan aku.
Aku tertawa karena kamu itu sangat patuh. Alangkah bahagianya laki-laki yang
memiliki isteri sepertimu.” Masih ada sisa tawa yang hampir terhenti. Aku jadi
ikut tertawa.
“Semoga, ya pak”
“Ya pastilah. Wah.. boleh
dong saya kecewa.”
“Bapak ini, mulai lagi “
“Just Kidding, I’m so
sorry” dan kami pun tertawa bersama sambil melangkah menuju hotel.
Di lobby hotel mas Panji
masih menawarkan untuk minum kopi di café hotel, kikuk rasanya kalau terus
harus ngobrol bersama pria ini. Sejak tadi saja aku sudah sekuat tenaga
menguasai hati untuk biasa saja. Aku pun mohon diri untuk segera masuk kamar.
Pantai seminyak memberi
sedikit kelegaan hatiku. Mas Panji telah membuat kelegaan hubungan kami. Kami
berjanji saling bersapa dalam persahabatan. Kalau istilah umum sahabat jadi
cinta kini aku menjadikan kalimat yang
sebaliknya cinta jadi sahabat.
Aku senang mas Panji sudah memaafkanku dan kami sudah saling memaafkan.
Esok sore aku harus kembali
ke Jakarta. Jakarta ya.. Jakarta tempatku dilahirkan dan dibesarkan. Memberiku
banyak pelajaran, tentang rasa sakit dan bahagia, tentang luka dan airmata.
Aku ingat kata mas Panji
dulu. Waktu bilang ingin main ke Bandung kalau sudah tidak sibuk dan ingin
mengajakku jalan-jalan ke sana. Keinginan yang tidak pernah terlaksana. Aku
pernah menggodanya dengan ucapanku.
“Jadi mas Panji kangennya
sama kota Bandung, bukan Jakarta?” aku cemburu pada kota Bandung.
“Yah saya suka Bandung
dengan kebisingan yang sejuk.. untuk Jakarta yang saya suka bagian isinya, ada
gadis yang kucintai sebening embun” ingat itu tidak ingin menangis tapi bulir
airmata halus turun dari sudut mataku. Satu kalimat halus kupatrikan di hatiku “Cinta
Sebening Embun”, kususupi lagi dengan kalimat berikutnya : “Cinta tidak
harus memiliki” aku tersenyum bersama tetesan airmata, mulai memejamkan
mata pelan-pelan. Semoga ini menjadi awal yang baik untuk hari-hariku. Kuharap
mas Panji pun lega seperti hatiku.
∞∞∞
Entah apa yang
menggerakkan hatiku, jelang sore sebelum berangkat ke Bandara Ngurah Rai, aku
berjalan lagi mendekati pantai Seminyak tempat aku berjalan dengan mas Panji semalam.
Aku ingin melihat tempat ini lagi.
Peluh mulai mengguyur
tubuhku. Udara panas Bali tak bisa kuhindari. Aku membeli topi Bali dan kupakai
untuk selfi. Kulambaikan sarung pantai untuk atraksiku berfoto, meminta tolong
penjual sarung pantai untuk memotretku. Kali ini aku bisa melenggang asyik dengan
gaya-gayaku, kuabadikan dengan camera
ponselku. Bertahun-tahun kulalui hidupku baru ini aku merasakan kelegaan hati.
Puas dan bersyukur itu pasti setelah rasa bersalah itu termaafkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar