Sabtu, 21 Agustus 2021

ALLAMANDA BERSERAK BAGIAN XIV, XV DAN XVI

 

BAGIAN XIV

 

IBUKU

 

 

Mungkin ini jawaban doaku kalau akhirnya ibu datang ke apartemenku dengan tangis mengharu biru. Memelukku erat. Ibu mendapatkan alamatku dari Esty. Esty datang ke rumah orang tuaku menanyakan kabarku, aku tahu Esty pasti berdrama pura-pura tidak tahu aku berada dimana. Ibu juga baru tahu kalau aku sudah meninggalkan rumah mas Rangga dari Esty, jadi benar bahwa mas Rangga tidak memberi tahu ayah dan ibuku kalau telah menceraikanku dan memasukkan wanita lain. Betapa hebatnya menantu pilihan ayah. Pandai mengelabuhi ayahku yang sangat membanggakannya. Aku berdecak kagum atas prestasi perilaku tidak baik mas Rangga.

“Jadi seperti ini nasibmu, nak” suara ibu di antara tangisnya.

“Sudah lah, bu. Prita tidak apa-apa. Prita hanya ingin ibu percaya pada Prita.”

“Menikah dengan mas Rangga sudah Prita turuti sebagai rasa bakti pada ayah dan ibu. Dan Prita tidak akan senekad itu berselingkuh. Dari pada berselingkuh lebih baik dulu Prita menolak dijodohkan dengan mas Rangga. Waktu itu mas Panji masih sendiri, bu.”

“Iya ibu percaya sama kamu, nak”

“Tapi mas Rangga sudah menorehkan luka di hati Prita, Prita disakiti tanpa salah.”

“Maafkan mereka karena sudah salah menilaimu, nak. Sabar lah.”

“Ibu tidak tahu bagaimana sakitnya, aku. Aku yang dinilai salah, dia yang membawa wanita lain dan mengusirku. Apa itu adil, bu?”

 

“Ibu tahu, Prita. Ibu tahu..”

“Apa ibu pernah mendidik Prita untuk pandai berbohong dan menyembunyikan sesuatu ? Sejak dulu Prita berusaha jadi anak yang jujur dan bertanggungjawab. Itu sudah Prita lakukan.”

 

“Tapi nak…”

“Prita tidak mungkin kembali pada mas Panji. Karena ayah dan ibu tidak akan merestui. “

“Mungkin karir dan rezeki mas Panji belum sehebat mas Rangga. Prita mengerti, bu. Itu sebabnya ayah menjodohkan Prita dengan mas Rangga, Prita terima karena bagi ayah kehidupan mapan dipandang penting dari pada perasaan anaknya sendiri.” Kalimatku terus meluncur sebagai protes hati, baru ini aku berani mengatakan ini yang membuat Ibu terus menangis.

“Prita menerima semuanya dengan ikhlas, berusaha menjadi isteri yang baik.”

“Iya nak, kamu anak baik. Ibu sangat mengerti kamu. ”

“ibu seperti mendukung pendapat ayah dan mas Rangga, lalu Prita harus berlindung kepada siapa, bu?”

“Sudah Prita, jangan sudutkan ibu seperti itu, hati ibu tidak seperti itu.”

“Ibu percaya kalau Prita berkhianat sampai berbuat nista ?” Ibu menggeleng.

”Tidak, nak. Ibu tahu kamu dan Panji saling mencinta, ibu tahu kamu sangat patuh pada ayahmu. Kalau tidak patuh pasti sejak mau dinikahkan kamu sudah kabur dari rumah, tapi itu tidak kamu lakukan, nak.”

“Saat bertemu mas Panji, mas Panji pun sudah berpisah sama isterinya, tapi tak terbersit sedikit pun untuk mengganggu mas Panji, mas panji orang baik, bu. Dia juga tidak marah pada Prita sekali pun Prita meninggalkannya menikah dengan mas Rangga.”

 

“Jadi Panji menjadi duda ?” aku mengangguk. Lama ibu terdiam.

“Suruh Panii datang ke rumah, ibu akan berbicara dengan ayah.”

“Mas Panji sudah pergi untuk selamanya kira-kira sepuluh hari lalu.”

“Panji meninggal, maksudmu?” aku mengangguk lemah.

Pritaaa.” ibu memekik dan memelukku. Aku menggigit bibir menahan tangis, aku tak mau ibu melihat airmataku menangisi mas Panji.

 

“Mas Panji sakit, bu dan dia sudah pergi, bu. Itu yang terbaik untuk mas Panji. “ aku tidak perlu  bercerita kalau mas Panji pernah berencana untuk menikahi aku. Tidak ada gunanya kuceritakan pada ibu. Toh semua itu sudah tidak mungkin lagi terjadi.

 

“Prita mohon maaf atas segala dosa dan kesalahan Prita, Prita selalu berharap ibu mendoakan kebahagiaan untuk Prita. Prita mohon ibu mau berjanji tidak akan menceritakan pada ayah tentang perilaku mas Rangga terhadap Prita.”

“Kenapa begitu, ayahmu harus tahu nasibmu.”

“Jangan, ibu. Prita mohon.”

“Pantas, Rangga kalau mengantar Wanda selalu sendiri. Wanda ditinggal sama susternya di rumah ibu, terus Rangga pergi, esoknya dia balik lagi menjemput Wanda. Tapi itu tidak rutin hanya beberapa bulan sekali.” Cerita ibu. Aku hanya mengelus dada pelan.

“Prita mohon dengan sangat, tidak usah menceritakan perlakuan mas Rangga. Biar waktu yang menjelaskan semuanya.

 

Hanya itu kalimat akhir yang kuucapkan, sebelum ibu meninggalkan kamar apartemenku.

Sejak itu ibu diam-diam ibu sering berkunjung ke apartemenku. Alasannya ke pasar atau ke mall atau ke mana saja. Hatiku bahagia bisa melepas rinduku selalu pada ibu. sering datang ke Apartemenku.

 

 

 

 

BAGIAN XV

NAIK JABATAN

 

Kubaca surat keputusan perusahaan, bahwa aku diangkat jadi kepala cabang PT Lestari Sejati Manufacture di Jawa Timur. Entah bahagia atau sedih tak bisa kulukiskan hatiku. Mungkin ini usaha pak Asikin menghadiahi aku atas kerja kerasku.

“Terima kasih atas, promosi dari bapak” ucapku pada pak Asikin.

“Itu hasil kerja keras, bu Prita”

“Tanpa bapak mempromosikan, saya tidak mungkin mendapat hadiah ini.”

“Jadi ibu menerima penugasan ini ?. “

“Sebenarnya saya tidak yakin dengan kemampuan saya. “

 

 

“Bu Prita ditempatkan di Surabaya, sayangnya Panji sudah tiada.”

“Bapak jangan berkata begitu, nanti saya jadi sedih.” kataku sambil tertawa kecil.

“Perjalanan hidup manusia tidak pernah tahu, bu Prita”

“Iya, pak. Saya berusaha menitinya sekuat saya. “

 

Aku  mengemasi

 

Rumah dinas yang diberikan kantor hanya berjarak 10 km dari pusat kota Surabaya dan berjarak 7 Km dari kantorku. Rumah baru type cluster itu berdiri megah, tidak terlalu besar cukuplah untuk aku yang hidup sendiri, bahkan menurutku kebesaran. tapi masih dalam lingkungan sejuk dan asri, hawanya pun tidak sepanas Kota Surabaya. Baru masuk saja aku sudah merasa senang dan nyaman. Semoga aku betah di sini meniti kehidupan baru bersama pekerjaanku. Aku akan terus meningkatkan karierku dan berkarya. Sejak berpisah dengan mas Rangga aku sudah mulai mendisain baju Muslimah sendiri. Aku selalu berusaha mendidik diriku menerima kehidupan dengan mengisi waktu. Alhasil inilah yang kunikmati. Karirku meningkat dan kehidupanku mulai tertata dengan baik walau harus sendiri.

 

Mobilku di antar oleh sopir kantor. Aku dapat mobil inventaris dinas, tapi kutolak. Karena aku masih senang dengan mobil yang kubeli dengan hasil keringatku sendiri.

Sedih juga jauh dari Esty sahabat baikku dan ibu yang sudah sering menengok aku. Tapi aku tetap dengan tekadku.

“Tenang aja Surabaya dekat kok, aku akan datang kalau kangen kamu.” Kata Esty menghiburku.

“Nih aku lagi mengandung anak mas Rudi, kalau cewek akan kuberi nama Prita.”

“Ooh jangan, nanti nasibnya seperti aku.” Kataku bergurau.

“Beda kali..”

“Yaudah terserah kamu saja lah. Aku senang akhirnya kamu akan beranak juga.”

“IIh songong loh. Gue kan normal..” kami berdua tertawa.

“Bagus lah biar tiap hari kamu ga kelayapan kemana-mana”

“Tahu aja aku tukang nglayap.” Balas Esty sambil tertawa. Aku pun tertawa, kami tertawa ceria.

 

 

BAGIAN

PERMINTAAN

 

 

Pagi sangat cerah, aku menata pot-pot tanaman yang baru kubeli untuk menghiasi halaman rumah dinasku. Taksi berhenti di depan rumahku. Aku menghentikan kegiatanku. Ini pagi yang mengejutkan. Ayah, mas Rangga dan Wanda keluar dari mobil taksi, mereka datang ke rumahku. Belum hilang keterpanaanku Wanda berlari langsung mendekapku. Aku memeluknya erat, kuciumi dengan penuh rindu. Akhirnya Allah mengantarkan anakku untuk menemuiku. Ayah mendekatiku dan memeluk aku yang masih memeluk erat Wanda.  Aku pun menangis pilu di pelukan ayah. Ayah yang sangat kurindu akhirnya mau mengunjungiku. Kuyakin ini ekspresi ayah telah memaafkanku walau tiada kata itu. Ini jawaban doa-doaku. Tangisku terguguk antara haru dan bahagia. Kerinduanku pada ayah terobati.

Mereka kuminta masuk ke dalam rumahku. Rumahku terbuka untuk mas Rangga, dan tidak menghalangi seperti dulu mas Rangga menghalangi aku ketemu Wanda.

“Bunda pulang ya” pinta Wanda kepadaku yang masih berada di gendonganku.

“Tante Anggun sudah pergi dari rumah karena diusir ayah” aku terkejut, oh jadi kebiasaan mengusir itu sudah jadi karakter mas Rangga. Senyum kecil di hatiku menyeruak.

“Bunda kerjanya di sini sayang. Wanda di Jakarta sama ayah ya.”

“Tapi Wanda mau sama Bunda.”

“Iya nanti sayang. Bunda masih bekerja di sini”

 

“Ini rumahmu, Prita?” tanya ayah sambil pandangannya mengelilingi isi rumahku.

“Rumah dinas, ayah, tapi nanti dalam beberapa tahun ke depan akan dihibahkan untuk Prita. Doakan ya, ayah” Ayah mengangguk-angguk dengan netra membinar. Sepertinya ayah bangga dengan apa yang kudapat.

Segera ke dapur untuk membuatkan minuman untuk ayah, mas Rangga dan Wanda. Sedang aku ke belakang membuatkan minuman, ayah bersama Wanda melihat seluruh sudut isi rumahku, ayah juga membawa Wanda naik ke lantai atas. Mas Rangga mendekatiku yang sedang mengaduk gula dicangkir teh.

 

“Aku ingin kembali rujuk denganmu” ucap mas Rangga sangat hati-hati.

“Ooh ya, mas ?” jawabku sambil menghentikan kegiatanku mengaduk gula di cangkir.  

“Iya, aku serius.”

“Tapi saya tidak, tidak ingin Kembali pada mas. Maaf. “ jawabku tanpa melihat wajah mas Rangga yang sedang mengamatiku. Kuraih Nampak di rak. Sama sekali aku tidak ingin melihat wajah mas Rangga.

“Aku minta maaf atas semua perilakuku kepadamu. Aku berharap kamu mau memaafkanku”

“Saya sudah memaafkan, mas”

“Jadi kamu mau Kembali padaku?” harapnya, aku mulai melihat wajah mas Rangga. Wajahnya sayu seperti sedang Lelah. Aku menggelengkan kepala memastikan ketidaksanggupanku Kembali pada mas Rangga.

“Apa kamu gak kasian sama Wanda?” Oh jadi demi Wanda, senyum menyembul dari bibirku. 

“Kalau itu jangan ditanyakan, mas. Harusnya mas Rangga bertanya pada diri mas sendiri waktu itu, apa mas gak kasihan sama Wanda.” Kataku masih dengan senyum tanpa arti. Mas Rangga terdiam.

“Sejak dulu saya  kasian sama Wanda, kashian nasibnya memiliki ibu sepertiku yang hidup tanpa nilai di mata ayahnya.” Kataku ketus. Kupalingkan wajahku dari pandangan mas Rangga yang penuh harap.

“Setelah ada pengkhianatan di antara kita, kita tidak mungkin bisa seperti dulu, itu mas yang ada dalam pikiranku. Entah siapa yang berkhianat lebih dulu di antara kita, mungkin  saya yang mas anggap hina, tapi kita tidak akan membohongi perasaan kita walau lidah kita berbicara tentang kepalsuan. Saya sudah ikhlas dengan semuanya. ” kataku sambil menghentikan kegiatanku, kali ini aku mencoba manatap mantan suamiku.

 

Aku sudah mulai berani menatapnya karena dia bukan suamiku lagi. Dulu aku selalu takut berdebat sama mas Rangga. Apalagi sejak tuduhan itu mas Rangga selalu membuang wajahnya setiap berjumpa denganku.

“Cerita Wanda tadi tidak benar seluruhnya kan, mas. ?” mas Rangga terperanjat mendengar pertanyaanku.

“Maksudmu ?”

“Mas tidak sungguh-sungguh mengusir Anggun, mas berdrama di depan Wanda. Anggun mas kembalikan ke rumah cluster di Selatan Jakarta, tempat dulu Anggun tinggal sebelum mas bawa ke rumah yang mas tempati dengan Wanda” meluncur kalimatku begitu saja. Mas Rangga tampak terkejut, seketika wajahnya pucat.

“mas terkejut saya tahu semuanya?”

“Prita kamu tahu semua itu dari mana?”

“Mas… wanita yang mas anggap bodoh itu tidak selalu sesungguhnya bodoh.” Kataku sambil menghadapkan tubuhku tepat  di depannya. Aku menajamkan pandanganku ke wajah pria pendusta ini. Senyum kecil mengembang dari bibirku demi melihat wajah mas Rangga pucat  seperti sedang diadili.

 

Tatapanku semakin tajam ke arahnya. Ini wajah laki-laki yang dulu sangat kuhormati, sekarang pucat pasi,  hatiku mentertawakannya. Aku memang beruntung lepas dari mas Rangga, kini  jiwaku semakin kuat. Perilaku lelaki ini sudah banyak mengajariku menjadi wanita kuat.

“Ya..ya Prita, maafkan saya. Saya yang bersalah.” Katanya dengan wajah pias mungkin rasa malu yang ada. Aku yakin hati mas Rangga sedang membuat pengakuan kesalahan yang menggunung tapi kini semua bukan urusanku lagi.

“Saya sudah katakan kalau saya  memaafkan mas. Dan sekarang saya sadar kalau mas Rangga pandai berdrama. Tentu saya sangat kasian pada Wanda, hidup dengan seorang ayah penuh drama. “

“Aku berusaha memperbaiki semuanya. ingin kembali hidup denganmu”

“Apa mas berani bicara semua itu pada ayah. Berani kah mas mengatakan pada ayah kalau di antara pernikahan kita ada wanita lain yang mas nikahi secara siri. ?”

“Sudah Prita.. “ mas Rangga seperti menginginkan aku agar tidak bicara keras supaya tidak terdengar oleh ayah. Aku pun mengerti, aku juga tidak ingin mengatakan ini pada ayah. Aku hanya akan membuktikan kebenaran pada saatnya aku terlihat dengan sendirinya.

“Sudah Prita, stop. Saya akan merubah semuanya. saya sudah menceraikan Anggun karena dia hanya mau harta saya. Saya hanya ingin kembali kepada kamu, mencintai dengan sepenuh hati saya. “

 

“Tapi mas juga sadar kan, kalau harta tidak bisa menyembuhkan rasa bersalah dan menyelamatkan diri mas dari kedustaan ?” kalimatku menohok. Mata mas Rangga memerah, dan satu bulir air mata jatuh. Aku tersenyum kecut, bisa juga laki-laki kaya ini menangis. Hatiku tak tergerak untuk itu. Sudah lebih banyak air mata yang kutumpahkan untuk keculasannya. Airmata sakitku dan airmata cintaku pada mas Panji  yang pupus. Aku mendesah tanpa sadar.

“Akan ada Anggun-Anggun yang lain dalam kehidupan mas Rangga.”

“Tidak, Prita saya janji.”

“Saya tetap tidak bisa, mas. Maafkan saya.” Penolakan tegasku.

“Kita sudah saling memaafkan, tapi tidak perlu memaksakan hati kita untuk mendiami satu tempat dengan perasaan asing satu sama lain.” Mas Rangga masih terdiam.

 

 

“Seharusnya mas tidak perlu menyusul saya ke sini.” tanpa kulihat lagi wajah mas Rangga, kutinggalkan dia yang sedang bengong dan berpikir, ini lah saatnya dia berpikir tentang dirinya, saatnya dia merenungkan bahwa apa yang disembunyikan akan terungkap.  

 

Mas Rangga sudah mengakui kesalahannya, Tapi apakah dia berani mengakui di depan ayah kalau mas Rangga lebih dulu mengkhianatiku. Aku yakin dia tidak akan pernah berani mengakui itu. Sekarang aku sudah masa bodoh dengan semuanya, aku sudah lega ayah sudah memaafkan aku, aku tidak perlu kata-kata lain selain sikap ayah yang sudah seperti dulu.

 

Seharian ku ajak mereka keliling Surabaya, makan rujak cingur kesukaan ayah. Wanda pun senang sekali saat kuajak minum ice cream Zangrandi. Saat ini aku lah yang berdrama, berpura-pura baik di depan mas Rangga agar ayah hatinya senang dan lega. Bukan kah ayah sudah pernah menerima drama hebat dari mas Rangga. Kini saatnya aku yang berdrama, mas Rangga yang telah mengajariku. Ternyata berdrama itu tidak sulit, pantas lah kalau mas Rangga melakukannya padaku. Ayah juga kubawa ke masjid AL Akbar, masjid agung di kota Surabaya. Aku berharap hati ayah terbuka memahami siapa dan bagaimana ibadah anaknya. Berharap ayah percaya aku bukan seperti yang dituduhkan mas Rangga. Sujudku terpenuhi oleh ucapan syukur tiada henti.

 

∞∞

 

Di Bandara Juanda ayah berusaha membujukku untuk kembali rujuk dengan  mas Rangga, mata ayah berkaca seperti memohon, kali ini bukan aku tidak berbakti tidak menuruti keinginan ayah. Dulu aku pernah berbakti, sekarang aku sudah cukup dengan sakitku. Aku akan memilih kehidupanku sendiri dan tidak ingin terjerumus ke dalam lubang yang sama, keledai bodoh pun tidak akan melakukan itu. Kupeluk erat tubuh ayah, kubisikkan kalimatku.

 

“Maafkan Prita,  ayah, saat ini Prita masih butuh waktu untuk menenangkan diri.” Kucium tangan ayah berkali-kali. Kelegaan ini mengharukan karena ayah benar-benar sudah memaafkanku. Ayah mengusap-usap kepalaku. Ayah yang telah melarangku datang menjumpainya kini sudah mengelus kepalaku lagi. Aku menjadi seperti anak kecil yang dibelai ayahnya.

 

Perdamaian hati dengan ayah sangat menyejukkan, tangan ayah seperti air es yang mengguyur kepalaku yang sedang panas. Es itu mengeringkan lukaku, tapi tidak mencairkan kebekuan hatiku untuk kembali kepada mas Rangga. Juga tidak berminat lagi menjelaskan sebuah kebenaran. Semua telah lewat, kalau sosokku pun tetap dianggap buruk pernah menorah noda dan luka di hati ayah, biar lah waktu yang menggerakkan semuanya suatu saat aka nada kejelasaan.

 

“Jaga dirimu baik-baik ya, nak”

“Iya ayah.”

Meski hati ini sangat perih aku melepas Wanda dari pelukanku, anak itu sangat berharap bersamaku lagi, apa mau dikata, aku tak sanggup melakukan itu. Sekali pun biasa aku ditinggalkan orang-orang yang kucintai, tak mampu aku menghalau perihku.

 

“Aku sangat mengharapkanmu.” Bisik mas Rangga meyakinkanku saat mengambil tangan Wanda dari genggaman tanganku.

“Datanglah demi aku dan anak kita “ kata mas Rangga sambil mencium pipi Wanda yang berada di pelukannya, matanya melirik dan melontarkan senyum halus seakan merayuku. Aku tersenyum mengambang. Senyum kepastian yang dapat menjawab harapan mas  Rangga agar tidak berharap banyak pada kembaliku.

 

Permintaan mas Rangga, permintaan Ayah dan permintaan Wanda semua sama memintaku kembali ke Jakarta hidup bersama lagi. Dan semua sama kutolak dengan kemantapan hati. Semua hanya mampu melihat hidupku, mereka tidak pernah meresapi hatiku. Diriku sendiri lah pemilik hati yang sesungguhnya, mampu menawarkan kepahitan, mengguyurkan madu kehidupan untuk menghilangkan rasa pahit itu.

 

 

Aku akan menyembuhkan diri dari kesakitan seperti saat allamanda yang berserakan. Mungkin allamanda yang ditendang berserakan hanya sedikit melukaiku, tapi tuduhan perselingkuhan, perzinaan  dan kedatangan wanita lain di rumahku itu serta cara mas Rangga mengusirku, membuat hatiku lebih  berserakan dari allamanda.

 

Juga fitnah yang disampaikan kepada ayah dan ibuku yang membuat aku terbuang dari mereka. Itu semua tidak mungkin membuatku tidak merasakan sakit. Untuk itu aku bersikeras tidak ingin kembali lagi padanya. Aku harus benar-benar sembuh dari luka itu.

 

Aku sudah memahami wajah asli mantan suamiku. Bermuka baik bukan berarti baik seluruhnya. Perselingkuhan yang ditutupinya yang menjerat aku  kedalam tuduhan kenistaan. Tidak mungkin aku kembali lagi pada laki-laki seperti itu. Semua perlakuan mas Rangga sudah membentuk aku menjadi wanita kuat. Tidak perlu menjelaskan diri menjadi manusia bermartabat, karena martabat itu muncul dari perilaku kita yang sebenarnya, bukan cara kita menutupi keadaan yang sebenarnya. Dan aku kini memiliki penilaian tersendiri terhadap mantan suamiku apakah martabatnya aurum atau argon biar kusimpan dalam dadaku.

 

Kini aku menertawakan rasa sakit yang pernah kunikmati dan kutangisi. Dibodohi  itu perlu untuk berusaha menjadi lebih pandai. Aku sudah pandai mengambil sikap untuk membalas luka dengan kekecewaan. Walau pun itu bukan niatku. Mas Rangga kaya harta, tapi aku tidak pernah memperhitungkan kekayaan,  rasa lega dan bahagia itulah yang membuat aku merasa sangat kaya. Arti mas Rangga bagiku adalah telah memberi aku kesempurnaan diriku sebagai wanita dan ibu karena bisa melahirkan anak di dunia ini. Aku sudah sampai pada kata terakhir dengan mas Rangga yang kuakhiri dengan tanda titik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar