BAGIAN XIV
IBUKU
Mungkin
ini jawaban doaku kalau akhirnya ibu datang ke apartemenku dengan tangis
mengharu biru. Memelukku erat. Ibu mendapatkan alamatku dari Esty. Esty datang
ke rumah orang tuaku menanyakan kabarku, aku tahu Esty pasti berdrama pura-pura
tidak tahu aku berada dimana. Ibu juga baru tahu kalau aku sudah meninggalkan
rumah mas Rangga dari Esty, jadi benar bahwa mas Rangga tidak memberi tahu ayah
dan ibuku kalau telah menceraikanku dan memasukkan wanita lain. Betapa hebatnya
menantu pilihan ayah. Pandai mengelabuhi ayahku yang sangat membanggakannya.
Aku berdecak kagum atas prestasi perilaku tidak baik mas Rangga.
“Jadi
seperti ini nasibmu, nak” suara ibu di antara tangisnya.
“Sudah
lah, bu. Prita tidak apa-apa. Prita hanya ingin ibu percaya pada Prita.”
“Menikah
dengan mas Rangga sudah Prita turuti sebagai rasa bakti pada ayah dan ibu. Dan
Prita tidak akan senekad itu berselingkuh. Dari pada berselingkuh lebih baik
dulu Prita menolak dijodohkan dengan mas Rangga. Waktu itu mas Panji masih
sendiri, bu.”
“Iya
ibu percaya sama kamu, nak”
“Tapi
mas Rangga sudah menorehkan luka di hati Prita, Prita disakiti tanpa salah.”
“Maafkan
mereka karena sudah salah menilaimu, nak. Sabar lah.”
“Ibu
tidak tahu bagaimana sakitnya, aku. Aku yang dinilai salah, dia yang membawa
wanita lain dan mengusirku. Apa itu adil, bu?”
“Ibu
tahu, Prita. Ibu tahu..”
“Apa
ibu pernah mendidik Prita untuk pandai berbohong dan menyembunyikan sesuatu ?
Sejak dulu Prita berusaha jadi anak yang jujur dan bertanggungjawab. Itu sudah
Prita lakukan.”
“Tapi
nak…”
“Prita
tidak mungkin kembali pada mas Panji. Karena ayah dan ibu tidak akan merestui.
“
“Mungkin
karir dan rezeki mas Panji belum sehebat mas Rangga. Prita mengerti, bu. Itu
sebabnya ayah menjodohkan Prita dengan mas Rangga, Prita terima karena bagi
ayah kehidupan mapan dipandang penting dari pada perasaan anaknya sendiri.”
Kalimatku terus meluncur sebagai protes hati, baru ini aku berani mengatakan
ini yang membuat Ibu terus menangis.
“Prita
menerima semuanya dengan ikhlas, berusaha menjadi isteri yang baik.”
“Iya
nak, kamu anak baik. Ibu sangat mengerti kamu. ”
“ibu
seperti mendukung pendapat ayah dan mas Rangga, lalu Prita harus berlindung
kepada siapa, bu?”
“Sudah
Prita, jangan sudutkan ibu seperti itu, hati ibu tidak seperti itu.”
“Ibu
percaya kalau Prita berkhianat sampai berbuat nista ?” Ibu menggeleng.
”Tidak,
nak. Ibu tahu kamu dan Panji saling mencinta, ibu tahu kamu sangat patuh pada
ayahmu. Kalau tidak patuh pasti sejak mau dinikahkan kamu sudah kabur dari
rumah, tapi itu tidak kamu lakukan, nak.”
“Saat
bertemu mas Panji, mas Panji pun sudah berpisah sama isterinya, tapi tak terbersit
sedikit pun untuk mengganggu mas Panji, mas panji orang baik, bu. Dia juga
tidak marah pada Prita sekali pun Prita meninggalkannya menikah dengan mas
Rangga.”
“Jadi
Panji menjadi duda ?” aku mengangguk. Lama ibu terdiam.
“Suruh
Panii datang ke rumah, ibu akan berbicara dengan ayah.”
“Mas
Panji sudah pergi untuk selamanya kira-kira sepuluh hari lalu.”
“Panji
meninggal, maksudmu?” aku mengangguk lemah.
Pritaaa.”
ibu memekik dan memelukku. Aku menggigit bibir menahan tangis, aku tak mau ibu
melihat airmataku menangisi mas Panji.
“Mas
Panji sakit, bu dan dia sudah pergi, bu. Itu yang terbaik untuk mas Panji. “
aku tidak perlu bercerita kalau mas
Panji pernah berencana untuk menikahi aku. Tidak ada gunanya kuceritakan pada
ibu. Toh semua itu sudah tidak mungkin lagi terjadi.
“Prita
mohon maaf atas segala dosa dan kesalahan Prita, Prita selalu berharap ibu
mendoakan kebahagiaan untuk Prita. Prita mohon ibu mau berjanji tidak akan
menceritakan pada ayah tentang perilaku mas Rangga terhadap Prita.”
“Kenapa
begitu, ayahmu harus tahu nasibmu.”
“Jangan,
ibu. Prita mohon.”
“Pantas,
Rangga kalau mengantar Wanda selalu sendiri. Wanda ditinggal sama susternya di
rumah ibu, terus Rangga pergi, esoknya dia balik lagi menjemput Wanda. Tapi itu
tidak rutin hanya beberapa bulan sekali.” Cerita ibu. Aku hanya mengelus dada
pelan.
“Prita
mohon dengan sangat, tidak usah menceritakan perlakuan mas Rangga. Biar waktu
yang menjelaskan semuanya.
Hanya
itu kalimat akhir yang kuucapkan, sebelum ibu meninggalkan kamar apartemenku.
Sejak
itu ibu diam-diam ibu sering berkunjung ke apartemenku. Alasannya ke pasar atau
ke mall atau ke mana saja. Hatiku bahagia bisa melepas rinduku selalu pada ibu.
sering datang ke Apartemenku.
BAGIAN XV
NAIK JABATAN
Kubaca
surat keputusan perusahaan, bahwa aku diangkat jadi kepala cabang PT Lestari
Sejati Manufacture di Jawa Timur. Entah bahagia atau sedih tak bisa kulukiskan
hatiku. Mungkin ini usaha pak Asikin menghadiahi aku atas kerja kerasku.
“Terima
kasih atas, promosi dari bapak” ucapku pada pak Asikin.
“Itu
hasil kerja keras, bu Prita”
“Tanpa
bapak mempromosikan, saya tidak mungkin mendapat hadiah ini.”
“Jadi
ibu menerima penugasan ini ?. “
“Sebenarnya
saya tidak yakin dengan kemampuan saya. “
“Bu
Prita ditempatkan di Surabaya, sayangnya Panji sudah tiada.”
“Bapak
jangan berkata begitu, nanti saya jadi sedih.” kataku sambil tertawa kecil.
“Perjalanan
hidup manusia tidak pernah tahu, bu Prita”
“Iya,
pak. Saya berusaha menitinya sekuat saya. “
Aku mengemasi
Rumah
dinas yang diberikan kantor hanya berjarak 10 km dari pusat kota Surabaya dan
berjarak 7 Km dari kantorku. Rumah baru type cluster itu berdiri megah, tidak
terlalu besar cukuplah untuk aku yang hidup sendiri, bahkan menurutku
kebesaran. tapi masih dalam lingkungan sejuk dan asri, hawanya pun tidak
sepanas Kota Surabaya. Baru masuk saja aku sudah merasa senang dan nyaman.
Semoga aku betah di sini meniti kehidupan baru bersama pekerjaanku. Aku akan
terus meningkatkan karierku dan berkarya. Sejak berpisah dengan mas Rangga aku
sudah mulai mendisain baju Muslimah sendiri. Aku selalu berusaha mendidik
diriku menerima kehidupan dengan mengisi waktu. Alhasil inilah yang kunikmati.
Karirku meningkat dan kehidupanku mulai tertata dengan baik walau harus
sendiri.
Mobilku
di antar oleh sopir kantor. Aku dapat mobil inventaris dinas, tapi kutolak.
Karena aku masih senang dengan mobil yang kubeli dengan hasil keringatku
sendiri.
Sedih
juga jauh dari Esty sahabat baikku dan ibu yang sudah sering menengok aku. Tapi
aku tetap dengan tekadku.
“Tenang
aja Surabaya dekat kok, aku akan datang kalau kangen kamu.” Kata Esty
menghiburku.
“Nih
aku lagi mengandung anak mas Rudi, kalau cewek akan kuberi nama Prita.”
“Ooh
jangan, nanti nasibnya seperti aku.” Kataku bergurau.
“Beda
kali..”
“Yaudah
terserah kamu saja lah. Aku senang akhirnya kamu akan beranak juga.”
“IIh
songong loh. Gue kan normal..” kami berdua tertawa.
“Bagus
lah biar tiap hari kamu ga kelayapan kemana-mana”
“Tahu
aja aku tukang nglayap.” Balas Esty sambil tertawa. Aku pun tertawa, kami
tertawa ceria.
BAGIAN
PERMINTAAN
Pagi
sangat cerah, aku menata pot-pot tanaman yang baru kubeli untuk menghiasi
halaman rumah dinasku. Taksi berhenti di depan rumahku. Aku menghentikan
kegiatanku. Ini pagi yang mengejutkan. Ayah, mas Rangga dan Wanda keluar dari
mobil taksi, mereka datang ke rumahku. Belum hilang keterpanaanku Wanda berlari
langsung mendekapku. Aku memeluknya erat, kuciumi dengan penuh rindu. Akhirnya
Allah mengantarkan anakku untuk menemuiku. Ayah mendekatiku dan memeluk aku
yang masih memeluk erat Wanda. Aku pun
menangis pilu di pelukan ayah. Ayah yang sangat kurindu akhirnya mau
mengunjungiku. Kuyakin ini ekspresi ayah telah memaafkanku walau tiada kata
itu. Ini jawaban doa-doaku. Tangisku terguguk antara haru dan bahagia.
Kerinduanku pada ayah terobati.
Mereka
kuminta masuk ke dalam rumahku. Rumahku terbuka untuk mas Rangga, dan tidak
menghalangi seperti dulu mas Rangga menghalangi aku ketemu Wanda.
“Bunda
pulang ya” pinta Wanda kepadaku yang masih berada di gendonganku.
“Tante
Anggun sudah pergi dari rumah karena diusir ayah” aku terkejut, oh jadi
kebiasaan mengusir itu sudah jadi karakter mas Rangga. Senyum kecil di hatiku
menyeruak.
“Bunda
kerjanya di sini sayang. Wanda di Jakarta sama ayah ya.”
“Tapi
Wanda mau sama Bunda.”
“Iya
nanti sayang. Bunda masih bekerja di sini”
“Ini
rumahmu, Prita?” tanya ayah sambil pandangannya mengelilingi isi rumahku.
“Rumah
dinas, ayah, tapi nanti dalam beberapa tahun ke depan akan dihibahkan untuk
Prita. Doakan ya, ayah” Ayah mengangguk-angguk dengan netra membinar.
Sepertinya ayah bangga dengan apa yang kudapat.
Segera
ke dapur untuk membuatkan minuman untuk ayah, mas Rangga dan Wanda. Sedang aku
ke belakang membuatkan minuman, ayah bersama Wanda melihat seluruh sudut isi
rumahku, ayah juga membawa Wanda naik ke lantai atas. Mas Rangga mendekatiku
yang sedang mengaduk gula dicangkir teh.
“Aku
ingin kembali rujuk denganmu” ucap mas Rangga sangat hati-hati.
“Ooh
ya, mas ?” jawabku sambil menghentikan kegiatanku mengaduk gula di cangkir.
“Iya,
aku serius.”
“Tapi
saya tidak, tidak ingin Kembali pada mas. Maaf. “ jawabku tanpa melihat wajah
mas Rangga yang sedang mengamatiku. Kuraih Nampak di rak. Sama sekali aku tidak
ingin melihat wajah mas Rangga.
“Aku
minta maaf atas semua perilakuku kepadamu. Aku berharap kamu mau memaafkanku”
“Saya
sudah memaafkan, mas”
“Jadi
kamu mau Kembali padaku?” harapnya, aku mulai melihat wajah mas Rangga.
Wajahnya sayu seperti sedang Lelah. Aku menggelengkan kepala memastikan
ketidaksanggupanku Kembali pada mas Rangga.
“Apa
kamu gak kasian sama Wanda?” Oh jadi demi Wanda, senyum menyembul dari
bibirku.
“Kalau
itu jangan ditanyakan, mas. Harusnya mas Rangga bertanya pada diri mas sendiri
waktu itu, apa mas gak kasihan sama Wanda.” Kataku masih dengan senyum tanpa
arti. Mas Rangga terdiam.
“Sejak
dulu saya kasian sama Wanda, kashian
nasibnya memiliki ibu sepertiku yang hidup tanpa nilai di mata ayahnya.” Kataku
ketus. Kupalingkan wajahku dari pandangan mas Rangga yang penuh harap.
“Setelah
ada pengkhianatan di antara kita, kita tidak mungkin bisa seperti dulu, itu mas
yang ada dalam pikiranku. Entah siapa yang berkhianat lebih dulu di antara
kita, mungkin saya yang mas anggap hina,
tapi kita tidak akan membohongi perasaan kita walau lidah kita berbicara
tentang kepalsuan. Saya sudah ikhlas dengan semuanya. ” kataku sambil
menghentikan kegiatanku, kali ini aku mencoba manatap mantan suamiku.
Aku
sudah mulai berani menatapnya karena dia bukan suamiku lagi. Dulu aku selalu
takut berdebat sama mas Rangga. Apalagi sejak tuduhan itu mas Rangga selalu
membuang wajahnya setiap berjumpa denganku.
“Cerita
Wanda tadi tidak benar seluruhnya kan, mas. ?” mas Rangga terperanjat mendengar
pertanyaanku.
“Maksudmu
?”
“Mas
tidak sungguh-sungguh mengusir Anggun, mas berdrama di depan Wanda. Anggun mas
kembalikan ke rumah cluster di Selatan Jakarta, tempat dulu Anggun tinggal
sebelum mas bawa ke rumah yang mas tempati dengan Wanda” meluncur kalimatku
begitu saja. Mas Rangga tampak terkejut, seketika wajahnya pucat.
“mas
terkejut saya tahu semuanya?”
“Prita
kamu tahu semua itu dari mana?”
“Mas…
wanita yang mas anggap bodoh itu tidak selalu sesungguhnya bodoh.” Kataku
sambil menghadapkan tubuhku tepat di
depannya. Aku menajamkan pandanganku ke wajah pria pendusta ini. Senyum kecil
mengembang dari bibirku demi melihat wajah mas Rangga pucat seperti sedang diadili.
Tatapanku
semakin tajam ke arahnya. Ini wajah laki-laki yang dulu sangat kuhormati,
sekarang pucat pasi, hatiku
mentertawakannya. Aku memang beruntung lepas dari mas Rangga, kini jiwaku semakin kuat. Perilaku lelaki ini
sudah banyak mengajariku menjadi wanita kuat.
“Ya..ya
Prita, maafkan saya. Saya yang bersalah.” Katanya dengan wajah pias mungkin
rasa malu yang ada. Aku yakin hati mas Rangga sedang membuat pengakuan
kesalahan yang menggunung tapi kini semua bukan urusanku lagi.
“Saya
sudah katakan kalau saya memaafkan mas.
Dan sekarang saya sadar kalau mas Rangga pandai berdrama. Tentu saya sangat
kasian pada Wanda, hidup dengan seorang ayah penuh drama. “
“Aku
berusaha memperbaiki semuanya. ingin kembali hidup denganmu”
“Apa
mas berani bicara semua itu pada ayah. Berani kah mas mengatakan pada ayah
kalau di antara pernikahan kita ada wanita lain yang mas nikahi secara siri. ?”
“Sudah
Prita.. “ mas Rangga seperti menginginkan aku agar tidak bicara keras supaya
tidak terdengar oleh ayah. Aku pun mengerti, aku juga tidak ingin mengatakan
ini pada ayah. Aku hanya akan membuktikan kebenaran pada saatnya aku terlihat
dengan sendirinya.
“Sudah
Prita, stop. Saya akan merubah semuanya. saya sudah menceraikan Anggun karena
dia hanya mau harta saya. Saya hanya ingin kembali kepada kamu, mencintai
dengan sepenuh hati saya. “
“Tapi
mas juga sadar kan, kalau harta tidak bisa menyembuhkan rasa bersalah dan
menyelamatkan diri mas dari kedustaan ?” kalimatku menohok. Mata mas Rangga
memerah, dan satu bulir air mata jatuh. Aku tersenyum kecut, bisa juga
laki-laki kaya ini menangis. Hatiku tak tergerak untuk itu. Sudah lebih banyak
air mata yang kutumpahkan untuk keculasannya. Airmata sakitku dan airmata
cintaku pada mas Panji yang pupus. Aku
mendesah tanpa sadar.
“Akan
ada Anggun-Anggun yang lain dalam kehidupan mas Rangga.”
“Tidak,
Prita saya janji.”
“Saya
tetap tidak bisa, mas. Maafkan saya.” Penolakan tegasku.
“Kita
sudah saling memaafkan, tapi tidak perlu memaksakan hati kita untuk mendiami
satu tempat dengan perasaan asing satu sama lain.” Mas Rangga masih terdiam.
“Seharusnya
mas tidak perlu menyusul saya ke sini.” tanpa kulihat lagi wajah mas Rangga,
kutinggalkan dia yang sedang bengong dan berpikir, ini lah saatnya dia berpikir
tentang dirinya, saatnya dia merenungkan bahwa apa yang disembunyikan akan
terungkap.
Mas
Rangga sudah mengakui kesalahannya, Tapi apakah dia berani mengakui di depan
ayah kalau mas Rangga lebih dulu mengkhianatiku. Aku yakin dia tidak akan
pernah berani mengakui itu. Sekarang aku sudah masa bodoh dengan semuanya, aku
sudah lega ayah sudah memaafkan aku, aku tidak perlu kata-kata lain selain
sikap ayah yang sudah seperti dulu.
Seharian
ku ajak mereka keliling Surabaya, makan rujak cingur kesukaan ayah. Wanda pun
senang sekali saat kuajak minum ice cream Zangrandi. Saat ini aku lah yang
berdrama, berpura-pura baik di depan mas Rangga agar ayah hatinya senang dan
lega. Bukan kah ayah sudah pernah menerima drama hebat dari mas Rangga. Kini
saatnya aku yang berdrama, mas Rangga yang telah mengajariku. Ternyata berdrama
itu tidak sulit, pantas lah kalau mas Rangga melakukannya padaku. Ayah juga kubawa
ke masjid AL Akbar, masjid agung di kota Surabaya. Aku berharap hati ayah
terbuka memahami siapa dan bagaimana ibadah anaknya. Berharap ayah percaya aku
bukan seperti yang dituduhkan mas Rangga. Sujudku terpenuhi oleh ucapan syukur
tiada henti.
∞∞
Di
Bandara Juanda ayah berusaha membujukku untuk kembali rujuk dengan mas Rangga, mata ayah berkaca seperti
memohon, kali ini bukan aku tidak berbakti tidak menuruti keinginan ayah. Dulu
aku pernah berbakti, sekarang aku sudah cukup dengan sakitku. Aku akan memilih
kehidupanku sendiri dan tidak ingin terjerumus ke dalam lubang yang sama,
keledai bodoh pun tidak akan melakukan itu. Kupeluk erat tubuh ayah, kubisikkan
kalimatku.
“Maafkan
Prita, ayah, saat ini Prita masih butuh
waktu untuk menenangkan diri.” Kucium tangan ayah berkali-kali. Kelegaan ini
mengharukan karena ayah benar-benar sudah memaafkanku. Ayah mengusap-usap
kepalaku. Ayah yang telah melarangku datang menjumpainya kini sudah mengelus
kepalaku lagi. Aku menjadi seperti anak kecil yang dibelai ayahnya.
Perdamaian
hati dengan ayah sangat menyejukkan, tangan ayah seperti air es yang mengguyur
kepalaku yang sedang panas. Es itu mengeringkan lukaku, tapi tidak mencairkan
kebekuan hatiku untuk kembali kepada mas Rangga. Juga tidak berminat lagi
menjelaskan sebuah kebenaran. Semua telah lewat, kalau sosokku pun tetap
dianggap buruk pernah menorah noda dan luka di hati ayah, biar lah waktu yang
menggerakkan semuanya suatu saat aka nada kejelasaan.
“Jaga
dirimu baik-baik ya, nak”
“Iya
ayah.”
Meski
hati ini sangat perih aku melepas Wanda dari pelukanku, anak itu sangat
berharap bersamaku lagi, apa mau dikata, aku tak sanggup melakukan itu. Sekali
pun biasa aku ditinggalkan orang-orang yang kucintai, tak mampu aku menghalau
perihku.
“Aku
sangat mengharapkanmu.” Bisik mas Rangga meyakinkanku saat mengambil tangan
Wanda dari genggaman tanganku.
“Datanglah
demi aku dan anak kita “ kata mas Rangga sambil mencium pipi Wanda yang berada
di pelukannya, matanya melirik dan melontarkan senyum halus seakan merayuku.
Aku tersenyum mengambang. Senyum kepastian yang dapat menjawab harapan mas Rangga agar tidak berharap banyak pada
kembaliku.
Permintaan
mas Rangga, permintaan Ayah dan permintaan Wanda semua sama memintaku kembali
ke Jakarta hidup bersama lagi. Dan semua sama kutolak dengan kemantapan hati.
Semua hanya mampu melihat hidupku, mereka tidak pernah meresapi hatiku. Diriku
sendiri lah pemilik hati yang sesungguhnya, mampu menawarkan kepahitan,
mengguyurkan madu kehidupan untuk menghilangkan rasa pahit itu.
Aku
akan menyembuhkan diri dari kesakitan seperti saat allamanda yang berserakan.
Mungkin allamanda yang ditendang berserakan hanya sedikit melukaiku, tapi
tuduhan perselingkuhan, perzinaan dan
kedatangan wanita lain di rumahku itu serta cara mas Rangga mengusirku, membuat
hatiku lebih berserakan dari allamanda.
Juga
fitnah yang disampaikan kepada ayah dan ibuku yang membuat aku terbuang dari
mereka. Itu semua tidak mungkin membuatku tidak merasakan sakit. Untuk itu aku
bersikeras tidak ingin kembali lagi padanya. Aku harus benar-benar sembuh dari
luka itu.
Aku
sudah memahami wajah asli mantan suamiku. Bermuka baik bukan berarti baik
seluruhnya. Perselingkuhan yang ditutupinya yang menjerat aku kedalam tuduhan kenistaan. Tidak mungkin aku
kembali lagi pada laki-laki seperti itu. Semua perlakuan mas Rangga sudah
membentuk aku menjadi wanita kuat. Tidak perlu menjelaskan diri menjadi manusia
bermartabat, karena martabat itu muncul dari perilaku kita yang sebenarnya,
bukan cara kita menutupi keadaan yang sebenarnya. Dan aku kini memiliki
penilaian tersendiri terhadap mantan suamiku apakah martabatnya aurum atau
argon biar kusimpan dalam dadaku.
Kini
aku menertawakan rasa sakit yang pernah kunikmati dan kutangisi. Dibodohi itu perlu untuk berusaha menjadi lebih
pandai. Aku sudah pandai mengambil sikap untuk membalas luka dengan kekecewaan.
Walau pun itu bukan niatku. Mas Rangga kaya harta, tapi aku tidak pernah
memperhitungkan kekayaan, rasa lega dan
bahagia itulah yang membuat aku merasa sangat kaya. Arti mas Rangga bagiku
adalah telah memberi aku kesempurnaan diriku sebagai wanita dan ibu karena bisa
melahirkan anak di dunia ini. Aku sudah sampai pada kata terakhir dengan mas
Rangga yang kuakhiri dengan tanda titik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar