Sabtu, 21 Agustus 2021

ALLAMANDA BERSERAK BAGIAN V

 

 

BAGIAN V

HATIKU BERSERAK

 

Dua bulan lebih allamanda berkembang dengan baik, pucuk dan cabangnya bergerak ke dinding rangka besi yang kutancapkan untuk pertumbuhannya, tanaman hasil stek ini, bunganya semakin banyak bermunculan seiring dengan nada riang di gerak nadiku. Aku mulai mengukir rasa bahagia menikmati hidupku. Setiap pagi dan sore selalu kuamati satu persatu allamandaku. Aku tetap tidak pernah bicara pada mas Rangga kalau tanaman allamanda kiriman Esty mematuhi pesan Esty. Mas Rangga pun seperti ikut menikmati, kalau aku sedang mengamati bunga mas Rangga mendekati dan ikut memandangi bunga-bunga dengan wajah ceria. Seringkali tangannya terulur mengelus kepalaku.

 

Aku merasakan dua tahun terakhir ini sejak anakku lahir,  mas Rangga sangat memperhatikan dan memanjakan aku. Apa dia sudah mulai mencintaiku. Berbagai hadiah dan oleh-oleh dari perjalanannya ke luar negeri dihujankan padaku. Dalam hati aku bertanya apa ini perjalanan hidupku kalau mas Rangga dapat menggantikan mas Panji di hatiku ? entah lah .. kuterima takdir untukku.

*

 

Hingga suatu sore, aku baru pulang kerja,  sampai rumah jam 5 sore. Sebuah mobil baru dan mewah terparkir di halaman rumah. Mobil belum berplat nomor polisi. Apa mas Rangga beli mobil itu ? Untuk apa mas Rangga beli mobil lagi sementara mobilnya masih bagus.  Belum sempat bertanya mas Rangga sudah berdiri di depan pintu.

 

“Itu mobil bukan untukmu.” Katanya setengah membentak saat melihat aku mengamati mobil Pajero Sport terbaru berwarna hitam.  Aku sangat terkejut mendengar nada suaranya. 4 tahun aku menikah dengan mas Rangga baru kali ini mas Rangga membentakku. Aku tidak mengerti apa yang terjadi sehingga mas Rangga bersikap seperti itu. Tanganku sedikit bergetar.

“Iya mas “ jawabku pelan.

“Jadi tahu kan?”

“Saya tahu. Saya juga tidak memerlukan itu.” Jawabku masih dengan suara lembut dan halus.

“Sombong kamu sekarang. Kamu bisa sombong setelah berhubungan lagi dengan mantan pacarmu.” Keras suaranya menghantam telinga. Aku tambah terkejut.

“Maksud mas apa?”

“Tidak usah pura-pura bodoh.”

“Benar saya tidak mengerti maksud, mas“  kataku sambil melangkah untuk masuk ke rumah. 

 

Mas Rangga menghalangi pintu dan mencekal keras lenganku. Kulihat raut wajahnya, ini benar bukan wajah suamiku yang biasanya. Kita selalu berkomitmen untuk saling mengormati satu sama lain, berbicara halus dan bersikap saling menghargai. Tapi kali ini, aku kehilangan sikap mas Rangga seperti biasanya.

 

“Aku sudah lihat di web BUMN yang mengadakan diklat di Bali, ketuanya Panji dan kamu bertemu dengannya. Benar bukan?” tanya mas Rangga dengan suara keras.

“Iya benar, mas, tapi tidak ada apa-apa antara aku dan mas Panji. Murni aku melaksanakan tugas dari kantor”

“Tidak mungkin.” Suaranya semakin meninggi. Aku semakin kebingungan dengan sikap mas Rangga.

“Kita bisa bicara baik-baik di dalam rumah. “ aku mengajak mas Rangga masuk ke rumah.

“Di sini atau di dalam rumah sama saja. Kamu tidak menghargai pengorbananku untuk kamu “ Teriak mas Rangga sangat keras dengan mata nanar dan amarah yang meradang.

“Pengorbanan mas apa yang tidak aku hargai?”

“Kamu beselingkuh, berkhianat dan berzina.”

“Astagfirullah, Itu tidak benar, mas. Mas jangan menuduhku senista itu.”

“Kamu berkhianat.”

“Aku tidak pernah mengkhianati, mas.”

“Omong kosong”

“Percaya lah mas.”

“Aku tetap tidak percaya “ mas Rangga mengibaskan lenganku yang dicekalnya, dia berjalan mendekati pot-pot tanaman allamandaku.

 

Pot-pot allamanda satu persatu ditendang mas Rangga dengan kakinya, allamandaku berserakan. Hatiku pun berserakan,  sakit tak terperi. Pertumbuhan bunga yang indah itu harus tercampak. Potnya berhamburan dan satu lagi yang kuning itu dicabut oleh mas Rangga dilempar bersama ke akar-akarnya. Aku mulai menjerit. Apa mas Rangga tahu kalau itu bunga kenanganku dengan mas Panji, padahal aku tidak pernah bercerita tentang masa laluku bersama mas Panji.  Ini mungkin salahku, dosaku telah menanam lagi bunga itu, aku seperti tidak menghargai suamiku,  aku memang belum jujur kalau Esty sahabatku yang membelikan bunga-bunga itu. Kenapa mas Rangga jadi semarah itu pada tumbuhan yang tidak bersalah.

 

Susah payah aku merawatnya, batangnya mulai meninggi dan aku bahagia tapi mas Rangga menghancurkannya tanpa ampun, kenapa hanya bunganya, tidak tubuhku saja yang ditendang biar rasa sakit ini pun sempurna mengenai fisik dan hatiku.

 

Hari menjelang maghrib. Mas Rangga meninggalkanku, masuk ke dalam rumah.  aku masih memunguti allamanda yang berserakan, airmata mengucur membasahi wajahku, baru kali ini suamiku membuat aku menangis dengan perilaku kasarnya.

 

Benar ini bunga-bunga kenanganku dengan mas Panji, tapi ini dari Esty. Esty bermaksud menghiburku, menyenangkanku dengan cara indahnya sebagai seorang sahabat. Kenapa suamiku menghancurkannya. Apa masalahnya. Kalau toh ini bunga kenanganku dengan mas Panji bukan berarti dia berhak menghancurkannya. Tidak  ada hubungannya dengan mas Panji, saat ini aku hanya hidup dengan suamiku dan Wanda anak tunggalku. Apakah mas Rangga tidak berpikir itu. Aku pun tidak melakukan perbuatan nista dan mengkhianati mas Rangga.

 

Setelah mandi aku sholat maghrib dan menghabiskan tangisku di atas sajadah. Sakit yang tak terperi ini kuserahkan pada Allah. Juga tuduhan keji yang dilontarkan mas Rangga kepadaku. Sedikit pun mas Rangga tidak berpikir jernih, paling tidak dia berpikir tentang hijabku  yang pasti mehanan aku menahan aku untuk berbuat tidak senonoh. Betapa hinanya aku di matanya. Siapa yang selingkuh, siapa yang berzina. Mas Rangga telah menuduhku berzina. Tuduhan keji dan tak berperikemanusiaan.

 

 

Orang yang melayangkan tuduhan keji itu terlaknat di dunia dan di akhirat serta akan mendapatkan siksa yang pedih. Aku ingat Firman Allah ; “Sesungguhnya orang-orang yang menuduh (berbuat zina) kepada wanita yang baik-baik, yang lengah (tidak melakukan perzinaan-pen), lagi beriman, mereka kena laknat di dunia dan akhirat, dan bagi mereka azab yang besar…” (Q.S An-Nûr23-25)

 

*

 

Malam semakin larut, aku masih menangis merenungi nasibku, mas Rangga berpindah kamar tidur. Aku mencoba untuk memahaminya. Mungkin dia sedang sangat marah padaku. Aku buka ponselku mencari-cari pesan dari mas Panji di ponselku. Membaca lagi pesan dari mas Panji. Tidak ada yang istimewa. Terakhir dia hanya mengatakan menungguku di lobbi hotel. Jika mas Rangga meneliti dan membuka ponselku apa kalimat ini yang telah membuatnya meradang dan mengira aku telah melakukan hal yang tak senonoh.

 

Mungkin aku yang salah tidak segera menghapus pesan itu. Aku tidak pernah menjadikan segala sesuatu sebagai beban kebohongan. Tujuanku selalu baik dan tidak pernah berniat berbuat tidak baik.

 

Andai aku bisa menjelaskan pada mas Rangga, kalau aku hanya berjalan berdua di pantai Seminyak tanpa berbuat nista, bahkan tubuh kami pun berjarak, tidak ada yang kusampaikan tentang kehidupan pribadiku. Aku memang salah jalan berdua dengan mas Panji, tapi itu hanya meluruskan hati dan membetulkan semua kesalahan kami agar bisa saling memaafkan. Itu saja aku bisa menceritakannya dengan mudah pada mas Rangga, sayangnya kemarahan mas Rangga sudah tidak dapat ditolelir.

 

Empat tahun aku sangat menghargai mas Rangga sebagai suamiku. Pernikahan perjodohan memang membuat sikap dan isi hati berbatas. Ada benang merah yang menguatkan dalam menjalani pernikahan, saling menjaga hati satu sama lain. Dalam berbicara kami saling hati-hati. Aku memutuskan totalitas berbakti pada orang tuaku dan suamiku.

 

Aku tidak ingin berperilaku melenceng dari tanggungjawab sebagai isteri dan sebagai ibu dari anakku. Kalau mas Rangga yang sakit aku menemaninya berobat, tapi kalau aku yang sakit aku berusaha menyembunyikan dari mas Rangga. Selalu kujaga hati mas Rangga agar tidak resah karena aku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar