BAGIAN V
HATIKU BERSERAK
Dua bulan lebih allamanda berkembang
dengan baik, pucuk dan cabangnya bergerak ke dinding rangka besi yang kutancapkan
untuk pertumbuhannya, tanaman hasil stek ini, bunganya semakin banyak
bermunculan seiring dengan nada riang di gerak nadiku. Aku mulai mengukir rasa
bahagia menikmati hidupku. Setiap pagi dan sore selalu kuamati satu persatu
allamandaku. Aku tetap tidak pernah bicara pada mas Rangga kalau tanaman
allamanda kiriman Esty mematuhi pesan Esty. Mas Rangga pun seperti ikut
menikmati, kalau aku sedang mengamati bunga mas Rangga mendekati dan ikut
memandangi bunga-bunga dengan wajah ceria. Seringkali tangannya terulur
mengelus kepalaku.
Aku merasakan dua tahun terakhir ini sejak
anakku lahir, mas Rangga sangat
memperhatikan dan memanjakan aku. Apa dia sudah mulai mencintaiku. Berbagai
hadiah dan oleh-oleh dari perjalanannya ke luar negeri dihujankan padaku. Dalam
hati aku bertanya apa ini perjalanan hidupku kalau mas Rangga dapat
menggantikan mas Panji di hatiku ? entah lah .. kuterima takdir untukku.
*
Hingga suatu sore, aku baru pulang
kerja, sampai rumah jam 5 sore. Sebuah
mobil baru dan mewah terparkir di halaman rumah. Mobil belum berplat nomor
polisi. Apa mas Rangga beli mobil itu ? Untuk apa mas Rangga beli mobil lagi
sementara mobilnya masih bagus. Belum
sempat bertanya mas Rangga sudah berdiri di depan pintu.
“Itu mobil bukan untukmu.” Katanya
setengah membentak saat melihat aku mengamati mobil Pajero Sport terbaru
berwarna hitam. Aku sangat terkejut
mendengar nada suaranya. 4 tahun aku menikah dengan mas Rangga baru kali ini
mas Rangga membentakku. Aku tidak mengerti apa yang terjadi sehingga mas Rangga
bersikap seperti itu. Tanganku sedikit bergetar.
“Iya mas “ jawabku pelan.
“Jadi tahu kan?”
“Saya tahu. Saya juga tidak memerlukan
itu.” Jawabku masih dengan suara lembut dan halus.
“Sombong kamu sekarang. Kamu bisa sombong
setelah berhubungan lagi dengan mantan pacarmu.” Keras suaranya menghantam
telinga. Aku tambah terkejut.
“Maksud mas apa?”
“Tidak usah pura-pura bodoh.”
“Benar saya tidak mengerti maksud,
mas“ kataku sambil melangkah untuk masuk
ke rumah.
Mas Rangga menghalangi pintu dan mencekal
keras lenganku. Kulihat raut wajahnya, ini benar bukan wajah suamiku yang
biasanya. Kita selalu berkomitmen untuk saling mengormati satu sama lain,
berbicara halus dan bersikap saling menghargai. Tapi kali ini, aku kehilangan
sikap mas Rangga seperti biasanya.
“Aku sudah lihat di web BUMN yang
mengadakan diklat di Bali, ketuanya Panji dan kamu bertemu dengannya. Benar
bukan?” tanya mas Rangga dengan suara keras.
“Iya benar, mas, tapi tidak ada apa-apa
antara aku dan mas Panji. Murni aku melaksanakan tugas dari kantor”
“Tidak mungkin.” Suaranya semakin
meninggi. Aku semakin kebingungan dengan sikap mas Rangga.
“Kita bisa bicara baik-baik di dalam
rumah. “ aku mengajak mas Rangga masuk ke rumah.
“Di sini atau di dalam rumah sama saja.
Kamu tidak menghargai pengorbananku untuk kamu “ Teriak mas Rangga sangat keras
dengan mata nanar dan amarah yang meradang.
“Pengorbanan mas apa yang tidak aku
hargai?”
“Kamu beselingkuh, berkhianat dan
berzina.”
“Astagfirullah, Itu tidak benar, mas. Mas
jangan menuduhku senista itu.”
“Kamu berkhianat.”
“Aku tidak pernah mengkhianati, mas.”
“Omong kosong”
“Percaya lah mas.”
“Aku tetap tidak percaya “ mas Rangga
mengibaskan lenganku yang dicekalnya, dia berjalan mendekati pot-pot tanaman
allamandaku.
Pot-pot allamanda satu persatu ditendang mas
Rangga dengan kakinya, allamandaku berserakan. Hatiku pun berserakan, sakit tak terperi. Pertumbuhan bunga yang
indah itu harus tercampak. Potnya berhamburan dan satu lagi yang kuning itu
dicabut oleh mas Rangga dilempar bersama ke akar-akarnya. Aku mulai menjerit.
Apa mas Rangga tahu kalau itu bunga kenanganku dengan mas Panji, padahal aku
tidak pernah bercerita tentang masa laluku bersama mas Panji. Ini mungkin salahku, dosaku telah menanam
lagi bunga itu, aku seperti tidak menghargai suamiku, aku memang belum jujur kalau Esty sahabatku
yang membelikan bunga-bunga itu. Kenapa mas Rangga jadi semarah itu pada
tumbuhan yang tidak bersalah.
Susah payah aku merawatnya, batangnya
mulai meninggi dan aku bahagia tapi mas Rangga menghancurkannya tanpa ampun,
kenapa hanya bunganya, tidak tubuhku saja yang ditendang biar rasa sakit ini
pun sempurna mengenai fisik dan hatiku.
Hari menjelang maghrib. Mas Rangga
meninggalkanku, masuk ke dalam rumah.
aku masih memunguti allamanda yang berserakan, airmata mengucur
membasahi wajahku, baru kali ini suamiku membuat aku menangis dengan perilaku
kasarnya.
Benar ini bunga-bunga kenanganku dengan
mas Panji, tapi ini dari Esty. Esty bermaksud menghiburku, menyenangkanku dengan
cara indahnya sebagai seorang sahabat. Kenapa suamiku menghancurkannya. Apa
masalahnya. Kalau toh ini bunga kenanganku dengan mas Panji bukan berarti dia
berhak menghancurkannya. Tidak ada
hubungannya dengan mas Panji, saat ini aku hanya hidup dengan suamiku dan Wanda
anak tunggalku. Apakah mas Rangga tidak berpikir itu. Aku pun tidak melakukan
perbuatan nista dan mengkhianati mas Rangga.
Setelah mandi aku sholat maghrib dan
menghabiskan tangisku di atas sajadah. Sakit yang tak terperi ini kuserahkan pada
Allah. Juga tuduhan keji yang dilontarkan mas Rangga kepadaku. Sedikit pun mas
Rangga tidak berpikir jernih, paling tidak dia berpikir tentang hijabku yang pasti mehanan aku menahan aku untuk
berbuat tidak senonoh. Betapa hinanya aku di matanya. Siapa yang selingkuh,
siapa yang berzina. Mas Rangga telah menuduhku berzina. Tuduhan keji dan tak
berperikemanusiaan.
Orang yang melayangkan tuduhan keji itu
terlaknat di dunia dan di akhirat serta akan mendapatkan siksa yang pedih. Aku
ingat Firman Allah ; “Sesungguhnya orang-orang yang menuduh (berbuat zina)
kepada wanita yang baik-baik, yang lengah (tidak melakukan perzinaan-pen), lagi
beriman, mereka kena laknat di dunia dan akhirat, dan bagi mereka azab yang
besar…” (Q.S An-Nûr23-25)
*
Malam semakin larut, aku masih menangis
merenungi nasibku, mas Rangga berpindah kamar tidur. Aku mencoba untuk
memahaminya. Mungkin dia sedang sangat marah padaku. Aku buka ponselku
mencari-cari pesan dari mas Panji di ponselku. Membaca lagi pesan dari mas Panji.
Tidak ada yang istimewa. Terakhir dia hanya mengatakan menungguku di lobbi
hotel. Jika mas Rangga meneliti dan membuka ponselku apa kalimat ini yang telah
membuatnya meradang dan mengira aku telah melakukan hal yang tak senonoh.
Mungkin aku yang salah tidak segera
menghapus pesan itu. Aku tidak pernah menjadikan segala sesuatu sebagai beban
kebohongan. Tujuanku selalu baik dan tidak pernah berniat berbuat tidak baik.
Andai aku bisa menjelaskan pada mas
Rangga, kalau aku hanya berjalan berdua di pantai Seminyak tanpa berbuat nista,
bahkan tubuh kami pun berjarak, tidak ada yang kusampaikan tentang kehidupan
pribadiku. Aku memang salah jalan berdua dengan mas Panji, tapi itu hanya
meluruskan hati dan membetulkan semua kesalahan kami agar bisa saling memaafkan.
Itu saja aku bisa menceritakannya dengan mudah pada mas Rangga, sayangnya
kemarahan mas Rangga sudah tidak dapat ditolelir.
Empat tahun aku sangat menghargai mas
Rangga sebagai suamiku. Pernikahan perjodohan memang membuat sikap dan isi hati
berbatas. Ada benang merah yang menguatkan dalam menjalani pernikahan, saling
menjaga hati satu sama lain. Dalam berbicara kami saling hati-hati. Aku
memutuskan totalitas berbakti pada orang tuaku dan suamiku.
Aku tidak ingin berperilaku melenceng dari
tanggungjawab sebagai isteri dan sebagai ibu dari anakku. Kalau mas Rangga yang
sakit aku menemaninya berobat, tapi kalau aku yang sakit aku berusaha
menyembunyikan dari mas Rangga. Selalu kujaga hati mas Rangga agar tidak resah
karena aku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar