BAGIAN IX
NALURI YANG TERKENDALI
Pagi
hadir bersama mentari, sinarnya masuk
melalui jendela kamarku. Aku berdiri di depan jendela, kuraba-raba kaca jendela
apartemen dengan tanganku, hati ini terasa teriris. Rindu pada Wanda sangat
sulit kukendalikan, aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi, tidak mungkin masuk ke
rumah mas Rangga walau pun itu harta gono gini. Aku yang mendisain rumah mewah
itu, sekarang perempuan lain yang menempati.
Aku
harus mengendalikan naluriku sebagai seorang ibu yang sangat merindukan
anaknya, aku mengalah untuk kemenangan keegoisan mas Rangga. Tidak ada yang
kusesali meski kutangisi. Sudah beberapa bulan aku merasakan semua ini. Aku
tidak tahu apa kah ayah dan ibuku tahu kalau aku sudah meninggalkan rumah mas
Rangga dan perempuan bernama Anggun telah hidup bersama mas Rangga sebelum masa
iddahku selesai.
Dalam
kondisi sendiri seperti ini pun aku
tidak ingin menghubungi mas Panji, tak kubayangkan bagaimana keadaan mas Panji
yang sedang sakit. Aku hanya bisa berdoa dan berdoa demi kesehatan mas Panji.
Aku
masih merenung dibalik kaca jendela apartemenku hingga matahari semakin
meninggi. Aku merenung untuk merencanakan kehidupan yang lebih baik untukku.
Ayah sudah melarangku datang ke rumahnya. Lama tidak ketemu ibu hatiku sangat
sedih, biasanya aku datang tiap bulan membawakan masakan untuk ayah dan ibu.
Sekarang kesempatan itu tidak ada lagi. Aku sudah terbuang dari kepercayaan
orang tuaku. Betapa hebat skenario mas Rangga menghancurkan hidupku.
Ponselku
berdering, Esty yang menelpon aku pagi-pagi begini.
"Prita.
Kita main ke ancol yuk"
"Ke
ancol? Ngapain ke Ancol, Sabtu begini pasti ramai.”
"Kita
mojok lah dari keramaian. Makan di resto dekat pantai kita ngobrol ngobrol
sambil menghibur pikiranmu yang lagi suntuk"
"Ya
tapi ga harus ke Ancol lah. Aku malas keluar"
"Udah
lah, Prita.. Ada berita bagus nih. Aku
tunggu di sana yah. Kamu segera berangkat"
"Yaudah
aku mandi dulu.. "
"Ih
kamu belum mandi?"
"Yah
ga harus mandi pagi-pagi kan sekarang ga
ada yg protes aku mandi atau enggak.. " Aku tergelak. Sudah lama aku tidak tertawa lepas. Kali ini aku mulai tertawa, aku harus ceria
menghadapi hidupku yang pahit.
"Iya
deh yang hidup bebas.. aku tunggu yah. Nanti kabarin kalau udah berangkat.”
“Siap,
bos” Esty tertawa
dan menutup teleponnya,
*
Esty
menunggu di sebuah Resto Western yang agak jauh dari keramaian. Tak
berapa lama Esti datang.
“Kamu
sudah pesan makanan ?”
“Belum..
aku menunggu kamu”
“Hai
kamu tahu gak berapa lama hubungan Rangga dengan Anggun sebelum perempuan itu
diperkenalkan sama kamu?”
“Enggak,
aku aku sudah bilang kalau aku belum sempat bertanya.”
“Itulah,
kamu.. lugu banget sih”
“iya
aku salah”
Cerita
Esty aktif mempengaruhi pikiranku. Aku mengacungkan ibu jari untuk kerja keras
Esty menyelidiki hubungan mas Rangga dan Anggun. Dikhianati bukan cinta tidak
akan sesakit dikhianati cinta. Seberapa jauh aku setia aku tetap terkhianati,
terfitnah dan terdzalimi. Apa yang bisa kuprotes dari hati dan niat buruk orang
lain, itu haknya, kalau kebersamaan harus terhenti karena hati dan pikiran
tidak selaras lagi, aku lapang hati karena aku yakin mas Rangga bukan terbaik
untukku.
“Aku
ingin bezuk mas Panji” kataku tiba-tiba. Setelah lama kami terdiam dalam hening
pikiran masing-masing.
“Haahh..
serius?”
“Iya
serius, kamu mau menemani aku, kan ?”
”Oh
pasti.. kapan ? “ tanya Esty, wajahnya bersemangat, malah dia yang menggebu
ingin segera membezuk mas Panji.
“Secepatnya
lah” aku meyakinkan Esty.
“Hai..
hohoo. Besok pagi ya, aku sekarang mau beli tiket nih. “
“Boleh.
“ Esty langsung sibuk dengan ponselnya
mencari tiket pesawat Jakarta-Surabaya. Bersahabat dengan Esty tidak
pernah membuatku repot memperhitungkan uang. Kami selalu membayar apa saja yang
kami beli saling berganti. Tidak ada perhitungan hutang-hutangan. Sejak SMP
kami saling berbagi. Esty sangat kaya, gaji suaminya dalam mata uang US dollar
cukup untuk memanjakan keinginannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar