Sabtu, 21 Agustus 2021

ALLAMANDA BERSERAK BAGIAN IX

 

BAGIAN IX

NALURI YANG TERKENDALI

 

 

Pagi hadir bersama mentari, sinarnya  masuk melalui jendela kamarku. Aku berdiri di depan jendela, kuraba-raba kaca jendela apartemen dengan tanganku, hati ini terasa teriris. Rindu pada Wanda sangat sulit kukendalikan, aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi, tidak mungkin masuk ke rumah mas Rangga walau pun itu harta gono gini. Aku yang mendisain rumah mewah itu, sekarang perempuan lain yang menempati.

 

 

Aku harus mengendalikan naluriku sebagai seorang ibu yang sangat merindukan anaknya, aku mengalah untuk kemenangan keegoisan mas Rangga. Tidak ada yang kusesali meski kutangisi. Sudah beberapa bulan aku merasakan semua ini. Aku tidak tahu apa kah ayah dan ibuku tahu kalau aku sudah meninggalkan rumah mas Rangga dan perempuan bernama Anggun telah hidup bersama mas Rangga sebelum masa iddahku selesai.

 

 

Dalam kondisi sendiri seperti  ini pun aku tidak ingin menghubungi mas Panji, tak kubayangkan bagaimana keadaan mas Panji yang sedang sakit. Aku hanya bisa berdoa dan berdoa demi kesehatan mas Panji.

 

Aku masih merenung dibalik kaca jendela apartemenku hingga matahari semakin meninggi. Aku merenung untuk merencanakan kehidupan yang lebih baik untukku. Ayah sudah melarangku datang ke rumahnya. Lama tidak ketemu ibu hatiku sangat sedih, biasanya aku datang tiap bulan membawakan masakan untuk ayah dan ibu. Sekarang kesempatan itu tidak ada lagi. Aku sudah terbuang dari kepercayaan orang tuaku. Betapa hebat skenario mas Rangga menghancurkan hidupku.

 

Ponselku berdering, Esty yang menelpon aku pagi-pagi begini.

"Prita. Kita main ke ancol yuk"

"Ke ancol? Ngapain ke Ancol, Sabtu begini pasti ramai.”

"Kita mojok lah dari keramaian. Makan di resto dekat pantai kita ngobrol ngobrol sambil menghibur pikiranmu yang lagi suntuk"

"Ya tapi ga harus ke Ancol lah. Aku malas keluar"

"Udah lah, Prita.. Ada berita bagus nih.  Aku tunggu di sana yah. Kamu segera berangkat"

"Yaudah aku mandi dulu.. "

"Ih kamu belum mandi?"

"Yah ga harus mandi pagi-pagi  kan sekarang ga ada yg protes aku mandi atau enggak.. " Aku tergelak. Sudah lama aku tidak tertawa lepas.  Kali ini aku mulai tertawa, aku harus ceria menghadapi hidupku yang pahit.

"Iya deh yang hidup bebas.. aku tunggu yah. Nanti kabarin kalau udah berangkat.”

“Siap, bos” Esty tertawa dan menutup teleponnya,

 

*

 

Esty menunggu di sebuah Resto Western yang agak jauh dari keramaian. Tak berapa lama Esti datang.

“Kamu sudah pesan makanan ?”

“Belum.. aku menunggu kamu”

“Hai kamu tahu gak berapa lama hubungan Rangga dengan Anggun sebelum perempuan itu diperkenalkan sama kamu?”

“Enggak, aku aku sudah bilang kalau aku belum sempat bertanya.”

“Itulah, kamu.. lugu banget sih”

“iya aku salah”

 

Cerita Esty aktif mempengaruhi pikiranku. Aku mengacungkan ibu jari untuk kerja keras Esty menyelidiki hubungan mas Rangga dan Anggun. Dikhianati bukan cinta tidak akan sesakit dikhianati cinta. Seberapa jauh aku setia aku tetap terkhianati, terfitnah dan terdzalimi. Apa yang bisa kuprotes dari hati dan niat buruk orang lain, itu haknya, kalau kebersamaan harus terhenti karena hati dan pikiran tidak selaras lagi, aku lapang hati karena aku yakin mas Rangga bukan terbaik untukku.

 

“Aku ingin bezuk mas Panji” kataku tiba-tiba. Setelah lama kami terdiam dalam hening pikiran masing-masing.

“Haahh.. serius?”

“Iya serius, kamu mau menemani aku, kan ?”

”Oh pasti.. kapan ? “ tanya Esty, wajahnya bersemangat, malah dia yang menggebu ingin segera membezuk mas Panji.

“Secepatnya lah” aku meyakinkan Esty.

“Hai.. hohoo. Besok pagi ya, aku sekarang mau beli tiket nih. “

“Boleh. “ Esty langsung sibuk dengan ponselnya  mencari tiket pesawat Jakarta-Surabaya. Bersahabat dengan Esty tidak pernah membuatku repot memperhitungkan uang. Kami selalu membayar apa saja yang kami beli saling berganti. Tidak ada perhitungan hutang-hutangan. Sejak SMP kami saling berbagi. Esty sangat kaya, gaji suaminya dalam mata uang US dollar cukup untuk memanjakan keinginannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar