Sabtu, 21 Agustus 2021

ALLAMANDA BERSERAK BAGIAN XIX, XX, XI DAN XXII (SELESAI)

 

BAGIAN XIX

MENGISI CATWALK LAGI

 

Selanjutnya goresan-goresan tangan menari-nari di atas kertas disainku. Aku ingin melupakan pak Arya. Sebulan ini aku menyelesaikan 5 rancangan yang siap launching. Keasyikan ini yang membuat hidupku terasa bermakna. Kudaftar proposalku ke sebuah EO yang akan menggelar life music jazz di hotel berbintang di Surabaya.  Aku menawarkan peragaan busana. Semuanya di setujui, untuk fashion show kali ini aku mengeluarkan 5 hasil rancangan baru dan rancangan oret-oretan sisa rancangan setelah mas Panji pergi meninggalku.

EO mencarikan model-model handal di Surabaya, aku juga meminta bantuan Mersi untuk menghubungi beberapa model yang pernah memperagakan disain pakaianku. Semua berjalan lancar dan banyak kemudahan.

 

 

“Mersi, ini launching disain saya yang perttama di kota Surabaya, bisa kah ibu minta waktumu untuk membantu ibu di sini. 1 minggu saja ibu butuh dukunganmu” kataku pada Mersi mantan asisten ku di Jakarta.

“Dengan senang hati,bu. Saya mau ambil cuti 1 minggu untuk membantu ibu” jawaban Mersi tanpa menawar. Mersi pun sangat riang. Aku bahagia Mersi bisa membantuku karena untuk urusan peragaan busana yang kulaunching Mersi sudah sangat tahu apa saja yang harus kupersiapkan.

Tema pakaian untuk fashionhow kali ini kuberi nama “Allamanda” oleh EO ditambah temanya dengan “Allamanda Prita”. Aku semakin bangga dan bersemangat. 

 

Gemerlap lampu hotel berbintang lima mendukung model-modelku yang melenggak-lenggok mengenakan hasil rancanganku.  

 

 

 

 

Perwira hati kedua telah bersama gadis pilihan orang tuanya. Ternyata aku telah salah memilih laki-laki keduaku, mereka tidak sama. Pak Arya tidak sama dengan mas Panji. Pak Arya kekar berhati lemah, pak Arya tidak punya hati yang kuat untuk melamarku. Sedangkan mas Panji berhati kuat bertubuh lemah hingga tidak berdaya tidak jadi melamarku dan menghadap Sang Khalik. Dua lelaki yang pernah singgah di hatiku tidak ada yang menguntungkanku. Hatiku meratap di antara deru ombak pantai Kenjeran. Aku sudah sampai pada titik nadir kekalahanku untuk mendapatkan cinta yang sesungguhnya. Derai airmata yang berjatuhan tak membuatku bisa memeluk cinta.

 

“hai Prita, apa kabar?” suara Esty di seberang sana

 

 

 

 

“Kamu nangis atau memang suaramu sedang serak, Prita?” pertanyaan Esty di seberang sana. Aku memang sedang menangis diiringi deru ombak pantai Kenjeran. Esty selalu pandai menebak hatiku. Di saat aku sedih begini dia menelponku.

“Aku gak apa-apa. Aku hanya Lelah aja semalam ada peragaan busana disainku.”

“Wah keren kamu sudah mulai berkarya lagi.

 

Setelah Esty menutup teleponnya aku terduduk lemas. Aku punya bahagia dari sebuah keberhasilan. Menjadi direktur sebuah perusahaan terkenal, menjadi disainer handal semua itu membuahkan angka-angka yang semakin banyak dalam rekening tabunganku. Aku tidak tahu untuk apa semua itu. Aku tetap duduk dalam cinta yang hampa. Harta dan kekayaan tidak menggerakkan hatiku untuk mengumbar rasa ke mana saja aku mau. Inilah kehidupanku.

 

Sendiri membiaskan sunyi yang menggigit. Aku bangun dari dudukku,  berjalan menuju laut lepas, sambil memainkan kaki di atas pasir. Entah apa yang ingin kutuju. Gerak kakiku semakin maju dan terus maju, hingga air laut tersentuh oleh kakiku. Aku tidak tahu lagi ke mana arah jalan ini. Air laut semakin tinggi membalut tubuhku, gelombang ombak ke arah pantai yang begitu keras seperti mengayun tubuhku. Ombak besar datang mengantam, handphone di tanganku lepas. Masih kulihat handphone mengambang di atas permukaan air laut, aku mencoba mengejarnya, ombak datang lagi menghantam tumbuhku lebih keras dan tubuhku masuk dalam kungkungan air, pernafasanku tersengal seluruh air menelan tubuhku. Aku tak kuasa melawan.

“Tolong… “ teriakku sambil menaikkan tanganku ke permukaan air, aku semakin tenggelam dan tak sanggup lagi berteriak. Hatiku masih bisa berucap

“Ayah, ibu, Wanda.. maafkan aku….. “ jika ini sudah waktuku aku  menyerah. Di dalam air aku seperti melayang dan terbang ke awan biru, awan itu lama-lama berubah menjadi pekat. Aku pasrah dalam kegelapan yang kurasakan.

 

∞∞

 

“Bunuh diri.. bunuh diri” suara orang-orang di sekitarku, dada dan perutku merasakan sakit karena ada yang menekan-nekan. Suara riuh itu membangunkanku. Kurasakan dadaku penuh air dan tertumpah dari mulutku. Tubuhku terkulai dengan nafas tersengal dan batuk yang menyesakkan.

 

Kubuka mataku, tubuhku terbujur di antara kerumunan orang-orang. Seorang bapak tua berjongkok di sisiku. Wajah bapak itu mengingatkan pada wajah ayahku. Aku hampir berteriak memanggil ayahku. Kuurungkan karena aku tersadar aku dalam kerumunan masa yang menolongku.

“bu sadar bu..!” kata bapak tua itu seolah ingin menyegarkan pikiranku.

“Saya di mana, pak?” tanyaku pelan.

“Ibu tadi tenggelam di laut sana.”

“Jadi bapak yang menolong saya ?”

“Iya bersama teman-teman ini. “ bapak tua itu menunjuk beberapa laki-laki yang mengerumuniku, beberapa orang berlalu meninggalkanku.

“Terima kasih pak “ kataku dengan suara serak.

 

Aku masih beruntung tas selempang yang kulilitkan di tubuhku tidak ikut hanyut terbawa ombak. Aku meraba isi tasku, dompet dan kunci mobil masih utuh, aku membuka risleting benda yang berada di dalamnya sedikit basah dari air yang masuk ke tasku. Tas anti air ini sangat menguntungkanku, karena melindungi benda-benda berharga di dalamnya. Aku bersyukur tidak ada yang mengambil kesempatan dari musibahku.

 

“Maaf, ada yang bisa menyetir mobil?”  kataku setelah kerumunan orang berkurang. Mereka pergi meninggalkanku satu persatu setelah aku sadar dan mulai biisa berbicara dengan lancar.

“Saya bisa, bu.” Kata bapak tua yang tadi menolongku.

“Bisa antar saya pulang ke rumah ?”

“Bisa, bu. Ibu mau pulang sekarang ?”

“Yuk kita bantu ibu ini ke mobil. “ beberapa orang memapahku, aku masuk ke jok belakang mobil dengan baju yang basah. Dua orang duduk di depan. Aku bersyukur banyak orang baik di kota besar Surabaya ini.

 

Kurenungi teriakan orang-orang yang tadi mengatakan aku bunuh diri. Aku tidak mungkin bunuh diri. Beberapa kejadian yang menyakitkan selalu kulewati dengan hati. Jika aku mau bunuh diri tentu sudah kulakukan sejak dulu. Sejak ayah dan ibu mengusirku, sejak mas Panji meninggalkanku dan gagal melamarku. Tidak. Aku masih percaya pada Tuhan sepenuhnya bahwa seluruh kehidupanku adalah scenario terbaikNya untukku.

 

Aku menjelaskan kepada kedua lelaki yang mengantarkanku kalau aku sama sekali tidak berniat bunuh diri atas kejadian naas yang menimpaku pada kedua bapak yang mengantarkan aku pulang ke rumah. Murni aku hanya mengejar hanphoneku yang terbawa ombak. Kedua bapak itu percaya padaku.

 

*

 

Jika aku tidak datang ke rumah ayah, bukan karena aku menuruti ego dan kekerasanku. Sekali pun orang tuaku sudah memaafkanku, aku tidak mau menghadirkan diriku sebelum orang tuaku benar-benar menganggap aku tidak bersalah dan tidak berlaku nista. Berat menjelaskan semuanya tanpa ada pencabutan kata dari mas Rangga. Mas Rangga tidak merehabilitasi namaku di depan ayah dan ibuku. Sekali pun ibu menangis menelponku meminta aku datang ke Jakarta hatiku tak tergerak untuk itu. Karena aku masih punya setempel nista, berselingkuh dan berzina. Ini fitnah terberat yang harus kulalui.

 

Hatiku sudah memaafkan, tapi apa mas Rangga memiliki kejujuran untuk mencabut tuduhannya dan mengatakan sebenarnya? Mas Rangga tidak berani melakukan itu. Ayah dan ibu hanya memaafkanku tidak melepaskan anggapan buruk tentang aku. Kubiarkan ini terjadi, jika kehidupan mas Rangga berakhir dengan simpanan dosa mas Rangga kepada ayah dan ibuku, aku akan membiarkan itu jadi urusan mas Rangga dengan Tuhannya.

 

Kocekku yang semakin tebal dari hasil penjualan karya-karyaku dan gaji direktur perusahan garment tempatku bekerja. Garment itu semakin maju, kuantitas produksinya semakin membumbung dan kualitasnya semakin banyak menarik  konsumen. Apa lagi yang kurang dari keberhasilanku ? aku ingin terus bisa bekerja dan bekerja. Hasilnya Tuhan yang akan menghujani aku dengan rezeki. Aku mulai berpikir ingin memanfaatkan hasil jerih payahku untuk kesenanganku sendiri. Saatnya aku memanjakan diriku dengan apa yang sudah kuraih.

 

 

Bukan aku ingin menyaingi mas Rangga kalau akhirnya aku bisa membeli rumah mewah dengan fasilitas lengkap di sebelah barat Surabaya. Rumah bergaya klasik yang kubeli dilengkapi dengan kolam renang dan arena fitness. Tak lupa aku membuat kamar besar untuk aku bekerja. Aku tidak memikirkan untuk apa rumah sebesar itu hanya kunikmati sendiri. Aku ingin menikmati hidup bahagia di rumah megah dan nyaman. Dulu aku pernah menikmati rumah mewah bersama mas Rangga dan anakku, sayangnya di rumah itu aku tidak merasakan bahagia bahkan menjadi korban fitnah yang menyakitkan.

 

Ayah dan ibu mau datang juga ke Surabaya. Ayah dan ibu berdecak kagum melihat rumahku. Setidaknya aku bangga dengan apa yang sudah kuraih dengan jerih payahku di antara kesakitan dan derasnya airmata. Mereka tidak tahu itu.

“Kamu luar biasa, Prita, perjuanganmu bisa menghasilkan seperti ini.” Kata ayah memujiku. Aku tersenyum mendengar pujian ayah.

“Kamu kaya raya dari hasil perjuanganmu sendiri, nak.” Ayah menambhkan kata-katanya.

“Terima kasih ayah. “ jawabku masih dengan senyum, pada hal batinku ingin mengatakan pada ayah “Untuk menjadi kaya tidak harus menikah dengan orang kaya”. Kusimpan kalimatku dalam hatiku sendiri. Aku tidak ingin menyakiti ayah karena aku sudah mendapat karunia kebahagiaan seperti ini.

“Rangga sudah bangkrut “ kata ibu menyela tanpa kumintai kabar tentang mas Rangga. Aku hanya menyungging sedkit senyum agar tak ada kesan menghina atas kejatuhan mas Rangga.

“Masih banyak simpanannya mungkin, bu” kataku menetralisir suasana.

“Ga ada, sudah habis, bahkan untuk biaya sekolah Wanda saja ibu yang membayar.” Aku terkejut sampai sejauh itu kejatuhan mas Rangga.

 

“Prita mau membiayai sekolah Wanda, biar lah Prita yang membiayai, bu. Jangan ibu. “

“Betul itu, nak?” tanya ibu seperti tak percaya. Aku mengangguk pasti.

 

 

 

 

 

 

 

BAGIAN XX

KEMENANGAN HATI

 

 

Bulan telah merubah tanggal, hari-hari baru mengganti hari kemarin, lusa dan hari-hari yang telah berlalu. Waktu terus berjalan. Kunikmati dengan kualitas diri. Kualitas diri menumbuhkan kekaguman.

 

Kesabaranku tak sis-sia, akhirnya mas Rangga mau memindahkan hak asuh Wanda kepadaku, kehidupan yang sudah sangat sulit bagi mas Rangga membuat mas Rangga menyerah. Tuhan telah menjawab doa-doaku. Aku tidak pernah berdoa buruk untuk mantan suamiku, karena bagaimana pun buruknya perlakuan mas Rangga kepadaku dia tetap bapak anakku,

 

Sebelum Wanda datang aku menyempatkan diri ke makam mas Panji. Sudah lama aku tidak berziarah ke makam mas Panji. Aku ingin mendoakan mas Panji dengan rasa syukur yang sekarang kunikmati. Mas Panji guru kebaikan untukku.

“Tenanglah di sana, mas. “ kata-kata yang kusampaikan diikuti dengan doaku. Kuusap pusaranya.

“Aku datang ke sini membuka kunci hati, hati yang terkunci dalam sepi. Kubuka kunci itu untuk mengunjungimu, semoga sepi ini sedikit memencar dan menghadirkan keceriaan. “ kalimatku meluncur begitu saja dalam suasana sunyi dan bicara sendiri. Lama aku terdiam di sana, kusebarkan petikan allamanda yang sudah hampir layu, allamanda bersetakan di atas makam mas Panji, sera yang kusengaja, allamanda yang kuserakan seolah menorehkan suatu lukisan asmara senja yang menggantung di langit sana.

“Kali ini aku tidak ingin menangis lagi. Sepedih apa pun kehilanganmu aku akan tetap ada. Aku tidak tahu kapan penggantimu akan datang, aku masih bisa setia di sini bersama kesucian cinta kita. Aku akan mengingat pesan-pesanmu sebagai quates yang kubukukan dalam hati dan jiwaku. “

“Orang-orang yang hadir dalam kehidupan kita dan mendzalimi kita itu kirimanNya.” Kuteguhkan hatiku untuk bisa memaafkan siapa pun juga yang pernah mendzalimiku. Aku yakin Allah juga yang akan menghentikannya.

Di dekat pusara mas Panji aku seperti menikmati rasa cinta yang sebenarnya. Walau sudah tiada rasa itu tetap membekas menggetarkan sanubari. Dulu aku selalu  berusaha membunuhnya. Kali ini aku tidak ingin mengungkap kepalsuan hati. Mengingatnya adalah suatu upaya mengisi pikiran. Aku merasakan bagian rinduku menyelinap dalam kisah sunyiku.

Aku tidak ingin menjelaskan sebuah kebenaran. Allah lah yang menjelaskan sebuah kebenaran dengan CaraNya, karena cara Allah lah yang terbaik. Aku sudah menikmati hidupku. Bekerja dan berkarya. Sementara ini aku memilih sendiri dalam kehidupanku. Mungkin sendiri lebih baik dari pada hidup dengan orang yang tidak mengerti kehidupanku. Aku akan terus di kota ini sekali pun sampai memutih rambutku. Aku masih ingat kata-kata mas Panji.

"Menjadi orang baik tidak pernah rugi. " Semoga Allah menetapkan aku menjadi wanita baik.

Kisah cintaku dengan mas Panji tidak sama dengan kisah cinta Romeo dan Juliet dalam novel yang ditulis William Sakhespeare, tidak sama dengan kisah Sampek Engtay dari negeri Tiongkok, tidak sama juga dengan kisah cinta dalam cerita dari negeriku Roro Mendut dan Pronocitro, dimana tokoh-tokoh cinta itu sama-sama mengakhiri hidupnya demi kebersamaan. Jika satu jiwa melayang maka yang lainnya berusaha menyusul.  Kisah cintaku dengan mas Panji merupakan sebuah kisah cinta yang harus dijalani sebagai sebuah takdir dalam skenario Yang Maha Kuasa. Aku selalu ikhlas menikmati keindahan cintaku dan mas Panji. Semua indah pada waktunya dan pada cara Terbaik dari Nya.

Senyumku mengembang. Aku hanya mampu tersenyum meraih kemenangan atas sebuah kesabaran dan keikhlasan. Terbayang lagi senyum mas Panji, Berangkat menuju kehidupan baru dengan semangat baru. Biarlah Allah yang tentukan jodohku. Jika suatu saat Allah memberiku jodoh lagi. Aku ingin pria sebaik dan sesabar mas Panji.

Selesai kupanjatkan doa lagi, kuelus pusaranya lagi, seolah mas Panji dekat dan membalas, aku bangkit dari posisi jongkokku, berdiri dan tersenyum melihat pusaranya, pelan kubalikkan tubuh dan mulai menapak, aku akan menapaki jalan kehidupanku sendiri tanpamu, mas Panji. Pasti mas Panji mengijinkan aku menangis selamanya, namun apakah ini masih bermanfaat bagiku dan mas Panji? aku hanya mampu berdoa semoga Tuhan menjagamu.  Semoga aku menjadi semakin kuat dan hidupku semakin bermakna bersama langkah pastiku bersama anakku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar