BAGIAN XIX
MENGISI CATWALK LAGI
Selanjutnya
goresan-goresan tangan menari-nari di atas kertas disainku. Aku ingin melupakan
pak Arya. Sebulan ini aku menyelesaikan 5 rancangan yang siap launching.
Keasyikan ini yang membuat hidupku terasa bermakna. Kudaftar proposalku ke
sebuah EO yang akan menggelar life music jazz di hotel berbintang di
Surabaya. Aku menawarkan peragaan
busana. Semuanya di setujui, untuk fashion show kali ini aku mengeluarkan 5
hasil rancangan baru dan rancangan oret-oretan sisa rancangan setelah mas Panji
pergi meninggalku.
EO
mencarikan model-model handal di Surabaya, aku juga meminta bantuan Mersi untuk
menghubungi beberapa model yang pernah memperagakan disain pakaianku. Semua
berjalan lancar dan banyak kemudahan.
“Mersi,
ini launching disain saya yang perttama di kota Surabaya, bisa kah ibu minta
waktumu untuk membantu ibu di sini. 1 minggu saja ibu butuh dukunganmu” kataku
pada Mersi mantan asisten ku di Jakarta.
“Dengan
senang hati,bu. Saya mau ambil cuti 1 minggu untuk membantu ibu” jawaban Mersi
tanpa menawar. Mersi pun sangat riang. Aku bahagia Mersi bisa membantuku karena
untuk urusan peragaan busana yang kulaunching Mersi sudah sangat tahu
apa saja yang harus kupersiapkan.
Tema
pakaian untuk fashionhow kali ini kuberi nama “Allamanda” oleh EO ditambah
temanya dengan “Allamanda Prita”. Aku semakin bangga dan bersemangat.
Gemerlap
lampu hotel berbintang lima mendukung model-modelku yang melenggak-lenggok
mengenakan hasil rancanganku.
Perwira hati kedua telah bersama gadis pilihan orang tuanya. Ternyata
aku telah salah memilih laki-laki keduaku, mereka tidak sama. Pak Arya tidak
sama dengan mas Panji. Pak Arya kekar berhati lemah, pak Arya tidak punya hati yang
kuat untuk melamarku. Sedangkan mas Panji berhati kuat bertubuh lemah hingga tidak
berdaya tidak jadi melamarku dan menghadap Sang Khalik. Dua lelaki yang pernah
singgah di hatiku tidak ada yang menguntungkanku. Hatiku meratap di antara deru
ombak pantai Kenjeran. Aku sudah sampai pada titik nadir kekalahanku untuk
mendapatkan cinta yang sesungguhnya. Derai airmata yang berjatuhan tak
membuatku bisa memeluk cinta.
“hai Prita, apa kabar?” suara Esty di seberang sana
“Kamu
nangis atau memang suaramu sedang serak, Prita?” pertanyaan Esty di seberang
sana. Aku memang sedang menangis diiringi deru ombak pantai Kenjeran. Esty
selalu pandai menebak hatiku. Di saat aku sedih begini dia menelponku.
“Aku
gak apa-apa. Aku hanya Lelah aja semalam ada peragaan busana disainku.”
“Wah
keren kamu sudah mulai berkarya lagi.
Setelah
Esty menutup teleponnya aku terduduk lemas. Aku punya bahagia dari sebuah
keberhasilan. Menjadi direktur sebuah perusahaan terkenal, menjadi disainer handal
semua itu membuahkan angka-angka yang semakin banyak dalam rekening tabunganku.
Aku tidak tahu untuk apa semua itu. Aku tetap duduk dalam cinta yang hampa.
Harta dan kekayaan tidak menggerakkan hatiku untuk mengumbar rasa ke mana saja
aku mau. Inilah kehidupanku.
Sendiri
membiaskan sunyi yang menggigit. Aku bangun dari dudukku, berjalan menuju laut lepas, sambil memainkan
kaki di atas pasir. Entah apa yang ingin kutuju. Gerak kakiku semakin maju dan
terus maju, hingga air laut tersentuh oleh kakiku. Aku tidak tahu lagi ke mana
arah jalan ini. Air laut semakin tinggi membalut tubuhku, gelombang ombak ke arah
pantai yang begitu keras seperti mengayun tubuhku. Ombak besar datang
mengantam, handphone di tanganku lepas. Masih kulihat handphone mengambang di
atas permukaan air laut, aku mencoba mengejarnya, ombak datang lagi menghantam
tumbuhku lebih keras dan tubuhku masuk dalam kungkungan air, pernafasanku
tersengal seluruh air menelan tubuhku. Aku tak kuasa melawan.
“Tolong…
“ teriakku sambil menaikkan tanganku ke permukaan air, aku semakin tenggelam
dan tak sanggup lagi berteriak. Hatiku masih bisa berucap
“Ayah,
ibu, Wanda.. maafkan aku….. “ jika ini sudah waktuku aku menyerah. Di dalam air aku seperti melayang dan
terbang ke awan biru, awan itu lama-lama berubah menjadi pekat. Aku pasrah
dalam kegelapan yang kurasakan.
∞∞
“Bunuh
diri.. bunuh diri” suara orang-orang di sekitarku, dada dan perutku merasakan
sakit karena ada yang menekan-nekan. Suara riuh itu membangunkanku. Kurasakan
dadaku penuh air dan tertumpah dari mulutku. Tubuhku terkulai dengan nafas
tersengal dan batuk yang menyesakkan.
Kubuka
mataku, tubuhku terbujur di antara kerumunan orang-orang. Seorang bapak tua
berjongkok di sisiku. Wajah bapak itu mengingatkan pada wajah ayahku. Aku
hampir berteriak memanggil ayahku. Kuurungkan karena aku tersadar aku dalam
kerumunan masa yang menolongku.
“bu
sadar bu..!” kata bapak tua itu seolah ingin menyegarkan pikiranku.
“Saya
di mana, pak?” tanyaku pelan.
“Ibu
tadi tenggelam di laut sana.”
“Jadi
bapak yang menolong saya ?”
“Iya
bersama teman-teman ini. “ bapak tua itu menunjuk beberapa laki-laki yang
mengerumuniku, beberapa orang berlalu meninggalkanku.
“Terima
kasih pak “ kataku dengan suara serak.
Aku
masih beruntung tas selempang yang kulilitkan di tubuhku tidak ikut hanyut
terbawa ombak. Aku meraba isi tasku, dompet dan kunci mobil masih utuh, aku
membuka risleting benda yang berada di dalamnya sedikit basah dari air yang
masuk ke tasku. Tas anti air ini sangat menguntungkanku, karena melindungi
benda-benda berharga di dalamnya. Aku bersyukur tidak ada yang mengambil
kesempatan dari musibahku.
“Maaf,
ada yang bisa menyetir mobil?” kataku
setelah kerumunan orang berkurang. Mereka pergi meninggalkanku satu persatu
setelah aku sadar dan mulai biisa berbicara dengan lancar.
“Saya
bisa, bu.” Kata bapak tua yang tadi menolongku.
“Bisa
antar saya pulang ke rumah ?”
“Bisa,
bu. Ibu mau pulang sekarang ?”
“Yuk
kita bantu ibu ini ke mobil. “ beberapa orang memapahku, aku masuk ke jok
belakang mobil dengan baju yang basah. Dua orang duduk di depan. Aku bersyukur
banyak orang baik di kota besar Surabaya ini.
Kurenungi
teriakan orang-orang yang tadi mengatakan aku bunuh diri. Aku tidak mungkin
bunuh diri. Beberapa kejadian yang menyakitkan selalu kulewati dengan hati.
Jika aku mau bunuh diri tentu sudah kulakukan sejak dulu. Sejak ayah dan ibu
mengusirku, sejak mas Panji meninggalkanku dan gagal melamarku. Tidak. Aku
masih percaya pada Tuhan sepenuhnya bahwa seluruh kehidupanku adalah scenario
terbaikNya untukku.
Aku
menjelaskan kepada kedua lelaki yang mengantarkanku kalau aku sama sekali tidak
berniat bunuh diri atas kejadian naas yang menimpaku pada kedua bapak yang
mengantarkan aku pulang ke rumah. Murni aku hanya mengejar hanphoneku yang
terbawa ombak. Kedua bapak itu percaya padaku.
*
Jika
aku tidak datang ke rumah ayah, bukan karena aku menuruti ego dan kekerasanku.
Sekali pun orang tuaku sudah memaafkanku, aku tidak mau menghadirkan diriku
sebelum orang tuaku benar-benar menganggap aku tidak bersalah dan tidak berlaku
nista. Berat menjelaskan semuanya tanpa ada pencabutan kata dari mas Rangga. Mas
Rangga tidak merehabilitasi namaku di depan ayah dan ibuku. Sekali pun ibu
menangis menelponku meminta aku datang ke Jakarta hatiku tak tergerak untuk
itu. Karena aku masih punya setempel nista, berselingkuh dan berzina. Ini
fitnah terberat yang harus kulalui.
Hatiku
sudah memaafkan, tapi apa mas Rangga memiliki kejujuran untuk mencabut
tuduhannya dan mengatakan sebenarnya? Mas Rangga tidak berani melakukan itu.
Ayah dan ibu hanya memaafkanku tidak melepaskan anggapan buruk tentang aku. Kubiarkan
ini terjadi, jika kehidupan mas Rangga berakhir dengan simpanan dosa mas Rangga
kepada ayah dan ibuku, aku akan membiarkan itu jadi urusan mas Rangga dengan
Tuhannya.
∞
Kocekku
yang semakin tebal dari hasil penjualan karya-karyaku dan gaji direktur
perusahan garment tempatku bekerja. Garment itu semakin maju, kuantitas
produksinya semakin membumbung dan kualitasnya semakin banyak menarik konsumen. Apa lagi yang kurang dari
keberhasilanku ? aku ingin terus bisa bekerja dan bekerja. Hasilnya Tuhan yang
akan menghujani aku dengan rezeki. Aku mulai berpikir ingin memanfaatkan hasil
jerih payahku untuk kesenanganku sendiri. Saatnya aku memanjakan diriku dengan apa
yang sudah kuraih.
Bukan
aku ingin menyaingi mas Rangga kalau akhirnya aku bisa membeli rumah mewah
dengan fasilitas lengkap di sebelah barat Surabaya. Rumah bergaya klasik yang
kubeli dilengkapi dengan kolam renang dan arena fitness. Tak lupa aku membuat
kamar besar untuk aku bekerja. Aku tidak memikirkan untuk apa rumah sebesar itu
hanya kunikmati sendiri. Aku ingin menikmati hidup bahagia di rumah megah dan
nyaman. Dulu aku pernah menikmati rumah mewah bersama mas Rangga dan anakku,
sayangnya di rumah itu aku tidak merasakan bahagia bahkan menjadi korban fitnah
yang menyakitkan.
Ayah
dan ibu mau datang juga ke Surabaya. Ayah dan ibu berdecak kagum melihat
rumahku. Setidaknya aku bangga dengan apa yang sudah kuraih dengan jerih
payahku di antara kesakitan dan derasnya airmata. Mereka tidak tahu itu.
“Kamu
luar biasa, Prita, perjuanganmu bisa menghasilkan seperti ini.” Kata ayah
memujiku. Aku tersenyum mendengar pujian ayah.
“Kamu
kaya raya dari hasil perjuanganmu sendiri, nak.” Ayah menambhkan kata-katanya.
“Terima
kasih ayah. “ jawabku masih dengan senyum, pada hal batinku ingin mengatakan
pada ayah “Untuk menjadi kaya tidak harus menikah dengan orang kaya”. Kusimpan
kalimatku dalam hatiku sendiri. Aku tidak ingin menyakiti ayah karena aku sudah
mendapat karunia kebahagiaan seperti ini.
“Rangga
sudah bangkrut “ kata ibu menyela tanpa kumintai kabar tentang mas Rangga. Aku
hanya menyungging sedkit senyum agar tak ada kesan menghina atas kejatuhan mas
Rangga.
“Masih
banyak simpanannya mungkin, bu” kataku menetralisir suasana.
“Ga
ada, sudah habis, bahkan untuk biaya sekolah Wanda saja ibu yang membayar.” Aku
terkejut sampai sejauh itu kejatuhan mas Rangga.
“Prita
mau membiayai sekolah Wanda, biar lah Prita yang membiayai, bu. Jangan ibu. “
“Betul
itu, nak?” tanya ibu seperti tak percaya. Aku mengangguk pasti.
BAGIAN XX
KEMENANGAN HATI
Bulan
telah merubah tanggal, hari-hari baru mengganti hari kemarin, lusa dan
hari-hari yang telah berlalu. Waktu terus berjalan. Kunikmati dengan kualitas
diri. Kualitas diri menumbuhkan kekaguman.
Kesabaranku
tak sis-sia, akhirnya mas Rangga mau memindahkan hak asuh Wanda kepadaku,
kehidupan yang sudah sangat sulit bagi mas Rangga membuat mas Rangga menyerah.
Tuhan telah menjawab doa-doaku. Aku tidak pernah berdoa buruk untuk mantan
suamiku, karena bagaimana pun buruknya perlakuan mas Rangga kepadaku dia tetap
bapak anakku,
Ω
Sebelum
Wanda datang aku menyempatkan diri ke makam mas Panji. Sudah lama aku tidak
berziarah ke makam mas Panji. Aku ingin mendoakan mas Panji dengan rasa syukur
yang sekarang kunikmati. Mas Panji guru kebaikan untukku.
“Tenanglah
di sana, mas. “ kata-kata yang kusampaikan diikuti dengan doaku. Kuusap
pusaranya.
“Aku
datang ke sini membuka kunci hati, hati yang terkunci dalam sepi. Kubuka kunci
itu untuk mengunjungimu, semoga sepi ini sedikit memencar dan menghadirkan
keceriaan. “ kalimatku meluncur begitu saja dalam suasana sunyi dan bicara
sendiri. Lama aku terdiam di sana, kusebarkan petikan allamanda yang sudah
hampir layu, allamanda bersetakan di atas makam mas Panji, sera yang kusengaja,
allamanda yang kuserakan seolah menorehkan suatu lukisan asmara senja yang
menggantung di langit sana.
“Kali
ini aku tidak ingin menangis lagi. Sepedih apa pun kehilanganmu aku akan tetap
ada. Aku tidak tahu kapan penggantimu akan datang, aku masih bisa setia di sini
bersama kesucian cinta kita. Aku akan mengingat pesan-pesanmu sebagai quates
yang kubukukan dalam hati dan jiwaku. “
“Orang-orang
yang hadir dalam kehidupan kita dan mendzalimi kita itu kirimanNya.” Kuteguhkan hatiku untuk bisa
memaafkan siapa pun juga yang pernah mendzalimiku. Aku yakin Allah juga yang
akan menghentikannya.
Di
dekat pusara mas Panji aku seperti menikmati rasa cinta yang sebenarnya. Walau
sudah tiada rasa itu tetap membekas menggetarkan sanubari. Dulu aku selalu berusaha membunuhnya. Kali ini aku tidak
ingin mengungkap kepalsuan hati. Mengingatnya adalah suatu upaya mengisi
pikiran. Aku merasakan bagian rinduku menyelinap dalam kisah sunyiku.
Aku
tidak ingin menjelaskan sebuah kebenaran. Allah lah yang menjelaskan sebuah
kebenaran dengan CaraNya, karena cara Allah lah yang terbaik. Aku sudah
menikmati hidupku. Bekerja dan berkarya. Sementara ini aku memilih sendiri
dalam kehidupanku. Mungkin sendiri lebih baik dari pada hidup dengan orang yang
tidak mengerti kehidupanku. Aku akan terus di kota ini sekali pun sampai
memutih rambutku. Aku masih ingat kata-kata mas Panji.
"Menjadi
orang baik tidak pernah rugi. " Semoga Allah menetapkan aku menjadi wanita baik.
Kisah
cintaku dengan mas Panji tidak sama dengan kisah cinta Romeo dan Juliet
dalam novel yang ditulis William Sakhespeare, tidak sama dengan kisah Sampek
Engtay dari negeri Tiongkok, tidak sama juga dengan kisah cinta dalam
cerita dari negeriku Roro Mendut dan Pronocitro, dimana tokoh-tokoh
cinta itu sama-sama mengakhiri hidupnya demi kebersamaan. Jika satu jiwa
melayang maka yang lainnya berusaha menyusul. Kisah cintaku dengan mas Panji merupakan
sebuah kisah cinta yang harus dijalani sebagai sebuah takdir dalam skenario
Yang Maha Kuasa. Aku selalu ikhlas menikmati keindahan cintaku dan mas Panji.
Semua indah pada waktunya dan pada cara Terbaik dari Nya.
Senyumku
mengembang. Aku hanya mampu tersenyum meraih kemenangan atas sebuah kesabaran
dan keikhlasan. Terbayang lagi senyum mas Panji, Berangkat menuju kehidupan
baru dengan semangat baru. Biarlah Allah yang tentukan jodohku. Jika suatu saat
Allah memberiku jodoh lagi. Aku ingin pria sebaik dan sesabar mas Panji.
Selesai
kupanjatkan doa lagi, kuelus pusaranya lagi, seolah mas Panji dekat dan
membalas, aku bangkit dari posisi jongkokku, berdiri dan tersenyum melihat
pusaranya, pelan kubalikkan tubuh dan mulai menapak, aku akan menapaki jalan
kehidupanku sendiri tanpamu, mas Panji. Pasti mas Panji mengijinkan aku
menangis selamanya, namun apakah ini masih bermanfaat bagiku dan mas Panji? aku
hanya mampu berdoa semoga Tuhan menjagamu.
Semoga aku menjadi semakin kuat dan hidupku semakin bermakna bersama
langkah pastiku bersama anakku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar