Jumat, 24 Januari 2020

CERPEN : ALAMANDA UNTUK CINTA


“ Teganya kamu membiarkan aku seperti ini, teganya kamu menelantarkan hatiku, apa harus ini yang kuterima darimu, untuk pengorbanan dan cintaku, untuk kegelisahanku bertahun-tahun yang sulit memudar. Aku selalu menjadi yang tidak sempurna bagimu, dan aku menyesali kalimat cinta untukmu yang seringkali terucap dari bibirku, aku cinta , aku rindu. Tapi balasan yang kuterima seperti ini, sakit dan terabaikan. Mas membiarkan aku hidup bertahun-tahun tanpa arah. Setidaknya saat aku mulai bisa menyapa mas kembali mas akan mengatakan inilah waktu yang kunanti, tapi itu tidak mas dan tidak akan ada kalimat seperti itu.
Tulisan Luna menganggu hatiku, merobek naluriku sebagai laki-laki yang mencintainya, selama ini aku salah menilai, dia yang tak acuh dengan ungkapan rasaku ternyata bisa menulis seperti itu. Sebagai balasan suratku “Sekarang aku jauh , jaga lah dirimu baik-baik” itu tulisan akhir dari suratku.dan balasannya tidak pernah kuduga dengan kalimat seperti ini “Untuk cinta, aku tiada dapat kupeluk walau kini airmataku deras, sampai-sampai airmata ini terasa hampir kering’ kalimat Luna tidak sampai di situ, bahkan dia menyampaikan kegelisahan dan kesakitannya. “ Ketika dekat tidak pernah kusadari keberadaannya yang sebenarnya sangat kuperlukan, setelah jauh aku merasakan ini cinta. “Aku Cinta, aku cinta mas dengan segenap hatiku” berulang-ulang kubaca rangkaian huruf yang terangkai dengan indah. Kepalaku tergeleng-geleng, kalimat yang kuharapkan ini akhirnya muncul juga walau hanya dalam bentuk tulisan .”Andai kau tahu, Lunaku sayang, ini yang kuharapkan darimu sejak dulu, sejak aku menemukanmu dan menemukan rasa di hatiku, rasa cintaku kepadamu, andai saja kamu tahu perjuanganku ini untukmu, untuk masa depan kita”. Kini apa masih pantas aku menjadi laki-laki yang meratap, laki-laki bisa saja kalah, tapi tak pantas meratap” itu prinsipku, prinsip itu terbongkah karena aku merasa pantas menangis dan meratap. sejak lama aku ingin memelukmu, tapi tak pernah kulakukan karena aku menunggu ucapanmu itu, “aku juga cinta”. Sejak Luna duduk di bangku kelas 3 SMA aku menunggu kalimat itu, dia menghindar tapi membalas setiap suratku dengan nada cemburu. Aku seperti tidak peduli aku hanya mengatakan “sebaiknya rasa cemburu itu “TIADA” karena kamu pasti tahu bagaimana aku berdoa untuk kita”. Kini kita berbatas lautan, mungkin hanya butuh waktu sehari untuk mengunjungimu memelukmu sekejap, memberi kekuatan yang selalu ingin kuberikan padamu, sekarang bahkan aku tidak mampu menjagamu dari dekat” bulan-bulan kulalui bersama bulan di atas sana setiap aku menatap bulan seperti ada bayangan Luna, aku seperti membentuk sebuah ilustrasi untuk bulan, bayangan Luna laksana tarian gemulai bersama awan , sulit kuraih karena terlalu tinggi, sulit kupeluk karena berbatas duri, tapi senyum sejuknya yang selalu kuingat akan mengantar aku dalam tidur malamku, dan aku hidup antara senyum dan tangis. Beginilah lelaki mencinta. Sulit menjangkau bahagiaku walau sudah berlari cepat dan berlompat tinggi.
Namun aku masih banyak berharap, Luna dalam genggaman nadiku.bersama memacu jantung dalam kehidupan indah kami.
Waktu terus berjalan, Luna sudah menjadi milik lelaki lain, ingin aku merebutnya, tapi untuk apa jika ini merebut bahagianya. Surat undangan yang dikirim 2 hari setelah pernikahannya adalah kesengajaan yang menandakan ia tidak menginginkan kehadiranku, berakhir sudah kata cintanya, itu dulu hanya fatamorgama yang menyenangkanku. Luna kamu mengkhianati aku. Tiba-tiba aku ingin membencimu, ingin kukatakan bahwa kau wanita pendusta yang membuat hidupku porak poranda, kubatalkan tugas belajar ke Jerman satu bulan setelah pernikahanmu. Aku benci kamu walau hati kecilku menolak bahwa kamu tidak patut kubenci, aku yang salah, aku yang telah lama membiarkanmu sendiri tanpa kabar. Aku mengembangkan harapanku lewat perjuangan yang tidak pernah kamu tahu.
Aku tidak pantas membenci luna, Luna memiliki sorot mata kejujuran , setiap perkataannya adalah kejujuran itu tersirat dari matanya yang selalu polos dan bening.lewat lagu kubuat syair-syair mata beningnya gadisku, hatinya bening, kecerdasannya adalah pangkal kekuatannya. Sekali pun sibuk dengan kuliahnya dia tidak pernah mengatakan kelelahannya. Paling hanya tulisan yang mewakilinya “jam 3 pagi mataku baru terpejam, mas” keluhnya suatu pagi kubaca dari SMSnya.  padahal aku sudah terlelap 5 jam sebelumnya. Aku tersenyum tapi tidak perduli. Apa pantas aku membencinya? Jika lelaki lain memilikinya itu sudah menjadi kodratnya. Dia bahagia di sana.
Aku memang pencinta yang “mbeling” kuabaikan setiap perkataannya, keluhannya, curhatannya, setiap kali dia telepon interlokal yang harus dia bayar mahal dia bilang “aku mau ujian, doakan aku ya, mas” tapi aku menjawab semauku “Mau ujian aja ko resah, aku sering ujian tapi senang-senang saja” itu jawaban konyolku dan dia membalas dengan sabar “aku beda dengan mas, mas kan pintar dan selalu percaya diri” Ya Tuhan percakapan itu kusesali. Aku bukan menguatkannya tapi malah menyepelekannya. Seharusnya aku tidak melakukan itu terhadap gadis yang kucintai. Tapi dia sepertinya tidak pernah sakit hati, bahkan terakhir dia menuliskan kegiatannya mulai dari membuat proposal skripsi sampai akhir sidang yang menegangkan yang diakhiri dengan kalimat “ini tidak penting bagi , mas.  Maafkan aku ya mas selalu mengganggumu.”.
Kesibukanku benar-benar mengabaikan surat-suratnya. Aku harus bekerja overtime untuk mendongkrak dedikasi demi lancarnya cita-citaku. Aku egois karena hatiku selalu berkata “kamu tidak perlu tahu, sibukku ini untukmu, untuk kita” dan Luna memang tidak pernah mengerti kesibukanku. Kupersiapkan berkas-berkas ajuan tugas belajar ke Luar Negeri, karena ini kesempatan yang baik. Aku berpikir jika 2 tahun sesudahnya aku selesai maka aku bisa menjanjikan kehidupan yang lebih baik untuk Luna, untukku dan untuk keluarga kecil  yang ingin kubangun bersama Luna. Ini kejutan yang ingin kuberikan dan membiarkannya tidak perlu tahu itu. Ini masalahku dan aku hanya ingin memberikan keberuntungan untuknya.
Keberuntungan untuk Luna tidak dapat kuwujudkan, aku benar-benar harus menjatuhkan air mata ketika undangan pernikahannya dalam genggamku. Aku seperti kehilangan pegangan, kehilangan kendali emosiku. Aku selalu ingat saat Luna menahan tangis jika dia cerita sedang kecewa aku bilang “menangis lah jika itu melegakan perasaanmu” dia menjawab “menangis pun tak ada gunanya” padahal aku lihat ia menahan air matanya. Seperti itulah gadisku, dia seperti permata yang hilang ditelan waktu.  Bahkan bisa kukatakan seperti ditelan bumi, bumi mana yang kuinjak tak menampakkan permataku.
Kuremas undangannya dengan hati geram. Waktu itu aku tidak memikirkan apa yang terjadi dengan Luna, kusesali pengorbanan dan perjuanganku bertahun-tahun untuk gadis pengkhianat ini. Bahkan aku tidak bisa melihat gadis lain yang kuanggap baik di sekelilingku, semua sudah kuanggap seperti Luna, pengkhianat dan perusak hati. Kejamnya aku menilai kaum ibuku. Dan hanya ibuku yang baik di dunia ini. Sehingga ketika 2 tahun setelah pernikahan Luna aku masih sendiri, ibuku menjodohkanku dengan gadis pilihannya. Gadis yang tak pernah kuingini ini bersanding di pelaminan bersamaku.aku gamang tapi tak akan berani menolak keinginan ibu agar aku segera menikah. Aku sangat tahu ibu mengharap cucu dariku. Hanya aku dari ketiga kakakku yang belum menikah sedangkan Tantri sudah mendapatkan pria idamannya.. Mengapa tak kuwujudkan keinginan ibu sementara tiada yang kutunggu, yang kutunggu telah menjadi milik lelaki yang beruntung.
Sampai kemudian aku tahu karena diam-diam aku mencari informasi tentangnya, dia sudah menjadi guru di sebuah sekolah negeri, tidak sulit mencarinya . aku mencari nomor telepon sekolahnya. Kutelepon adakah guru yang bernama Luna, waktu itu dia sudah pulang, penerima telepon teman Luna seperti curiga siapa aku lelaki kok mencarinya, wajar saja karena status luna memiliki suami dan keluarga. Aku katakan kalau aku teman lamanya yang ingin mengunjungi keluarganya, bahkan aku minta alamatnya . ternyata Luna satu komplek dengan adikku. Aku mencari nomor telepon alamat rumah luna. Dan tidak perlu buang waktu aku menelpon ke rumahnya, Luna yang mengangkatkan, ada nada terkejut dari suaranya “Ini mas dari mana tahu nomor telponku”
“ Tidak sulit bagiku hanya untuk mencari sebuah nomor telepon” Dia tertawa berderai, ada yang berbeda sekarang Luna bisa tertawa berderai, tidak seperti dulu kalau telpon menyiratkan rasa rindu, aaah …lagi-lagi aku merasa menemukan hal baru dari gadisku dulu, dia lebih dewasa dan komunikatif, enak diajak ngobrol
“Aku kira mas masih marah padaku”
“Iya aku marah, tapi itu dulu, sekarang aku sudah tidak pemarah lagi” balasku. Saat itu aku memang tidak ingin marah, mendengar suaranya sudah menyejukkanku. Kami berbicara berbagi cerita tentang keluarga kami. Aku dengan satu anak dan dia sudah beranak dua.
“ Hahaa..ternyata kamu wanita produktif yang suka beranak” candaku. Entah bagaimana ekspresinya dia hanya menggumam.
“ aku senang berjumpa dengan mas lagi walau tidak untuk bersama, setidaknya aku lega karena mas telah memaafkan aku”
“ Siapa bilang aku memaafkanmu, aku hanya bilang tidak marah lagi, tapi bukan berarti  aku sudah memaafkan” kataku dengan nada serius yg kubuat-buat.
“Jangan gitu dong, mas, kan mas ga pernah bertanya kenapa aku harus menikah dan meninggalkan mas, aku sebenarnya kecewa dengan mas. Tapi…ya sudahlah mas kita tak berjodoh”
Terbayang wajah cintaku yang menyapa setelah tenggelam oleh waktu.  Luna begitu polos dalam ungkapan hatinya.
Pada suatu pertemuan tak sengaja, Saat aku ingin memeluknya dia mundur dan menghindar. Kebersihan seperti ini yang dulu selalu kujaga “ jangan, mas. Sekarang aku milik orang lain, begitu juga mas… dulu ketika aku masih menjadi bagian hidup mas, mas tidak pernah melakukan itu.” katanya “ padahl aku ingin mas melakukannya di saat aku rindu “ bisiknya lagi. Ini terjadi saat aku menyempatkan waktu untuk bertemu, aku ingin sekali berjumpa. Dari Medan aku mendarat di Jakarta, Luna menungguku di Bandara,
“aku tidak ingin menangis, mas. Tangisku sudah hampir habis dalam penantian yang sia-sia”
“Ups salah..” ak memotong.. kalimatnya, “ itu salah besar.”
“Tidak..itu tidak salah..” dia balas memotong kata-kataku
“Salah…” dan kami saling memotong kata hingga menjadi perdebatan.
“Tidak salah, mas. Jelas tidak salah karena waktu itu aku tidak menyadari bahwa aku sedang mengharap seorang yang misterius sepertimu, maka jangan salahkan aku” tegasnya, aku mencoba mengalah.
“Aku misterius ?” tanyaku
“ Sangat misterius. Aku tidak pernah tahu isi hatimu yang sebenarnya”
“ Aku tidak berterus terang semua isi hatiku, bukan apa-apa. Itu mendidik..”
“Mendidik yang menyakitkan, apakah guru harus mendidik dengan cara menyakiti ? itu tidak benar, mas”
“ Oh iya sekarang aku sedang berbicara dengan guru..baik bu guru” aku tidak mau merusak suasana, aku tidak mau uraian rindu masa lalu menjadi pertikaian yang tak seru.
“Kali ini aku hanya ingin bertemu dengan guru cantik yg gagal jadi milikku..” dia tersenyum
“ Mas lagi berbicara ngacau..”
“Iya benar..” aku ngotot, Luna tidak menanggapi. “Tapi lupakan itu, aku senang melihatmu bahagia”
“ Iya aku juga senang melihatmu bahagia” balasnya
“Memang kamu yakin aku bahagia ?”
“Iya aku yakin mas sudah sangat bahagia dengan keluarga mas”
“Semoga ya..” Tukasku sekenanya
“Ya semoga..” Luna tersenyum.. aku curiga dengan senyumnya yang masih terasa menyelidik. “ sejak 12 tahun lalu aku mencintai wanita, 6 tahun di masa gadisnya dan sisanya ….”
“ Tidak usah dibahas…” Dia memotong kalimatku. Tangan mungilnya masih mengaduk-aduk jus alpukat di hadapannya.
Ketika memilih kemeja di display butik dia hampir terjatuh, saat mau kutangkap dia menolak “ jangan mas, aku bisa sendiri”
“ Kalau dulu aku ibarat ilalang yang bergoyang seperti tak berakar, kini aku suka menjadi bunga alamanda yang selalu mekar dan tersenyum. Aku suka alamanda aku ingin terus laksana alamanda. Memberikan keceriaan tanpa tahu orang suka atau tidak. Dan yang pasti hatiku tidak pahit lagi.
Kusandarkan kepalaku di jendela kaca kereta api yang membawa aku kembali ke kota kerjaku. Aku seperti bermimpi menjumpai gadis masa laluku. Dan aku sempat mencuri pandang wajah cantiknya yang semakin sempurna. Tapi itu bukan milikku.  Ternyata memiliki sebuah keinginan kadangkala hanya menjadi sebuah angan. Dan rasa bersalah menyelimuti hati. Luna yang pernah kulukai kini menjadi wanita tegar dan ceria. Aku kalah karena salah.
Sampai kotaku esoknya aku meluncur ke toko bunga, aku mencari bunga alamanda kesukaan Luna yang diibaratkan menjadi dirinya. Ini sungguh bodoh, bagaimana mungkin aku menjadi lelaki bodoh yang mencari bunga. Kupesan alamanda sebanyak-banyaknya. Merah, ungu, kuning putih, semua terhias dalam pot-pot mungil yang indah.
Sampai di rumah istri dan anakku terheran dengan alamanda yang kubawa.
“ Untuk apa, yah” Tanya istriku
“ Untuk bunda tolong dirawat yah” kataku pada isteriku tanpa berani aku menatap wajahnya. Aku memang sedang berdusta, andai aku bisa jujur ingin kukatakan bahwa ini bunga kesukaan Luna. Aku tidak mungkin jujur. Luna masa lalu, masa cinta dan masa-masaku menikmati rasa cinta. Biar cinta ini jadi milikku, milik kami yang tidak berani mengganggu hati-hati lain yang mencinta. Sekarang kupahami, sesukses apa pun karir kita, kita tidak bias mengabaikan hati dan perasaan cinta. Kekasih masa laluku tetap ada dan tidak bersamaku.