Sabtu, 21 Agustus 2021

ALLAMANDA BERSERAK BAGIAN VII

 

ALLAMANDA BERSERAK

 

BAGIAN VII

PEMBALASAN

 

Hari-hari aku bagai menginjak pijar api neraka di dalam ruamhku. Didiamkan oleh suami, dijauhkan dari anakku. Aku hanya bisa dekat dengan anakku Wanda saat mas Rangga tidak ada di rumah. Jika aku menggendong Wanda, mas Rangga akan merebutnya dengan paksa dan membawanya menjauh dariku. Sakit kian mendera. Permohonan maaf dengan air mata dan penghibaanku sangat sia-sia.

 

 

Sebulan lebih setelah rasa sakit ini ditimpakan padaku, mas Rangga membawa seorang wanita cantik  ke rumah, diperkenalkan padaku dan anakku. Perlakuan yang sangat kejam. Mungkin ini bentuk pembalasan, dibalas seperti ini hatiku tidak terima, tapi aku tak bisa berbuat apa-apa. Jelas pembalasan yang tidak sepadan. Kalau aku dianggap salah berjumpa dengan mas Panji tidak seharusnya aku diberi balasan seperti ini.

 

“Ini calon penggantimu” bisiknya ditelingaku dengan nada mengejek. Aku berdiam dengan posisiku yang masih berdiri.

 

Setelah menyalamiku wanita yang memperkenalkan dirinya bernama Anggun itu dengan santai duduk di atas ruang tamu rumahku. Menyilangkan kaki dengan indah, pakaian dan perhiasannya yang mewah seperti mengecilkan diriku. Seolah dia menunjukkan diri bahwa dirinya lah yang pantas menjadi pendamping mas Rangga. Ekspresinya sangat percaya diri, dia akan menggantikan posisiku di samping mas Rangga.

 

 

Tidak ada yang dapat kutawar lagi. Juga ketika mas Rangga memintaku membuatkan minuman untuk tamunya, padahal ada asisten di kamar  belakang. Aku menurut dijadikan babu calon penggantiku, dengan hati tercabik aku berusaha membuatkan minuman untuk kekasih suamiku. Aku sudah sangat terinjak. Berusaha melakukan semuanya dengan benar.

 

Mereka asyik ngobrol dengan gelak tawa yang sengaja menghinaku. Aku duduk di sofa ruang tamu yang letaknya tidak jauh dari ruang keluarga. Aku duduk di sofa depan televisi, karena mas Rangga mencegahku meninggalkan mereka ruang ini.  

Mas Rangga meminta Wanda dari baby-sitter. Wanda dipangku oleh mas Rangga bergantian dengan wanita itu. Mereka asyik bercanda dengan Wanda. Aku menahan gelut sakit sakit yang menggigit rasa.

 

“Aku tahu ini sebuah isyarat kalau mas akan menendangku dari rumah ini.” Kataku setelah wanita itu pergi membawa mobil terbaru yang dibeli mas Rangga yang katanya bukan untukku, mobil itu sudah terpasang plat nomornya. Kini aku tahu ternyata mobil itu untuk wanita itu.

 

“Bagus lah kalau kamu tahu jadi aku tidak perlu menjelaskan.”

“Tapi tunggu dulu, mas..” kataku memberanikan diri, sekali pun aku tidak yakin akan mendapat tanggapan yang baik. Mas Rangga memalingkan wajah yang tidak mau melihat wajahku.

 

“Tapi apa ? saya gak mau dengar apa-apa lagi dari kamu. Jangan kan saya, bapak kamu saja sudah tidak bisa memaafkanmu” kalimat menohok yang membuat jantungku berdetak keras, ingin marah tapi tak mampu. Mas Rangga pergi meninggalkanku yang masih duduk terkulai  di sofa.

 

Derai airmata sulit kubendung, mas Rangga mengusir aku dari kamarnya, dia membawa Wanda masuk kamar dan tidur dengan Wanda. Aku keluar kamar dan tidur di kamar tidur yang kusediakan untuk tamu yang menginap.

  

Tiada lagi kesempatan untuk berbakti. Apa mungkin kisahku akan sama dengan mas Panji ditinggal isteri dan anaknya demi lelaki mantan pacarnya ? Kini aku terjerembab dalam kesakitan, Mas Rangga sudah dengan terang-terangan membawa wanita lain.

Aku tahu ini sebuah pembalasan atas tuduhan selingkuh dan pengkhianatanku. Ternyata suami yang kuanggap baik sangat keji padaku. Kehalusan sikap dan kata-katanya hilang sudah dari diri mas Rangga. Kali ini tidak ada kelembutan lagi dan tidak ada sama sekali sikap baiknya.

 

*

 

Esoknya di meja makan aku mulai bicara lagi. Sekali pun marah ternyata dia masih mau makan masakanku.

“Aku tahu,mas... sekuat apa pun aku berusaha menyangkal dan  tetap baik padamu tidak  ada gunanya,  mas tetap beranggapan buruk padaku, tapi aku tetap bertahan dengan penyangkalanku, apa yang mas tuduhkan tidak benar.”

“Aku tidak percaya. “

“Terserah mas Rangga saja, Aku akan menerima apa pun keputusan mas. Hanya satu yang kumohon...”

 

“Apa..??” Belum selesai kalimatku mas Rangga sudah memotong dengan nada keras, hatiku ciut mengungkap kemauanku meminta Wanda bersamaku. Bergetar bibirku mengungkap maksudku

“Jika mas memintaku pergi, aku ingin membawa Wanda bersamaku..” kataku dengan jantung berdetak tak karuan. Kutunggu  jawaban mas Rangga. Bukan jawaban yang kudengar tapi gelak menghina.

 

“Hak asuh Wanda ada padaku. Aku tidak akan membiarkan anakku diasuh oleh ibu penyelingkuh sepertimu. Pengadilan pasti memutuskan anak akan bersamaku karena kamu yang bersalah.”

“Berapa kali harus kukatakan kalau aku tidak selingkuh, mas ? “

“Masih gak sadar juga dengan kelakuanmu ?”

“Bukannya terbalik, mas ? Mas membawa perempuan selingkuhan mas ke rumah ini ”

“Gak terbalik, ini murni pembalasan.” Jawabnya ketus tanpa mengindahkan perasaanku. Pembalasan ? apakah ini pembalasan sepadan dengan yang kulakukan ? alangkah piciknya mas Rangga.

 

“Aku tidak selingkuh dan tidak seharusnya dibalas” suaraku agak meninggi.

“Diam kamu.“

Kutundukkan kepalaku,rasanya baru ini aku menemukan suamiku karakternya seperti itu. Ternyata  4 tahun lebih menandampingi suamiku belum cukup waktu untuk mengenali dirinya. Kutahan rasa sesak dan aku berusaha bernafas dengan lega. Tidak  ada yang perlu ditakuti karena aku yakin ibuku melahirkanku bukan untuk dihina dan terhina,

Wajah ibu melintasi pikiranku.. apakah ibu tahu nasibku jadi seperti ini, seperti halnya ibuku tidak menyadari bahwa aku terluka..ibu.. oh ibu.. batinku menyeringai, andai ibu sudah tak menghendaki aku lagi seperti halnya ayah, aku tetap ingin mengasuh Wanda, meski pun ia terlahir dari lelaki yang tidak kucintai aku tetap mencintai anakku sepenuh hati.

 

 

“Kamu mikir gak? Otak kamu pakai gak?” Tanya mas Rangga setelah menghentikan gelaknya. Pertanyaan yang kurasa sangat aneh, tentu saja aku mikir, meminta Wanda keputusan terbaik seorang ibu untuk mengasuh anaknya. Mas Rangga boleh saja menggantikan aku dengan wanita lain, aku tetap ingin Wanda bersamaku. Belum kujawab mas Rangga sudah melanjutkan kata-katanya.

“Pantaskah aku melepaskan anakku dididik perempuan tidak baik ? aku tidak akan membiarkan itu, tahu kamu ?” bentaknya.

“Stop mas berbicara selingkuh.. aku tidak selingkuh, mas Rangga yang berselingkuh.  Jangan membalikkan fakta dengan kenyataan yang tidak mas lihat.”

 

“Apa ? Aku yang selingkuh... hahaa”

“Pantaskah laki-laki membawa masuk wanita lain ke rumahnya di depan isterinya?” Aku balik bertanya dengan nada tinggi ini kali pertama aku mencoba menguasai pembicaraan, waktu-waktu sebelumnya aku hanya bisa meratap, apa yang harus kutakuti dari laki-laki pengatur strategi busuk untuk kepentingan dirinya.

 

Hartanya yang berlimpah dan kekuasaannya tidak akan kujadikan momok yang menakutkan untuk urusan kebenaran, mempertahankan hidup kini jadi harga mati setelah harga diri terinjak-injak.

“Itu terjadi sebagai pembalasan atas perselingkuhanmu..”

“Tidak,  aku tidak selingkuh. Aku berani bersumpah untuk itu.”

“Aahh, sudah lah..” mas Rangga membalikkan tubuh ini ancang ancang untuk pergi, selalu begitu jika tersudut dengan kebenaran, dia berlalu meninggalkanku.

“Mas tunggu, mas..” aku mengejarnya tapi dia tak perduli, masuk kamar dan membanting pintu.

“Kenapa kita tak bisa berbicara baik-baik mas..” kataku agak keras dari luar kamar.

“Aku tidak bisa bicara baik-baik dengan perempuan tidak baik..” kalimat terakhir menohokku dan membuat aku lemas. Aku dicap  perempuan tidak baik?

“Itu fitnah, mas... berhenti memfitnahku jika hidup mas ingin baik-baik saja..”

“Sudah lah, aku sudah tidak percaya padamu.”

 

 

Lagi-lagi aku tersudut dan terpuruk.  Bagaimana ini? Pikiranku semrawut dan airmata sudah pasti sulit terbendung.

 

Rangkuman kalimat kejujuran tidak berarti lagi, apa aku harus menyesal tidak melanjutkan pertualanganku untuk berselingkuh saja dengan mas Panji ? Tidak, itu tidak mungkin terjadi, mas Panji lelaki baik. Dia sangat menjaga kehormatan, martabat dan harga diri dalam menyikapi kehidupannya. Yang kusesali aku tidak pernah memilikinya.

 

 

Ponsel di atas mejaku berdering, aku segera menghampirinya.. pak Asikin menelepon.

“Ya pak”

“Bu Prita bisa ke kantor sebentar ?”

“Ada apa pak ?”

“Tidak apa, ini ada barang yang akan diekspor perlu dicek kembali nota penyertanya.. “

“Baik pak..” pak asikin menutup teleponnya ada aku segera memilih baju untuk ke kantor..

Setelah aku siap berangkat aku ingin berpamitan pada mas Rangga, ternyata mas Rangga  menutup pintu kamarnya rapat-rapat.

 

Kudekati Wanda yang sedang disuapi oleh baby siter. Biasanya minggu begini aku yang menyuapi tapi karena mas Rangga telah membuat suasana berubah aku absen menyuapi Wanda. Akhir2 ini tampak jelas sikap mas Rangga ingin memisahkanku dari Wanda.

 

 

“Bunda ke kantor dulu ya, sayang “ kataku pada Wanda. Belum Wanda terdengar suara mas Rangga.

“Pergi sana, tidak usah balik lagi.” Aku membalikkan tubuh, mas Rangga sudah berdiri berkacak pinggang di depanku.

“Baik, mas. Aku ijin sebentar ke kantor. Nanti semuanya kita bicarakan lagi.” Kataku.

“Tidak usah ijin-ijinan.” Katanya sinis. Aku melangkah berlalu meninggalkan mas Rangga, Wanda dan babysitter yang sedang menyuapi Wanda. Mas Rangga sudah sangat keterlaluan tidak bisa menghargaiku di depan orang lain.

*

 

 

Pulang lembur kukemasi barang-barangku. Bersyukur aku masih punya mobil dari hasil keringatku. Bersyukur aku bekerja dan mempunyai penghasilan sendiri. Bersyukur aku tidak banyak menuntut dan memanfaatkan kekayaan mas Rangga, bersyukur kehidupan orang tuaku tidak terhina. Selama ini yang menguatkan aku untuk tetap bekerja adalah harga diri kedua orang tuaku. Kuyakin pilihanku tepat, saat tersakiti dan tidak dihargai seperti ini, aku masih mampu melanjutkan hidupku.

 

 

Semua perhiasan pemberian mas Rangga kutinggal di laci lemari. Aku tidak perduli mau diapakan atau diberikan kepada siapa. Kalau diberikan pada perempuan yang katanya akan menggantikanku pun aku rela. Lebih baik begitu dari pada aku tidak nyaman memakai sesuatu dari orang yang telah melukai dan mencampakkan aku.

 

“Keluar lah dari rumahku, tidak usah berpikir pembagian harta gono gini, itu tidak akan ada.”

 

Kutahan letupan amarah yang menyesakkan dada dan menyisakan airmata, betapa piciknya laki-laki yang telah hidup bersamaku ini. Kutatap tajam wajah mas Rangga dengan mata nanarku. Wajah mas Rangga memerah, mungkin wajahku pun memerah. Kurutuki diriku, betapa bodohnya aku memilih tinggal bersama lelaki yang tidak memiliki hati. Aku menggeleng-gelengkan kepala dan membalikkan tubuh. Kutinggalkan mas Rangga yang menghantarku dengan tawa merasa puas.

 

Terngiang di telingaku ucapan mas Rangga. Tentang harta gono gini. Aku menuntut harta gono-gini? Kupastikan itu tidak akan terjadi.  Aku merasa cukup dengan penghasilanku sendiri. Kemewahan yang diberikan mas Rangga tidak pernah bisa mengubah rasaku untuk mencintainya, apalagi sekarang dia sudah sangat menghina aku.

 

Terpikir olehku,  alangkah indahnya jika cinta menikah dengan cinta. Karena sebesar apa pun pengorbanan tanpa cinta hasilnya akan sia-sia. Cinta tidak akan menyakiti cinta dengan segala cara. Bagian dari cinta adalah jiwa. Tidak cinta pun aku tidak ingin menyakitinya. Ini kekuatanku berkorban, berbakti dan memberi. Kalau kebaikan dibalas dengan tuba, tidak perlu menyalahkan siapa-siapa, juga tidak menyalahkan diri sendiri telah berbuat baik dan berkorban. Tidak perlu mengumandangkan pembenaran diri karena Allah Maha Teliti.

 

 

Kepastian langkah telah kupilih, pergi dari rumah mas Rangga dengan hati terluka. Sebagai isteri aku digantikan wanita lain, sebagai ibu pun aku digantikan pula. Sebagai isteri aku ikhlas, tapi sebagai ibu tentu saja aku tidak ikhlas.

 

Menyewa apartemen adalah pilihanku. Kusewa apartemen yang telah lengkap isinya, aku tinggal masuk membawa pakaian dan perlengkapanku. Apartemen berukuran 36 m2 dengan satu kamar tidur utama dan ruang keluarga yang leluasa kuperkirakan bisa membuat aku nyaman tinggal di dalamnya. Sekali pun aku selalu merenungi nasib dan merintih sakit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar