ALLAMANDA BERSERAK
BAGIAN VII
PEMBALASAN
Hari-hari aku bagai menginjak pijar api
neraka di dalam ruamhku. Didiamkan oleh suami, dijauhkan dari anakku. Aku hanya
bisa dekat dengan anakku Wanda saat mas Rangga tidak ada di rumah. Jika aku
menggendong Wanda, mas Rangga akan merebutnya dengan paksa dan membawanya
menjauh dariku. Sakit kian mendera. Permohonan maaf dengan air mata dan
penghibaanku sangat sia-sia.
Sebulan lebih setelah rasa sakit ini
ditimpakan padaku, mas Rangga membawa seorang wanita cantik ke rumah, diperkenalkan padaku dan anakku.
Perlakuan yang sangat kejam. Mungkin ini bentuk pembalasan, dibalas seperti ini
hatiku tidak terima, tapi aku tak bisa berbuat apa-apa. Jelas pembalasan yang
tidak sepadan. Kalau aku dianggap salah berjumpa dengan mas Panji tidak
seharusnya aku diberi balasan seperti ini.
“Ini calon penggantimu” bisiknya
ditelingaku dengan nada mengejek. Aku berdiam dengan posisiku yang masih
berdiri.
Setelah menyalamiku wanita yang
memperkenalkan dirinya bernama Anggun itu dengan santai duduk di atas ruang
tamu rumahku. Menyilangkan kaki dengan indah, pakaian dan perhiasannya yang
mewah seperti mengecilkan diriku. Seolah dia menunjukkan diri bahwa dirinya lah
yang pantas menjadi pendamping mas Rangga. Ekspresinya sangat percaya diri, dia
akan menggantikan posisiku di samping mas Rangga.
Tidak ada yang dapat kutawar lagi. Juga
ketika mas Rangga memintaku membuatkan minuman untuk tamunya, padahal ada asisten
di kamar belakang. Aku menurut dijadikan
babu calon penggantiku, dengan hati tercabik aku berusaha membuatkan minuman
untuk kekasih suamiku. Aku sudah sangat terinjak. Berusaha melakukan semuanya
dengan benar.
Mereka asyik ngobrol dengan gelak tawa
yang sengaja menghinaku. Aku duduk di sofa ruang tamu yang letaknya tidak jauh
dari ruang keluarga. Aku duduk di sofa depan televisi, karena mas Rangga
mencegahku meninggalkan mereka ruang ini.
Mas Rangga meminta Wanda dari baby-sitter.
Wanda dipangku oleh mas Rangga bergantian dengan wanita itu. Mereka asyik bercanda
dengan Wanda. Aku menahan gelut sakit sakit yang menggigit rasa.
“Aku tahu ini sebuah isyarat kalau mas
akan menendangku dari rumah ini.” Kataku setelah wanita itu pergi membawa mobil
terbaru yang dibeli mas Rangga yang katanya bukan untukku, mobil itu sudah
terpasang plat nomornya. Kini aku tahu ternyata mobil itu untuk wanita itu.
“Bagus lah kalau kamu tahu jadi aku tidak
perlu menjelaskan.”
“Tapi tunggu dulu, mas..” kataku
memberanikan diri, sekali pun aku tidak yakin akan mendapat tanggapan yang
baik. Mas Rangga memalingkan wajah yang tidak mau melihat wajahku.
“Tapi apa ? saya gak mau dengar apa-apa
lagi dari kamu. Jangan kan saya, bapak kamu saja sudah tidak bisa memaafkanmu” kalimat
menohok yang membuat jantungku berdetak keras, ingin marah tapi tak mampu. Mas
Rangga pergi meninggalkanku yang masih duduk terkulai di sofa.
Derai airmata sulit kubendung, mas Rangga
mengusir aku dari kamarnya, dia membawa Wanda masuk kamar dan tidur dengan
Wanda. Aku keluar kamar dan tidur di kamar tidur yang kusediakan untuk tamu
yang menginap.
Tiada lagi kesempatan untuk berbakti. Apa
mungkin kisahku akan sama dengan mas Panji ditinggal isteri dan anaknya demi
lelaki mantan pacarnya ? Kini aku terjerembab dalam kesakitan, Mas Rangga sudah
dengan terang-terangan membawa wanita lain.
Aku tahu ini sebuah pembalasan atas
tuduhan selingkuh dan pengkhianatanku. Ternyata suami yang kuanggap baik sangat
keji padaku. Kehalusan sikap dan kata-katanya hilang sudah dari diri mas
Rangga. Kali ini tidak ada kelembutan lagi dan tidak ada sama sekali sikap
baiknya.
*
Esoknya di meja makan aku mulai bicara
lagi. Sekali pun marah ternyata dia masih mau makan masakanku.
“Aku tahu,mas... sekuat apa pun aku
berusaha menyangkal dan tetap baik
padamu tidak ada gunanya, mas tetap beranggapan buruk padaku, tapi aku
tetap bertahan dengan penyangkalanku, apa yang mas tuduhkan tidak benar.”
“Aku tidak percaya. “
“Terserah mas Rangga saja, Aku akan
menerima apa pun keputusan mas. Hanya satu yang kumohon...”
“Apa..??” Belum selesai kalimatku mas
Rangga sudah memotong dengan nada keras, hatiku ciut mengungkap kemauanku
meminta Wanda bersamaku. Bergetar bibirku mengungkap maksudku
“Jika mas memintaku pergi, aku ingin
membawa Wanda bersamaku..” kataku dengan jantung berdetak tak karuan.
Kutunggu jawaban mas Rangga. Bukan
jawaban yang kudengar tapi gelak menghina.
“Hak asuh Wanda ada padaku. Aku tidak akan
membiarkan anakku diasuh oleh ibu penyelingkuh sepertimu. Pengadilan pasti
memutuskan anak akan bersamaku karena kamu yang bersalah.”
“Berapa kali harus kukatakan kalau aku
tidak selingkuh, mas ? “
“Masih gak sadar juga dengan kelakuanmu ?”
“Bukannya terbalik, mas ? Mas membawa
perempuan selingkuhan mas ke rumah ini ”
“Gak terbalik, ini murni pembalasan.”
Jawabnya ketus tanpa mengindahkan perasaanku. Pembalasan ? apakah ini
pembalasan sepadan dengan yang kulakukan ? alangkah piciknya mas Rangga.
“Aku tidak selingkuh dan tidak seharusnya
dibalas” suaraku agak meninggi.
“Diam kamu.“
Kutundukkan kepalaku,rasanya baru ini aku
menemukan suamiku karakternya seperti itu. Ternyata 4 tahun lebih menandampingi suamiku belum
cukup waktu untuk mengenali dirinya. Kutahan rasa sesak dan aku berusaha
bernafas dengan lega. Tidak ada yang
perlu ditakuti karena aku yakin ibuku melahirkanku bukan untuk dihina dan
terhina,
Wajah ibu melintasi pikiranku.. apakah ibu
tahu nasibku jadi seperti ini, seperti halnya ibuku tidak menyadari bahwa aku
terluka..ibu.. oh ibu.. batinku menyeringai, andai ibu sudah tak menghendaki
aku lagi seperti halnya ayah, aku tetap ingin mengasuh Wanda, meski pun ia
terlahir dari lelaki yang tidak kucintai aku tetap mencintai anakku sepenuh
hati.
“Kamu mikir gak? Otak kamu pakai gak?”
Tanya mas Rangga setelah menghentikan gelaknya. Pertanyaan yang kurasa sangat
aneh, tentu saja aku mikir, meminta Wanda keputusan terbaik seorang ibu untuk
mengasuh anaknya. Mas Rangga boleh saja menggantikan aku dengan wanita lain,
aku tetap ingin Wanda bersamaku. Belum kujawab mas Rangga sudah melanjutkan
kata-katanya.
“Pantaskah aku melepaskan anakku dididik perempuan
tidak baik ? aku tidak akan membiarkan itu, tahu kamu ?” bentaknya.
“Stop mas berbicara selingkuh.. aku tidak selingkuh,
mas Rangga yang berselingkuh. Jangan
membalikkan fakta dengan kenyataan yang tidak mas lihat.”
“Apa ? Aku yang selingkuh... hahaa”
“Pantaskah laki-laki membawa masuk wanita
lain ke rumahnya di depan isterinya?” Aku balik bertanya dengan nada tinggi ini
kali pertama aku mencoba menguasai pembicaraan, waktu-waktu sebelumnya aku
hanya bisa meratap, apa yang harus kutakuti dari laki-laki pengatur strategi
busuk untuk kepentingan dirinya.
Hartanya yang berlimpah dan kekuasaannya
tidak akan kujadikan momok yang menakutkan untuk urusan kebenaran, mempertahankan
hidup kini jadi harga mati setelah harga diri terinjak-injak.
“Itu terjadi sebagai pembalasan atas
perselingkuhanmu..”
“Tidak,
aku tidak selingkuh. Aku berani bersumpah untuk itu.”
“Aahh, sudah lah..” mas Rangga membalikkan
tubuh ini ancang ancang untuk pergi, selalu begitu jika tersudut dengan
kebenaran, dia berlalu meninggalkanku.
“Mas tunggu, mas..” aku mengejarnya tapi
dia tak perduli, masuk kamar dan membanting pintu.
“Kenapa kita tak bisa berbicara baik-baik
mas..” kataku agak keras dari luar kamar.
“Aku tidak bisa bicara baik-baik dengan
perempuan tidak baik..” kalimat terakhir menohokku dan membuat aku lemas. Aku
dicap perempuan tidak baik?
“Itu fitnah, mas... berhenti memfitnahku
jika hidup mas ingin baik-baik saja..”
“Sudah lah, aku sudah tidak percaya
padamu.”
Lagi-lagi aku tersudut dan terpuruk. Bagaimana ini? Pikiranku semrawut dan airmata
sudah pasti sulit terbendung.
Rangkuman kalimat kejujuran tidak berarti
lagi, apa aku harus menyesal tidak melanjutkan pertualanganku untuk berselingkuh
saja dengan mas Panji ? Tidak, itu tidak mungkin terjadi, mas Panji lelaki baik.
Dia sangat menjaga kehormatan, martabat dan harga diri dalam menyikapi
kehidupannya. Yang kusesali aku tidak pernah memilikinya.
Ponsel di atas mejaku berdering, aku
segera menghampirinya.. pak Asikin menelepon.
“Ya pak”
“Bu Prita bisa ke kantor sebentar ?”
“Ada apa pak ?”
“Tidak apa, ini ada barang yang akan diekspor
perlu dicek kembali nota penyertanya.. “
“Baik pak..” pak asikin menutup teleponnya
ada aku segera memilih baju untuk ke kantor..
Setelah aku siap berangkat aku ingin
berpamitan pada mas Rangga, ternyata mas Rangga
menutup pintu kamarnya rapat-rapat.
Kudekati Wanda yang sedang disuapi oleh baby
siter. Biasanya minggu begini aku yang menyuapi tapi karena mas Rangga
telah membuat suasana berubah aku absen menyuapi Wanda. Akhir2 ini tampak jelas
sikap mas Rangga ingin memisahkanku dari Wanda.
“Bunda ke kantor dulu ya, sayang “ kataku
pada Wanda. Belum Wanda terdengar suara mas Rangga.
“Pergi sana, tidak usah balik lagi.” Aku
membalikkan tubuh, mas Rangga sudah berdiri berkacak pinggang di depanku.
“Baik, mas. Aku ijin sebentar ke kantor.
Nanti semuanya kita bicarakan lagi.” Kataku.
“Tidak usah ijin-ijinan.” Katanya sinis.
Aku melangkah berlalu meninggalkan mas Rangga, Wanda dan babysitter yang
sedang menyuapi Wanda. Mas Rangga sudah sangat keterlaluan tidak bisa
menghargaiku di depan orang lain.
*
Pulang lembur kukemasi barang-barangku.
Bersyukur aku masih punya mobil dari hasil keringatku. Bersyukur aku bekerja
dan mempunyai penghasilan sendiri. Bersyukur aku tidak banyak menuntut dan
memanfaatkan kekayaan mas Rangga, bersyukur kehidupan orang tuaku tidak
terhina. Selama ini yang menguatkan aku untuk tetap bekerja adalah harga diri
kedua orang tuaku. Kuyakin pilihanku tepat, saat tersakiti dan tidak dihargai
seperti ini, aku masih mampu melanjutkan hidupku.
Semua perhiasan pemberian mas Rangga
kutinggal di laci lemari. Aku tidak perduli mau diapakan atau diberikan kepada
siapa. Kalau diberikan pada perempuan yang katanya akan menggantikanku pun aku
rela. Lebih baik begitu dari pada aku tidak nyaman memakai sesuatu dari orang
yang telah melukai dan mencampakkan aku.
“Keluar lah dari rumahku, tidak usah
berpikir pembagian harta gono gini, itu tidak akan ada.”
Kutahan letupan amarah yang menyesakkan
dada dan menyisakan airmata, betapa piciknya laki-laki yang telah hidup
bersamaku ini. Kutatap tajam wajah mas Rangga dengan mata nanarku. Wajah mas
Rangga memerah, mungkin wajahku pun memerah. Kurutuki diriku, betapa bodohnya
aku memilih tinggal bersama lelaki yang tidak memiliki hati. Aku menggeleng-gelengkan
kepala dan membalikkan tubuh. Kutinggalkan mas Rangga yang menghantarku dengan
tawa merasa puas.
Terngiang di telingaku ucapan mas Rangga.
Tentang harta gono gini. Aku menuntut harta gono-gini? Kupastikan itu tidak
akan terjadi. Aku merasa cukup dengan
penghasilanku sendiri. Kemewahan yang diberikan mas Rangga tidak pernah bisa
mengubah rasaku untuk mencintainya, apalagi sekarang dia sudah sangat menghina
aku.
Terpikir olehku, alangkah indahnya jika cinta menikah dengan
cinta. Karena sebesar apa pun pengorbanan tanpa cinta hasilnya akan sia-sia.
Cinta tidak akan menyakiti cinta dengan segala cara. Bagian dari cinta adalah
jiwa. Tidak cinta pun aku tidak ingin menyakitinya. Ini kekuatanku berkorban,
berbakti dan memberi. Kalau kebaikan dibalas dengan tuba, tidak perlu
menyalahkan siapa-siapa, juga tidak menyalahkan diri sendiri telah berbuat baik
dan berkorban. Tidak perlu mengumandangkan pembenaran diri karena Allah Maha
Teliti.
Kepastian langkah telah kupilih, pergi
dari rumah mas Rangga dengan hati terluka. Sebagai isteri aku digantikan wanita
lain, sebagai ibu pun aku digantikan pula. Sebagai isteri aku ikhlas, tapi
sebagai ibu tentu saja aku tidak ikhlas.
Menyewa apartemen adalah pilihanku. Kusewa
apartemen yang telah lengkap isinya, aku tinggal masuk membawa pakaian dan
perlengkapanku. Apartemen berukuran 36 m2 dengan satu kamar tidur utama dan
ruang keluarga yang leluasa kuperkirakan bisa membuat aku nyaman tinggal di
dalamnya. Sekali pun aku selalu merenungi nasib dan merintih sakit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar