Sabtu, 21 Agustus 2021

ALLAMANDA BERSERAK BAGIAN X DAN XI

 

BAGIAN X

BEZUK

 

Sampai Surabaya kami langsung ke rumah sakit tempat mas Panji dirawat. Aku sudah berkorban banyak untuk kehalusan budi mas Panji. Tanpa menyentuh pun aku sudah dituduh berzina.  Kini aku menjumpainya dalam kondisi mas Panji yang sakit parah begini dia ingin menyentuh tanganku apa harus kutolak sedangkan aku sekarang bukan milik siapa siapa lagi.

 

Mas Panji tidak perlu tahu kalau aku sudah berpisah dengan mas Rangga. Dengan gemetar tanganku ke tangannya. Tangan lemahnya seperti tak kuat meraih tanganku. Aku mendekatkan lagi dan menempelkan ke telapak tangan mas Panji.

"Terima kasih Prita sudah membezukku. " Ucapan dengan suara berat dan tubuh lemah. Kutahan tangisku, aku tidak ingin mas Panji melihat aku menangisi kondisinya. Walau aku sudah berpisah dengan mas Rangga. Dengan gemetar tanganku menjabat tangannya.

 

"Terima kasih Prita sudah membezukku. " Ucapan dengan suara berat dan tubuh lemah. Kugigit bibir bawahku, menahan tangis adalah cara terbaik agar mas Panji untuk tetap semangat untuk sehat. Kondisinya sangat berbeda dengan beberapa bulan lalu ketika kami bertemu di Bali,  secepat itu penyakit menggerogoti tubuh mas Panji.

"Sembuh ya, mas" Ucapku lirih.

"Iya Prita, aku ingin sembuh" Jawabnya tenang penuh kepastian. Suara dengan nada semangat membuat aku sedikit lega, aku berharap mas Panji sehat seperti sedia kala. Transpalasi ginjal cara yang tepat untuk menyembuhkannya. Aku berharap ada yang mendonorkan ginjal untuknya.

 

Mas Panji harus menjalani rawat inap di rumah sakit. Sambil mendeteksi perkembangan penyakitnya dan cuci darah dalam 2 hari sekali sampai keadaan mas Panji kuat untuk kembali ke rumahnya.

Saat berpamitan Esty sudah keluar duluan, mas Panji memanggilku. Dengan perasaan ragu aku berbalik mendekati mas Panji.

“Ya, mas. Ada apa ?” tanyaku tak mengerti maksud mas Panji memanggilku untuk kembali mendekat.

“Aku hanya ingin menyampaikan kalau aku masih seperti dulu termasuk hatiku,” katanya sambil menatap wajahku, mata yang dulu selalu membinar kini redup. Cahayanya melemah.

“Pikirkan kesehatan mas.” Kataku pelan.

“Aku ingin kamu tahu aku sebenarnya.” tutur kata lembut meremukkan hatiku.

“Kita akan tetap bersahabat, mas. Janji kita di Bali” kataku datar.

“Iya, Prita. Kita tetap bersahabat” tegasnya melenyapkan seluruh tanda tanya di pikiranku, mas Panji sangat tahu kalau aku sering mudah baper memaknai kata-kata orang lain.

“Aku pamit ya, mas. Bersemangat lah untuk sehat.” Mas Panji mengangguk. Senyum lembutnya mengembang. Ada haru menggelitik hati. Aku berusaha menghilangkan gelitikan rasa haru yang hampir membuatku menangis. Kubalas senyumannya dengan lembut pula. Aku melangkah mundur. Pandangan mas Panji mengikutiku sampai aku keluar dari pintu kamar rawat inap. Aku berlari ke toilet rumah sakit. Aku ingin Esty tidak tahu kalau sebenarnya aku sudah ingin menumpahkan tangisku sejak tadi. Ini cara terbaikku untuk menutup keharuanku atas kondisi mas Panji.

 

Rencana balik ke Jakarta hari itu juga dengan pesawat penerbangan terakhir. Jarak tempuh Jakarta-Surabaya dengan pesawat begitu dekat.  Mengapa dulu aku tidak sering menjumpai mas Panji ke Surabaya ? Perjalanan cintaku mungkin harus begitu, pikirku.

 

Dari rumah sakit, kami singgah ke tempat ice Cream Zangrandi. Terletak di Jl. Yos Sudarso no 15, Zangrandi kental dengan suasana tempo dulu. Duduk di sana bersama Esty, membuat hatiku sedikit terhibur.

Sambil menikmati ice cream Tutti Fruti, kami ngobrol panjang lebar tentang mas Panji. Esty baru bercerita kalau suaminya saudara misan mas Panji. Banyak yang kebetulan di dunia ini.

Perkenalan Esty dengan mas Rudi suaminya yang sekarang terjadi waktu aku ajak Esty jalan-jalan ke Singapore. Perkenalan yang unik. Saat kami mau pulang ke Indonesia di  Changi International Airport, Esty terburu-buru mendorong trouly ke tempat ceck in, trouly yang didorong Esty kena kaki mas Rudi. Esty minta maaf malah dapat senyuman, mereka berkenalan sampai berjodoh. Sungguh jodoh tak terduga.

 

Aku baru mengerti selama ini Esty tahu banyak tentang mas Panji, karena mereka sering berkomunikasi, termasuk mengirimkan bunga-bunga allamanda itu rekomendasi mas Panji.

 

"Apa kamu ga ingin mendampingi mas Panji lagi? " Pertanyaan yang tak  kuduga.

"Sepertinya gak mungkin"

"Kenapa gak mungkin, kan kalian sudah sama sama sendiri"

"Aku belum berhasrat nikah lagi, dan kalau aku menikah dengan mas Panji akan terbukti kalau aku yang bersalah. Apalagi sampai sekarang ayah belum memaafkan aku. "

“Ooh iya ya. "

“Tapi kamu masih cinta sama mas Panji ? "

"Jangan tanya gitu ah.  aku empati pada kehidupannya. Kalau kamu tanya apa aku masih cinta, ah.. " aku melenguh

"Nah masih cinta kan"

"Gak “

“Ayo ngaku “

“Jangan cecar aku dengan pertanyaan gitu dong. "

"Kenapa? Jujur dong"

"Ya itu sulit.. "

"Apa sih sulitnya tinggal jawab aja masih cinta atau gak"

"Udah dech. Jangan tanya terus. "

"Nah kamu kayak gitu"

"Kalau aku jawab ya atau tidak apa akan merubah keadaan? Gak kan, aku tetap begini mas Panji tetap begitu"

"Yaudah begini dan begitu nasibmu" kelakar Esty.

"Ich" Aku cubit tangan Esty yang sedang memegang sendok es.

"Aduh.. "

"Sakit..? "

"Ya iya lah, kamu cubit"

"Lebih sakit perasaanku kalee.. "

"Iya aku tahu. Perasaanmu emang pesakitan " Esty tertawa agak keras. Aku masih memberengut. Esty senyum-senyum menggoda membuat detak jantungku beruba tak karuan.

"Makasih ya.. " kataku mengurangi detak jantung tak menentu.

"Makasih apanya"

"Kamu udah nganter aku, kamu teman yang baik banget. "

"Kamu juga baik, Prita. Pinter tapi polos. "

"Ga polos ko hidupku penuh warna." Aku mengedipkan mata.

"Yang polos itu hatimu.. "

"Punya suami selingkuh udah 2 tahun gak tahu, aku dong baru enam bulan langsung kudepak"

"Aku beda dengan kamu, kamu missionaris.. Pinter banget sih kamu.. Beruntungnya aku punya teman sepertimu.” Esty membusungkan dada dan memancungkan bibirnya bangga.

“Tapi ini ga pas buat balas budi. “

“Kok balas budi ?

“Iya lah, Aku ngajak kamu jalan-jalan ke Singapore sampai dapat jodoh suami idamanmu itu, kamu balasnya mengunjungi orang sakit. Ha..ha” Tawaku merembak.

“Orang yang sakit itu sangat berarti bagimu. Coba deh pikirin.” Aku terpukul telak oleh kata-kata Esty ini.

“tau ah..”

“Ciye..jadi baper..”

“Kamu sih..”

“Aku dah bener ngajakin kamu bezuk mantan.. “

“Iya sih.. ehhh,,”

“Kenapa lagi ?”

“Kepikiran sakitnya mas Panji.”

“Iya.. “

“Itu tandanya kamu masih cinta.”

 

Mungkin ada yang terasa lepas setelah ini. Rasa lega bisa membezuk mas Panji, rasa sedihnya tentu ada.

“Gimana perasaanmu sekarang?”

“Iya aku kasian lah sama mas Panji.”

“Gawat !!”

“Kok gawat..”

“Kasian itu lebih dari cinta loh” aku mendesah, kuletakkan ice creamku yang sudah mulai mencair. Desir ini menjalar menjadi rasa hati yang terlepas. Sulit menerjemahan hatiku saat ini, cinta atau kasian, yang pasti aku mulai gundah dan resah dengan kondisi mas Panji.

“Aku gak tahu,“ kataku lirih. Mendengar kalimatku ini Esty berhenti menyendok ice creamnya.

“Prita, hey…” Esty menggoyang-goyang tanganku pelan.

“Apa ?”

“Ko jadi murung ?”

“Aku sedih aja mikirin kondisi mas Panji.”

“Jangan sedih gitu ah. Berdoa aja kan sebentar lagi ada orang yang mendonorkan ginjal buat Panji.”

“Semoga lancar yah”

“Aamiin.” Ucap Esty.

 

Sepanjang perjalanan Surabaya-Jakarta Esty berusaha terus menghiburku mengajak bercanda ini itu. Esty selalu punya cara yang terbaik untuk mengiburku. Sahabat sejatiku ini luar biasa.

 

 

 

 BAGIAN XI

KHITBAH HATI

 

Beberapa hari aku melewati resahku setelah membezuk mas Panji. Ada hal yg kuanggap penting singgah di hati. Aku ingin menemuinya lagi, sekali pun hidupku sudah porak-poranda setidaknya aku punya secercah harapan. Aku tidak akan menyerah pada kesakitan. Aku tidak akan membiarkan cintaku hilang jika masih ada kesempatan untuk menikmatinya. Aku ingin takdir hidupku berubah.  Jika aku tertekan dalam ketidakwajaran apa aku tidak boleh memberontak ? aku punya naluri untuk survive dengan hidupku. Kehidupan harus berlanjut.

 

Aku tidak bisa mengelak dari kenyataan kalau hatiku telah gagal move-on dari kehidupan mas Panji. Rasa kasih ini lebih kuat menyelinap. Aku akan menemui lagi tubuh lemah tak berdaya itu. Aku tidak perlu berpikir lebih jauh. Tubuh itu butuh aku dan aku butuh bahagia bersamanya. Kuputuskan Kembali ke Surabaya di hari Sabtu berikutnya.

 

Pagi-pagi aku sudah sampai Surabaya langsung menuju Rumah Sakit tempat mas Panji dirawat. Saat kutemui di rumah sakit, mas Panji sedang duduk, raut wajahnya  sudah lebih segar dari minggu lalu waktu aku membezuk bersama Esty. Mas Panji tampak terkejut melihat kedatanganku, menyambutku dengan senyum indahnya. Aku langsung mendekatinya dan berlutut di bibir tempat tidurnya. 

 

“Mas, jika masih ingin kudampingi ni...ni.. nikahi saya..” kataku terbata-bata, nafasku tersengal. Aku menundukkan wajah, kugigit bibir bawah mengurangi rasa getir karena ucapanku terlalu nekad.

“Ijinkan aku mengabdikan hidupku untukmu..” lanjutku.  Aku masih tertunduk. Tidak berani melihat wajah mas Panji.

Aku sudah tidak berpikir ini keputusan emosi atau memang hatiku mengatakan yang sebenarnya, juju raku tak tega aku membiarkan orang yang kucintai menderita sendiri.

“Prita...” sapanya pelan, terasa olehku tangan kanannya menyentuh ujung kepala hijabku. Sentuhan lembut yang berefek besar di denyut nadiku.

“Prita, lihat aku!” kuangkat wajahku walau kata mas Panji pelan, aku tak berani mengangkat wajahku, aku takut melihat ekspresi wajah mas Panji atas kalimat nekadku. Airmata sudah mengalir dari netraku. Pelan mas Panji melepaskan sentuhan di atas kepalaku,  memindahkan tangannya menghapus air mataku yang sulit kubendung.

 

“Lihatlah aku “ kuangkat wajahku dengan air mata sedikit mengering karena usapannya. Kutatap wajah sendunya. Tak bisa aku menebak apa yang ada di pikiran mas Panji.  

“Mas berpikir aku sedang merendahkan diriku karena ingin dinikahi mas.. ini ketulusan mas. Aku ingin menebus dosaku dan ingin bersamamu..”

“Tidak ada dosa dan kesalahan di antara kita kan waktu di Bali kita sudah komitmen saling memaafkan..”

“Iya mas... tapi sebenarnya kita sedang saling membohongi diri kita kalau sebenarnya...”

“Kita masih saling mencintai...” kalimatnya memotong kata-kataku. “Itu pasti..”

“Mas...” panggilku lirih.

“Jika kau mau meyakini pernyataan hati laki-laki, aku sedikit bisa menjelaskan,  seorang laki-laki dalam hidupnya hanya satu kali punya kepastian cinta..” lembut kalimatnya meyakinkan jika mas Panji masih mencintaiku.

 

“Kita masih saling mencintai, tapi kita tidak berjodoh” kalimatnya seolah menolakku.

“Tapi kondisi kita saat ini memungkinkan, aku ingin menemani mas dan merawat mas..” kataku tegas dalam kelemahan rasa sedih yang tertahan.. terdengar desahan mas Panji, seperti melepaskan rasa sesak di dadanya.

 

Aku menegarkan hati berharap mas Panji tidak sesak mendengar niatku meminta dinikahinya, aksi nekad yang tidak pernah mas Panji perkirakan sebelumnya.

“Aku tidak mau menyesal dalam hidupku membiarkan mas menahan sakit sendiri” mas Panji terdiam, aku pun diam. Lama kami dalam kebisuan. Tatapan mas Panji seakan  membuatku memiliki kekuatan setelah suami dan ayahku mencampakkanku.

 

“Aku mau makan, suapin yah” suara mas Panji mengalihkan pembicaraan. Mas Panji tidak menanggapi pernyataanku malah minta disuapi. Aku tahu mas Panji orang sangat berhati-hati mengambil sikap. Sementara akan kubiarkan dulu mas panji memikirkan jawaban untukku. Aku menengadah bersemangat.

“Iya, mas. Apa yang boleh dimakan?” Tanyaku penuh gairah.

“Yang tersedia di meja itu” mataku mengarah ke meja yang ditunjuk mas panji hanya ada segelas bubur kacang hijau, ini memang belum saatnya jam makan siang jadi hanya bubur kacang hijau menu pagi yang belum tersentuh. Dengan sigap kuambil gelas berisi bubur kacang hijau dan sendoknya.

 

Pelan aku mulai menyuapi, wajah mas Panji cerah, senyum merekah, bahagia menyelinap di kalbuku. Setidaknya tidak sia-sia aku terbang dari Jakarta ke Surabaya di pagi buta, laki-laki yang kucintai menjadi kuat dalam sakitnya. Semoga keputusan dan harapanku tak sia-sia.

 

“Rasanya seperti mimpi” mas Panji menggumam.

“Mimpi apa, mas ?”

“Mimpi disuapin wanita idaman”

“Mas Panji bisa saja” aku tersipu.

“Aku ingin berlari saja kalau begini. Keluar dari rumah sakit menghirup udara segar di luar.”

“Sabar mas, kan lusa mas Panji sudah  boleh pulang.”

“Iya saya sabar,bu Prita”

“Rasanya aku jadi tua. “ balasku seperti saat mas Panji protes kupanggil pak.

“Membalas itu namanya.”

“Harus bisa balas..”

“Ya sudah kuhilangkan kata “bu”  nya”

 

Bahagia merasuki hati. Kuulurkan tissue agar mas Panji mengelap bibirnya karena ada sisa bubur yang menempel.

“Ko tega yah suruh ngelap sendiri” katanya sumringah menakjubkan, aku merasa bersalah tidak membantunya, segera kuambil kembali tissue di tangannya dan aku membantu membersihkan sisa makanan di sudut bibirnya, wajah yang berubah cerah itu menambah semangatku. Selesai makan kurapatkan selimutnya.

“Istirahat ya, mas.” Ucapku halus. Mas Panji menurut saja.

“Kalau aku tertidur Prita sendirian. “

“Ga apa mas, saya akan tunggu di sini saja.”

“Terima kasih, Prita. Semoga kebaikanmu terbalas dengan kebaikan” doa mas Panji sambil memejamkan matanya.

 

*

 

Jelang sore hari aku langsung menuju hotel yang telah ku booking dari Jakarta. Aku mencari hotel yang dekat dengan rumah sakit tempat mas Panji dirawat. Saat kutinggalkan, Maya keponakan mas Panji yang merawat mas Panji setiap kerja belum datang. Mas Panji memintaku untuk segera ke hotel dan istirahat meski pun Maya belum datang.

 

Hari ini seperti kumparan waktu yang membusung kembali di arena rasaku. Bertahun waktu itu tertinggal. Aku meniti kembali bersama sentuhan tangan lembut di ujung jemariku meski hanya sesaat. Yang berbeda ada lah masa dan keadaan. Dulu kami masih sama-sama murni. Sekarang sudah ada orang  lain yang pernah singgah menyelimuti hidup kami dengan kepalsuan. Kepalsuan yang tidak ingin kusesali.

 

Jelang tidurku sebuah video lagu masuk ke ponselku dari nomor hp mas Panji. Mas Panji tahu aku menginap di hotel sendirian. Mungkin video lagu itu agar menemaniku. Ah mas Panji tidak tahu kalau sudah berbulan aku tinggal sendiri.

 

“Terima kasih seharian sudah menemani aku, ini lagu untuk penghilang Lelah dan pengantar tidur. Selamat beristirahat, semoga mimpi indah.” Tulis mas Panji ditambah emote senyum dan signlove.  Keromantisan mas Panji masi seperti dulu. Aku tersenyum sendiri.

“Terima kasih mas, semoga semakin sehat.” Balasku.

Aku terbenam  dalam alunan lagu Ebiet G Ade ; Kupu-Kupu Kertas

 

Kupu-Kupu Kertas

Setiap waktu engkau tersenyum
Sudut matamu memancarkan rasa
Keresahan yang terbenam
Kerinduan yang tertahan
Duka dalam yang tersembunyi
Jauh di lubuk hati
Kata-katamu
Riuh mengalir bagai gerimis

 

Seperti angin tak pernah diam
Selalu beranjak setiap saat
Menebarkan jala asmara
Menaburkan aroma luka
Benih kebencian kau tanam
Bakar ladang gersang
Entah sampai kapan
Berhenti menipu diri

Kupu-kupu kertas
Yang terbang kian kemari
Aneka rupa dan warna
Dibias lampu temaram

Membasuh debu yang lekat dalam jiwa
Mencuci bersih dari segala kekotoran

Aku menunggu hujan turunlah
Aku mengharap badai datanglah
Gemuruhnya akan melumatkan semua…

 

 

Kupu-kupu Kertas, aku kah yang dimaksud mas Panji dalam lagu itu, atau mas Panji sedang menyindir aku karena aku pernah meninggalkannya ? aku laksana kupu-kupu kertas bagi mas Panji, sementara dia berhenti berharap, aku mendekat, saat aku tertangkap aku hanya hiasan yang sudah merapuh. 

 

Seperti sebuah kesalahan besar aku datang lagi dalam kehidupan mas Panji ? aku menepis pikiran burukku tentang itu, satu tekadku ingin mendampingi mas Panji meski terpikir olehku pertanyaan kemana mas Panji akan mengkhitbahku sementara orang tuaku sudah tidak mengganggap aku ada. Apa aku menikah dengan mas Panji dengan wali hakim sedangkan ayahku masih ada ?  Betapa sakitnya jadi anak yang terbuang.

 

Sebelum kembali ke Jakarta aku ke rumah sakit lagi menjumpai mas Panji. Besok aku harus kembali pada rutinitasku bekerja dan bekerja, sambil bekerja aku akan terus menanti jawaban mas Panji untuk mempersuntingku. Aku tidak memperhitungkan kalah dan menang.. yang kuinginkan kepuasan hidup dan berbuat baik. Mencintai “cinta” dan mengabdi pada sosok cinta.

 

 

Sampai rumah sakit aku diperkenalkan dengan Maya keponakan mas Panji

“Ini yah tante yang membuat om Panji tidak berhenti..”

“Maya..” suara mas Panji pelan menghentikan kalimat yang dilontarkan Maya untukku.. huff  Maya menutup mulutnya dengan telapak tangan setelah menyalamiku. Aku tersenyum mengangguk. Sejenak aku dan Maya saling pandang, cantik juga keponakan mas Panji yang baru lulus dari perguruan tinggi.

“Gak ngaku nih, om”

“Maya… kamu keluar dulu sana!” sambil senyum simpul mas Panji menyuruh Maya keluar.

“Siap om bos, siap tahu diri.” Maya tertawa cekikikan sambil melangkah pergi.

 

“Ada kalimat yang harus dilanjutkan.” Kata mas Panji membuka kata setelah Maya tidak berada di ruang rawat.

“Ya, mas ?”

“Jika kita menikah kamu bisa mendampingi dan merawatku itu mungkin saja dengan mudah aku akan mengatakan “iya”. Masih ada yang harus dijawab, dari pertanyaan hatiku, apa aku bisa membahagiakanmu, aku tidak punya jaminan untuk itu. “ suara mas Panji seperti putus asa.

“Mas ?”

“Kupastikan itu, kita tidak boleh egois dengan diri kita,  niat baik orang lain tidak harus meluncur tanpa konsekuensi. Bagaimana dengan dirimu sendiri, pekerjaanmu, karir dan cita-cita hidupmu jika waktumu hanya untuk aku?” Lancar bicara mas Panji hingga pada pertanyaan yang tidak mampu kujawab dengan segera. Semua itu tidak kupikirkan sebelumnya, tapi setiap perubahan yang dipilih adalah sebuah keputusan yang memiliki konskekuesi.

 

 

Jika mas Panji bersedia mempersuntingku aku pun juga tidak tahu pada siapa mas Panji harus datang meminangku. Saat ini aku milik diriku sendiri. Pedih menyeruak masuk dalam kalbu. Sedikit pun aku belum menyesali keputusan emosi ku.

 

“Prita…” Panggilnya pelan menyibak lamunan emosiku.

“Ko jadi melamun, benar kan kalau akhirnya kamu berpikir untuk semua pertanyaanku..” wajah tulusnya meminta kebenaran atas pendapatnya dalam pikiranku. Padahal aku tidak melamun untuk itu, pekerjaan, karir dan uang kupikirkan belakangan. Aku tidak menjawab sehingga mas Panji yang melanjutkan. Jujur yang kupikirkan apakah mas Panji tahu ayah sudah membuangku.

“Aku mohon pikirkan untuk pertanyaanku, renungkan dulu sedalam mungkin sampai kamu pada keputusan hati yang sebenarnya.”

“Iya mas” jawabku setuju. Kemudian kami sama-sama terdiam.

 

“Bukan karena aku merasa sempurna ingin mendampingimu, mas. “ aku Kembali membuka kata.

“Kamu sempurna di mataku, di hatiku..” kalimatnya sendu. Kesenduan ini pernah kurasakan dulu.

 

Setitik air jatuh dari mataku mengapa selalu sulit untuk menghindar dari tangis ? Ya Tuhan tolong lah hambaMu ini untuk bisa menyimpan tangis di depan laki-laki yang selalu mengisi hatiku.

Diraihnya tanganku dan digenggamnya erat. Pertahanan untuk tidak bersentuhan dengan Mas Panji tiada kokoh lagi. Ini pertama kali setelah bertahun  tidak bersama lagi, tidak saling mendekat, tidak saling menyentuhkan hati. Keteduhan hati ini sangat kunikmati.

 

“Aku akan tetap mencintaimu sekali pun bulan bertambah satu.” kalimat sejuknya meyakinkanku.

“Tidak mungkin, mas” kataku menyanggah.  

“Apa yang tidak mungkin, kalau cintaku selalu mungkin kalau bulan bertambah satu, hanya Kuasa Sang Pencipta. “ aku tertawa mendengar jawaban mas Panji, mas Panji pun tertawa. Canda tawa kini hadir lagi, sampai aku berpamitan.

 

“Kupu-kupu kertas akan kembali ke tempatnya.” Pamitku.

“Suatu saat saya akan menangkap kupu-kupu kertas itu.” katanya memberikanku keyakinan akan kesungguhannya.

“Sanggupkah kupu-kupu kertas itu mendampingiku?” aku terpana dengan ucapannya, tak mampu menjawab.

 

“Ini adalah khitbah hati, tuan puteri “ aku masih diam.

“Khitbah selanjutnya adalah ragaku akan menjumpaimu.” Ucapan terakhir membuat hatiku bergetar. Tatap lembut itu mengurut nadi, mengumpulkan bahagia.

 

“Aku akan menanti.” Jawabku pelan. Wajah mas Panji membinar, anggukan kecil disampaikan padaku aku pun membalas dengan anggukan. Kami saling tersenyum. Senyum tulus, senyum cinta dan harapan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar