BAGIAN X
BEZUK
Sampai Surabaya
kami langsung ke rumah sakit tempat mas Panji dirawat. Aku sudah berkorban
banyak untuk kehalusan budi mas Panji. Tanpa menyentuh pun aku sudah dituduh
berzina. Kini aku menjumpainya dalam
kondisi mas Panji yang sakit parah begini dia ingin menyentuh tanganku apa
harus kutolak sedangkan aku sekarang bukan milik siapa siapa lagi.
Mas Panji tidak
perlu tahu kalau aku sudah berpisah dengan mas Rangga. Dengan gemetar tanganku
ke tangannya. Tangan lemahnya seperti tak kuat meraih tanganku. Aku mendekatkan
lagi dan menempelkan ke telapak tangan mas Panji.
"Terima
kasih Prita sudah membezukku. " Ucapan dengan suara berat dan tubuh lemah.
Kutahan tangisku, aku tidak ingin mas Panji melihat aku menangisi kondisinya. Walau
aku sudah berpisah dengan mas Rangga. Dengan gemetar tanganku menjabat tangannya.
"Terima
kasih Prita sudah membezukku. " Ucapan dengan suara berat dan tubuh lemah.
Kugigit bibir bawahku, menahan tangis adalah cara terbaik agar mas Panji untuk
tetap semangat untuk sehat. Kondisinya sangat berbeda dengan beberapa bulan
lalu ketika kami bertemu di Bali,
secepat itu penyakit menggerogoti tubuh mas Panji.
"Sembuh ya,
mas" Ucapku lirih.
"Iya Prita,
aku ingin sembuh" Jawabnya tenang penuh kepastian. Suara dengan nada
semangat membuat aku sedikit lega, aku berharap mas Panji sehat seperti sedia
kala. Transpalasi ginjal cara yang tepat untuk menyembuhkannya. Aku
berharap ada yang mendonorkan ginjal untuknya.
Mas Panji harus
menjalani rawat inap di rumah sakit. Sambil mendeteksi perkembangan penyakitnya
dan cuci darah dalam 2 hari sekali sampai keadaan mas Panji kuat untuk kembali
ke rumahnya.
Saat berpamitan
Esty sudah keluar duluan, mas Panji memanggilku. Dengan perasaan ragu aku
berbalik mendekati mas Panji.
“Ya, mas. Ada apa
?” tanyaku tak mengerti maksud mas Panji memanggilku untuk kembali mendekat.
“Aku hanya ingin
menyampaikan kalau aku masih seperti dulu termasuk hatiku,” katanya sambil
menatap wajahku, mata yang dulu selalu membinar kini redup. Cahayanya melemah.
“Pikirkan
kesehatan mas.” Kataku pelan.
“Aku ingin kamu
tahu aku sebenarnya.” tutur kata lembut meremukkan hatiku.
“Kita akan tetap
bersahabat, mas. Janji kita di Bali” kataku datar.
“Iya, Prita. Kita
tetap bersahabat” tegasnya melenyapkan seluruh tanda tanya di pikiranku, mas
Panji sangat tahu kalau aku sering mudah baper memaknai kata-kata orang lain.
“Aku pamit ya,
mas. Bersemangat lah untuk sehat.” Mas Panji mengangguk. Senyum lembutnya mengembang.
Ada haru menggelitik hati. Aku berusaha menghilangkan gelitikan rasa haru yang hampir
membuatku menangis. Kubalas senyumannya dengan lembut pula. Aku melangkah
mundur. Pandangan mas Panji mengikutiku sampai aku keluar dari pintu kamar
rawat inap. Aku berlari ke toilet rumah sakit. Aku ingin Esty tidak tahu kalau
sebenarnya aku sudah ingin menumpahkan tangisku sejak tadi. Ini cara terbaikku
untuk menutup keharuanku atas kondisi mas Panji.
Rencana balik ke Jakarta
hari itu juga dengan pesawat penerbangan terakhir. Jarak tempuh Jakarta-Surabaya
dengan pesawat begitu dekat. Mengapa
dulu aku tidak sering menjumpai mas Panji ke Surabaya ? Perjalanan cintaku
mungkin harus begitu, pikirku.
Dari rumah sakit,
kami singgah ke tempat ice Cream Zangrandi. Terletak di Jl. Yos Sudarso no 15, Zangrandi kental dengan
suasana tempo dulu. Duduk di sana bersama Esty, membuat hatiku sedikit
terhibur.
Sambil menikmati ice cream Tutti Fruti, kami ngobrol panjang lebar tentang mas
Panji. Esty baru bercerita kalau suaminya
saudara misan mas Panji. Banyak yang kebetulan di dunia ini.
Perkenalan
Esty dengan mas Rudi suaminya yang sekarang terjadi waktu aku ajak Esty
jalan-jalan ke Singapore. Perkenalan yang unik. Saat kami mau pulang ke
Indonesia di Changi International
Airport, Esty terburu-buru mendorong trouly ke tempat ceck in, trouly
yang didorong Esty kena kaki mas Rudi. Esty minta maaf malah dapat
senyuman, mereka berkenalan sampai berjodoh. Sungguh jodoh tak terduga.
Aku baru mengerti
selama ini Esty tahu banyak tentang mas Panji, karena mereka sering
berkomunikasi, termasuk mengirimkan bunga-bunga allamanda itu
rekomendasi mas Panji.
"Apa kamu ga
ingin mendampingi mas Panji lagi? " Pertanyaan yang tak kuduga.
"Sepertinya
gak mungkin"
"Kenapa gak mungkin,
kan kalian sudah sama sama sendiri"
"Aku belum
berhasrat nikah lagi, dan kalau aku menikah dengan mas Panji akan terbukti
kalau aku yang bersalah. Apalagi sampai sekarang ayah belum memaafkan aku.
"
“Ooh iya ya.
"
“Tapi kamu masih
cinta sama mas Panji ? "
"Jangan
tanya gitu ah. aku empati pada
kehidupannya. Kalau kamu tanya apa aku masih cinta, ah.. " aku melenguh
"Nah masih
cinta kan"
"Gak “
“Ayo ngaku “
“Jangan cecar aku
dengan pertanyaan gitu dong. "
"Kenapa?
Jujur dong"
"Ya itu
sulit.. "
"Apa sih
sulitnya tinggal jawab aja masih cinta atau gak"
"Udah dech.
Jangan tanya terus. "
"Nah kamu kayak
gitu"
"Kalau aku
jawab ya atau tidak apa akan merubah keadaan? Gak kan, aku tetap begini mas
Panji tetap begitu"
"Yaudah
begini dan begitu nasibmu" kelakar Esty.
"Ich"
Aku cubit tangan Esty yang sedang memegang sendok es.
"Aduh..
"
"Sakit..?
"
"Ya iya lah,
kamu cubit"
"Lebih sakit
perasaanku kalee.. "
"Iya aku
tahu. Perasaanmu emang pesakitan " Esty tertawa agak keras. Aku masih
memberengut. Esty senyum-senyum menggoda membuat detak jantungku beruba tak
karuan.
"Makasih
ya.. " kataku mengurangi detak jantung tak menentu.
"Makasih
apanya"
"Kamu udah
nganter aku, kamu teman yang baik banget. "
"Kamu juga
baik, Prita. Pinter tapi polos. "
"Ga polos ko
hidupku penuh warna." Aku mengedipkan mata.
"Yang polos
itu hatimu.. "
"Punya suami
selingkuh udah 2 tahun gak tahu, aku dong baru enam bulan langsung
kudepak"
"Aku beda
dengan kamu, kamu missionaris.. Pinter banget sih kamu.. Beruntungnya aku punya
teman sepertimu.” Esty membusungkan dada dan memancungkan bibirnya bangga.
“Tapi
ini ga pas buat balas budi. “
“Kok
balas budi ?
“Iya
lah, Aku ngajak kamu jalan-jalan ke Singapore sampai dapat jodoh suami idamanmu
itu, kamu balasnya mengunjungi orang sakit. Ha..ha” Tawaku merembak.
“Orang
yang sakit itu sangat berarti bagimu. Coba deh pikirin.” Aku terpukul telak
oleh kata-kata Esty ini.
“tau
ah..”
“Ciye..jadi
baper..”
“Kamu
sih..”
“Aku
dah bener ngajakin kamu bezuk mantan.. “
“Iya
sih.. ehhh,,”
“Kenapa
lagi ?”
“Kepikiran
sakitnya mas Panji.”
“Iya..
“
“Itu
tandanya kamu masih cinta.”
Mungkin
ada yang terasa lepas setelah ini. Rasa lega bisa membezuk mas Panji, rasa
sedihnya tentu ada.
“Gimana
perasaanmu sekarang?”
“Iya
aku kasian lah sama mas Panji.”
“Gawat
!!”
“Kok
gawat..”
“Kasian
itu lebih dari cinta loh” aku mendesah, kuletakkan ice creamku yang sudah mulai
mencair. Desir ini menjalar menjadi rasa hati yang terlepas. Sulit menerjemahan
hatiku saat ini, cinta atau kasian, yang pasti aku mulai gundah dan resah
dengan kondisi mas Panji.
“Aku
gak tahu,“ kataku lirih. Mendengar kalimatku ini Esty berhenti menyendok ice
creamnya.
“Prita,
hey…” Esty menggoyang-goyang tanganku pelan.
“Apa
?”
“Ko
jadi murung ?”
“Aku
sedih aja mikirin kondisi mas Panji.”
“Jangan
sedih gitu ah. Berdoa aja kan sebentar lagi ada orang yang mendonorkan ginjal
buat Panji.”
“Semoga
lancar yah”
“Aamiin.”
Ucap Esty.
Sepanjang
perjalanan Surabaya-Jakarta Esty berusaha terus menghiburku mengajak bercanda
ini itu. Esty selalu punya cara yang terbaik untuk mengiburku. Sahabat sejatiku
ini luar biasa.
BAGIAN XI
KHITBAH HATI
Beberapa
hari aku melewati resahku setelah membezuk mas Panji. Ada hal yg kuanggap
penting singgah di hati. Aku ingin menemuinya lagi, sekali pun hidupku sudah
porak-poranda setidaknya aku punya secercah harapan. Aku tidak akan menyerah
pada kesakitan. Aku tidak akan membiarkan cintaku hilang jika masih ada
kesempatan untuk menikmatinya. Aku ingin takdir hidupku berubah. Jika aku tertekan dalam ketidakwajaran apa
aku tidak boleh memberontak ? aku punya naluri untuk survive dengan
hidupku. Kehidupan harus berlanjut.
Aku
tidak bisa mengelak dari kenyataan kalau hatiku telah gagal move-on dari
kehidupan mas Panji. Rasa kasih ini lebih kuat menyelinap. Aku akan menemui
lagi tubuh lemah tak berdaya itu. Aku tidak perlu berpikir lebih jauh. Tubuh
itu butuh aku dan aku butuh bahagia bersamanya. Kuputuskan Kembali ke Surabaya
di hari Sabtu berikutnya.
Pagi-pagi
aku sudah sampai Surabaya langsung menuju Rumah Sakit tempat mas Panji dirawat.
Saat kutemui di rumah sakit, mas Panji sedang duduk, raut wajahnya sudah lebih segar dari minggu lalu waktu aku
membezuk bersama Esty. Mas Panji tampak terkejut melihat kedatanganku,
menyambutku dengan senyum indahnya. Aku langsung mendekatinya dan berlutut di
bibir tempat tidurnya.
“Mas,
jika masih ingin kudampingi ni...ni.. nikahi saya..” kataku terbata-bata,
nafasku tersengal. Aku menundukkan wajah, kugigit bibir bawah mengurangi rasa
getir karena ucapanku terlalu nekad.
“Ijinkan
aku mengabdikan hidupku untukmu..” lanjutku. Aku masih tertunduk. Tidak berani melihat
wajah mas Panji.
Aku
sudah tidak berpikir ini keputusan emosi atau memang hatiku mengatakan yang
sebenarnya, juju raku tak tega aku membiarkan orang yang kucintai menderita
sendiri.
“Prita...”
sapanya pelan, terasa olehku tangan kanannya menyentuh ujung kepala hijabku. Sentuhan
lembut yang berefek besar di denyut nadiku.
“Prita,
lihat aku!” kuangkat wajahku walau kata mas Panji pelan, aku tak berani
mengangkat wajahku, aku takut melihat ekspresi wajah mas Panji atas kalimat
nekadku. Airmata sudah mengalir dari netraku. Pelan mas Panji melepaskan sentuhan
di atas kepalaku, memindahkan tangannya
menghapus air mataku yang sulit kubendung.
“Lihatlah
aku “ kuangkat wajahku dengan air mata sedikit mengering karena usapannya.
Kutatap wajah sendunya. Tak bisa aku menebak apa yang ada di pikiran mas Panji.
“Mas
berpikir aku sedang merendahkan diriku karena ingin dinikahi mas.. ini
ketulusan mas. Aku ingin menebus dosaku dan ingin bersamamu..”
“Tidak
ada dosa dan kesalahan di antara kita kan waktu di Bali kita sudah komitmen
saling memaafkan..”
“Iya
mas... tapi sebenarnya kita sedang saling membohongi diri kita kalau
sebenarnya...”
“Kita
masih saling mencintai...” kalimatnya memotong kata-kataku. “Itu pasti..”
“Mas...”
panggilku lirih.
“Jika
kau mau meyakini pernyataan hati laki-laki, aku sedikit bisa menjelaskan, seorang laki-laki dalam hidupnya hanya satu
kali punya kepastian cinta..” lembut kalimatnya meyakinkan jika mas Panji masih
mencintaiku.
“Kita
masih saling mencintai, tapi kita tidak berjodoh” kalimatnya seolah menolakku.
“Tapi
kondisi kita saat ini memungkinkan, aku ingin menemani mas dan merawat mas..”
kataku tegas dalam kelemahan rasa sedih yang tertahan.. terdengar desahan mas
Panji, seperti melepaskan rasa sesak di dadanya.
Aku
menegarkan hati berharap mas Panji tidak sesak mendengar niatku meminta
dinikahinya, aksi nekad yang tidak pernah mas Panji perkirakan sebelumnya.
“Aku
tidak mau menyesal dalam hidupku membiarkan mas menahan sakit sendiri” mas
Panji terdiam, aku pun diam. Lama kami dalam kebisuan. Tatapan mas Panji seakan
membuatku memiliki kekuatan setelah
suami dan ayahku mencampakkanku.
“Aku
mau makan, suapin yah” suara mas Panji mengalihkan pembicaraan. Mas Panji tidak
menanggapi pernyataanku malah minta disuapi. Aku tahu mas Panji orang sangat
berhati-hati mengambil sikap. Sementara akan kubiarkan dulu mas panji
memikirkan jawaban untukku. Aku menengadah bersemangat.
“Iya,
mas. Apa yang boleh dimakan?” Tanyaku penuh gairah.
“Yang
tersedia di meja itu” mataku mengarah ke meja yang ditunjuk mas panji hanya ada
segelas bubur kacang hijau, ini memang belum saatnya jam makan siang jadi hanya
bubur kacang hijau menu pagi yang belum tersentuh. Dengan sigap kuambil gelas
berisi bubur kacang hijau dan sendoknya.
Pelan
aku mulai menyuapi, wajah mas Panji cerah, senyum merekah, bahagia menyelinap
di kalbuku. Setidaknya tidak sia-sia aku terbang dari Jakarta ke Surabaya di
pagi buta, laki-laki yang kucintai menjadi kuat dalam sakitnya. Semoga
keputusan dan harapanku tak sia-sia.
“Rasanya
seperti mimpi” mas Panji menggumam.
“Mimpi
apa, mas ?”
“Mimpi
disuapin wanita idaman”
“Mas
Panji bisa saja” aku tersipu.
“Aku
ingin berlari saja kalau begini. Keluar dari rumah sakit menghirup udara segar
di luar.”
“Sabar
mas, kan lusa mas Panji sudah boleh
pulang.”
“Iya
saya sabar,bu Prita”
“Rasanya
aku jadi tua. “ balasku seperti saat mas Panji protes kupanggil pak.
“Membalas
itu namanya.”
“Harus
bisa balas..”
“Ya
sudah kuhilangkan kata “bu” nya”
Bahagia
merasuki hati. Kuulurkan tissue agar mas Panji mengelap bibirnya karena ada
sisa bubur yang menempel.
“Ko
tega yah suruh ngelap sendiri” katanya sumringah menakjubkan, aku merasa
bersalah tidak membantunya, segera kuambil kembali tissue di tangannya dan aku
membantu membersihkan sisa makanan di sudut bibirnya, wajah yang berubah cerah
itu menambah semangatku. Selesai makan kurapatkan selimutnya.
“Istirahat
ya, mas.” Ucapku halus. Mas Panji menurut saja.
“Kalau
aku tertidur Prita sendirian. “
“Ga
apa mas, saya akan tunggu di sini saja.”
“Terima
kasih, Prita. Semoga kebaikanmu terbalas dengan kebaikan” doa mas Panji sambil
memejamkan matanya.
*
Jelang
sore hari aku langsung menuju hotel yang telah ku booking dari Jakarta.
Aku mencari hotel yang dekat dengan rumah sakit tempat mas Panji dirawat. Saat
kutinggalkan, Maya keponakan mas Panji yang merawat mas Panji setiap kerja
belum datang. Mas Panji memintaku untuk segera ke hotel dan istirahat meski pun
Maya belum datang.
Hari
ini seperti kumparan waktu yang membusung kembali di arena rasaku. Bertahun
waktu itu tertinggal. Aku meniti kembali bersama sentuhan tangan lembut di
ujung jemariku meski hanya sesaat. Yang berbeda ada lah masa dan keadaan. Dulu
kami masih sama-sama murni. Sekarang sudah ada orang lain yang pernah singgah menyelimuti hidup
kami dengan kepalsuan. Kepalsuan yang tidak ingin kusesali.
Jelang
tidurku sebuah video lagu masuk ke ponselku dari nomor hp mas Panji. Mas Panji
tahu aku menginap di hotel sendirian. Mungkin video lagu itu agar menemaniku.
Ah mas Panji tidak tahu kalau sudah berbulan aku tinggal sendiri.
“Terima
kasih seharian sudah menemani aku, ini lagu untuk penghilang Lelah dan pengantar
tidur. Selamat beristirahat, semoga mimpi indah.” Tulis mas Panji ditambah emote
senyum dan signlove. Keromantisan
mas Panji masi seperti dulu. Aku tersenyum sendiri.
“Terima
kasih mas, semoga semakin sehat.” Balasku.
Aku
terbenam dalam alunan lagu Ebiet G Ade ;
Kupu-Kupu Kertas
Kupu-Kupu Kertas
Setiap waktu engkau tersenyum
Sudut matamu memancarkan rasa
Keresahan yang terbenam
Kerinduan yang tertahan
Duka dalam yang tersembunyi
Jauh di lubuk hati
Kata-katamu
Riuh mengalir bagai gerimis
Seperti angin tak pernah diam
Selalu beranjak setiap saat
Menebarkan jala asmara
Menaburkan aroma luka
Benih kebencian kau tanam
Bakar ladang gersang
Entah sampai kapan
Berhenti menipu diri
Kupu-kupu kertas
Yang terbang kian kemari
Aneka rupa dan warna
Dibias lampu temaram
Membasuh debu yang lekat dalam jiwa
Mencuci bersih dari segala kekotoran
Aku menunggu hujan turunlah
Aku mengharap badai datanglah
Gemuruhnya akan melumatkan semua…
Kupu-kupu Kertas, aku kah yang dimaksud mas Panji dalam lagu itu, atau mas
Panji sedang menyindir aku karena aku pernah meninggalkannya ? aku laksana
kupu-kupu kertas bagi mas Panji, sementara dia berhenti berharap, aku mendekat,
saat aku tertangkap aku hanya hiasan yang sudah merapuh.
Seperti sebuah kesalahan besar aku datang lagi dalam kehidupan mas Panji
? aku menepis pikiran burukku tentang itu, satu tekadku ingin mendampingi mas
Panji meski terpikir olehku pertanyaan kemana mas Panji akan mengkhitbahku
sementara orang tuaku sudah tidak mengganggap aku ada. Apa aku menikah dengan
mas Panji dengan wali hakim sedangkan ayahku masih ada ? Betapa sakitnya jadi anak yang terbuang.
Sebelum kembali ke Jakarta aku ke rumah sakit lagi menjumpai mas Panji.
Besok aku harus kembali pada rutinitasku bekerja dan bekerja, sambil bekerja
aku akan terus menanti jawaban mas Panji untuk mempersuntingku. Aku tidak
memperhitungkan kalah dan menang.. yang kuinginkan kepuasan hidup dan berbuat
baik. Mencintai “cinta” dan mengabdi pada sosok cinta.
Sampai rumah sakit aku diperkenalkan dengan Maya keponakan mas Panji
“Ini yah tante yang membuat om Panji tidak berhenti..”
“Maya..” suara mas Panji pelan menghentikan kalimat yang dilontarkan
Maya untukku.. huff Maya menutup
mulutnya dengan telapak tangan setelah menyalamiku. Aku tersenyum mengangguk.
Sejenak aku dan Maya saling pandang, cantik juga keponakan mas Panji yang baru
lulus dari perguruan tinggi.
“Gak ngaku nih, om”
“Maya… kamu keluar dulu sana!” sambil senyum simpul mas Panji menyuruh
Maya keluar.
“Siap om bos, siap tahu diri.” Maya tertawa cekikikan sambil melangkah
pergi.
“Ada kalimat yang harus dilanjutkan.” Kata mas Panji membuka kata
setelah Maya tidak berada di ruang rawat.
“Ya, mas ?”
“Jika kita menikah kamu bisa mendampingi dan merawatku itu mungkin saja
dengan mudah aku akan mengatakan “iya”. Masih ada yang harus dijawab, dari
pertanyaan hatiku, apa aku bisa membahagiakanmu, aku tidak punya jaminan untuk
itu. “ suara mas Panji seperti putus asa.
“Mas ?”
“Kupastikan itu, kita tidak boleh egois dengan diri kita, niat baik orang lain tidak harus meluncur
tanpa konsekuensi. Bagaimana dengan dirimu sendiri, pekerjaanmu, karir dan
cita-cita hidupmu jika waktumu hanya untuk aku?” Lancar bicara mas Panji hingga
pada pertanyaan yang tidak mampu kujawab dengan segera. Semua itu tidak
kupikirkan sebelumnya, tapi setiap perubahan yang dipilih adalah sebuah
keputusan yang memiliki konskekuesi.
Jika mas Panji bersedia mempersuntingku aku pun juga tidak tahu pada
siapa mas Panji harus datang meminangku. Saat ini aku milik diriku sendiri.
Pedih menyeruak masuk dalam kalbu. Sedikit pun aku belum menyesali keputusan
emosi ku.
“Prita…” Panggilnya pelan menyibak lamunan emosiku.
“Ko jadi melamun, benar kan kalau akhirnya kamu berpikir untuk semua pertanyaanku..”
wajah tulusnya meminta kebenaran atas pendapatnya dalam pikiranku. Padahal aku
tidak melamun untuk itu, pekerjaan, karir dan uang kupikirkan belakangan. Aku
tidak menjawab sehingga mas Panji yang melanjutkan. Jujur yang kupikirkan
apakah mas Panji tahu ayah sudah membuangku.
“Aku mohon pikirkan untuk pertanyaanku, renungkan dulu sedalam mungkin
sampai kamu pada keputusan hati yang sebenarnya.”
“Iya mas” jawabku setuju. Kemudian kami sama-sama terdiam.
“Bukan karena aku merasa sempurna ingin mendampingimu, mas. “ aku
Kembali membuka kata.
“Kamu sempurna di mataku, di hatiku..” kalimatnya sendu. Kesenduan ini
pernah kurasakan dulu.
Setitik air jatuh dari mataku mengapa selalu sulit untuk menghindar dari
tangis ? Ya Tuhan tolong lah hambaMu ini untuk bisa menyimpan tangis di depan
laki-laki yang selalu mengisi hatiku.
Diraihnya tanganku dan digenggamnya erat. Pertahanan untuk tidak
bersentuhan dengan Mas Panji tiada kokoh lagi. Ini pertama kali setelah
bertahun tidak bersama lagi, tidak
saling mendekat, tidak saling menyentuhkan hati. Keteduhan hati ini sangat
kunikmati.
“Aku akan tetap mencintaimu sekali pun bulan bertambah satu.” kalimat
sejuknya meyakinkanku.
“Tidak mungkin, mas” kataku menyanggah.
“Apa yang tidak mungkin, kalau cintaku selalu mungkin kalau bulan
bertambah satu, hanya Kuasa Sang Pencipta. “ aku tertawa mendengar jawaban mas
Panji, mas Panji pun tertawa. Canda tawa kini hadir lagi, sampai aku
berpamitan.
“Kupu-kupu kertas akan kembali ke tempatnya.” Pamitku.
“Suatu saat saya akan menangkap kupu-kupu kertas itu.” katanya
memberikanku keyakinan akan kesungguhannya.
“Sanggupkah kupu-kupu
kertas itu mendampingiku?” aku terpana dengan ucapannya, tak mampu menjawab.
“Ini adalah khitbah
hati, tuan puteri “ aku masih diam.
“Khitbah selanjutnya
adalah ragaku akan menjumpaimu.” Ucapan terakhir membuat hatiku bergetar. Tatap
lembut itu mengurut nadi, mengumpulkan bahagia.
“Aku akan menanti.”
Jawabku pelan. Wajah mas Panji membinar, anggukan kecil disampaikan padaku aku
pun membalas dengan anggukan. Kami saling tersenyum. Senyum tulus, senyum cinta
dan harapan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar