Sabtu, 21 Agustus 2021

ALLAMANDA BERSERAK BAGIAN XIX, XX, XI DAN XXII (SELESAI)

 

BAGIAN XIX

MENGISI CATWALK LAGI

 

Selanjutnya goresan-goresan tangan menari-nari di atas kertas disainku. Aku ingin melupakan pak Arya. Sebulan ini aku menyelesaikan 5 rancangan yang siap launching. Keasyikan ini yang membuat hidupku terasa bermakna. Kudaftar proposalku ke sebuah EO yang akan menggelar life music jazz di hotel berbintang di Surabaya.  Aku menawarkan peragaan busana. Semuanya di setujui, untuk fashion show kali ini aku mengeluarkan 5 hasil rancangan baru dan rancangan oret-oretan sisa rancangan setelah mas Panji pergi meninggalku.

EO mencarikan model-model handal di Surabaya, aku juga meminta bantuan Mersi untuk menghubungi beberapa model yang pernah memperagakan disain pakaianku. Semua berjalan lancar dan banyak kemudahan.

 

 

“Mersi, ini launching disain saya yang perttama di kota Surabaya, bisa kah ibu minta waktumu untuk membantu ibu di sini. 1 minggu saja ibu butuh dukunganmu” kataku pada Mersi mantan asisten ku di Jakarta.

“Dengan senang hati,bu. Saya mau ambil cuti 1 minggu untuk membantu ibu” jawaban Mersi tanpa menawar. Mersi pun sangat riang. Aku bahagia Mersi bisa membantuku karena untuk urusan peragaan busana yang kulaunching Mersi sudah sangat tahu apa saja yang harus kupersiapkan.

Tema pakaian untuk fashionhow kali ini kuberi nama “Allamanda” oleh EO ditambah temanya dengan “Allamanda Prita”. Aku semakin bangga dan bersemangat. 

 

Gemerlap lampu hotel berbintang lima mendukung model-modelku yang melenggak-lenggok mengenakan hasil rancanganku.  

 

 

 

 

Perwira hati kedua telah bersama gadis pilihan orang tuanya. Ternyata aku telah salah memilih laki-laki keduaku, mereka tidak sama. Pak Arya tidak sama dengan mas Panji. Pak Arya kekar berhati lemah, pak Arya tidak punya hati yang kuat untuk melamarku. Sedangkan mas Panji berhati kuat bertubuh lemah hingga tidak berdaya tidak jadi melamarku dan menghadap Sang Khalik. Dua lelaki yang pernah singgah di hatiku tidak ada yang menguntungkanku. Hatiku meratap di antara deru ombak pantai Kenjeran. Aku sudah sampai pada titik nadir kekalahanku untuk mendapatkan cinta yang sesungguhnya. Derai airmata yang berjatuhan tak membuatku bisa memeluk cinta.

 

“hai Prita, apa kabar?” suara Esty di seberang sana

 

 

 

 

“Kamu nangis atau memang suaramu sedang serak, Prita?” pertanyaan Esty di seberang sana. Aku memang sedang menangis diiringi deru ombak pantai Kenjeran. Esty selalu pandai menebak hatiku. Di saat aku sedih begini dia menelponku.

“Aku gak apa-apa. Aku hanya Lelah aja semalam ada peragaan busana disainku.”

“Wah keren kamu sudah mulai berkarya lagi.

 

Setelah Esty menutup teleponnya aku terduduk lemas. Aku punya bahagia dari sebuah keberhasilan. Menjadi direktur sebuah perusahaan terkenal, menjadi disainer handal semua itu membuahkan angka-angka yang semakin banyak dalam rekening tabunganku. Aku tidak tahu untuk apa semua itu. Aku tetap duduk dalam cinta yang hampa. Harta dan kekayaan tidak menggerakkan hatiku untuk mengumbar rasa ke mana saja aku mau. Inilah kehidupanku.

 

Sendiri membiaskan sunyi yang menggigit. Aku bangun dari dudukku,  berjalan menuju laut lepas, sambil memainkan kaki di atas pasir. Entah apa yang ingin kutuju. Gerak kakiku semakin maju dan terus maju, hingga air laut tersentuh oleh kakiku. Aku tidak tahu lagi ke mana arah jalan ini. Air laut semakin tinggi membalut tubuhku, gelombang ombak ke arah pantai yang begitu keras seperti mengayun tubuhku. Ombak besar datang mengantam, handphone di tanganku lepas. Masih kulihat handphone mengambang di atas permukaan air laut, aku mencoba mengejarnya, ombak datang lagi menghantam tumbuhku lebih keras dan tubuhku masuk dalam kungkungan air, pernafasanku tersengal seluruh air menelan tubuhku. Aku tak kuasa melawan.

“Tolong… “ teriakku sambil menaikkan tanganku ke permukaan air, aku semakin tenggelam dan tak sanggup lagi berteriak. Hatiku masih bisa berucap

“Ayah, ibu, Wanda.. maafkan aku….. “ jika ini sudah waktuku aku  menyerah. Di dalam air aku seperti melayang dan terbang ke awan biru, awan itu lama-lama berubah menjadi pekat. Aku pasrah dalam kegelapan yang kurasakan.

 

∞∞

 

“Bunuh diri.. bunuh diri” suara orang-orang di sekitarku, dada dan perutku merasakan sakit karena ada yang menekan-nekan. Suara riuh itu membangunkanku. Kurasakan dadaku penuh air dan tertumpah dari mulutku. Tubuhku terkulai dengan nafas tersengal dan batuk yang menyesakkan.

 

Kubuka mataku, tubuhku terbujur di antara kerumunan orang-orang. Seorang bapak tua berjongkok di sisiku. Wajah bapak itu mengingatkan pada wajah ayahku. Aku hampir berteriak memanggil ayahku. Kuurungkan karena aku tersadar aku dalam kerumunan masa yang menolongku.

“bu sadar bu..!” kata bapak tua itu seolah ingin menyegarkan pikiranku.

“Saya di mana, pak?” tanyaku pelan.

“Ibu tadi tenggelam di laut sana.”

“Jadi bapak yang menolong saya ?”

“Iya bersama teman-teman ini. “ bapak tua itu menunjuk beberapa laki-laki yang mengerumuniku, beberapa orang berlalu meninggalkanku.

“Terima kasih pak “ kataku dengan suara serak.

 

Aku masih beruntung tas selempang yang kulilitkan di tubuhku tidak ikut hanyut terbawa ombak. Aku meraba isi tasku, dompet dan kunci mobil masih utuh, aku membuka risleting benda yang berada di dalamnya sedikit basah dari air yang masuk ke tasku. Tas anti air ini sangat menguntungkanku, karena melindungi benda-benda berharga di dalamnya. Aku bersyukur tidak ada yang mengambil kesempatan dari musibahku.

 

“Maaf, ada yang bisa menyetir mobil?”  kataku setelah kerumunan orang berkurang. Mereka pergi meninggalkanku satu persatu setelah aku sadar dan mulai biisa berbicara dengan lancar.

“Saya bisa, bu.” Kata bapak tua yang tadi menolongku.

“Bisa antar saya pulang ke rumah ?”

“Bisa, bu. Ibu mau pulang sekarang ?”

“Yuk kita bantu ibu ini ke mobil. “ beberapa orang memapahku, aku masuk ke jok belakang mobil dengan baju yang basah. Dua orang duduk di depan. Aku bersyukur banyak orang baik di kota besar Surabaya ini.

 

Kurenungi teriakan orang-orang yang tadi mengatakan aku bunuh diri. Aku tidak mungkin bunuh diri. Beberapa kejadian yang menyakitkan selalu kulewati dengan hati. Jika aku mau bunuh diri tentu sudah kulakukan sejak dulu. Sejak ayah dan ibu mengusirku, sejak mas Panji meninggalkanku dan gagal melamarku. Tidak. Aku masih percaya pada Tuhan sepenuhnya bahwa seluruh kehidupanku adalah scenario terbaikNya untukku.

 

Aku menjelaskan kepada kedua lelaki yang mengantarkanku kalau aku sama sekali tidak berniat bunuh diri atas kejadian naas yang menimpaku pada kedua bapak yang mengantarkan aku pulang ke rumah. Murni aku hanya mengejar hanphoneku yang terbawa ombak. Kedua bapak itu percaya padaku.

 

*

 

Jika aku tidak datang ke rumah ayah, bukan karena aku menuruti ego dan kekerasanku. Sekali pun orang tuaku sudah memaafkanku, aku tidak mau menghadirkan diriku sebelum orang tuaku benar-benar menganggap aku tidak bersalah dan tidak berlaku nista. Berat menjelaskan semuanya tanpa ada pencabutan kata dari mas Rangga. Mas Rangga tidak merehabilitasi namaku di depan ayah dan ibuku. Sekali pun ibu menangis menelponku meminta aku datang ke Jakarta hatiku tak tergerak untuk itu. Karena aku masih punya setempel nista, berselingkuh dan berzina. Ini fitnah terberat yang harus kulalui.

 

Hatiku sudah memaafkan, tapi apa mas Rangga memiliki kejujuran untuk mencabut tuduhannya dan mengatakan sebenarnya? Mas Rangga tidak berani melakukan itu. Ayah dan ibu hanya memaafkanku tidak melepaskan anggapan buruk tentang aku. Kubiarkan ini terjadi, jika kehidupan mas Rangga berakhir dengan simpanan dosa mas Rangga kepada ayah dan ibuku, aku akan membiarkan itu jadi urusan mas Rangga dengan Tuhannya.

 

Kocekku yang semakin tebal dari hasil penjualan karya-karyaku dan gaji direktur perusahan garment tempatku bekerja. Garment itu semakin maju, kuantitas produksinya semakin membumbung dan kualitasnya semakin banyak menarik  konsumen. Apa lagi yang kurang dari keberhasilanku ? aku ingin terus bisa bekerja dan bekerja. Hasilnya Tuhan yang akan menghujani aku dengan rezeki. Aku mulai berpikir ingin memanfaatkan hasil jerih payahku untuk kesenanganku sendiri. Saatnya aku memanjakan diriku dengan apa yang sudah kuraih.

 

 

Bukan aku ingin menyaingi mas Rangga kalau akhirnya aku bisa membeli rumah mewah dengan fasilitas lengkap di sebelah barat Surabaya. Rumah bergaya klasik yang kubeli dilengkapi dengan kolam renang dan arena fitness. Tak lupa aku membuat kamar besar untuk aku bekerja. Aku tidak memikirkan untuk apa rumah sebesar itu hanya kunikmati sendiri. Aku ingin menikmati hidup bahagia di rumah megah dan nyaman. Dulu aku pernah menikmati rumah mewah bersama mas Rangga dan anakku, sayangnya di rumah itu aku tidak merasakan bahagia bahkan menjadi korban fitnah yang menyakitkan.

 

Ayah dan ibu mau datang juga ke Surabaya. Ayah dan ibu berdecak kagum melihat rumahku. Setidaknya aku bangga dengan apa yang sudah kuraih dengan jerih payahku di antara kesakitan dan derasnya airmata. Mereka tidak tahu itu.

“Kamu luar biasa, Prita, perjuanganmu bisa menghasilkan seperti ini.” Kata ayah memujiku. Aku tersenyum mendengar pujian ayah.

“Kamu kaya raya dari hasil perjuanganmu sendiri, nak.” Ayah menambhkan kata-katanya.

“Terima kasih ayah. “ jawabku masih dengan senyum, pada hal batinku ingin mengatakan pada ayah “Untuk menjadi kaya tidak harus menikah dengan orang kaya”. Kusimpan kalimatku dalam hatiku sendiri. Aku tidak ingin menyakiti ayah karena aku sudah mendapat karunia kebahagiaan seperti ini.

“Rangga sudah bangkrut “ kata ibu menyela tanpa kumintai kabar tentang mas Rangga. Aku hanya menyungging sedkit senyum agar tak ada kesan menghina atas kejatuhan mas Rangga.

“Masih banyak simpanannya mungkin, bu” kataku menetralisir suasana.

“Ga ada, sudah habis, bahkan untuk biaya sekolah Wanda saja ibu yang membayar.” Aku terkejut sampai sejauh itu kejatuhan mas Rangga.

 

“Prita mau membiayai sekolah Wanda, biar lah Prita yang membiayai, bu. Jangan ibu. “

“Betul itu, nak?” tanya ibu seperti tak percaya. Aku mengangguk pasti.

 

 

 

 

 

 

 

BAGIAN XX

KEMENANGAN HATI

 

 

Bulan telah merubah tanggal, hari-hari baru mengganti hari kemarin, lusa dan hari-hari yang telah berlalu. Waktu terus berjalan. Kunikmati dengan kualitas diri. Kualitas diri menumbuhkan kekaguman.

 

Kesabaranku tak sis-sia, akhirnya mas Rangga mau memindahkan hak asuh Wanda kepadaku, kehidupan yang sudah sangat sulit bagi mas Rangga membuat mas Rangga menyerah. Tuhan telah menjawab doa-doaku. Aku tidak pernah berdoa buruk untuk mantan suamiku, karena bagaimana pun buruknya perlakuan mas Rangga kepadaku dia tetap bapak anakku,

 

Ω

Sebelum Wanda datang aku menyempatkan diri ke makam mas Panji. Sudah lama aku tidak berziarah ke makam mas Panji. Aku ingin mendoakan mas Panji dengan rasa syukur yang sekarang kunikmati. Mas Panji guru kebaikan untukku.

“Tenanglah di sana, mas. “ kata-kata yang kusampaikan diikuti dengan doaku. Kuusap pusaranya.

“Aku datang ke sini membuka kunci hati, hati yang terkunci dalam sepi. Kubuka kunci itu untuk mengunjungimu, semoga sepi ini sedikit memencar dan menghadirkan keceriaan. “ kalimatku meluncur begitu saja dalam suasana sunyi dan bicara sendiri. Lama aku terdiam di sana, kusebarkan petikan allamanda yang sudah hampir layu, allamanda bersetakan di atas makam mas Panji, sera yang kusengaja, allamanda yang kuserakan seolah menorehkan suatu lukisan asmara senja yang menggantung di langit sana.

“Kali ini aku tidak ingin menangis lagi. Sepedih apa pun kehilanganmu aku akan tetap ada. Aku tidak tahu kapan penggantimu akan datang, aku masih bisa setia di sini bersama kesucian cinta kita. Aku akan mengingat pesan-pesanmu sebagai quates yang kubukukan dalam hati dan jiwaku. “

“Orang-orang yang hadir dalam kehidupan kita dan mendzalimi kita itu kirimanNya.” Kuteguhkan hatiku untuk bisa memaafkan siapa pun juga yang pernah mendzalimiku. Aku yakin Allah juga yang akan menghentikannya.

Di dekat pusara mas Panji aku seperti menikmati rasa cinta yang sebenarnya. Walau sudah tiada rasa itu tetap membekas menggetarkan sanubari. Dulu aku selalu  berusaha membunuhnya. Kali ini aku tidak ingin mengungkap kepalsuan hati. Mengingatnya adalah suatu upaya mengisi pikiran. Aku merasakan bagian rinduku menyelinap dalam kisah sunyiku.

Aku tidak ingin menjelaskan sebuah kebenaran. Allah lah yang menjelaskan sebuah kebenaran dengan CaraNya, karena cara Allah lah yang terbaik. Aku sudah menikmati hidupku. Bekerja dan berkarya. Sementara ini aku memilih sendiri dalam kehidupanku. Mungkin sendiri lebih baik dari pada hidup dengan orang yang tidak mengerti kehidupanku. Aku akan terus di kota ini sekali pun sampai memutih rambutku. Aku masih ingat kata-kata mas Panji.

"Menjadi orang baik tidak pernah rugi. " Semoga Allah menetapkan aku menjadi wanita baik.

Kisah cintaku dengan mas Panji tidak sama dengan kisah cinta Romeo dan Juliet dalam novel yang ditulis William Sakhespeare, tidak sama dengan kisah Sampek Engtay dari negeri Tiongkok, tidak sama juga dengan kisah cinta dalam cerita dari negeriku Roro Mendut dan Pronocitro, dimana tokoh-tokoh cinta itu sama-sama mengakhiri hidupnya demi kebersamaan. Jika satu jiwa melayang maka yang lainnya berusaha menyusul.  Kisah cintaku dengan mas Panji merupakan sebuah kisah cinta yang harus dijalani sebagai sebuah takdir dalam skenario Yang Maha Kuasa. Aku selalu ikhlas menikmati keindahan cintaku dan mas Panji. Semua indah pada waktunya dan pada cara Terbaik dari Nya.

Senyumku mengembang. Aku hanya mampu tersenyum meraih kemenangan atas sebuah kesabaran dan keikhlasan. Terbayang lagi senyum mas Panji, Berangkat menuju kehidupan baru dengan semangat baru. Biarlah Allah yang tentukan jodohku. Jika suatu saat Allah memberiku jodoh lagi. Aku ingin pria sebaik dan sesabar mas Panji.

Selesai kupanjatkan doa lagi, kuelus pusaranya lagi, seolah mas Panji dekat dan membalas, aku bangkit dari posisi jongkokku, berdiri dan tersenyum melihat pusaranya, pelan kubalikkan tubuh dan mulai menapak, aku akan menapaki jalan kehidupanku sendiri tanpamu, mas Panji. Pasti mas Panji mengijinkan aku menangis selamanya, namun apakah ini masih bermanfaat bagiku dan mas Panji? aku hanya mampu berdoa semoga Tuhan menjagamu.  Semoga aku menjadi semakin kuat dan hidupku semakin bermakna bersama langkah pastiku bersama anakku.

ALAMANDA BERSERAK BAGIAN XVII DAN XVIII

 

BAGIAN XVII

PERWIRA HATI

 

Ada sebuah alasan untuk berkenalan dengan dua orang polisi. Perkenalan yang dimulai saat aku kehilangan motor dan melaporkan ke kantornya. Polisi yang bernama Suwardi dan Sutrisno datang ke rumahku mengecek keadaan rumahku, menanyakan letak motor hingga bisa disabet maling. Laporanku dicacat. Security komplek menemani kedua polisi mengecek kondisi rumahku. Menjelaskan kejadian sebenarnya.

 

Menurut keterangan security, ada dua orang masuk kompleks siang hari. Motorku dibawanya, tapi security tidak curiga kalau itu pencuri. Sebenarnya aku malas ribet begini, tak apa lah kalau itu jadi suatu keharusan, sebagai warga negara yang baik aku ikuti peraturan. Kehilangan motor ya harus lapor polisi.

 

Siang itu aku berjumpa lagi dengan 2 orang polisi yang pernah datang ke rumahku, saat aku menikmati rawon setan yang terkenal di Surabaya. Pak Suwardi yang mengurus kasus hilangnya motorku sedang menikmati makan siang dengan atasan dan teman-temannya.

Laki-laki bertubuh semampai dan dan berwajah bersih diperkenalkan padaku, namanya pak Arya seorang perwira polisi yang menjabat sebagai Kapolsek. Perkenalan dengan bahasa umum terjadi biasa saja.

Aku selesai lebih dulu langsung membayar di kasir terdengar mereka bercakap tentang aku dan saling berbisik. Aku tak peduli. Mungkin mereka sedang mempercakapkan ke-jandaanku. Biasa lah janda sering menjadi pergunjingan kaum lelaki. Biarlah memang aku janda beranak satu dan tinggal sendiri. Mau apa lagi.

 

 

Satu minggu  kemudian Pria bernama Arya itu datang ke rumahku. Seakan ingin menyelidik tentang kasus hilangnya motorku. Menyelidiki motorku atau menyelidiki kehidupanku. Masa bodoh aku hanya menyambut mereka seperti layaknya tamu. Anehnya urusan hilang motor saja bos polsek ikut datang ke rumah. Tak terelak lagi tujuannya mendekatiku.

 

Duda beranak satu itu bernama Arya Wiguna itu selanjutnya menemani hari-hariku. Tubuhnya yang tegap seakan menawarkan perlindungan untuk ragaku. Sebuah tatapan halus mengurut nadi. menghenyakkan aku dari lamuman panjang yang mengisi pikiranku. Ucapan cinta itu bagai sebuah kesungguhan.

Tiga bulan berjalan kedekatanku dengan pak Arya. Kata cinta pak Arya menawarkan sebuah kesungguhan untuk membuka hatiku. Pertimbanganku, aku butuh laki-laki mampu melindungi diriku sepenuhnya. Dua beranak satu itu memperkenalkan aku dengan anaknya. Anak laki-laki berusia 5 tahun itu sudah ditinggal ibunya untuk selama-lamanya karena sakit maag kronis. Ketika ditingga anak itu usianya 2,5 tahun. Aku ingat Wanda, ketika kutinggalkan Wanda berusia sama. Anak itu langsung akrab denganku.

 

Dalam remang malam pantai Kenjeran aku mendapatkan sebuah dilemma yang membuat aku berada di simpang jalan. Rangkaian bunga mawar disampaikan pak Arya sebagai kesungguhannya ingin meminangku. Aku merasa asyik bersama pak Arya, tapi hatiku belum asyik.  Bayangan mas Panji meracuni benakku.

 

Tiada kepastian dari hatiku. Berhari aku memikirkannya. Antara menerima dan menolak. Menatap pak Arya, membuat aku merasakan suatu dosa. Dosa mengkhianati cintaku yang sudah tak mungkin kukejar. Apa aku bisa menggantikan mas Panji dengan pak Arya di hatiku ? pertanyaan itu menghantui hatiku. Dulu aku ingin menggantikan mas Panji dengan sosok mas Rangga, aku gagal dan kecewa. Kini aku masuk dalam dilemma yang sama, Aku ingin kesungguhan cinta seperti cintanya mas Panji kepadaku, tapi pak Arya bukan mas Panji, itu kenyataannya.

 

Aku aku tidak tahu apakah aku harus jujur pada pak Arya, kalau aku belum bisa melupakan masa laluku. Rasanya terlalu naif kalau itu kulakukan. Aku ini wanita dewasa, tidak harus cengeng dengan urusan cinta.

Aku ingin menghilangkan kegalauan hati, sulit menjawab pernyataan pak Arya. Aku butuh waktu merenung. Keputusanku aku harus menjernihkan pikiranku sampai aku tahu jawaban yang paling tepat.

 

Kusetir mobilku ke arah Banyuwangi. Aku ingin menikmati akhir pekanku sendiri.  Jika mungkin aku ingin menyeberang ke pulau Bali. Gundahku dalam keraguan yang dalam menerima pak Arya.

 

Pertimbangan ini menyiksaku. Tidak ada yang kurang dari pak Arya, sikap yang sangat baik, kehidupan yang mapan dan jabatan yang menjanjikan mampu melindungiku yang hidup sendiri. Getaran ini menyembulkan riak-riak kesakitan dari masa laluku, tentang kehidupan perkawinan yang kandas dan cinta yang berakhir tragis.

 

Aku berhenti di resto pasir putih. Pantai dengan pemandangan pasir putih halus yang memanjang, air laut yang bening membiru, ombak yang landau.

Sejak habis subuh aku sdh berjalan meninggalkan rumahku, aku akan mengisi perutku untuk sarapan pagi.

 

Teh poci dan roti bakar sudah bisa menghangatkan perutku.

 

Kuselesaikan makanku dengan cepat, kupercepat langkahku untuk kembali ke mobil dan melanjutkan perjalananku lagi,

 

“Pak Arya?” Lagi-laki itu dengan kuat mencekal pergelangan tanganku. Aku menelusuri tatapannya, mata lembutnya menghujam ke wajahku. Senyumnya merebak menebar kepastian seakan menunjukkan dirinya bersungguh-sungguh ingin menemaniku.

“Tidak perlu lari meski pun penuh keraguan” kalimat sejuknya menelusuri hati.

“Saya ingin berakhir pekan pak” kataku sehalus mungkin membela diri dari tuduhannya. Dia pasti tahu aku sedang berbohong.

 

“Saya bersabar menunggu sebuah jawaban, tapi saya tidak akan membiarkan wanita hebat di depan ini berjalan sendiri”

“Pak..” panggilku pelan. Pak Arya menganggukkan kepala pelan seakan ingin menepis seluruh keraguanku.

“Saya akan menemani dik Prita kemana pun pergi. Jangan pergi sendiri.” Kata-kata itu.. nada suara itu aku seperti pernah menikmatinya.

“Mengapa ragu pada saya kalau saya sanggup menemanimu.” Tambahnya lagi.

“Saya… saya… “ aku tak sanggup melanjutkan kata-kataku. Mata itu semakin tajam menuangkan pandandan harapan.

“Saya siap menemani kemana saja, sini kunci mobilnya. Entah apa yang menggerakkanku, kuulurkan kunci mobil di tanganku. Dengan sigap pak Arya mengambil dari tanganku dan menuntunku ke arah sebelah kiri mobil, membukakan pintu untukku, aku seperti robot menurut saja.

 

 

 

 

Pak Arya sudah duduk di belakang setir mobilku, aku masih terdiam mengamati gerak-geriknya. Pak Arya menoleh ke arahku

“Dik Prita mau kemana?” Tanyanya dengan lontaran senyum yang memikat. Aku diam hanya memandanginya. Aku sendiri tidak tahu mau ke mana? Setelah pak Arya menyusul aku tidak hasrat ke Bali, keputusan yang tiba-tiba seperti halnya kedatangan pak Arya.

“Kok diam, dik Prita mau kemana saya siap antar?” Ujarnya lagi dengan mata membinar. Ketemukan ketulusan di wajah pak Arya.

Aku menggeleng pelan, dahi pak Arya berkerut. Tapi Kembali tersenyum.

“Hilang selera jalan-jalan setelah kedatangan saya?” Tanyanya lagi seperti kecewa. Aku menggeleng lagi.

“jadi bagaimana maunya dik Prita?”

“Untuk apa menyusul saya ke sini?” Tanyaku.

“Untuk cinta.. “ Katanya tegas. Untuk cinta ? kuulangi pernyataannya di hatiku. Kuteliti pandangannya, aku tidak mengerti kesungguhan atau bergurau.

“Ya untuk Cinta.. “ Ulangnya lagi lebih tegas, setegas sikapnya dalam jabatannya sebagai Perwira polisi. Aku tak mampu menjawab, mataku tertunduk dari tatapannya. Sebuah tangan lembut mengelus ujung hijabku. Aku berharap ini tidak menghadirkan bayangan mas Panji lagi, aku tidak ingin tersiksa lagi.

 

 

 

 

 

 

 

XVIII

NUR’AINI

 

Aku harus bertanding lagi ? bertanding mendapatkan laki-laki untuk hidupku. Dulu Anggun memperkenalkan diri sebagai calon penggantiku di sisi mas Rangga. Aku menyerah karena tidak ada arti mempertahankan laki-laki yang telah menyakitiku.

Gadis bernama Nur’aini datang mengunjungi rumahku. Dia datang dengan segenap keyakinannya dan membawa cerita manis tentang lamaran orang tua pak Arya, tentu saja ini cerita pahit untukku.

Pak Arya beberapa hari ini sedang Lokakarya ke Semarang. Itu pamitnya padaku, tapi Nur’aini mengatakan orang tua pak Arya melamarnya. Apa pak Arya berdusta padaku tentang Lokakarya yang diikutinya. Dibalik semua itu dia melamar Nur’aini. Aku sungguh tidak menyangka pak Arya demikian tega padaku.

“Biarkan pak Arya mendapatkan gadis dari pada dapat janda.” Ujar wanita itu. Aku tersenyum. Mungkin dia benar.

“Kalau begitu kita tak perlu banyak kata. Silahkan ambil pak Arya, menikah lah dengan pak Arya dan tinggalkan rumah saya.”

 

 

Semalam kurenungkan ucapannya. Nur’aini benar, dia memang lebih pantas untuk pak Arya. Pak Arya tentu lebih bangga dan bahagia mendapatkan seorang gadis dari pada janda sepertiku. Aku akan memutuskan hubunganku dengan pak Arya. 

Renungan Panjang meremukkan hatiku. Aku tak sanggup menjalani kehidupan bersama bayang-bayang wanita lain dalam gerak langkahku. Aku harus melepaskan pak Arya demi gadis cantik bernama Nur’aini. Nur’aini lebih pantas untuk pak Arya. Kukirim kalimat singkatku.

“Jangan menjadi pendusta untuk mengelabuhi saya.” Pesan singkat yang kukirim pada pak Arya. Kutunggu lama tidak ada balasan. Aku tidak ingin menulis lagi. Kalimat itu sudah cukup untuk membuat pak Arya paham maksudku.

 

“Mohon maaf, sebaiknya hubungan kita, kita akhiri sampai di sini.” hanya itu yang kutulis jelang tidurku, kalimat singkat itu membuat tidurku terasa lega dan nyenyak.

 

 

Jam delapan pagi laki-laki itu sudah berdiri di depan ruang kerjaku. Menyambutku dengan wajah pias. Pakaian dinas lengkap membalut tubuhnya, pertanda dia ma uke kantor tapi mampir ke sini.

 

 Ini efek dari pesan singkatku tadi malam. Untuk apa dia datang sementara hatiku sudah mulai lega. Sebenarnya aku tidak ingin berjumpa lagi dengannya. Keputusanku itu sudah sepenuh hati. Kalimat Nur’aini sudah memantapkan tekadku. Mengapa pak Arya harus datang lagi menemuiku. Sudah ada Nur’aini yang dipersiapkan ibu pak Arya dan  siap menemani Arya, siap juga mengasuh putra tunggalnya.

“Dik Prita.. “ Panggilnya lirih sebelum aku memasuki ruang kerjaku. Aku mengangkat wajah.

“Sepertinya semua sudah jelas, pak. Sudah sesuai dengan kalimat saya tadi malam”

“Apa harus seperti ini hubungan kita, saya ingin mempertahan dik Prita….”

“Tapi orang tua pak menghendaki Nur’aini, bukan saya” kataku memotong kalimatnya, Pak Arya mendesah.

“Saya sudah paham dan cukup mengerti.”

“Tapi, dik.. saya.. saya ..”

“Kita harus sama-sama belajar untuk menerima takdir, pak Arya”

“Maaf telah membuat dik Prita sakit hati. ” Aku tersenyum tipis dan menggeleng.

“Saya akan baik-baik saja.”

“Bijak seperti itu yang membuat saya semakin takut kehilangan”

“Bapak seorang perwira, gagah dan berwibawa. Tidak ada yang perlu ditakuti.”

“Itu semua tentang Profesi, karir dan jabatan, bukan tentang hati, Perwira juga manusia yang punya hati.”

“ Hati pak Arya boleh untuk saya, tapi hidup pak Arya sebaiknya untuk mengabdi pada orangtua.”

“Saya permisi “ kataku aku membuka handle pintu ruang kerjaku

 

 

Kuoret oret kertas kosong di atas meja kerjaku. Pikiranku kusut.. aku tidak bisa bekerja hati ini, wajah pak Arya sangat menggangguku.

 

 

Selesai lah sudah semuanya. perwira hati itu hanya singgah sekejap dalam kehidupanku. Dia seperti hujan mengguyur bumi, datang tanpa diduga dan pergi tanpa suara tapi meninggalkan bumi yang basah yang kurasakan. Tetesan hujan seakan mewakili tangisku. Biar lah hujan yang mewakili karena sudah aku lelah meneteskan airmata untuk laki-laki yang hanya sekejap tinggal di hati.

ALLAMANDA BERSERAK BAGIAN XIV, XV DAN XVI

 

BAGIAN XIV

 

IBUKU

 

 

Mungkin ini jawaban doaku kalau akhirnya ibu datang ke apartemenku dengan tangis mengharu biru. Memelukku erat. Ibu mendapatkan alamatku dari Esty. Esty datang ke rumah orang tuaku menanyakan kabarku, aku tahu Esty pasti berdrama pura-pura tidak tahu aku berada dimana. Ibu juga baru tahu kalau aku sudah meninggalkan rumah mas Rangga dari Esty, jadi benar bahwa mas Rangga tidak memberi tahu ayah dan ibuku kalau telah menceraikanku dan memasukkan wanita lain. Betapa hebatnya menantu pilihan ayah. Pandai mengelabuhi ayahku yang sangat membanggakannya. Aku berdecak kagum atas prestasi perilaku tidak baik mas Rangga.

“Jadi seperti ini nasibmu, nak” suara ibu di antara tangisnya.

“Sudah lah, bu. Prita tidak apa-apa. Prita hanya ingin ibu percaya pada Prita.”

“Menikah dengan mas Rangga sudah Prita turuti sebagai rasa bakti pada ayah dan ibu. Dan Prita tidak akan senekad itu berselingkuh. Dari pada berselingkuh lebih baik dulu Prita menolak dijodohkan dengan mas Rangga. Waktu itu mas Panji masih sendiri, bu.”

“Iya ibu percaya sama kamu, nak”

“Tapi mas Rangga sudah menorehkan luka di hati Prita, Prita disakiti tanpa salah.”

“Maafkan mereka karena sudah salah menilaimu, nak. Sabar lah.”

“Ibu tidak tahu bagaimana sakitnya, aku. Aku yang dinilai salah, dia yang membawa wanita lain dan mengusirku. Apa itu adil, bu?”

 

“Ibu tahu, Prita. Ibu tahu..”

“Apa ibu pernah mendidik Prita untuk pandai berbohong dan menyembunyikan sesuatu ? Sejak dulu Prita berusaha jadi anak yang jujur dan bertanggungjawab. Itu sudah Prita lakukan.”

 

“Tapi nak…”

“Prita tidak mungkin kembali pada mas Panji. Karena ayah dan ibu tidak akan merestui. “

“Mungkin karir dan rezeki mas Panji belum sehebat mas Rangga. Prita mengerti, bu. Itu sebabnya ayah menjodohkan Prita dengan mas Rangga, Prita terima karena bagi ayah kehidupan mapan dipandang penting dari pada perasaan anaknya sendiri.” Kalimatku terus meluncur sebagai protes hati, baru ini aku berani mengatakan ini yang membuat Ibu terus menangis.

“Prita menerima semuanya dengan ikhlas, berusaha menjadi isteri yang baik.”

“Iya nak, kamu anak baik. Ibu sangat mengerti kamu. ”

“ibu seperti mendukung pendapat ayah dan mas Rangga, lalu Prita harus berlindung kepada siapa, bu?”

“Sudah Prita, jangan sudutkan ibu seperti itu, hati ibu tidak seperti itu.”

“Ibu percaya kalau Prita berkhianat sampai berbuat nista ?” Ibu menggeleng.

”Tidak, nak. Ibu tahu kamu dan Panji saling mencinta, ibu tahu kamu sangat patuh pada ayahmu. Kalau tidak patuh pasti sejak mau dinikahkan kamu sudah kabur dari rumah, tapi itu tidak kamu lakukan, nak.”

“Saat bertemu mas Panji, mas Panji pun sudah berpisah sama isterinya, tapi tak terbersit sedikit pun untuk mengganggu mas Panji, mas panji orang baik, bu. Dia juga tidak marah pada Prita sekali pun Prita meninggalkannya menikah dengan mas Rangga.”

 

“Jadi Panji menjadi duda ?” aku mengangguk. Lama ibu terdiam.

“Suruh Panii datang ke rumah, ibu akan berbicara dengan ayah.”

“Mas Panji sudah pergi untuk selamanya kira-kira sepuluh hari lalu.”

“Panji meninggal, maksudmu?” aku mengangguk lemah.

Pritaaa.” ibu memekik dan memelukku. Aku menggigit bibir menahan tangis, aku tak mau ibu melihat airmataku menangisi mas Panji.

 

“Mas Panji sakit, bu dan dia sudah pergi, bu. Itu yang terbaik untuk mas Panji. “ aku tidak perlu  bercerita kalau mas Panji pernah berencana untuk menikahi aku. Tidak ada gunanya kuceritakan pada ibu. Toh semua itu sudah tidak mungkin lagi terjadi.

 

“Prita mohon maaf atas segala dosa dan kesalahan Prita, Prita selalu berharap ibu mendoakan kebahagiaan untuk Prita. Prita mohon ibu mau berjanji tidak akan menceritakan pada ayah tentang perilaku mas Rangga terhadap Prita.”

“Kenapa begitu, ayahmu harus tahu nasibmu.”

“Jangan, ibu. Prita mohon.”

“Pantas, Rangga kalau mengantar Wanda selalu sendiri. Wanda ditinggal sama susternya di rumah ibu, terus Rangga pergi, esoknya dia balik lagi menjemput Wanda. Tapi itu tidak rutin hanya beberapa bulan sekali.” Cerita ibu. Aku hanya mengelus dada pelan.

“Prita mohon dengan sangat, tidak usah menceritakan perlakuan mas Rangga. Biar waktu yang menjelaskan semuanya.

 

Hanya itu kalimat akhir yang kuucapkan, sebelum ibu meninggalkan kamar apartemenku.

Sejak itu ibu diam-diam ibu sering berkunjung ke apartemenku. Alasannya ke pasar atau ke mall atau ke mana saja. Hatiku bahagia bisa melepas rinduku selalu pada ibu. sering datang ke Apartemenku.

 

 

 

 

BAGIAN XV

NAIK JABATAN

 

Kubaca surat keputusan perusahaan, bahwa aku diangkat jadi kepala cabang PT Lestari Sejati Manufacture di Jawa Timur. Entah bahagia atau sedih tak bisa kulukiskan hatiku. Mungkin ini usaha pak Asikin menghadiahi aku atas kerja kerasku.

“Terima kasih atas, promosi dari bapak” ucapku pada pak Asikin.

“Itu hasil kerja keras, bu Prita”

“Tanpa bapak mempromosikan, saya tidak mungkin mendapat hadiah ini.”

“Jadi ibu menerima penugasan ini ?. “

“Sebenarnya saya tidak yakin dengan kemampuan saya. “

 

 

“Bu Prita ditempatkan di Surabaya, sayangnya Panji sudah tiada.”

“Bapak jangan berkata begitu, nanti saya jadi sedih.” kataku sambil tertawa kecil.

“Perjalanan hidup manusia tidak pernah tahu, bu Prita”

“Iya, pak. Saya berusaha menitinya sekuat saya. “

 

Aku  mengemasi

 

Rumah dinas yang diberikan kantor hanya berjarak 10 km dari pusat kota Surabaya dan berjarak 7 Km dari kantorku. Rumah baru type cluster itu berdiri megah, tidak terlalu besar cukuplah untuk aku yang hidup sendiri, bahkan menurutku kebesaran. tapi masih dalam lingkungan sejuk dan asri, hawanya pun tidak sepanas Kota Surabaya. Baru masuk saja aku sudah merasa senang dan nyaman. Semoga aku betah di sini meniti kehidupan baru bersama pekerjaanku. Aku akan terus meningkatkan karierku dan berkarya. Sejak berpisah dengan mas Rangga aku sudah mulai mendisain baju Muslimah sendiri. Aku selalu berusaha mendidik diriku menerima kehidupan dengan mengisi waktu. Alhasil inilah yang kunikmati. Karirku meningkat dan kehidupanku mulai tertata dengan baik walau harus sendiri.

 

Mobilku di antar oleh sopir kantor. Aku dapat mobil inventaris dinas, tapi kutolak. Karena aku masih senang dengan mobil yang kubeli dengan hasil keringatku sendiri.

Sedih juga jauh dari Esty sahabat baikku dan ibu yang sudah sering menengok aku. Tapi aku tetap dengan tekadku.

“Tenang aja Surabaya dekat kok, aku akan datang kalau kangen kamu.” Kata Esty menghiburku.

“Nih aku lagi mengandung anak mas Rudi, kalau cewek akan kuberi nama Prita.”

“Ooh jangan, nanti nasibnya seperti aku.” Kataku bergurau.

“Beda kali..”

“Yaudah terserah kamu saja lah. Aku senang akhirnya kamu akan beranak juga.”

“IIh songong loh. Gue kan normal..” kami berdua tertawa.

“Bagus lah biar tiap hari kamu ga kelayapan kemana-mana”

“Tahu aja aku tukang nglayap.” Balas Esty sambil tertawa. Aku pun tertawa, kami tertawa ceria.

 

 

BAGIAN

PERMINTAAN

 

 

Pagi sangat cerah, aku menata pot-pot tanaman yang baru kubeli untuk menghiasi halaman rumah dinasku. Taksi berhenti di depan rumahku. Aku menghentikan kegiatanku. Ini pagi yang mengejutkan. Ayah, mas Rangga dan Wanda keluar dari mobil taksi, mereka datang ke rumahku. Belum hilang keterpanaanku Wanda berlari langsung mendekapku. Aku memeluknya erat, kuciumi dengan penuh rindu. Akhirnya Allah mengantarkan anakku untuk menemuiku. Ayah mendekatiku dan memeluk aku yang masih memeluk erat Wanda.  Aku pun menangis pilu di pelukan ayah. Ayah yang sangat kurindu akhirnya mau mengunjungiku. Kuyakin ini ekspresi ayah telah memaafkanku walau tiada kata itu. Ini jawaban doa-doaku. Tangisku terguguk antara haru dan bahagia. Kerinduanku pada ayah terobati.

Mereka kuminta masuk ke dalam rumahku. Rumahku terbuka untuk mas Rangga, dan tidak menghalangi seperti dulu mas Rangga menghalangi aku ketemu Wanda.

“Bunda pulang ya” pinta Wanda kepadaku yang masih berada di gendonganku.

“Tante Anggun sudah pergi dari rumah karena diusir ayah” aku terkejut, oh jadi kebiasaan mengusir itu sudah jadi karakter mas Rangga. Senyum kecil di hatiku menyeruak.

“Bunda kerjanya di sini sayang. Wanda di Jakarta sama ayah ya.”

“Tapi Wanda mau sama Bunda.”

“Iya nanti sayang. Bunda masih bekerja di sini”

 

“Ini rumahmu, Prita?” tanya ayah sambil pandangannya mengelilingi isi rumahku.

“Rumah dinas, ayah, tapi nanti dalam beberapa tahun ke depan akan dihibahkan untuk Prita. Doakan ya, ayah” Ayah mengangguk-angguk dengan netra membinar. Sepertinya ayah bangga dengan apa yang kudapat.

Segera ke dapur untuk membuatkan minuman untuk ayah, mas Rangga dan Wanda. Sedang aku ke belakang membuatkan minuman, ayah bersama Wanda melihat seluruh sudut isi rumahku, ayah juga membawa Wanda naik ke lantai atas. Mas Rangga mendekatiku yang sedang mengaduk gula dicangkir teh.

 

“Aku ingin kembali rujuk denganmu” ucap mas Rangga sangat hati-hati.

“Ooh ya, mas ?” jawabku sambil menghentikan kegiatanku mengaduk gula di cangkir.  

“Iya, aku serius.”

“Tapi saya tidak, tidak ingin Kembali pada mas. Maaf. “ jawabku tanpa melihat wajah mas Rangga yang sedang mengamatiku. Kuraih Nampak di rak. Sama sekali aku tidak ingin melihat wajah mas Rangga.

“Aku minta maaf atas semua perilakuku kepadamu. Aku berharap kamu mau memaafkanku”

“Saya sudah memaafkan, mas”

“Jadi kamu mau Kembali padaku?” harapnya, aku mulai melihat wajah mas Rangga. Wajahnya sayu seperti sedang Lelah. Aku menggelengkan kepala memastikan ketidaksanggupanku Kembali pada mas Rangga.

“Apa kamu gak kasian sama Wanda?” Oh jadi demi Wanda, senyum menyembul dari bibirku. 

“Kalau itu jangan ditanyakan, mas. Harusnya mas Rangga bertanya pada diri mas sendiri waktu itu, apa mas gak kasihan sama Wanda.” Kataku masih dengan senyum tanpa arti. Mas Rangga terdiam.

“Sejak dulu saya  kasian sama Wanda, kashian nasibnya memiliki ibu sepertiku yang hidup tanpa nilai di mata ayahnya.” Kataku ketus. Kupalingkan wajahku dari pandangan mas Rangga yang penuh harap.

“Setelah ada pengkhianatan di antara kita, kita tidak mungkin bisa seperti dulu, itu mas yang ada dalam pikiranku. Entah siapa yang berkhianat lebih dulu di antara kita, mungkin  saya yang mas anggap hina, tapi kita tidak akan membohongi perasaan kita walau lidah kita berbicara tentang kepalsuan. Saya sudah ikhlas dengan semuanya. ” kataku sambil menghentikan kegiatanku, kali ini aku mencoba manatap mantan suamiku.

 

Aku sudah mulai berani menatapnya karena dia bukan suamiku lagi. Dulu aku selalu takut berdebat sama mas Rangga. Apalagi sejak tuduhan itu mas Rangga selalu membuang wajahnya setiap berjumpa denganku.

“Cerita Wanda tadi tidak benar seluruhnya kan, mas. ?” mas Rangga terperanjat mendengar pertanyaanku.

“Maksudmu ?”

“Mas tidak sungguh-sungguh mengusir Anggun, mas berdrama di depan Wanda. Anggun mas kembalikan ke rumah cluster di Selatan Jakarta, tempat dulu Anggun tinggal sebelum mas bawa ke rumah yang mas tempati dengan Wanda” meluncur kalimatku begitu saja. Mas Rangga tampak terkejut, seketika wajahnya pucat.

“mas terkejut saya tahu semuanya?”

“Prita kamu tahu semua itu dari mana?”

“Mas… wanita yang mas anggap bodoh itu tidak selalu sesungguhnya bodoh.” Kataku sambil menghadapkan tubuhku tepat  di depannya. Aku menajamkan pandanganku ke wajah pria pendusta ini. Senyum kecil mengembang dari bibirku demi melihat wajah mas Rangga pucat  seperti sedang diadili.

 

Tatapanku semakin tajam ke arahnya. Ini wajah laki-laki yang dulu sangat kuhormati, sekarang pucat pasi,  hatiku mentertawakannya. Aku memang beruntung lepas dari mas Rangga, kini  jiwaku semakin kuat. Perilaku lelaki ini sudah banyak mengajariku menjadi wanita kuat.

“Ya..ya Prita, maafkan saya. Saya yang bersalah.” Katanya dengan wajah pias mungkin rasa malu yang ada. Aku yakin hati mas Rangga sedang membuat pengakuan kesalahan yang menggunung tapi kini semua bukan urusanku lagi.

“Saya sudah katakan kalau saya  memaafkan mas. Dan sekarang saya sadar kalau mas Rangga pandai berdrama. Tentu saya sangat kasian pada Wanda, hidup dengan seorang ayah penuh drama. “

“Aku berusaha memperbaiki semuanya. ingin kembali hidup denganmu”

“Apa mas berani bicara semua itu pada ayah. Berani kah mas mengatakan pada ayah kalau di antara pernikahan kita ada wanita lain yang mas nikahi secara siri. ?”

“Sudah Prita.. “ mas Rangga seperti menginginkan aku agar tidak bicara keras supaya tidak terdengar oleh ayah. Aku pun mengerti, aku juga tidak ingin mengatakan ini pada ayah. Aku hanya akan membuktikan kebenaran pada saatnya aku terlihat dengan sendirinya.

“Sudah Prita, stop. Saya akan merubah semuanya. saya sudah menceraikan Anggun karena dia hanya mau harta saya. Saya hanya ingin kembali kepada kamu, mencintai dengan sepenuh hati saya. “

 

“Tapi mas juga sadar kan, kalau harta tidak bisa menyembuhkan rasa bersalah dan menyelamatkan diri mas dari kedustaan ?” kalimatku menohok. Mata mas Rangga memerah, dan satu bulir air mata jatuh. Aku tersenyum kecut, bisa juga laki-laki kaya ini menangis. Hatiku tak tergerak untuk itu. Sudah lebih banyak air mata yang kutumpahkan untuk keculasannya. Airmata sakitku dan airmata cintaku pada mas Panji  yang pupus. Aku mendesah tanpa sadar.

“Akan ada Anggun-Anggun yang lain dalam kehidupan mas Rangga.”

“Tidak, Prita saya janji.”

“Saya tetap tidak bisa, mas. Maafkan saya.” Penolakan tegasku.

“Kita sudah saling memaafkan, tapi tidak perlu memaksakan hati kita untuk mendiami satu tempat dengan perasaan asing satu sama lain.” Mas Rangga masih terdiam.

 

 

“Seharusnya mas tidak perlu menyusul saya ke sini.” tanpa kulihat lagi wajah mas Rangga, kutinggalkan dia yang sedang bengong dan berpikir, ini lah saatnya dia berpikir tentang dirinya, saatnya dia merenungkan bahwa apa yang disembunyikan akan terungkap.  

 

Mas Rangga sudah mengakui kesalahannya, Tapi apakah dia berani mengakui di depan ayah kalau mas Rangga lebih dulu mengkhianatiku. Aku yakin dia tidak akan pernah berani mengakui itu. Sekarang aku sudah masa bodoh dengan semuanya, aku sudah lega ayah sudah memaafkan aku, aku tidak perlu kata-kata lain selain sikap ayah yang sudah seperti dulu.

 

Seharian ku ajak mereka keliling Surabaya, makan rujak cingur kesukaan ayah. Wanda pun senang sekali saat kuajak minum ice cream Zangrandi. Saat ini aku lah yang berdrama, berpura-pura baik di depan mas Rangga agar ayah hatinya senang dan lega. Bukan kah ayah sudah pernah menerima drama hebat dari mas Rangga. Kini saatnya aku yang berdrama, mas Rangga yang telah mengajariku. Ternyata berdrama itu tidak sulit, pantas lah kalau mas Rangga melakukannya padaku. Ayah juga kubawa ke masjid AL Akbar, masjid agung di kota Surabaya. Aku berharap hati ayah terbuka memahami siapa dan bagaimana ibadah anaknya. Berharap ayah percaya aku bukan seperti yang dituduhkan mas Rangga. Sujudku terpenuhi oleh ucapan syukur tiada henti.

 

∞∞

 

Di Bandara Juanda ayah berusaha membujukku untuk kembali rujuk dengan  mas Rangga, mata ayah berkaca seperti memohon, kali ini bukan aku tidak berbakti tidak menuruti keinginan ayah. Dulu aku pernah berbakti, sekarang aku sudah cukup dengan sakitku. Aku akan memilih kehidupanku sendiri dan tidak ingin terjerumus ke dalam lubang yang sama, keledai bodoh pun tidak akan melakukan itu. Kupeluk erat tubuh ayah, kubisikkan kalimatku.

 

“Maafkan Prita,  ayah, saat ini Prita masih butuh waktu untuk menenangkan diri.” Kucium tangan ayah berkali-kali. Kelegaan ini mengharukan karena ayah benar-benar sudah memaafkanku. Ayah mengusap-usap kepalaku. Ayah yang telah melarangku datang menjumpainya kini sudah mengelus kepalaku lagi. Aku menjadi seperti anak kecil yang dibelai ayahnya.

 

Perdamaian hati dengan ayah sangat menyejukkan, tangan ayah seperti air es yang mengguyur kepalaku yang sedang panas. Es itu mengeringkan lukaku, tapi tidak mencairkan kebekuan hatiku untuk kembali kepada mas Rangga. Juga tidak berminat lagi menjelaskan sebuah kebenaran. Semua telah lewat, kalau sosokku pun tetap dianggap buruk pernah menorah noda dan luka di hati ayah, biar lah waktu yang menggerakkan semuanya suatu saat aka nada kejelasaan.

 

“Jaga dirimu baik-baik ya, nak”

“Iya ayah.”

Meski hati ini sangat perih aku melepas Wanda dari pelukanku, anak itu sangat berharap bersamaku lagi, apa mau dikata, aku tak sanggup melakukan itu. Sekali pun biasa aku ditinggalkan orang-orang yang kucintai, tak mampu aku menghalau perihku.

 

“Aku sangat mengharapkanmu.” Bisik mas Rangga meyakinkanku saat mengambil tangan Wanda dari genggaman tanganku.

“Datanglah demi aku dan anak kita “ kata mas Rangga sambil mencium pipi Wanda yang berada di pelukannya, matanya melirik dan melontarkan senyum halus seakan merayuku. Aku tersenyum mengambang. Senyum kepastian yang dapat menjawab harapan mas  Rangga agar tidak berharap banyak pada kembaliku.

 

Permintaan mas Rangga, permintaan Ayah dan permintaan Wanda semua sama memintaku kembali ke Jakarta hidup bersama lagi. Dan semua sama kutolak dengan kemantapan hati. Semua hanya mampu melihat hidupku, mereka tidak pernah meresapi hatiku. Diriku sendiri lah pemilik hati yang sesungguhnya, mampu menawarkan kepahitan, mengguyurkan madu kehidupan untuk menghilangkan rasa pahit itu.

 

 

Aku akan menyembuhkan diri dari kesakitan seperti saat allamanda yang berserakan. Mungkin allamanda yang ditendang berserakan hanya sedikit melukaiku, tapi tuduhan perselingkuhan, perzinaan  dan kedatangan wanita lain di rumahku itu serta cara mas Rangga mengusirku, membuat hatiku lebih  berserakan dari allamanda.

 

Juga fitnah yang disampaikan kepada ayah dan ibuku yang membuat aku terbuang dari mereka. Itu semua tidak mungkin membuatku tidak merasakan sakit. Untuk itu aku bersikeras tidak ingin kembali lagi padanya. Aku harus benar-benar sembuh dari luka itu.

 

Aku sudah memahami wajah asli mantan suamiku. Bermuka baik bukan berarti baik seluruhnya. Perselingkuhan yang ditutupinya yang menjerat aku  kedalam tuduhan kenistaan. Tidak mungkin aku kembali lagi pada laki-laki seperti itu. Semua perlakuan mas Rangga sudah membentuk aku menjadi wanita kuat. Tidak perlu menjelaskan diri menjadi manusia bermartabat, karena martabat itu muncul dari perilaku kita yang sebenarnya, bukan cara kita menutupi keadaan yang sebenarnya. Dan aku kini memiliki penilaian tersendiri terhadap mantan suamiku apakah martabatnya aurum atau argon biar kusimpan dalam dadaku.

 

Kini aku menertawakan rasa sakit yang pernah kunikmati dan kutangisi. Dibodohi  itu perlu untuk berusaha menjadi lebih pandai. Aku sudah pandai mengambil sikap untuk membalas luka dengan kekecewaan. Walau pun itu bukan niatku. Mas Rangga kaya harta, tapi aku tidak pernah memperhitungkan kekayaan,  rasa lega dan bahagia itulah yang membuat aku merasa sangat kaya. Arti mas Rangga bagiku adalah telah memberi aku kesempurnaan diriku sebagai wanita dan ibu karena bisa melahirkan anak di dunia ini. Aku sudah sampai pada kata terakhir dengan mas Rangga yang kuakhiri dengan tanda titik.