Sabtu, 21 Agustus 2021

ALAMANDA BERSERAK BAGIAN XVII DAN XVIII

 

BAGIAN XVII

PERWIRA HATI

 

Ada sebuah alasan untuk berkenalan dengan dua orang polisi. Perkenalan yang dimulai saat aku kehilangan motor dan melaporkan ke kantornya. Polisi yang bernama Suwardi dan Sutrisno datang ke rumahku mengecek keadaan rumahku, menanyakan letak motor hingga bisa disabet maling. Laporanku dicacat. Security komplek menemani kedua polisi mengecek kondisi rumahku. Menjelaskan kejadian sebenarnya.

 

Menurut keterangan security, ada dua orang masuk kompleks siang hari. Motorku dibawanya, tapi security tidak curiga kalau itu pencuri. Sebenarnya aku malas ribet begini, tak apa lah kalau itu jadi suatu keharusan, sebagai warga negara yang baik aku ikuti peraturan. Kehilangan motor ya harus lapor polisi.

 

Siang itu aku berjumpa lagi dengan 2 orang polisi yang pernah datang ke rumahku, saat aku menikmati rawon setan yang terkenal di Surabaya. Pak Suwardi yang mengurus kasus hilangnya motorku sedang menikmati makan siang dengan atasan dan teman-temannya.

Laki-laki bertubuh semampai dan dan berwajah bersih diperkenalkan padaku, namanya pak Arya seorang perwira polisi yang menjabat sebagai Kapolsek. Perkenalan dengan bahasa umum terjadi biasa saja.

Aku selesai lebih dulu langsung membayar di kasir terdengar mereka bercakap tentang aku dan saling berbisik. Aku tak peduli. Mungkin mereka sedang mempercakapkan ke-jandaanku. Biasa lah janda sering menjadi pergunjingan kaum lelaki. Biarlah memang aku janda beranak satu dan tinggal sendiri. Mau apa lagi.

 

 

Satu minggu  kemudian Pria bernama Arya itu datang ke rumahku. Seakan ingin menyelidik tentang kasus hilangnya motorku. Menyelidiki motorku atau menyelidiki kehidupanku. Masa bodoh aku hanya menyambut mereka seperti layaknya tamu. Anehnya urusan hilang motor saja bos polsek ikut datang ke rumah. Tak terelak lagi tujuannya mendekatiku.

 

Duda beranak satu itu bernama Arya Wiguna itu selanjutnya menemani hari-hariku. Tubuhnya yang tegap seakan menawarkan perlindungan untuk ragaku. Sebuah tatapan halus mengurut nadi. menghenyakkan aku dari lamuman panjang yang mengisi pikiranku. Ucapan cinta itu bagai sebuah kesungguhan.

Tiga bulan berjalan kedekatanku dengan pak Arya. Kata cinta pak Arya menawarkan sebuah kesungguhan untuk membuka hatiku. Pertimbanganku, aku butuh laki-laki mampu melindungi diriku sepenuhnya. Dua beranak satu itu memperkenalkan aku dengan anaknya. Anak laki-laki berusia 5 tahun itu sudah ditinggal ibunya untuk selama-lamanya karena sakit maag kronis. Ketika ditingga anak itu usianya 2,5 tahun. Aku ingat Wanda, ketika kutinggalkan Wanda berusia sama. Anak itu langsung akrab denganku.

 

Dalam remang malam pantai Kenjeran aku mendapatkan sebuah dilemma yang membuat aku berada di simpang jalan. Rangkaian bunga mawar disampaikan pak Arya sebagai kesungguhannya ingin meminangku. Aku merasa asyik bersama pak Arya, tapi hatiku belum asyik.  Bayangan mas Panji meracuni benakku.

 

Tiada kepastian dari hatiku. Berhari aku memikirkannya. Antara menerima dan menolak. Menatap pak Arya, membuat aku merasakan suatu dosa. Dosa mengkhianati cintaku yang sudah tak mungkin kukejar. Apa aku bisa menggantikan mas Panji dengan pak Arya di hatiku ? pertanyaan itu menghantui hatiku. Dulu aku ingin menggantikan mas Panji dengan sosok mas Rangga, aku gagal dan kecewa. Kini aku masuk dalam dilemma yang sama, Aku ingin kesungguhan cinta seperti cintanya mas Panji kepadaku, tapi pak Arya bukan mas Panji, itu kenyataannya.

 

Aku aku tidak tahu apakah aku harus jujur pada pak Arya, kalau aku belum bisa melupakan masa laluku. Rasanya terlalu naif kalau itu kulakukan. Aku ini wanita dewasa, tidak harus cengeng dengan urusan cinta.

Aku ingin menghilangkan kegalauan hati, sulit menjawab pernyataan pak Arya. Aku butuh waktu merenung. Keputusanku aku harus menjernihkan pikiranku sampai aku tahu jawaban yang paling tepat.

 

Kusetir mobilku ke arah Banyuwangi. Aku ingin menikmati akhir pekanku sendiri.  Jika mungkin aku ingin menyeberang ke pulau Bali. Gundahku dalam keraguan yang dalam menerima pak Arya.

 

Pertimbangan ini menyiksaku. Tidak ada yang kurang dari pak Arya, sikap yang sangat baik, kehidupan yang mapan dan jabatan yang menjanjikan mampu melindungiku yang hidup sendiri. Getaran ini menyembulkan riak-riak kesakitan dari masa laluku, tentang kehidupan perkawinan yang kandas dan cinta yang berakhir tragis.

 

Aku berhenti di resto pasir putih. Pantai dengan pemandangan pasir putih halus yang memanjang, air laut yang bening membiru, ombak yang landau.

Sejak habis subuh aku sdh berjalan meninggalkan rumahku, aku akan mengisi perutku untuk sarapan pagi.

 

Teh poci dan roti bakar sudah bisa menghangatkan perutku.

 

Kuselesaikan makanku dengan cepat, kupercepat langkahku untuk kembali ke mobil dan melanjutkan perjalananku lagi,

 

“Pak Arya?” Lagi-laki itu dengan kuat mencekal pergelangan tanganku. Aku menelusuri tatapannya, mata lembutnya menghujam ke wajahku. Senyumnya merebak menebar kepastian seakan menunjukkan dirinya bersungguh-sungguh ingin menemaniku.

“Tidak perlu lari meski pun penuh keraguan” kalimat sejuknya menelusuri hati.

“Saya ingin berakhir pekan pak” kataku sehalus mungkin membela diri dari tuduhannya. Dia pasti tahu aku sedang berbohong.

 

“Saya bersabar menunggu sebuah jawaban, tapi saya tidak akan membiarkan wanita hebat di depan ini berjalan sendiri”

“Pak..” panggilku pelan. Pak Arya menganggukkan kepala pelan seakan ingin menepis seluruh keraguanku.

“Saya akan menemani dik Prita kemana pun pergi. Jangan pergi sendiri.” Kata-kata itu.. nada suara itu aku seperti pernah menikmatinya.

“Mengapa ragu pada saya kalau saya sanggup menemanimu.” Tambahnya lagi.

“Saya… saya… “ aku tak sanggup melanjutkan kata-kataku. Mata itu semakin tajam menuangkan pandandan harapan.

“Saya siap menemani kemana saja, sini kunci mobilnya. Entah apa yang menggerakkanku, kuulurkan kunci mobil di tanganku. Dengan sigap pak Arya mengambil dari tanganku dan menuntunku ke arah sebelah kiri mobil, membukakan pintu untukku, aku seperti robot menurut saja.

 

 

 

 

Pak Arya sudah duduk di belakang setir mobilku, aku masih terdiam mengamati gerak-geriknya. Pak Arya menoleh ke arahku

“Dik Prita mau kemana?” Tanyanya dengan lontaran senyum yang memikat. Aku diam hanya memandanginya. Aku sendiri tidak tahu mau ke mana? Setelah pak Arya menyusul aku tidak hasrat ke Bali, keputusan yang tiba-tiba seperti halnya kedatangan pak Arya.

“Kok diam, dik Prita mau kemana saya siap antar?” Ujarnya lagi dengan mata membinar. Ketemukan ketulusan di wajah pak Arya.

Aku menggeleng pelan, dahi pak Arya berkerut. Tapi Kembali tersenyum.

“Hilang selera jalan-jalan setelah kedatangan saya?” Tanyanya lagi seperti kecewa. Aku menggeleng lagi.

“jadi bagaimana maunya dik Prita?”

“Untuk apa menyusul saya ke sini?” Tanyaku.

“Untuk cinta.. “ Katanya tegas. Untuk cinta ? kuulangi pernyataannya di hatiku. Kuteliti pandangannya, aku tidak mengerti kesungguhan atau bergurau.

“Ya untuk Cinta.. “ Ulangnya lagi lebih tegas, setegas sikapnya dalam jabatannya sebagai Perwira polisi. Aku tak mampu menjawab, mataku tertunduk dari tatapannya. Sebuah tangan lembut mengelus ujung hijabku. Aku berharap ini tidak menghadirkan bayangan mas Panji lagi, aku tidak ingin tersiksa lagi.

 

 

 

 

 

 

 

XVIII

NUR’AINI

 

Aku harus bertanding lagi ? bertanding mendapatkan laki-laki untuk hidupku. Dulu Anggun memperkenalkan diri sebagai calon penggantiku di sisi mas Rangga. Aku menyerah karena tidak ada arti mempertahankan laki-laki yang telah menyakitiku.

Gadis bernama Nur’aini datang mengunjungi rumahku. Dia datang dengan segenap keyakinannya dan membawa cerita manis tentang lamaran orang tua pak Arya, tentu saja ini cerita pahit untukku.

Pak Arya beberapa hari ini sedang Lokakarya ke Semarang. Itu pamitnya padaku, tapi Nur’aini mengatakan orang tua pak Arya melamarnya. Apa pak Arya berdusta padaku tentang Lokakarya yang diikutinya. Dibalik semua itu dia melamar Nur’aini. Aku sungguh tidak menyangka pak Arya demikian tega padaku.

“Biarkan pak Arya mendapatkan gadis dari pada dapat janda.” Ujar wanita itu. Aku tersenyum. Mungkin dia benar.

“Kalau begitu kita tak perlu banyak kata. Silahkan ambil pak Arya, menikah lah dengan pak Arya dan tinggalkan rumah saya.”

 

 

Semalam kurenungkan ucapannya. Nur’aini benar, dia memang lebih pantas untuk pak Arya. Pak Arya tentu lebih bangga dan bahagia mendapatkan seorang gadis dari pada janda sepertiku. Aku akan memutuskan hubunganku dengan pak Arya. 

Renungan Panjang meremukkan hatiku. Aku tak sanggup menjalani kehidupan bersama bayang-bayang wanita lain dalam gerak langkahku. Aku harus melepaskan pak Arya demi gadis cantik bernama Nur’aini. Nur’aini lebih pantas untuk pak Arya. Kukirim kalimat singkatku.

“Jangan menjadi pendusta untuk mengelabuhi saya.” Pesan singkat yang kukirim pada pak Arya. Kutunggu lama tidak ada balasan. Aku tidak ingin menulis lagi. Kalimat itu sudah cukup untuk membuat pak Arya paham maksudku.

 

“Mohon maaf, sebaiknya hubungan kita, kita akhiri sampai di sini.” hanya itu yang kutulis jelang tidurku, kalimat singkat itu membuat tidurku terasa lega dan nyenyak.

 

 

Jam delapan pagi laki-laki itu sudah berdiri di depan ruang kerjaku. Menyambutku dengan wajah pias. Pakaian dinas lengkap membalut tubuhnya, pertanda dia ma uke kantor tapi mampir ke sini.

 

 Ini efek dari pesan singkatku tadi malam. Untuk apa dia datang sementara hatiku sudah mulai lega. Sebenarnya aku tidak ingin berjumpa lagi dengannya. Keputusanku itu sudah sepenuh hati. Kalimat Nur’aini sudah memantapkan tekadku. Mengapa pak Arya harus datang lagi menemuiku. Sudah ada Nur’aini yang dipersiapkan ibu pak Arya dan  siap menemani Arya, siap juga mengasuh putra tunggalnya.

“Dik Prita.. “ Panggilnya lirih sebelum aku memasuki ruang kerjaku. Aku mengangkat wajah.

“Sepertinya semua sudah jelas, pak. Sudah sesuai dengan kalimat saya tadi malam”

“Apa harus seperti ini hubungan kita, saya ingin mempertahan dik Prita….”

“Tapi orang tua pak menghendaki Nur’aini, bukan saya” kataku memotong kalimatnya, Pak Arya mendesah.

“Saya sudah paham dan cukup mengerti.”

“Tapi, dik.. saya.. saya ..”

“Kita harus sama-sama belajar untuk menerima takdir, pak Arya”

“Maaf telah membuat dik Prita sakit hati. ” Aku tersenyum tipis dan menggeleng.

“Saya akan baik-baik saja.”

“Bijak seperti itu yang membuat saya semakin takut kehilangan”

“Bapak seorang perwira, gagah dan berwibawa. Tidak ada yang perlu ditakuti.”

“Itu semua tentang Profesi, karir dan jabatan, bukan tentang hati, Perwira juga manusia yang punya hati.”

“ Hati pak Arya boleh untuk saya, tapi hidup pak Arya sebaiknya untuk mengabdi pada orangtua.”

“Saya permisi “ kataku aku membuka handle pintu ruang kerjaku

 

 

Kuoret oret kertas kosong di atas meja kerjaku. Pikiranku kusut.. aku tidak bisa bekerja hati ini, wajah pak Arya sangat menggangguku.

 

 

Selesai lah sudah semuanya. perwira hati itu hanya singgah sekejap dalam kehidupanku. Dia seperti hujan mengguyur bumi, datang tanpa diduga dan pergi tanpa suara tapi meninggalkan bumi yang basah yang kurasakan. Tetesan hujan seakan mewakili tangisku. Biar lah hujan yang mewakili karena sudah aku lelah meneteskan airmata untuk laki-laki yang hanya sekejap tinggal di hati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar