BAGIAN XVII
PERWIRA HATI
Ada
sebuah alasan untuk berkenalan dengan dua orang polisi. Perkenalan yang dimulai
saat aku kehilangan motor dan melaporkan ke kantornya. Polisi yang bernama
Suwardi dan Sutrisno datang ke rumahku mengecek keadaan rumahku, menanyakan
letak motor hingga bisa disabet maling. Laporanku dicacat. Security komplek menemani
kedua polisi mengecek kondisi rumahku. Menjelaskan kejadian sebenarnya.
Menurut
keterangan security, ada dua orang masuk kompleks siang hari. Motorku dibawanya,
tapi security tidak curiga kalau itu pencuri. Sebenarnya aku malas ribet
begini, tak apa lah kalau itu jadi suatu keharusan, sebagai warga negara yang
baik aku ikuti peraturan. Kehilangan motor ya harus lapor polisi.
Siang
itu aku berjumpa lagi dengan 2 orang polisi yang pernah datang ke rumahku, saat
aku menikmati rawon setan yang terkenal di Surabaya. Pak Suwardi yang mengurus
kasus hilangnya motorku sedang menikmati makan siang dengan atasan dan
teman-temannya.
Laki-laki
bertubuh semampai dan dan berwajah bersih diperkenalkan padaku, namanya pak
Arya seorang perwira polisi yang menjabat sebagai Kapolsek. Perkenalan dengan bahasa
umum terjadi biasa saja.
Aku
selesai lebih dulu langsung membayar di kasir terdengar mereka bercakap tentang
aku dan saling berbisik. Aku tak peduli. Mungkin mereka sedang mempercakapkan
ke-jandaanku. Biasa lah janda sering menjadi pergunjingan kaum lelaki. Biarlah
memang aku janda beranak satu dan tinggal sendiri. Mau apa lagi.
Satu
minggu kemudian Pria bernama Arya itu
datang ke rumahku. Seakan ingin menyelidik tentang kasus hilangnya motorku.
Menyelidiki motorku atau menyelidiki kehidupanku. Masa bodoh aku hanya
menyambut mereka seperti layaknya tamu. Anehnya urusan hilang motor saja bos
polsek ikut datang ke rumah. Tak terelak lagi tujuannya mendekatiku.
Duda
beranak satu itu bernama Arya Wiguna itu selanjutnya menemani hari-hariku.
Tubuhnya yang tegap seakan menawarkan perlindungan untuk ragaku. Sebuah tatapan
halus mengurut nadi. menghenyakkan aku dari lamuman panjang yang mengisi
pikiranku. Ucapan cinta itu bagai sebuah kesungguhan.
Tiga
bulan berjalan kedekatanku dengan pak Arya. Kata cinta pak Arya menawarkan
sebuah kesungguhan untuk membuka hatiku. Pertimbanganku, aku butuh laki-laki
mampu melindungi diriku sepenuhnya. Dua beranak satu itu memperkenalkan aku
dengan anaknya. Anak laki-laki berusia 5 tahun itu sudah ditinggal ibunya untuk
selama-lamanya karena sakit maag kronis. Ketika ditingga anak itu usianya 2,5
tahun. Aku ingat Wanda, ketika kutinggalkan Wanda berusia sama. Anak itu
langsung akrab denganku.
Dalam
remang malam pantai Kenjeran aku mendapatkan sebuah dilemma yang membuat aku
berada di simpang jalan. Rangkaian bunga mawar disampaikan pak Arya sebagai kesungguhannya
ingin meminangku. Aku merasa asyik bersama pak Arya, tapi hatiku belum asyik. Bayangan mas Panji meracuni benakku.
Tiada
kepastian dari hatiku. Berhari aku memikirkannya. Antara menerima dan menolak.
Menatap pak Arya, membuat aku merasakan suatu dosa. Dosa mengkhianati cintaku
yang sudah tak mungkin kukejar. Apa aku bisa menggantikan mas Panji dengan pak
Arya di hatiku ? pertanyaan itu menghantui hatiku. Dulu aku ingin menggantikan
mas Panji dengan sosok mas Rangga, aku gagal dan kecewa. Kini aku masuk dalam
dilemma yang sama, Aku ingin kesungguhan cinta seperti cintanya mas Panji
kepadaku, tapi pak Arya bukan mas Panji, itu kenyataannya.
Aku
aku tidak tahu apakah aku harus jujur pada pak Arya, kalau aku belum bisa
melupakan masa laluku. Rasanya terlalu naif kalau itu kulakukan. Aku ini wanita
dewasa, tidak harus cengeng dengan urusan cinta.
Aku
ingin menghilangkan kegalauan hati, sulit menjawab pernyataan pak Arya. Aku
butuh waktu merenung. Keputusanku aku harus menjernihkan pikiranku sampai aku
tahu jawaban yang paling tepat.
Kusetir
mobilku ke arah Banyuwangi. Aku ingin menikmati akhir pekanku sendiri. Jika mungkin aku ingin menyeberang ke pulau
Bali. Gundahku dalam keraguan yang dalam menerima pak Arya.
Pertimbangan
ini menyiksaku. Tidak ada yang kurang dari pak Arya, sikap yang sangat baik,
kehidupan yang mapan dan jabatan yang menjanjikan mampu melindungiku yang hidup
sendiri. Getaran ini menyembulkan riak-riak kesakitan dari masa laluku, tentang
kehidupan perkawinan yang kandas dan cinta yang berakhir tragis.
Aku berhenti di resto pasir putih. Pantai dengan pemandangan pasir
putih halus yang memanjang, air laut yang bening membiru, ombak yang landau.
Sejak habis subuh aku sdh berjalan
meninggalkan rumahku, aku akan mengisi perutku untuk sarapan pagi.
Teh poci dan roti bakar sudah bisa
menghangatkan perutku.
Kuselesaikan
makanku dengan cepat, kupercepat langkahku untuk kembali ke mobil dan
melanjutkan perjalananku lagi,
“Pak
Arya?” Lagi-laki itu dengan kuat mencekal pergelangan tanganku. Aku menelusuri tatapannya,
mata lembutnya menghujam ke wajahku. Senyumnya merebak menebar kepastian seakan
menunjukkan dirinya bersungguh-sungguh ingin menemaniku.
“Tidak
perlu lari meski pun penuh keraguan” kalimat sejuknya menelusuri hati.
“Saya
ingin berakhir pekan pak” kataku sehalus mungkin membela diri dari tuduhannya.
Dia pasti tahu aku sedang berbohong.
“Saya
bersabar menunggu sebuah jawaban, tapi saya tidak akan membiarkan wanita hebat
di depan ini berjalan sendiri”
“Pak..”
panggilku pelan. Pak Arya menganggukkan kepala pelan seakan ingin menepis
seluruh keraguanku.
“Saya
akan menemani dik Prita kemana pun pergi. Jangan pergi sendiri.” Kata-kata
itu.. nada suara itu aku seperti pernah menikmatinya.
“Mengapa
ragu pada saya kalau saya sanggup menemanimu.” Tambahnya lagi.
“Saya…
saya… “ aku tak sanggup melanjutkan kata-kataku. Mata itu semakin tajam
menuangkan pandandan harapan.
“Saya
siap menemani kemana saja, sini kunci mobilnya. Entah apa yang menggerakkanku,
kuulurkan kunci mobil di tanganku. Dengan sigap pak Arya mengambil dari
tanganku dan menuntunku ke arah sebelah kiri mobil, membukakan pintu untukku,
aku seperti robot menurut saja.
Pak
Arya sudah duduk di belakang setir mobilku, aku masih terdiam mengamati
gerak-geriknya. Pak Arya menoleh ke arahku
“Dik
Prita mau kemana?” Tanyanya dengan lontaran senyum yang memikat. Aku diam hanya
memandanginya. Aku sendiri tidak tahu mau ke mana? Setelah pak Arya menyusul
aku tidak hasrat ke Bali, keputusan yang tiba-tiba seperti halnya kedatangan
pak Arya.
“Kok
diam, dik Prita mau kemana saya siap antar?” Ujarnya lagi dengan mata membinar.
Ketemukan ketulusan di wajah pak Arya.
Aku
menggeleng pelan, dahi pak Arya berkerut. Tapi Kembali tersenyum.
“Hilang
selera jalan-jalan setelah kedatangan saya?” Tanyanya lagi seperti kecewa. Aku
menggeleng lagi.
“jadi
bagaimana maunya dik Prita?”
“Untuk
apa menyusul saya ke sini?” Tanyaku.
“Untuk
cinta.. “ Katanya tegas. Untuk cinta ? kuulangi pernyataannya di hatiku.
Kuteliti pandangannya, aku tidak mengerti kesungguhan atau bergurau.
“Ya
untuk Cinta.. “ Ulangnya lagi lebih tegas, setegas sikapnya dalam jabatannya
sebagai Perwira polisi. Aku tak mampu menjawab, mataku tertunduk dari
tatapannya. Sebuah tangan lembut mengelus ujung hijabku. Aku berharap ini tidak
menghadirkan bayangan mas Panji lagi, aku tidak ingin tersiksa lagi.
XVIII
NUR’AINI
Aku
harus bertanding lagi ? bertanding mendapatkan laki-laki untuk hidupku. Dulu
Anggun memperkenalkan diri sebagai calon penggantiku di sisi mas Rangga. Aku menyerah
karena tidak ada arti mempertahankan laki-laki yang telah menyakitiku.
Gadis
bernama Nur’aini datang mengunjungi rumahku. Dia datang dengan segenap
keyakinannya dan membawa cerita manis tentang lamaran orang tua pak Arya, tentu
saja ini cerita pahit untukku.
Pak
Arya beberapa hari ini sedang Lokakarya ke Semarang. Itu pamitnya padaku, tapi
Nur’aini mengatakan orang tua pak Arya melamarnya. Apa pak Arya berdusta padaku
tentang Lokakarya yang diikutinya. Dibalik semua itu dia melamar Nur’aini. Aku
sungguh tidak menyangka pak Arya demikian tega padaku.
“Biarkan
pak Arya mendapatkan gadis dari pada dapat janda.” Ujar wanita itu. Aku
tersenyum. Mungkin dia benar.
“Kalau
begitu kita tak perlu banyak kata. Silahkan ambil pak Arya, menikah lah dengan
pak Arya dan tinggalkan rumah saya.”
Semalam
kurenungkan ucapannya. Nur’aini benar, dia memang lebih pantas untuk pak Arya.
Pak Arya tentu lebih bangga dan bahagia mendapatkan seorang gadis dari pada
janda sepertiku. Aku akan memutuskan hubunganku dengan pak Arya.
Renungan
Panjang meremukkan hatiku. Aku tak sanggup menjalani kehidupan bersama
bayang-bayang wanita lain dalam gerak langkahku. Aku harus melepaskan pak Arya
demi gadis cantik bernama Nur’aini. Nur’aini lebih pantas untuk pak Arya. Kukirim
kalimat singkatku.
“Jangan
menjadi pendusta untuk mengelabuhi saya.” Pesan singkat yang kukirim pada pak
Arya. Kutunggu lama tidak ada balasan. Aku tidak ingin menulis lagi. Kalimat
itu sudah cukup untuk membuat pak Arya paham maksudku.
“
“Mohon
maaf, sebaiknya hubungan kita, kita akhiri sampai di sini.” hanya itu yang
kutulis jelang tidurku, kalimat singkat itu membuat tidurku terasa lega dan
nyenyak.
Jam
delapan pagi laki-laki itu sudah berdiri di depan ruang kerjaku. Menyambutku
dengan wajah pias. Pakaian dinas lengkap membalut tubuhnya, pertanda dia ma uke
kantor tapi mampir ke sini.
Ini efek dari pesan singkatku tadi malam.
Untuk apa dia datang sementara hatiku sudah mulai lega. Sebenarnya aku tidak
ingin berjumpa lagi dengannya. Keputusanku itu sudah sepenuh hati. Kalimat
Nur’aini sudah memantapkan tekadku. Mengapa pak Arya harus datang lagi
menemuiku. Sudah ada Nur’aini yang dipersiapkan ibu pak Arya dan siap menemani Arya, siap juga mengasuh putra
tunggalnya.
“Dik
Prita.. “ Panggilnya lirih sebelum aku memasuki ruang kerjaku. Aku mengangkat
wajah.
“Sepertinya
semua sudah jelas, pak. Sudah sesuai dengan kalimat saya tadi malam”
“Apa
harus seperti ini hubungan kita, saya ingin mempertahan dik Prita….”
“Tapi
orang tua pak menghendaki Nur’aini, bukan saya” kataku memotong kalimatnya, Pak
Arya mendesah.
“Saya
sudah paham dan cukup mengerti.”
“Tapi,
dik.. saya.. saya ..”
“Kita
harus sama-sama belajar untuk menerima takdir, pak Arya”
“Maaf
telah membuat dik Prita sakit hati. ” Aku tersenyum tipis dan menggeleng.
“Saya
akan baik-baik saja.”
“Bijak
seperti itu yang membuat saya semakin takut kehilangan”
“Bapak
seorang perwira, gagah dan berwibawa. Tidak ada yang perlu ditakuti.”
“Itu
semua tentang Profesi, karir dan jabatan, bukan tentang hati, Perwira juga
manusia yang punya hati.”
“ Hati
pak Arya boleh untuk saya, tapi hidup pak Arya sebaiknya untuk mengabdi pada
orangtua.”
“Saya
permisi “ kataku aku membuka handle pintu ruang kerjaku
Kuoret
oret kertas kosong di atas meja kerjaku. Pikiranku kusut.. aku tidak bisa
bekerja hati ini, wajah pak Arya sangat menggangguku.
Selesai
lah sudah semuanya. perwira hati itu hanya singgah sekejap dalam kehidupanku.
Dia seperti hujan mengguyur bumi, datang tanpa diduga dan pergi tanpa suara
tapi meninggalkan bumi yang basah yang kurasakan. Tetesan hujan seakan mewakili
tangisku. Biar lah hujan yang mewakili karena sudah aku lelah meneteskan
airmata untuk laki-laki yang hanya sekejap tinggal di hati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar