Sabtu, 21 Agustus 2021

ALLAMANDA BERSERAK BAGIAN II

 

ALLAMANDA BERSERAK


BAGIAN II

MENIKMATI TAKDIR

 

Ada kesan rindu yang mengguyur nadi, rindu yang sebenarnya telah lama kupupuskan dari gerak nadiku menyeruak lagi sejak perjumpaan tanpa diduga, dia masih seperti dulu. Lembut, dengan tatapan teduh dan suaranya menyejukkan. Perjumpaan yang salah maka rindu pun menjadi suatu kesalahan. Kuhapus selalu rindu dari denyut nadiku. Kami sudah sepakat untuk menyatukan diri kami dalam persahabatan. waktu yang dulu pernah hilang. Walau ada sedikit keindahan dalam pertemuan tak terduga, kami saling membunuh rasa, rasa cinta yang dulu pernah ada.

 

Kesalahan dari perjumpaan yang tidak disengaja membuat tekadku semakin keras untuk menghapus jejak cinta  di hatiku. Takdir adalah sebuah kesungguhan sedangkan angan dan harapan menjelma sebagai asap yang berterbangan lalu menghilang.

 

Saat kita terlahir alam semesta tidak pernah menjanjikan kita akan hidup selalu senang atau bahagia. Langkah yang kita nikmati itu lah sebuah kenyataan hidup yang kita jalani. Tidak ada yang perlu disalahkan. Baik itu cintaku dan cinta mas Panji atau perjodohan dalam pernikahanku. Semua sudah pada garis takdir dan aku menerima takdirku. Aku belajar dari mas Panji, menerima takdir dengan ikhlas.

 

Sekuat hati aku bertekad akan mencintai suamiku sepenuh hati, dia sudah sangat baik padaku. Selalu bersikap baik padaku. Aku tidak akan memecah belah hati, Mas Rangga satu-satunya pelindungku dan imamku, walau ibadahnya belum masuk kategori tekun, aku akan berusaha selalu mencoba mengingatkannya. Akan pula kutingkatkan baktiku untuk surgaku. Kami sudah sepakat untuk saling menghargai satu sama lain sejak awal pernikahan aku dan mas Rangga. Dan itu sudah kami lakukan dengan baik. Aku berharap masih ada daun hijau di padang gersang.

 

Walau aku tidak pernah menuntut macam-macam, mas Rangga selalu menghujaniku dengan berbagai hadiah. Seringkali aku menolaknya. Uang yang diberikan selalu kuirit-irit dan kutabung. Untuk keperluanku sendiri, terutama penampilanku aku selalu menggunakan uangku sendiri. Aku tidak mau hanya untuk bergaya mencurangi uang suami. Juga memberi hadiah ayah dan ibu berusaha dengan hasil keringatku sendiri.

 

Mas Rangga pun protes waktu aku membeli mobil sendiri, karena mas Rangga juga akan membelikan aku mobil setelah anakku lahir. Aku menolaknya,  dan mengganti mobil lamaku dengan uangku sendiri. Tapi mas Rangga bersikeras membelikan aku mobil, aku menerimanya dan kupergunakan untuk keperluan keluarga. Tentu saja ini untuk menyenangkan mas Rangga.

“Wah bunda jadi punya mobil dua ya” kata mas Rangga.

“Alhamdulillah, mas, Rezeki. Terima kasih ya, mas” aku mencium punggung tangannya dan mas Rangga mengecup keningku dengan lembut. Apa pun yang kurasakan belaian suamiku berusaha kenikmati dengan ekspresi bahagia. Aku senang kalau suamiku bahagia.

 

Sejak awal menikah aku selalu setia menunggu mas Rangga pulang kerja, walau sampai larut malam  tak kupejamkan mataku sebelum mas Rangga berada di rumah. Teh hangat tanpa gula selalu kusiapkan setiap mas Rangga pulang. Kerja kerasnya untukku dan keluarga sangat kuhargai. Ini akan kulanjutkan terus karena aku sudah harus mulai menikmati.

*

 

Aku tidak berniat bertanya atau memprotes pak bos Asikin mengapa mengirimku mengikuti Diklat di Seminyak Bali. Mengapa mas Panji berkata kalau pak Asikin pasti mengirimku untuk acara diklat itu ? itu tidak perlu kutanyakan lagi.  Aku tidak ingin membuka percakapan yang menimbulkan berbagai pertanyaan yang sudah tidak perlu kubahas lagi dengan siapa pun. Aku adalah Prita yang sekarang. Menikmati hidup apa adanya. Takdir itu nyata, demikian kalimat mas Panji yang kusimpan di lubuk hatiku paling dalam.

 

 

“Bagaimana acara diklatnya, bu Prita.” tanya pagi itu saat aku menyerahkan laporan hasil Diklat.

“Baik-baik saja, pak. Ini saya akan menyampaikan laporan hasil diklat.” Aku menahan pertanyaanku tentang mas Panji. Kuletakkan  berkas yang sudah kususun rapi bersama flash dish di atas meja pak Asikin.

“Ketemu Panji?” aku terperangah mendengar pertanyaannya. Mau bertanya tidak berani malah ditanya.

“Ya pak.”

“Hemm..” pak Asikin tersenyum.

“Kenapa, pak ?”

“Ga apa-apa, bu Prita.”

“Bapak senyum-senyum saya jadi curiga nih” aku pun ikut tersenyum dengan hati deg-degan.

“Hahaa.. bu Prita kok jadi sensi.”

“Bukan sensi, tapi tawa bapak mengandung makna.” Aku semakin melebarkan senyumku untuk menangkis perasaanku yang tidak karuan.

“Oh maaf saya hanya bergurau sedikit menggoda bu Prita,” balasnya masih tersenyum dengan raut menggoda. Pak Asikin walau masih muda punya sifat kebapakan terhadap anak buahnya, itu yang membuat semua karyawan nyaman bekerja di kantor ini.

“Sudah ya, pak” kataku setelah meletakkan laporan di atas meja.

“Belum…”

“Ada lagi, pak ?”

“Boleh saya bertanya?”

“Masalah kedinasan atau pribadi, pak?”

“Nah ini yang berbeda dari bu Prita, mau tanya saja pakai cluster.” Katanya tergelak. Aku pun tertawa ringan.

“Iya pak, kalau tentang kedinasan boleh bapak bertanya  banyak”

“Kalau masalah pribadi ?”

“Sedikit saja ya, pak “

“Masalah pribadi saja?”

“Jadi tidak boleh banyak-banyak bertanyanya,,”

“Ok…Ok…”

 

 

“Bagaimana perasaan bu Prita bertemu dengan Panji ?”

“Biasa saja”

“Tidak terkejut atau gimana gitu?”

“Tidak, pak. Biasa saja.”

“Masih ada tersisa rasa gitu?”

“Rasa apa, pak?”

“Eh… Rasa apa ya, getaran atau cinta gitu ?”

“Nah ini harus ke dokter bedah hati, pak. Saya tidak bisa menjawab.” Demi mendengar jawabanku pak Asikin tertawa terbahak, aku pun tertawa. Kami sama-sama tertawa dalam keceriaan pagi.

“Duh susahnya tanya sama orang pinter.” Pak Asikin menggeleng-gelengkan kepalanya, kali ini aku puas melihat sikap pak Asikin yang kebingungan.

“Panji itu kasian sekali ditinggal isteri, jadi duda dia.”

“Saya punya suami, pak” jawabku tanpa diminta.

“Hahaa… iya lah bu, Rumah Tangga ibu kan OK-Ok saja. Saya yakin ibu bahagia dengan suami yang sangat  kaya dan pasti sangat menyayangi bu Prita”

“Insya Allah, pak”

“Segitu saja yang boleh ditanyakan?”

“Iya pak”

“Boleh nambah lagi ?”

“Tidak, pak.. sudah cukup.. saya permisi kembali  ke meja saya..” aku membalikkan tubuh.

“Terima kasih ya.” Ucap pak Asikin setelah aku melangkah.

“Sama-sama, pak” aku segera keluar ruangan pak Asikin, tentu saja aku lega tidak mendapat pertanyaan lain-lain lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar