ALLAMANDA
BERSERAK
BAGIAN II
MENIKMATI
TAKDIR
Ada kesan rindu yang
mengguyur nadi, rindu yang sebenarnya telah lama kupupuskan dari gerak nadiku
menyeruak lagi sejak perjumpaan tanpa diduga, dia masih seperti dulu. Lembut,
dengan tatapan teduh dan suaranya menyejukkan. Perjumpaan yang salah maka rindu
pun menjadi suatu kesalahan. Kuhapus selalu rindu dari denyut nadiku. Kami
sudah sepakat untuk menyatukan diri kami dalam persahabatan. waktu yang dulu
pernah hilang. Walau ada sedikit keindahan dalam pertemuan tak terduga, kami
saling membunuh rasa, rasa cinta yang dulu pernah ada.
Kesalahan dari perjumpaan
yang tidak disengaja membuat tekadku semakin keras untuk menghapus jejak
cinta di hatiku. Takdir adalah sebuah
kesungguhan sedangkan angan dan harapan menjelma sebagai asap yang berterbangan
lalu menghilang.
Saat kita terlahir alam
semesta tidak pernah menjanjikan kita akan hidup selalu senang atau bahagia.
Langkah yang kita nikmati itu lah sebuah kenyataan hidup yang kita jalani.
Tidak ada yang perlu disalahkan. Baik itu cintaku dan cinta mas Panji atau
perjodohan dalam pernikahanku. Semua sudah pada garis takdir dan aku menerima
takdirku. Aku belajar dari mas Panji, menerima takdir dengan ikhlas.
Sekuat hati aku bertekad
akan mencintai suamiku sepenuh hati, dia sudah sangat baik padaku. Selalu
bersikap baik padaku. Aku tidak akan memecah belah hati, Mas Rangga
satu-satunya pelindungku dan imamku, walau ibadahnya belum masuk kategori
tekun, aku akan berusaha selalu mencoba mengingatkannya. Akan pula kutingkatkan
baktiku untuk surgaku. Kami sudah sepakat untuk saling menghargai satu sama
lain sejak awal pernikahan aku dan mas Rangga. Dan itu sudah kami lakukan
dengan baik. Aku berharap masih ada daun hijau di padang gersang.
Walau aku tidak pernah
menuntut macam-macam, mas Rangga selalu menghujaniku dengan berbagai hadiah.
Seringkali aku menolaknya. Uang yang diberikan selalu kuirit-irit dan kutabung.
Untuk keperluanku sendiri, terutama penampilanku aku selalu menggunakan uangku
sendiri. Aku tidak mau hanya untuk bergaya mencurangi uang suami. Juga memberi
hadiah ayah dan ibu berusaha dengan hasil keringatku sendiri.
Mas Rangga pun protes
waktu aku membeli mobil sendiri, karena mas Rangga juga akan membelikan aku
mobil setelah anakku lahir. Aku menolaknya,
dan mengganti mobil lamaku dengan uangku sendiri. Tapi mas Rangga
bersikeras membelikan aku mobil, aku menerimanya dan kupergunakan untuk
keperluan keluarga. Tentu saja ini untuk menyenangkan mas Rangga.
“Wah bunda jadi punya
mobil dua ya” kata mas Rangga.
“Alhamdulillah, mas,
Rezeki. Terima kasih ya, mas” aku mencium punggung tangannya dan mas Rangga
mengecup keningku dengan lembut. Apa pun yang kurasakan belaian suamiku
berusaha kenikmati dengan ekspresi bahagia. Aku senang kalau suamiku bahagia.
Sejak awal menikah aku
selalu setia menunggu mas Rangga pulang kerja, walau sampai larut malam tak kupejamkan mataku sebelum mas Rangga
berada di rumah. Teh hangat tanpa gula selalu kusiapkan setiap mas Rangga
pulang. Kerja kerasnya untukku dan keluarga sangat kuhargai. Ini akan
kulanjutkan terus karena aku sudah harus mulai menikmati.
*
Aku tidak berniat
bertanya atau memprotes pak bos Asikin mengapa mengirimku mengikuti Diklat di
Seminyak Bali. Mengapa mas Panji berkata kalau pak Asikin pasti mengirimku
untuk acara diklat itu ? itu tidak perlu kutanyakan lagi. Aku tidak ingin membuka percakapan yang
menimbulkan berbagai pertanyaan yang sudah tidak perlu kubahas lagi dengan
siapa pun. Aku adalah Prita yang sekarang. Menikmati hidup apa adanya. Takdir
itu nyata, demikian kalimat mas Panji yang kusimpan di lubuk hatiku paling
dalam.
“Bagaimana acara
diklatnya, bu Prita.” tanya pagi itu saat aku menyerahkan laporan hasil Diklat.
“Baik-baik saja, pak. Ini
saya akan menyampaikan laporan hasil diklat.” Aku menahan pertanyaanku tentang
mas Panji. Kuletakkan berkas yang sudah
kususun rapi bersama flash dish di atas meja pak Asikin.
“Ketemu Panji?” aku
terperangah mendengar pertanyaannya. Mau bertanya tidak berani malah ditanya.
“Ya pak.”
“Hemm..” pak Asikin
tersenyum.
“Kenapa, pak ?”
“Ga apa-apa, bu Prita.”
“Bapak senyum-senyum saya
jadi curiga nih” aku pun ikut tersenyum dengan hati deg-degan.
“Hahaa.. bu Prita kok
jadi sensi.”
“Bukan sensi, tapi tawa
bapak mengandung makna.” Aku semakin melebarkan senyumku untuk menangkis
perasaanku yang tidak karuan.
“Oh maaf saya hanya
bergurau sedikit menggoda bu Prita,” balasnya masih tersenyum dengan raut
menggoda. Pak Asikin walau masih muda punya sifat kebapakan terhadap anak
buahnya, itu yang membuat semua karyawan nyaman bekerja di kantor ini.
“Sudah ya, pak” kataku
setelah meletakkan laporan di atas meja.
“Belum…”
“Ada lagi, pak ?”
“Boleh saya bertanya?”
“Masalah kedinasan atau
pribadi, pak?”
“Nah ini yang berbeda
dari bu Prita, mau tanya saja pakai cluster.” Katanya tergelak. Aku pun
tertawa ringan.
“Iya pak, kalau tentang
kedinasan boleh bapak bertanya banyak”
“Kalau masalah pribadi ?”
“Sedikit saja ya, pak “
“Masalah pribadi saja?”
“Jadi tidak boleh
banyak-banyak bertanyanya,,”
“Ok…Ok…”
“Bagaimana perasaan bu
Prita bertemu dengan Panji ?”
“Biasa saja”
“Tidak terkejut atau
gimana gitu?”
“Tidak, pak. Biasa saja.”
“Masih ada tersisa rasa
gitu?”
“Rasa apa, pak?”
“Eh… Rasa apa ya, getaran
atau cinta gitu ?”
“Nah ini harus ke dokter
bedah hati, pak. Saya tidak bisa menjawab.” Demi mendengar jawabanku pak Asikin
tertawa terbahak, aku pun tertawa. Kami sama-sama tertawa dalam keceriaan pagi.
“Duh susahnya tanya sama
orang pinter.” Pak Asikin menggeleng-gelengkan kepalanya, kali ini aku puas melihat
sikap pak Asikin yang kebingungan.
“Panji itu kasian sekali
ditinggal isteri, jadi duda dia.”
“Saya punya suami, pak”
jawabku tanpa diminta.
“Hahaa… iya lah bu, Rumah
Tangga ibu kan OK-Ok saja. Saya yakin ibu bahagia dengan suami yang sangat kaya dan pasti sangat menyayangi bu Prita”
“Insya Allah, pak”
“Segitu saja yang boleh
ditanyakan?”
“Iya pak”
“Boleh nambah lagi ?”
“Tidak, pak.. sudah
cukup.. saya permisi kembali ke meja
saya..” aku membalikkan tubuh.
“Terima kasih ya.” Ucap
pak Asikin setelah aku melangkah.
“Sama-sama, pak” aku
segera keluar ruangan pak Asikin, tentu saja aku lega tidak mendapat pertanyaan
lain-lain lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar