BAGIAN XII
CATWALK DAN PENANTIAN
Dua purnama telah
berlalu, sepanjang waktu aku memantapkan hati memilih hidup bersama mas Panji,
walau harus meninggalkan pekerjaan dan karir yang semakin membaik. Juga kerja
sampinganku mendisain pakaian wanita akhir-akhir ini mendapat respon positif
dari konsumen, namaku melambung dengan hasil karyaku ini. Kemantapan hati terpatri
di lubuk hatiku paling dalam, menanti mas Panji. Dalam penantian hati indahku
aku tetap bekerja giat dan terus berkarya.
Disain
baru bertema “Muslimah Party”, 10 baju muslimah yang kurancang cukup besar
merogoh kocekku. Material 100% sutera dengan taburan Swarozky memancarkan cahaya
gemerlap pada detail-detail centre piece, ini sangat cocok untuk pesta
kalangan selebriti dan sosialita. Fashion mewah ini kusajikan atas support dari
mas Panji yang sangat luar biasa, selama aku bekerja video lagu-lagu
romantis dikirim ke ponselku untuk menemaniku. Alunan lembut lagu A Whole New World yang dibawakan Peabo
Bryson dan Regina Belle selalu
kuputar tiap malam, lagu bersyair romantic seakan mengiringi Langkah hatiku dan
mas Panji. Kunikmati setiap baris liriknya..
I can show you the
world
Shining, shimmering, splendid
Tell me, princess, now when did
You last let your heart decide?
I can open your
eyes
Take you wonder by wonder
Over, sideways and under
On a magic carpet ride
A whole new world
A new fantastic point of view
No one to tell us no
Or where to go
Or say we're only dreaming
A whole new world
A dazzling place I never knew
But now from way up here
It's crystal clear
That now I'm in a whole new world with you
(Now I’m in a whole
new world with you)
(Sekarang aku berada di dunia yang baru bersamamu)
Aku
akan bersama mas Panji. Fashion ini karya terbesarku, selanjutnya aku bersiap
menjadi isteri kekasihku, menemaninya. Jika nanti aku tidak sempat berkarya lagi mungkin ini menjadi karya terakhir yang
sangat memuaskan.
Malam
Fashion Show, saat model-modelku tampil
menarik berjalan di atas runway (catwalk), aku duduk di balik panggung melihat
penampilan mereka melalui layar monitor besar yang terpasang di ruang ganti.
Hingar bingar di bawah gemerlap lampu panggung model-modelku melenggak lenggok
indah.
Aku sudah minta tolong asistenku untuk meliput
acara fashionshow ini. Asistenku siap merekam semuanya. Jika kukirimkan
liputannya aku yakin mas Panji akan bahagia dan bangga atas karyaku, tatapan
cintanya akan tampil lagi dilayar
ponselku. Bercakap tentang isi hati memadu bahagia tanpa kata. Khayalku kian
meninggi, aku tersenyum-senyum sendiri membayangkan bahagiaku bersama mas
Panji.
“Bu..”
panggilan asistenku mengejutkanku, jangan-jang dia melihat aku senyum-senyum
sendiri.
“Ya,
Mersi. Bikin kaget aja.”
“Ibu
senyum-senyum sendiri pasti sedang merasa bangga dengan karya ibu kali ini.”
Kata mersi, benar dia sudah melihatku senyum-senyum sendiri.
“Ah..
iya.. iya.. saya bahagia malam ini” jawabku sekenanya.
“Luar
biasa malam ini ya, bu” aku tersenyum
mengangguk.
“Acara
sudah selesai, bu.”
“Oh
ya.. ya” rupanya cukup lama aku berkhayal dan melamun sampai tanpa kuperhatikan
acara sudah selesai.
“Eh..
kamu sudah selesai dengan pekerjaanmu?”
“Sudah
bu. “
“Ibu
ditanyakan mr. Fardan. Beliau menunggu ibu di Caffee
Shop “
“Mr.
Fardan bersama pak Asikin ?”
“Iya,
bu”
“Baik,
saya segera ke sana. Kamu bereskan semua barang-barang yah, jangan sampai ada
yang tertinggal.”
“Baik,
bu”
Mr
Fardan teman pak Asikin sudah menunggu di caffeshop. Keduanya mengucapkan
selamat dan menyalamiku.
“Selamat
bu Prita” kata pak Asikin dengan rona bahagia.
“Semua
berkat bantuan bapak, saya sangat berterima kasih” kataku pada pak Asikin.
“Saya
hanya perantara kerja keras dan usaha ibu yang luar biasa.”
“Sekali
lagi terima kasih, pak” Pak Asikin mengangguk. Selanjutnya lobi penjualan
disainku kuserahkan pada pak Asikin. Aku pun ikhlas jika pak Asikin juga
mengambil keuntungan dari karyaku, memang seharusnya begitu.
Lobbi
dengan pak Asikin dengan Mr. Fardan pria yang tinggal di negeri Jiran berjalan
lancar. Delapan disain bajuku dihargai 15.000 US$ dan dua lagi dihargai 20.000
US$. Harga sangat fantastis tak pernah kuduga aku akan dapat
uang sebanyak itu. Tiba-tiba aku merasa kaya. Sesuai dengan pengorbananku. Aku menyerahkan 10 karyaku. Karya ini sudah
menjadi milik MR. Farhan dan perusahaan fashionnya, aku tidak boleh lagi
menjual ke pihak lain. Mr Fardan mengatakan karyaku akan di Launching Fashion
Show di Paris dan New York. Tak apa lah
aku senang yang penting aku sudah dapat uang, nanti aku bisa berkarya lebih
bagus lagi.
Dollar
yang masuk ke rekening membuat hatiku membunga, uang itu sangat cukup untuk
pesta pernikahanku dengan mas Panji di Surabaya. Kini aku punya modal modal banyak
untuk menerima lamaran mas Panji. Aku berencana menggelar pesta megah di
Surabaya. Meniti hidup bersama cintaku. Rasa syukurku membubung tinggi,
keyakinanku menyeruak aku akan menemukan bahagiaku bersama orang yang kucintai.
∞∞∞
BAGIAN XIII
KEDATANGANNYA
Sudah
seminggu mas Panji tidak memberi kabar padaku, aku ingin menghubunginya tapi
aku takut menganggu pengobatannya. Aku sangat resah, kiriman pesanku hanya
dibacanya tapi tidak dibalasnya. Mungkin mas Panji sedang mempersiapkan diri
untuk operasi ginjalnya. Aku menunggu dalam gelisahku. Mondar-mandir di
apartemenku yang kecil, sambil aku merasa Lelah dengan kegiatanku. Aku duduk di
sofa dengan ponsel masih di tanganku.
Mas
Panji datang seperti mengulurkan tangan lembutnya. Berdiri kokoh dengan pandangan lembut, seperti
sedang memanggilku dengan tatapan penuh cinta. Aku terseok ingin meraih tangannya. Maju..
Maju dan maju lagi dengan sisa tenaga yang ada.. Sedikit lagi tangannya dapat kugapai
dan setelah hampir sampai aku terjatuh tertunduk sejenak, ketika aku menengadah
dia menghilang.. Sosok itu pergi entah kemana. Aku berteriak memanggilnya, mas
Panji sudah tak terlihat lagi. “Mas Panjiii..” aku berteriak dengan tangan yang
masih terulur. lalu menangis terguguk, memanggil-manggil namanya. .. Kemana
dia.. Aku bangkit dan berlari mencarinya.. Kupanggil-panggil namanya.. Bruk..
Aku terbangun dan tersadar ternyata ini adalah mimpi yang seperti nyata.
“Mas
dimana kamu, mas.. Dimana? “ Aku duduk tubuh berkeringat.. Mas Panji tiada.
Peluh bercucuran dan airmata berderai. Kulihat jam dinding menunjukkan pukul
03-02 WIB.
Tubuhku
seperti demam, aku menggigil. Aku bingung memaknai mimpiku. Ponsel di tanganku
terjatuh di sofa. Kuraih kutulis kalimat untuk mas Panji.
“Mas
Panji.. ada apa denganmu, mas. Tolong beri tahu aku “ tidak ada jawaban,
seharian aku resah dengan pesanku yang tak terbaca.
Pada
malam berikutnya dalam tidurku. Laki-laki lembut itu tak kudapati lagi, tanpa
aku tahu bagaimana kabarnya. Aku tidak bisa tidur nyaman di tempat tidurku. Aku
selalu menanti balasan mas Panji, menanti kabarnya dengan duduk di sofa di
depan televisi.
“Prita
aku sangat mencintaimu..” bisiknya lembut di telingaku. kalimat yang membuat
aku bahagia seakan akan mendapat pelukan rindu. Dia ada memberi cinta dan
mendambaku.
“Prita…
“ Sayup kudengar panggilan itu, aku menoleh. Tidak ada siapa pun. Aku masih mencoba mencari-cari
berlari di perbukitan berbunga. Seperti tempat dulu kami sering bertemu di
sebuah taman bunga di Puncak. Tapi ini tempatnya mendaki.
“Sebuah
nuansa jingga itu akan terlihat olehmu. “ Suara itu masih terdengar ada. Aku
terus mencari apa maksudnya. Matahari
seperti menampakkan lingkaran jingganya
memayungi tubuhku. Apa yang dimaksud ? aku memencar pandanganku ke segala
penjuru, tidak ada apa-apa.
“Mas
Panji…. “ Panggil ku. Aku berlari lagi mendaki bukit sampai lelah dan peluh
mengucur deras, aku tidak menemukannya. Aku berteriak-teriak sendiri, mas Panji
seperti menghilang dan terbang dari atas bukit entah ke mana arahnya, aku tidak
melihatnya lagi, Dan aku pun terjaga dari tidurku, ini mimpi keduaku. Kalau
boleh berharap aku ingin mimpi pertamaku tuntas, mimpi tinggallah mimpi bukan
kenyataan yang berbeda walau pun semua tentang mas Panji.
Segera
aku membuka buku diaryku yang telah lusuh, buku ini jadi milik rahasiaku yang
siapa pun tidak boleh melihat dan membacanya. Kutemukan foto mas Panji saat
mencapai pendakiannya di Puncak Gunung Rinjani, mendaki adalah salah satu hobbi
mas Panji. Tubuh tegapnya berkalung syal kotak-kotak tersenyum bahagia. Tubuhku
lemas.
Aku
masih terguguk dengan tubuh berpeluh. Pertanda apa mimpiku ini. Aku tidak tahu
bagaimana kabar mas Panji ? pesanku tidak dibalas. Mas Panji tidak memberi
kabar. Pikiranku tentang mas Panji
mempengaruhi gerak raga yang se akan melemah.
BAGIAN XIII
KANDAS
Baru
saja kuletakkan tubuh penatku di sofa apartemenku, ponsel berdering. Esty
menelponku.
“Panji
telah meninggalkan kita selamanya” suara Esty bersama tangisnya.
“Mas
Panjii…… “ aku memekik memanggil nama mas Panji. Tubuhku lemas seketika. Ucapan
Innalillahi bergetar dari bibirku, tanganku gemetar. Ponsel disamping telingaku
terlepas dari genggamanku. Masih terdengar suara Esty memanggil-manggil namaku,
aku sudah melepas telpon itu, aku terjongkok di bibir sofa, mimpi terasa nyata,
bahagiaku sirna. Kebanggaan melayang di udara terbang entah kemana.
Lama
aku disibukkan oleh tangisku. Raga yang dijanjikan akan datang benar datang
tapi dalam mimpiku. Raga itu pergi ke tempat lain meninggalku di sini sendiri. Aku kehilangan
sosok harapanku. Pintu diketuk orang dari luar. Aku berjalan limbung kea rah
pintu. Kubuka pintu, Esty berdiri dengan mata merah menyimpan sisa menangis. Di
sampingnya ada mas Rudi suaminya. Aku menghabur dalam Esty, dekapan sahabatku yang selalu
menghiburku.
“Aku
dan mas Rudi sejak tadi di luar, aku yakin ini yang akan terjadi dalam dirimu.”
Kata Esty masih mendekap erat tubuhku.
“Dia
janji akan datang menemui aku dan melamarku. “ kataku. Isak tangisku semakin
keras.
“Dia
pergi tinggalkan aku… aku.. aa..” tubuhku lemas tak berdaya, pandanganku gelap.
Entah berapa lama aku tak sadarkan, aku sudah duduk di sofa, saat kubuka mata
Esty masuk memegang bahuku dan mas Rudi berdiri di sampingnya. Esty mengulurkan
gelas minum untukku. Aku menyeruput sedikit.
“Terima
kasih, Esty, mas Rudi. “ Esty dan mas Rudi mengangguk bersamaan. Duka tersirat
di wajah mas Rudi. Setidaknya mas Rudi sangat berduka karena mas Panji saudara
misannya, kakek mas Panji dan mas Rudi kakak beradik begitu menurut cerita
Esty.
“Kami
juga terlambat menerima kabar. Jadi tidak bisa ikut pemakaman mas Panji.” Suara
mas Rudi dengan bibir bergetar.
“Ya,
mas.”
“Transpalasi
ginjalnya gagal, padahal sudah melalui proses control yang sangat baik, tubuh
mas Panji menolak, semua Kehendak Yang Maha Kuasa, Allah memanggilNya” mas Rudi
bercerita sambil menahan isak dengan mata merah. Tangisku datang lagi,
harapanku benar-benar kandas.
∞
“Saya
turut berduka cita, ya” kata pak Asikin pagi itu. Aku tahu maksudnya adalah
atas kepergian mas Panji.
“Kenapa
kepada saya, pak ?” kulihat wajah pak Asikin, mungkin wajahku penuh tanya. Pak
Asikin senyum disela wajah dukanya. Aku tahu pasti pak Asikin pun merasa
kehilangan mas Panji.
“Pasti
bu Prita yang sangat berduka” Pak Asikin seperti tahu perasaanku. Aku hanya
tersenyum ringan.
“Tapi
bapak tidak beranggapan kalau saya menjanda karena mas Panji”
“Oh
tidak lah. Saya tahu siapa bu Prita dan bagaimana Panji. Dia orang baik, tidak
mungkin punya niat tidak baik.”
“Terima
kasih, pak”
“Sekarang
baru terpikir oleh saya waktu kuliah di Bandung tiap akhir pekan ke Jakarta
rupanya apel pacar.. hehe “
“Itu
masa lalu, pak”
“Mengapa
dulu tidak menikah dengan Panji saja.”
“Bukan
jodoh, pak”
“Oh
iya,ya”
“Kalau
pun berjodoh dengan mas Panji, keadaan akan sama saya juga saya tetap akan
menjanda” Pak Asikin tertawa mendengar
kelakar kecilku yang tanpa ekspresi. Huf dan pak Asikin segera menutup tawanya.
Kemudian berkata lagi
“Itu
takdir illahi.”
“Iya,
pak”
“Semoga
Panji Asmara husnul khotimah. Aamiin” doa pak Asikin, aku pun turut
mengaminkan.
“Tapi
Bu Prita ini hebat loh. Dalam kesakitan bisa bekerja dengan hebat, bahkan
sangat membantu saya.”
“Itu
sudah jadi tugas saya, pak”
“Proposal
disain pakaian harian yang ibu buat akan dimasukkan dalam program produksi,
mungkin hanya sedikit karena untuk kalangan tertentu,”
“Maksud
bapak?”
“Itu
yang ibu masukkan tempo hari, desain ibu akan kami produksi.”
“Benar
begitu, pak?” mataku membinar mendengar kalimat pak Asikin.
“Iya.
“
“Alhamdulillah,
terima kasih. Pak?”
“Sama-sama.
Semoga jadi penghibur hati kehilangan Panji.”
“Tuh
bapak mulai lagi. Saya jadi baper lagi”
“Hmmm…Maaf.
Ini murni maksudnya menghibur” pak Asikin mendehem. Aku tak tahan ingat mas
Panji lagi. Aku ijin keluar.
“Bu
Prita..” pak Asikin memanggil lagi. Aku membalikkan tubuhku, tanganku masih
memegang handle pintu.
“Ya,
pak ?”
“Jangan
menangis terus ya..”
“Insya
Allah, pak”
Sampai
ruanganku aku tidak bisa lanjut bekerja, diminta jangan menangis oleh pak
Asikin malah membuat tangisku buyar,
teringat lagi akan mas Panji. Sosoknya telah tiada membuat jiwaku terasa
mati. Lebih sakit dari yang kurasakan dulu saat aku meninggalkannya.
Dan
saat kami mengakhiri semua yang indah. Kami pernah punya impian yang sama,
harapan, doa dan keinginan untuk bersama. Takdir berkata lain. Dalam setiap
takdir ada hikmah yang akan terasa. Seperti itu kalimat yang pernah kudengar
dari bibirnya. Kalimat indah yang disampaikannya menjadi pelajaran terbaik
bagiku, itu lah yang menyebabkan aku menyebutnya sebagai guru terbaik untuk
hatiku.
Dari
mas Panji aku banyak mendapat pelajaran kebaikan. Budi pekerti yang luhur,
sikap yang santun, tutur kata yang halus dan yang luar biasa cara menyikapi
hidup dengan pasrah dan ikhlas. Harga diri itu Allah yang Menjaga. Aku tidak
perlu meradang ketika fitnah menderu menggaungkan sebutan dan nama buruk
bagiku, karena Allah akan mengembalikan semuanya. Allah yang menjaga harga
diriku.
Airmata
ini sulit kutahan, entah sampai kapan cahaya keindahan sosoknya akan meredup di
hatiku. Aku tahu waktu akan terus berjalan, di saat pegangan hati pergi, apakah
waktu juga harus terhenti. Tidak harus
seperti itu, karena nasibku dalam kesendirian bukan untuk kembali berharap
tentang dirinya, tentang cinta yang tidak pernah padam di antara kami. Tidak
juga tentang kebersamaan yang dulu pernah jadi impian kami. Dalam lunglai
hatiku aku tetap harus bersemangat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar