Sabtu, 21 Agustus 2021

ALLAMANDA BERSERAK BAGIAN XII DAN XIII

 

 

BAGIAN XII

CATWALK DAN PENANTIAN

 

Dua purnama telah berlalu, sepanjang waktu aku memantapkan hati memilih hidup bersama mas Panji, walau harus meninggalkan pekerjaan dan karir yang semakin membaik. Juga kerja sampinganku mendisain pakaian wanita akhir-akhir ini mendapat respon positif dari konsumen, namaku melambung dengan hasil karyaku ini. Kemantapan hati terpatri di lubuk hatiku paling dalam, menanti mas Panji. Dalam penantian hati indahku aku tetap bekerja giat dan terus berkarya.

 

Disain baru bertema “Muslimah Party”, 10 baju muslimah yang kurancang cukup besar merogoh kocekku. Material 100% sutera dengan taburan Swarozky memancarkan cahaya gemerlap pada detail-detail centre piece, ini sangat cocok untuk pesta kalangan selebriti dan sosialita. Fashion mewah ini kusajikan atas support dari mas Panji yang sangat luar biasa, selama aku bekerja video lagu-lagu romantis  dikirim ke ponselku  untuk menemaniku. Alunan lembut lagu  A Whole New World yang dibawakan Peabo Bryson dan Regina Belle  selalu kuputar tiap malam, lagu bersyair romantic seakan mengiringi Langkah hatiku dan mas Panji. Kunikmati setiap baris liriknya..

 

I can show you the world
Shining, shimmering, splendid
Tell me, princess, now when did
You last let your heart decide?

I can open your eyes
Take you wonder by wonder
Over, sideways and under
On a magic carpet ride

A whole new world
A new fantastic point of view
No one to tell us no
Or where to go
Or say we're only dreaming

A whole new world
A dazzling place I never knew
But now from way up here
It's crystal clear
That now I'm in a whole new world with you

(Now I’m in a whole new world with you)
(Sekarang aku berada di dunia yang baru bersamamu)

 

Aku akan bersama mas Panji. Fashion ini karya terbesarku, selanjutnya aku bersiap menjadi isteri kekasihku, menemaninya. Jika nanti aku tidak sempat berkarya  lagi mungkin ini menjadi karya terakhir yang sangat memuaskan.

 

Malam Fashion Show, saat model-modelku  tampil menarik berjalan di atas runway (catwalk), aku duduk di balik panggung melihat penampilan mereka melalui layar monitor besar yang terpasang di ruang ganti. Hingar bingar di bawah gemerlap lampu panggung model-modelku melenggak lenggok indah.

 

 Aku sudah minta tolong asistenku untuk meliput acara fashionshow ini. Asistenku siap merekam semuanya. Jika kukirimkan liputannya aku yakin mas Panji akan bahagia dan bangga atas karyaku, tatapan cintanya akan  tampil lagi dilayar ponselku. Bercakap tentang isi hati memadu bahagia tanpa kata. Khayalku kian meninggi, aku tersenyum-senyum sendiri membayangkan bahagiaku bersama mas Panji.

“Bu..” panggilan asistenku mengejutkanku, jangan-jang dia melihat aku senyum-senyum sendiri.

“Ya, Mersi. Bikin kaget aja.”

“Ibu senyum-senyum sendiri pasti sedang merasa bangga dengan karya ibu kali ini.” Kata mersi, benar dia sudah melihatku senyum-senyum sendiri.

“Ah.. iya.. iya.. saya bahagia malam ini” jawabku sekenanya.

“Luar biasa  malam ini ya, bu” aku tersenyum mengangguk.

“Acara sudah selesai, bu.”

“Oh ya.. ya” rupanya cukup lama aku berkhayal dan melamun sampai tanpa kuperhatikan acara sudah selesai.

“Eh.. kamu sudah selesai dengan pekerjaanmu?”

“Sudah bu. “

“Ibu ditanyakan mr. Fardan. Beliau menunggu ibu  di  Caffee Shop

“Mr. Fardan bersama pak Asikin ?”

“Iya, bu”

“Baik, saya segera ke sana. Kamu bereskan semua barang-barang yah, jangan sampai ada yang tertinggal.”

“Baik, bu”

Mr Fardan teman pak Asikin sudah menunggu di caffeshop. Keduanya mengucapkan selamat dan menyalamiku.

“Selamat bu Prita” kata pak Asikin dengan rona bahagia.

“Semua berkat bantuan bapak, saya sangat berterima kasih” kataku pada pak Asikin.

“Saya hanya perantara kerja keras dan usaha ibu yang luar biasa.”

“Sekali lagi terima kasih, pak” Pak Asikin mengangguk. Selanjutnya lobi penjualan disainku kuserahkan pada pak Asikin. Aku pun ikhlas jika pak Asikin juga mengambil keuntungan dari karyaku, memang seharusnya begitu.

Lobbi dengan pak Asikin dengan Mr. Fardan pria yang tinggal di negeri Jiran berjalan lancar. Delapan disain bajuku dihargai 15.000 US$ dan dua lagi dihargai 20.000 US$.  Harga sangat  fantastis tak pernah kuduga aku akan dapat uang sebanyak itu. Tiba-tiba aku merasa kaya. Sesuai dengan pengorbananku.  Aku menyerahkan 10 karyaku. Karya ini sudah menjadi milik MR. Farhan dan perusahaan fashionnya, aku tidak boleh lagi menjual ke pihak lain. Mr Fardan mengatakan karyaku akan di Launching Fashion Show  di Paris dan New York. Tak apa lah aku senang yang penting aku sudah dapat uang, nanti aku bisa berkarya lebih bagus lagi.

 

Dollar yang masuk ke rekening membuat hatiku membunga, uang itu sangat cukup untuk pesta pernikahanku dengan mas Panji di Surabaya. Kini aku punya modal modal banyak untuk menerima lamaran mas Panji. Aku berencana menggelar pesta megah di Surabaya. Meniti hidup bersama cintaku. Rasa syukurku membubung tinggi, keyakinanku menyeruak aku akan menemukan bahagiaku bersama orang yang kucintai.

                                                                         

∞∞∞

 

 

 

 

         

BAGIAN XIII

KEDATANGANNYA

 

 

Sudah seminggu mas Panji tidak memberi kabar padaku, aku ingin menghubunginya tapi aku takut menganggu pengobatannya. Aku sangat resah, kiriman pesanku hanya dibacanya tapi tidak dibalasnya. Mungkin mas Panji sedang mempersiapkan diri untuk operasi ginjalnya. Aku menunggu dalam gelisahku. Mondar-mandir di apartemenku yang kecil, sambil aku merasa Lelah dengan kegiatanku. Aku duduk di sofa dengan ponsel masih di tanganku.

 

Mas Panji datang seperti mengulurkan tangan lembutnya.  Berdiri kokoh dengan pandangan lembut, seperti sedang memanggilku dengan tatapan penuh cinta.  Aku terseok ingin meraih tangannya. Maju.. Maju dan maju lagi dengan sisa tenaga yang ada.. Sedikit lagi tangannya dapat kugapai dan setelah hampir sampai aku terjatuh tertunduk sejenak, ketika aku menengadah dia menghilang.. Sosok itu pergi entah kemana. Aku berteriak memanggilnya, mas Panji sudah tak terlihat lagi. “Mas Panjiii..” aku berteriak dengan tangan yang masih terulur. lalu menangis terguguk, memanggil-manggil namanya. .. Kemana dia.. Aku bangkit dan berlari mencarinya.. Kupanggil-panggil namanya.. Bruk.. Aku terbangun dan tersadar ternyata ini adalah mimpi yang seperti nyata.

“Mas dimana kamu, mas.. Dimana? “ Aku duduk tubuh berkeringat.. Mas Panji tiada. Peluh bercucuran dan airmata berderai. Kulihat jam dinding menunjukkan pukul 03-02 WIB.  

Tubuhku seperti demam, aku menggigil. Aku bingung memaknai mimpiku. Ponsel di tanganku terjatuh di sofa. Kuraih kutulis kalimat untuk mas Panji.

“Mas Panji.. ada apa denganmu, mas. Tolong beri tahu aku “ tidak ada jawaban, seharian aku resah dengan pesanku yang tak terbaca.

 

Pada malam berikutnya dalam tidurku. Laki-laki lembut itu tak kudapati lagi, tanpa aku tahu bagaimana kabarnya. Aku tidak bisa tidur nyaman di tempat tidurku. Aku selalu menanti balasan mas Panji, menanti kabarnya dengan duduk di sofa di depan televisi.

“Prita aku sangat mencintaimu..” bisiknya lembut di telingaku. kalimat yang membuat aku bahagia seakan akan mendapat pelukan rindu. Dia ada memberi cinta dan mendambaku.

“Prita… “ Sayup kudengar panggilan itu, aku menoleh. Tidak ada  siapa pun. Aku masih mencoba mencari-cari berlari di perbukitan berbunga. Seperti tempat dulu kami sering bertemu di sebuah taman bunga di Puncak. Tapi ini tempatnya mendaki.

“Sebuah nuansa jingga itu akan terlihat olehmu. “ Suara itu masih terdengar ada. Aku terus  mencari apa maksudnya. Matahari seperti menampakkan  lingkaran jingganya memayungi tubuhku. Apa yang dimaksud ? aku memencar pandanganku ke segala penjuru, tidak ada apa-apa.

“Mas Panji…. “ Panggil ku. Aku berlari lagi mendaki bukit sampai lelah dan peluh mengucur deras, aku tidak menemukannya. Aku berteriak-teriak sendiri, mas Panji seperti menghilang dan terbang dari atas bukit entah ke mana arahnya, aku tidak melihatnya lagi, Dan aku pun terjaga dari tidurku, ini mimpi keduaku. Kalau boleh berharap aku ingin mimpi pertamaku tuntas, mimpi tinggallah mimpi bukan kenyataan yang berbeda walau pun semua tentang mas Panji.

 

Segera aku membuka buku diaryku yang telah lusuh, buku ini jadi milik rahasiaku yang siapa pun tidak boleh melihat dan membacanya. Kutemukan foto mas Panji saat mencapai pendakiannya di Puncak Gunung Rinjani, mendaki adalah salah satu hobbi mas Panji. Tubuh tegapnya berkalung syal kotak-kotak tersenyum bahagia. Tubuhku lemas.

 

Aku masih terguguk dengan tubuh berpeluh. Pertanda apa mimpiku ini. Aku tidak tahu bagaimana kabar mas Panji ? pesanku tidak dibalas. Mas Panji tidak memberi kabar.  Pikiranku tentang mas Panji mempengaruhi gerak raga yang se akan melemah.

 

 

 

BAGIAN XIII

KANDAS

 

 

Baru saja kuletakkan tubuh penatku di sofa apartemenku, ponsel berdering. Esty menelponku.

“Panji telah meninggalkan kita selamanya” suara Esty bersama tangisnya.

“Mas Panjii…… “ aku memekik memanggil nama mas Panji. Tubuhku lemas seketika. Ucapan Innalillahi bergetar dari bibirku, tanganku gemetar. Ponsel disamping telingaku terlepas dari genggamanku. Masih terdengar suara Esty memanggil-manggil namaku, aku sudah melepas telpon itu, aku terjongkok di bibir sofa, mimpi terasa nyata, bahagiaku sirna. Kebanggaan melayang di udara terbang entah kemana.

 

Lama aku disibukkan oleh tangisku. Raga yang dijanjikan akan datang benar datang tapi dalam mimpiku. Raga itu pergi ke tempat lain  meninggalku di sini sendiri. Aku kehilangan sosok harapanku. Pintu diketuk orang dari luar. Aku berjalan limbung kea rah pintu. Kubuka pintu, Esty berdiri dengan mata merah menyimpan sisa menangis. Di sampingnya ada mas Rudi suaminya. Aku menghabur dalam  Esty, dekapan sahabatku yang selalu menghiburku.

“Aku dan mas Rudi sejak tadi di luar, aku yakin ini yang akan terjadi dalam dirimu.” Kata Esty masih mendekap erat tubuhku.

“Dia janji akan datang menemui aku dan melamarku. “ kataku. Isak tangisku semakin keras.

“Dia pergi tinggalkan aku… aku.. aa..” tubuhku lemas tak berdaya, pandanganku gelap. Entah berapa lama aku tak sadarkan, aku sudah duduk di sofa, saat kubuka mata Esty masuk memegang bahuku dan mas Rudi berdiri di sampingnya. Esty mengulurkan gelas minum untukku. Aku menyeruput sedikit.

“Terima kasih, Esty, mas Rudi. “ Esty dan mas Rudi mengangguk bersamaan. Duka tersirat di wajah mas Rudi. Setidaknya mas Rudi sangat berduka karena mas Panji saudara misannya, kakek mas Panji dan mas Rudi kakak beradik begitu menurut cerita Esty.

“Kami juga terlambat menerima kabar. Jadi tidak bisa ikut pemakaman mas Panji.” Suara mas Rudi dengan bibir bergetar.

“Ya, mas.”

“Transpalasi ginjalnya gagal, padahal sudah melalui proses control yang sangat baik, tubuh mas Panji menolak, semua Kehendak Yang Maha Kuasa, Allah memanggilNya” mas Rudi bercerita sambil menahan isak dengan mata merah. Tangisku datang lagi, harapanku benar-benar kandas.

 

 

 

 

“Saya turut berduka cita, ya” kata pak Asikin pagi itu. Aku tahu maksudnya adalah atas kepergian mas Panji.

“Kenapa kepada saya, pak ?” kulihat wajah pak Asikin, mungkin wajahku penuh tanya. Pak Asikin senyum disela wajah dukanya. Aku tahu pasti pak Asikin pun merasa kehilangan mas Panji. 

“Pasti bu Prita yang sangat berduka” Pak Asikin seperti tahu perasaanku. Aku hanya tersenyum ringan.

“Tapi bapak tidak beranggapan kalau saya menjanda karena mas Panji”

“Oh tidak lah. Saya tahu siapa bu Prita dan bagaimana Panji. Dia orang baik, tidak mungkin punya niat tidak baik.”

“Terima kasih, pak”

“Sekarang baru terpikir oleh saya waktu kuliah di Bandung tiap akhir pekan ke Jakarta rupanya apel pacar.. hehe “

“Itu masa lalu, pak”

“Mengapa dulu tidak menikah dengan Panji saja.”

“Bukan jodoh, pak”

“Oh iya,ya”

“Kalau pun berjodoh dengan mas Panji, keadaan akan sama saya juga saya tetap akan menjanda” Pak Asikin tertawa  mendengar kelakar kecilku yang tanpa ekspresi. Huf dan pak Asikin segera menutup tawanya. Kemudian berkata lagi

“Itu takdir illahi.”

“Iya, pak”

“Semoga Panji Asmara husnul khotimah. Aamiin” doa pak Asikin, aku pun turut mengaminkan.

“Tapi Bu Prita ini hebat loh. Dalam kesakitan bisa bekerja dengan hebat, bahkan sangat membantu saya.”

“Itu sudah jadi tugas saya, pak”

“Proposal disain pakaian harian yang ibu buat akan dimasukkan dalam program produksi, mungkin hanya sedikit karena untuk kalangan tertentu,”

“Maksud bapak?”

“Itu yang ibu masukkan tempo hari, desain ibu akan kami produksi.”

“Benar begitu, pak?” mataku membinar mendengar kalimat pak Asikin.

“Iya. “

“Alhamdulillah, terima kasih. Pak?”

“Sama-sama. Semoga jadi penghibur hati kehilangan Panji.”

“Tuh bapak mulai lagi. Saya jadi baper lagi”

“Hmmm…Maaf. Ini murni maksudnya menghibur” pak Asikin mendehem. Aku tak tahan ingat mas Panji lagi. Aku ijin keluar.

“Bu Prita..” pak Asikin memanggil lagi. Aku membalikkan tubuhku, tanganku masih memegang handle pintu.

“Ya, pak ?”

“Jangan menangis terus ya..”

“Insya Allah, pak”

 

Sampai ruanganku aku tidak bisa lanjut bekerja, diminta jangan menangis oleh pak Asikin malah membuat tangisku buyar,  teringat lagi akan mas Panji. Sosoknya telah tiada membuat jiwaku terasa mati. Lebih sakit dari yang kurasakan dulu saat aku meninggalkannya.

 

Dan saat kami mengakhiri semua yang indah. Kami pernah punya impian yang sama, harapan, doa dan keinginan untuk bersama. Takdir berkata lain. Dalam setiap takdir ada hikmah yang akan terasa. Seperti itu kalimat yang pernah kudengar dari bibirnya. Kalimat indah yang disampaikannya menjadi pelajaran terbaik bagiku, itu lah yang menyebabkan aku menyebutnya sebagai guru terbaik untuk hatiku.

Dari mas Panji aku banyak mendapat pelajaran kebaikan. Budi pekerti yang luhur, sikap yang santun, tutur kata yang halus dan yang luar biasa cara menyikapi hidup dengan pasrah dan ikhlas. Harga diri itu Allah yang Menjaga. Aku tidak perlu meradang ketika fitnah menderu menggaungkan sebutan dan nama buruk bagiku, karena Allah akan mengembalikan semuanya. Allah yang menjaga harga diriku.

Airmata ini sulit kutahan, entah sampai kapan cahaya keindahan sosoknya akan meredup di hatiku. Aku tahu waktu akan terus berjalan, di saat pegangan hati pergi, apakah waktu juga harus terhenti.  Tidak harus seperti itu, karena nasibku dalam kesendirian bukan untuk kembali berharap tentang dirinya, tentang cinta yang tidak pernah padam di antara kami. Tidak juga tentang kebersamaan yang dulu pernah jadi impian kami. Dalam lunglai hatiku aku tetap harus bersemangat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar