Sabtu, 21 Agustus 2021

ALLAMANDA BERSERAK BAGIAN VI

 ALLAMANDA BERSERAK

 

BAGIAN VI

KEMARAHAN AYAH

 

Kemarahan mas Rangga tidak teranulir sama sekali. Mas Rangga melaporkan aku kepada kedua orang tuaku seakan aku sudah benar-benar berselingkuh. Aku dipanggil ayah untuk datang ke rumah ayah.

Kuketuk pintu rumah ayah, dari dalam pintu dibuka. Plok satu tamparan menghajar pipi kiriku, ayah dengan wajah geram memukulku, satu lagi tamparan membuat aku terduduk, aku menangis menahan jerit dan isak.

 

Seumur hidupku baru ini ayah memukulku. Saat ayah akan memukulku lagi ibu menahan tangan ayah, dan satu tendangan kaki ayah mengenai lututku. Kutahan rasa sakit di wajah dan kakiku, hatiku lebih sakit dari fisikku. Aku tidak tahu seperti apa mas Rangga mengadu pada ayah tentang kesalahanku. aku tidak akan bisa menjelaskan kebenaran kepada kepada ayah yang hatinya sedang dibalut kemarahan.

 

 

“Dasar anak tidak bisa menjaga nama baik orang tua. “ bentak ayah. Aku masih menangis.

“Tidak ada harganya wanita yang telah menodai pernikahan dengan perbuatan kotor.” Aku tidak tahu apa yang dimaksud dengan perbuatan kotor itu. Apa mas Rangga melaporkan pada ayah bahwa aku telah melakukan perbuatan zina seperti yang telah dituduhkan padaku. Padahal aku tidak senista itu.

 

“Prita mohon maaf, ayah. Semua tuduhan itu tidak benar, ayah. “

“Kamu bertemu dengan Panji lagi. “

“Itu tidak sengaja, itu terjadi karena Prita sedang Diklat di Bali. Tidak ada yang lebih dari itu.”

“Iya tapi kamu bertemu dengannya, bukan?”

“Bukan berarti Prita berbuat macam-macam, ayah” aku masih menyangkal.

“Kudidik kamu baik-baik sampai kupilihkan kamu jodoh yang baik pula,  apa balasanmu ? membuat malu orang tua” kalimat ayah merajam hati, ayah benar aku dididik dengan baik, itu selalu kubawa dan berusaha untuk selalu berperilaku baik.

 

Lantas mengapa ayah bisa menganggap aku senista itu ? apa ayah sudah tidak percaya pada anaknya sendiri. 

“Jangan pernah anggap aku orang tuamu lagi. Anak tidak tahu diuntung, memalukan “ aku terkejut dengan pernyataan ayah. Aku mendongak mencoba menelusuri wajah ayah yang terbalut amarah. Ada ekspresi kesungguhan dari kemarahan dan kata-kata ayah. Mata itu begitu tajam, memelototi aku. Pertama kali dalam hidupku melihat  kemarahan ayah sedahsyat ini, aku langsung memeluk kaki ayah. Ayah mengibaskan tubuhku dengan kakinya kemudian menghindar  menjauhiku. Aku terguguk pilu. 

 

"Pergi kamu. Keluar dari rumahku." Aku mengangkat tubuh berpindah berjongkok, di  depan kaki ibu yang sedang duduk di kursi sambil menangis, kucium lututnya.

 

Aku masih berharap ibu bisa melindungiku dari kemarahan ayah. Ibu bergeming, kedua tangannya diletakkan di punggung kursi. Aku mencoba memandang wajah wanita yang telah melahirkanku. Ibu yang sejak kecil selalu melindungi dan menyayangiku, tatapan kasih yang selalu dihadirkan kini tiada lagi. Ibu malah menutup wajah dengan kedua telapak tangannya. Lama aku menangis di sana. Ibu pun menangis. Rasa bersalah dan perasaan dosaku sangat besar. Ibu benar-benar tidak melindungiku.

 

"Keluar kamu !" Sekali lagi ayah berteriak. Dengan tubuh lemah dan sakit yang tak tertahan aku  bangkit, menatap ayah, aku tak yakin itu wajah ayahku. Ayah memalingkan wajahnya dariku. Aku juga tidak yakin ucapan itu keluar dari bibir ayah yang selalu berucap manis padaku.

 

Tanpa menunggu lama aku pun berlari keluar rumah membawa tangisku. Masuk ke mobilku. Kustarter mobilku, kutinggalkan rumah kedua orang tuaku dengan hati limbung dan terasa melayang ke ruang hampa.

 

Kurasakan  melayangnya kasih sayang kedua orang tuaku saat ini.  Aku terus memacu mobilku menelusuri jalanan lengang menumpahkan tangisku dengan ratapan yang kulepas sekeras-kerasnya.  Tak tahu aku harus kemana, kembali ke rumah mas Rangga dengan tangis dan wajah merah bekas tampan ayah akan membuat mas Rangga semakin menginjak harga diriku. Kuyakini kemarahan ayah padaku ini yang paling diinginkan mas Rangga. Mas Rangga telah meminjam tangan ayah untuk menghajarku.

 

Aku terus menyetir tahu-tahu sudah sampai  Jalan Pemuda, aku berhenti di seberang kampus masa  kuliahku. Jalanan tampak lengang. Aku masih  duduk di mobil yang kuparkir di pinggir jalan, kuhentikan tangisku dengan menarik nafas berulang-ulang. Mataku menatap kampus kenangan. Kampus itu lah tempat aku memulai kekusutanku saat ini sedih dan luka hati terpapar.

 

Kampus kenanganku tempat mas Panji sering menemuiku, jika tak ada kuliah dari Bandung langsung menjumpaiku di kampus itu, mengajak makan dan jalan-jalan. Kami sama sama sedang belajar. Bedanya mas Panji 3 tahun di atasku. Kadang aku heran, kalau libur Mas Panji bukannya ke Solo menemui orang tuanya tapi lebih sering mendatangi aku. Bahagianya aku sering ditemui mas Panji. Banyak janji manis yang kunikmati bersama mas Panji, janji hidup bersama mengukir kasih di antara kami.

 

 

 Perkenalan dengan mas Panji pun sangat unik, aku sedang menikmati campink dengan teman kampus di Curug Cimahi, Anton teman kuliahku memperkenalkan aku pada mas Panji mahasiswa perguruan tinggi ternama di Bandung. Malam hari saat teman-temanku jalan-jalan ke luar, teman-temanku mengerjaiku, aku ditinggal sendirian di tenda, semua ikut bahkan Lita yang biasanya suka berdengarkan music di tenda tak dapat kucegah untuk tinggal menemaniku. Pasti ulah Anton yang ingin mendekatkan aku dengan Mas Panji. Mas Panji juga ditinggal sendiri. Aku kedinginan di dalam tenda, mendengarkan music dari hanphone pun rasanya sudah membosankan. Aku keluar dari tenda.

 

Di luar tenda ada mas Panji sedang duduk di atas batu sambil asyik memainkan ponselnya. Di bawah cahaya bulan Mas Panji memanggilku, aku mendekat mengambil tempat duduk di atas batu yang letaknya berseberangan dengan batu tempat mas Panji duduk. Kami pun ngobrol berdua.

 

 

Dari kejadian itu  aku dan mas Panji semakin akrab, mas Panji menyusulku ke Jakarta dan menemuiku di kampus.  Sejak itu hubungan kami terjalin. Jika tidak sibuk kuliah, mas Panji selalu datang ke Jakarta bahkan setiap akhir pekan selalu datang menemaniku, ayah dan ibuku menerima mas panji dengan baik.

Sampai selesai kuliah mas Panji diterima kerja di sebuah BUMN dan bertugas di Surabaya. Mas Panji sibuk bekerja, aku sibuk kuliah.

Pernah suatu saat suratnya datang dari Sidney, kebetulan mas Panji sedang study banding 6 bulan di Australia. Kubelai-belai surat indah itu yang dikirim bersama foto-foto mas Panji di Australia. Ada kalimat yang menyentuh hati.

"Aku kangen Jakarta, kangen dengan gadis harapanku yang dulu kutemui sedang kedinginan di luar tenda campinknya." aku tersenyum bahagia membaca surat itu, kenangan awal kedekatan itu rupanya tidak lepas dari pikiran mas Panji.

 

"Mencintaimu adalah hal yang terindah dalam hidupku, karena aku yakin hanya ada satu gadis indah yang kuharap selalu menemani hidupku. “ Kalimat indah itu terpatri selalu dalam hati yang membuatku selalu percaya.

 

Aku pun kadang dihinggapi rasa cemburu, saat malam Minggu tiba. Kusampaikan  menyampaikan rasa cemburuku via pesan dari ponselku, mas Panji membalas dengan kalimat bijaknya.

 

"Allah tidak mencintai manusia yang hidupnya berkhianat, percaya lah aku ingin dicintai Allah" jawab mas Panji. Aku memahami kata-kata masa Panji yang menguatkan aku untuk tidak cemburu.

 

Dari kalimat itu aku terhibur tidak akan ada kata khianat, baik mengkhianati mau pun dikhianati.

Khianat.. Khianat.. Kata itu juga yang difitnahkan mas Rangga untuk diriku. Hingga nasib naas dipukul dan diusir ayah ini kualami.

"Ya Allah ampuni aku, jika masih ada yang kurang dari hidupku tentang kejujuran " Kuusap airmataku. Aku tidak boleh berputus asa hanya karena difitnah dan didzalimi. Kehidupan harus berjalan semestinya, kata hatiku. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar