ALLAMANDA BERSERAK
BAGIAN VI
KEMARAHAN AYAH
Kemarahan mas Rangga tidak teranulir sama
sekali. Mas Rangga melaporkan aku kepada kedua orang tuaku seakan aku sudah
benar-benar berselingkuh. Aku dipanggil ayah untuk datang ke rumah ayah.
Kuketuk pintu rumah ayah, dari dalam pintu
dibuka. Plok satu tamparan menghajar pipi kiriku, ayah dengan wajah geram
memukulku, satu lagi tamparan membuat aku terduduk, aku menangis menahan jerit
dan isak.
Seumur hidupku baru ini ayah memukulku.
Saat ayah akan memukulku lagi ibu menahan tangan ayah, dan satu tendangan kaki
ayah mengenai lututku. Kutahan rasa sakit di wajah dan kakiku, hatiku lebih
sakit dari fisikku. Aku tidak tahu seperti apa mas Rangga mengadu pada ayah
tentang kesalahanku. aku tidak akan bisa menjelaskan kebenaran kepada kepada
ayah yang hatinya sedang dibalut kemarahan.
“Dasar anak tidak bisa menjaga nama baik
orang tua. “ bentak ayah. Aku masih menangis.
“Tidak ada harganya wanita yang telah
menodai pernikahan dengan perbuatan kotor.” Aku tidak tahu apa yang dimaksud
dengan perbuatan kotor itu. Apa mas Rangga melaporkan pada ayah bahwa aku telah
melakukan perbuatan zina seperti yang telah dituduhkan padaku. Padahal aku
tidak senista itu.
“Prita mohon maaf, ayah. Semua tuduhan itu
tidak benar, ayah. “
“Kamu bertemu dengan Panji lagi. “
“Itu tidak sengaja, itu terjadi karena
Prita sedang Diklat di Bali. Tidak ada yang lebih dari itu.”
“Iya tapi kamu bertemu dengannya, bukan?”
“Bukan berarti Prita berbuat macam-macam,
ayah” aku masih menyangkal.
“Kudidik kamu baik-baik sampai kupilihkan
kamu jodoh yang baik pula, apa balasanmu
? membuat malu orang tua” kalimat ayah merajam hati, ayah benar aku dididik
dengan baik, itu selalu kubawa dan berusaha untuk selalu berperilaku baik.
Lantas mengapa ayah bisa menganggap aku
senista itu ? apa ayah sudah tidak percaya pada anaknya sendiri.
“Jangan pernah anggap aku orang tuamu
lagi. Anak tidak tahu diuntung, memalukan “ aku terkejut dengan pernyataan
ayah. Aku mendongak mencoba menelusuri wajah ayah yang terbalut amarah. Ada
ekspresi kesungguhan dari kemarahan dan kata-kata ayah. Mata itu begitu tajam,
memelototi aku. Pertama kali dalam hidupku melihat kemarahan ayah sedahsyat ini, aku langsung
memeluk kaki ayah. Ayah mengibaskan tubuhku dengan kakinya kemudian menghindar menjauhiku. Aku terguguk pilu.
"Pergi kamu. Keluar dari
rumahku." Aku mengangkat tubuh berpindah berjongkok, di depan kaki ibu yang sedang duduk di kursi
sambil menangis, kucium lututnya.
Aku masih berharap ibu bisa melindungiku
dari kemarahan ayah. Ibu bergeming, kedua tangannya diletakkan di punggung
kursi. Aku mencoba memandang wajah wanita yang telah melahirkanku. Ibu yang
sejak kecil selalu melindungi dan menyayangiku, tatapan kasih yang selalu
dihadirkan kini tiada lagi. Ibu malah menutup wajah dengan kedua telapak
tangannya. Lama aku menangis di sana. Ibu pun menangis. Rasa bersalah dan
perasaan dosaku sangat besar. Ibu benar-benar tidak melindungiku.
"Keluar kamu !" Sekali lagi ayah
berteriak. Dengan tubuh lemah dan sakit yang tak tertahan aku bangkit, menatap ayah, aku tak yakin itu wajah
ayahku. Ayah memalingkan wajahnya dariku. Aku juga tidak yakin ucapan itu
keluar dari bibir ayah yang selalu berucap manis padaku.
Tanpa menunggu lama aku pun berlari keluar
rumah membawa tangisku. Masuk ke mobilku. Kustarter mobilku, kutinggalkan rumah
kedua orang tuaku dengan hati limbung dan terasa melayang ke ruang hampa.
Kurasakan
melayangnya kasih sayang kedua orang tuaku saat ini. Aku terus memacu mobilku menelusuri jalanan
lengang menumpahkan tangisku dengan ratapan yang kulepas sekeras-kerasnya. Tak tahu aku harus kemana, kembali ke rumah
mas Rangga dengan tangis dan wajah merah bekas tampan ayah akan membuat mas
Rangga semakin menginjak harga diriku. Kuyakini kemarahan ayah padaku ini yang
paling diinginkan mas Rangga. Mas Rangga telah meminjam tangan ayah untuk
menghajarku.
Aku terus menyetir tahu-tahu sudah
sampai Jalan Pemuda, aku berhenti di
seberang kampus masa kuliahku. Jalanan
tampak lengang. Aku masih duduk di mobil
yang kuparkir di pinggir jalan, kuhentikan tangisku dengan menarik nafas
berulang-ulang. Mataku menatap kampus kenangan. Kampus itu lah tempat aku
memulai kekusutanku saat ini sedih dan luka hati terpapar.
Kampus kenanganku tempat mas Panji sering
menemuiku, jika tak ada kuliah dari Bandung langsung menjumpaiku di kampus itu,
mengajak makan dan jalan-jalan. Kami sama sama sedang belajar. Bedanya mas
Panji 3 tahun di atasku. Kadang aku heran, kalau libur Mas Panji bukannya ke
Solo menemui orang tuanya tapi lebih sering mendatangi aku. Bahagianya aku
sering ditemui mas Panji. Banyak janji manis yang kunikmati bersama mas Panji,
janji hidup bersama mengukir kasih di antara kami.
Perkenalan dengan mas Panji pun sangat unik,
aku sedang menikmati campink dengan teman kampus di Curug Cimahi, Anton teman
kuliahku memperkenalkan aku pada mas Panji mahasiswa perguruan tinggi ternama
di Bandung. Malam hari saat teman-temanku jalan-jalan ke luar, teman-temanku
mengerjaiku, aku ditinggal sendirian di tenda, semua ikut bahkan Lita yang
biasanya suka berdengarkan music di tenda tak dapat kucegah untuk tinggal
menemaniku. Pasti ulah Anton yang ingin mendekatkan aku dengan Mas Panji. Mas
Panji juga ditinggal sendiri. Aku kedinginan di dalam tenda, mendengarkan music
dari hanphone pun rasanya sudah membosankan. Aku keluar dari tenda.
Di luar tenda ada mas Panji sedang duduk
di atas batu sambil asyik memainkan ponselnya. Di bawah cahaya bulan Mas Panji
memanggilku, aku mendekat mengambil tempat duduk di atas batu yang letaknya
berseberangan dengan batu tempat mas Panji duduk. Kami pun ngobrol berdua.
Dari kejadian itu aku dan mas Panji semakin akrab, mas Panji
menyusulku ke Jakarta dan menemuiku di kampus.
Sejak itu hubungan kami terjalin. Jika tidak sibuk kuliah, mas Panji
selalu datang ke Jakarta bahkan setiap akhir pekan selalu datang menemaniku,
ayah dan ibuku menerima mas panji dengan baik.
Sampai selesai kuliah mas Panji diterima
kerja di sebuah BUMN dan bertugas di Surabaya. Mas Panji sibuk bekerja, aku
sibuk kuliah.
Pernah suatu saat suratnya datang dari Sidney,
kebetulan mas Panji sedang study banding 6 bulan di Australia. Kubelai-belai
surat indah itu yang dikirim bersama foto-foto mas Panji di Australia. Ada
kalimat yang menyentuh hati.
"Aku kangen Jakarta, kangen dengan
gadis harapanku yang dulu kutemui sedang kedinginan di luar tenda
campinknya." aku tersenyum bahagia membaca surat itu, kenangan awal
kedekatan itu rupanya tidak lepas dari pikiran mas Panji.
"Mencintaimu adalah hal yang terindah
dalam hidupku, karena aku yakin hanya ada satu gadis indah yang kuharap selalu
menemani hidupku. “ Kalimat indah itu terpatri selalu dalam
hati yang membuatku selalu percaya.
Aku pun kadang dihinggapi rasa cemburu,
saat malam Minggu tiba. Kusampaikan menyampaikan rasa cemburuku via pesan dari
ponselku, mas Panji membalas dengan kalimat bijaknya.
"Allah tidak mencintai manusia yang
hidupnya berkhianat, percaya lah aku ingin dicintai Allah" jawab
mas Panji. Aku memahami kata-kata masa Panji yang menguatkan aku untuk tidak
cemburu.
Dari kalimat itu aku terhibur tidak akan ada
kata khianat, baik mengkhianati mau pun dikhianati.
Khianat.. Khianat.. Kata itu juga yang
difitnahkan mas Rangga untuk diriku. Hingga nasib naas dipukul dan diusir ayah
ini kualami.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar