CINTA DI PADANG ASA
BAGIAN I
BOS BARU
Lelaki
itu muncul di hadapanku sebagai Direktur perusahaan tempat aku bekerja. Mbak
Ririn manager personalia memperkenalkannya kepada kami. Lelaki itu tampil gagah semampai dengan
senyum manis mengembang. Berdiri tegak di hadapan kami. Aku sangat terkejut,
ternyata bos baruku lelaki itu. Tubuhnya yang tegap tampan dibalut jas warna maroon
dan kemeja putih dasi bercorak Versace dengan warna senada jasnya. Penampilan
seperti itu membuat dirinya tampak sempurna sebagai seorang direktur. Masih
disertai rasa keterkejutan yang belum lenyap sekejap pandangannya dingin ke arahku seolah tidak mengenalku. Tubuhnya
lebih gemuk sedikit dibanding tujuh tahun yang lalu. Yah tujuh tahun lalu aku
kenal dengan laki-laki ini, dan menjalin kenangan selama lima tahun, hanya dua tahun keindahan sisanya
ketidakjelasan. Kini dia hadir ke sini sebagai direktur perusahaan. Ya Allah
alamat apa ini untuk diriku. Menebar senyum manis ke arah karyawan, masih ada
lesung pipit yang dulu sangat kusukai, tidak adil rasanya laki-laki sudah
tampan masih diberi lesung pipit menawan. Tapi kuasa Allah apa saja
diciptakanNya. Bola matanya berputar meneliti satu persatu yang berdiri
memperkenalkan diri. Banyak yang tertegun, begitu sampai ke arahku yang berdiri
berseberangan sedikit bibir sinis muncul. Aku mencoba menguasai hati. Tidak
mengerti dengan sikapnya. Apa itu pandangan dendam ? entahlah, tapi bagaimana
ini terjadi dia akan jadi bosku yang akan selalu bekerjasama denganku. Dengan
pandangan seperti tadi membuat hatiku bergetar disertai rasa takut dan miris.
“ Ini bu Adisti sekretaris di sini yang akan
mendampingi tugas bapak.” Kata mbak Ririn menunjuk dengan sopan ke arahku. Bos
baru kembali mengarahkan matanya ke wajahku, pandangan dingin itu dilontarkan
sekali lagi, dan berubah sesaat menjadi pandangan manis yang dibuat-buat. Aku
yakin ini sangat dibuat-buat. Aku tersenyum mengangguk, dibalasnya dengan sikap yang sama. Sedikit
membuat hatiku lega.
Perkenalan
itu dilaksanakan sebentar hanya sekitar sepuluh menit kemudian kami kembali ke
meja kerja masing-masing. Aku segera mengontrol ruang kerjanya apakah sudah rapi
dan bersih, semua sudah Ok. Di pintu
masuk ruang direksi langkahku terhenti. Bos baru ini tiba-tiba membuka pintu dan
melangkah masuk ruangannya. Kutebarkan senyum mempersilahkannya dan bos baru
hanya mengangguk tanpa menengok ke arahku. Tak apa lah karena kami memang harus
bekerja professional. Mudah-mudahan situasi
ini hanya awal, selanjutnya dia bisa beramah-ramah padaku. Itu harapku.
Sebagai
sekretaris di sini harus siap melayani apa saja kebutuhan sang bos, sesuai
dengan Tupoksi sekretaris. Sekretaris harus menjaga
bisnis perusahaan tetap berjalan mulus dan memastikan terlaksananya fungsi-fungsi
organisasional dalam perusahaan dengan sebaik-baiknya. Melayani direktur, mengatur
dan mencatat jadwal kerja,
korespondensi, menemani meeting dan
pertemuan-pertemuan dengan client
yang menjadi tugas utamaku.
Sandiwara hari ini berjalan cukup baik.
Dia pura-pura tidak mengenalku dan aku pun berlaku sama. Tidak terlalu sulit
berpura-pura. Tapi resah itu tetap ada. Dulu aku sering mengungkap rindu
dalam penantianku terhadap Bos baruku itu nama lengkapnya Prambudi Perwiratama.
Aku biasa memanggilnya Mas Pram. Yah Mas
Pram bagian cinta masa laluku. Cinta yang bertengger di dahan hatiku itu
kulepas sejak aku memutuskan menikah dengan mas Yoga. Pertimbanganku menerima
mas Yoga karena dia lelaki baik, gencar mengejark, ibu sangat menyukainya memberikan harapan besar. Mas Yoga
mengaku bekerja di perusahaan asing milik Negara Jepang. Penampilannya yang
sopan dan sikapnya yang lembut mampu menarik hati kedua orang tuaku. Mobil
mewah yang dikendarainya lebih meyakinkan ibuku bahwa dia lelaki mapan. Orang
tua mana yang tidak mengijinkan anaknya dilamar lelaki berpenampilan seperti
mas Yoga.
Orang
tua mas Yoga tinggal di Jawa Timur, mas Yoga anak tunggal dan tinggal sebatang
kara di Jakarta. 4 tahun perjalanan
pernikahanku dengan mas Yoga, seorang anak laki-laki berusia 3 tahun hadir
dalam pernikahan kami. Aku hanya berharap dengan kepatuhan dan pengabdianku
kepada orang tua membuat aku berpikir apa yang dipilihkan pasti terbaik
untukku. Setelah menikah ternyata mas
Yoga bukan yang baik untukku, itu kurasakan
sejak beberapa bulan usia pernikahanku sampai sekarang.
Kehadiran
mas Pram mengingatkan aku kembali akan ladang kapas di samping rumah milik
eyang putriku menjadi saksi rindu dan penantianku terhadap mas Pram. Kukepakkan
sayap rindu dalam penantian untuk janji manisnya. Setiap malam minggu aku main
ke rumah eyang. Merenung dan berbicara sendiri kapan mas Pram akan datang,
jangankan kedatangannya, bahkan kabarnya pun tak kunjung tiba. Aku tidak ingin mengungkap
kelelahanku meski pun menunggu itu melelahkan. Aku tidak bisa membuktikan
kepada ibuku kesungguhan mas Pram mencintaiku meski dua tahun awal pacaran mas
Pram begitu akrab dengan keluargaku. Sejak aku menikah ladang kapas eyang sudah
dirombak jadi bangunan rumah mungil yang ditempati omku, putra bungsu eyang. Sembilu
tertancap di hatiku, lukaku dalam penantian yang tak berujung. Ladang kapas itu
kusebut sebagai padang asa. Asa ku tertinggal di sana, lukaku tanpa pengertian
orang yang kucintai.
Ketika
mas Pram pergi aku masih kuliah di Sekolah Tinggi Ilmu Sekretaris selesai kuliah aku
bekerja menjadi sekretaris perusahaan ini, Kini aku berjumpa dengan nya lagi,
sayangnya aku sudah hidup dengan lelaki pilihan ibuku. Mungkin mas Pram memang bukan jodohku. Bertahun
hatiku menangis. Mas Pram pernah mengatakan tidak suka aku menangis.
“ Jangan menangis karena aku tidak ingin
membiarkan air matamu tumpah sia-sia” itu ucapan yang kudengar ketika aku ingin
menitikkan air mata sebelum ia berangkat ke Kota Balikpapan tempatnya bekerja.
Kala itu dia memberi sejuta harapan yang terus kusimpan. Dia berjanji akan
datang menjemputku. Bahkan aku tidak pernah tahu kapan janji dan harapan itu
akan terpenuhi.
“
Suatu saat nanti kita sama-sama bekerja untuk hidup layak. Aku bekerja dan kamu
pun bekerja. Selesaikan kuliahmu. Suatu saat semua hasilnya akan kita petik.
Jika sama-sama bekerja suami-isteri, ekonomi rumah tangga akan terasa ringan
walau pun itu tidak wajib bagi isteri untuk bekerja.” Itu skenario mas Pram
jika nanti kita sudah menikah. Aku mau tetap bekerja setelah nikah, setidaknya
aku tidak mengecewakan orang tuaku yang telah membiayai aku sekolah sampai
kuliah. Kalau aku ingin membelikan sesuatu untuk ayah dan ibu bisa menggunakan
uangku sendiri, bukan uang dari suami.
Ucapan
mas Pram terbukti, sekarang aku dan dia
sama-sama bekerja, di kantor yang sama tapi tidak untuk hidup bersama.
Kepedihan yang harus kurasakan saat ini sudah menjadi bagianku. Dia akan
membalas dendamnya karena sudah kutinggalkan menikah lebih dahulu.
Sebelum
Menikah, aku main ke rumah kakak mas Pram, mas Adi, ngobrol-ngobrol dengan mas
Asri istri mas Adi. Entah berawal dari mana mbak Asri membuka kalimat tentang
mas Pram.
“
Pram mau menikah dengan orang Pare Pare “ suara kakak iparnya yang pelan tapi
terasa godam yang menghantam kepalaku, menusuk hatiku.apa ini yang membuat mas
Pram lupa padaku ? Saat aku merasa penantianku sia-sia. Aku harus menentukan
pilihan dalam dilema hati yang membuat
aku terpuruk dalam penantianku, oh jadi selama ini mas Pram tidak menghiraukan
aku karena ada gadis lain di hatinya, sementara aku terus menggantungkan asaku
untuk hidup bahagia bersamanya.
Ibuku
sudah mendesak untuk segera menetapkan pilihan. Tidak mungkin menunggu.
Penantian hanya sebuah penundaan kekecewaan yang semakin panjang Kecemburuanku pada gadis
Pare-Pare yang disebut mbak Asri membuat aku tidak percaya mas Pram akan hadir
melamarku,, alasan lain, aku ingin berbakti pada kedua orang tuaku. Aku sudah
menghapus tangisku dan bahkan menghapus sosoknya dari ingatan dan hatiku. Itu
bukan sesuatu hal yang mudah. Bertahun-tahun aku berusaha itu. Hari-hari
kupadati dengan kegiatan yang penting dan tidak penting, apa saja yang membuat
aku bisa melupakan mas Pram. Kukabarkan
pernikahanku via mas Adi kakak kandung
mas Pram, dengan menyampaikan permintaan maafku bahwa aku harus menikah dan
meninggalkan mas Pram.
Sekarang
berbagai pertanyaan berkecamuk di hatiku. Apakah mas Pram bekerja di perusahaan
tempatku bekerja sebagai satu cara untuk meluapkan rasa dendamnya padaku ?
Kalau mas Pram dendam itu salah, seharusnya dendam itu milikku karena dia tidak
pernah membalas suratku selama tiga tahun, bahkan mengangkat teleponku pun dia
tidak mau. Tapi aku tidak dendam pada mas Pram.Dendam tidak akan pernah
membuahkan pikiran dan hati yang sehat. Dendam hanya merusak naluri utuk segera
membalasnya dengan berbagai cara. Bagaimana jika terjadi pada diri mas Prambudi ?
Seminggu
ini pikiranku kalut. Bukan cinta yang tinggal asa yang menggangguku, tapi masalah
ekonomi yang kukhawatirkan jika dia suatu saat memecatku, tatanan ekonomi keluarga yang
kubangun bersama suamiku akan terancam. Pendapatan terbesar rumah tanggaku
dariku. Suamiku hanya seorang sopir pribadi orang Jepang yang menjadi pimpinan
cabang perusahaan di Indonesia. Gajiku beberapa kali lipat dari gaji suamiku. Aku tidak pernah
berhitung untuk itu. Diijinkan bekerja oleh suamiku sudah sangat kusyukuri. Semuanya
berjalan baik-baik saja. Membeli mobil dan biaya kebutuhan anakku satu-satunya
aku yang menanggung. Uang muka rumah aku yang membayar dari sisa pendapatan
yang kukumpulkan dan itu tidak sedikit karena aku ingin angsurannya kecil. Aku
tidak pernah bercerita pada ibu kalau masalah ekonomi keluarga aku yang
menanggung.Jangan sampai beliau bertambah penyesalannya. Ibu tahu mas Yoga
hanya sopir saja ibu sudah menyesal.
“ Ini apa? Yang teliti kalau kerja.” Kata bos
baruku pagi itu setelah dia menerima dan membaca isi berkas uang kusodorkan
untuk ditandatangani, aku terhenyak dengan suara juteknya, bosku sebelumnya
tidak pernah berbicara kasar padaku. Dia menunjuk satu lembar kertas yang
sedang dibacanya. Bola mataku mengarah ke arah kertas yang sudah kuketik dan
siap ditandatangani. Benar aku sudah melakukan kesalahan dalam penulisan. Ya
Allah pagi-pagi begini aku sudah membuat kesalahan.
“
Buat lagi yang baru !” perintahnya sambil mengembalikan berkas yang kusodorkan.
Segera aku kembali ke meja kerjaku untuk membetulkan kekeliruan yang telah
kubuat. Dan kembali lagi menyampaikan berkas yang sudah kubetulkan.
“
Saya kira di sini semua serba baru, tapi ternyata ada orang yang masih
tertinggal yang membuat saya harus teringat lagi masa lalu” kata-kata itu
diucapkan seperti menggumam. Dan sempat terdengar olehku membuat hatiku ketir. Duh
apalagi ini. Jangan sampai dia mengungkap masa lalu kami. Aku tak menghedaki
itu. Aku tak berani melihat wajahnya. Ucapan itu sinis laksana sindiran yang
menembak hati untuk sakit. Aku masih diam mematung menunggu berkas yang harus
ditandatangani. Berdiri tepat di depan meja mas Pram,.tanpa melihat wajahku
kulirik dia masih membolak balikkan berkas. “Ya Allah, semoga ga ada yang salah
lagi. “ Doaku.
“ Temani saya makan siang” kalimat terakhir
yang diucapkannya sebelum aku meninggalkannya. Menemani makan siang sampai
melayaninya adalah tugas tambahan sebagai sekretaris yang harus kukerjakan
dengan baik.
“
Baik pak.” Kataku tanpa bertanya mau makan siang di mana.
Aku
menemani makan siang di sebuah rumah makan Sunda yang sangat terkenal. Bos yang
memilihkan tempat itu, rupanya dia tidak asing dengan daerah ini. Kupikir dia
akan duduk bersamaku, paling tidak aku bisa mulai memperbaiki kesalahan dan
meminta maaf atas kekeliruan pekerjaanku. Ternyata bukan itu yang kudapatkan.
Dia mengambil tempat di lesehan dan meminta menu lalu menunjuk beberapa makanan
yang diinginkan untuk kupesan. Kupesankan makanan yang diinginkan, Gurame bakar
sambal kecap, karedok tidak terlalu pedas, cumi goreng tepung, ditambah sambal
dadak khas sunda yang sangat kusuka. Oh dia memesankan aku cumi goreng tepung.
Ternyata dia masih ingat kesukaanku. Dulu saat pacaran kami memang sering makan
masakan Sunda dengan menu seperti itu. Hatiku mulai riang. Setelah menyampaikan pesanan dan sang pelayan
mengulang lagi pesanan kami, mas Pram menambahkan request minuman jus alpulat, yah dia sangat suka itu. Mas Pram
tidak menanyakan aku mau minum apa. Tidak mengapa, aku bisa pesan sendiri,
pikirku santai.
“
Duduk lah kamu di meja sana. Saya ingin makan sendiri di sini” katanya setelah
pelayan berlalu. Hatiku yang sudah mulai senang kini menciut lagi. Situasi ini
sangat tidak kuduga. Dia tidak menginginkan duduk dan makan bersamaku.
“
Baik pak” aku membalikkan tubuh dan segera meninggalkannya. Mengambil salah
satu meja dekat kasir, yang bisa terlihat si bos, agar dia tidak terlalu sulit
jika memerlukan tenagaku. Tidak bisa kuurai bagaimana persaanku dengan sikapnya
itu.
Aku
memesan makananku sendiri. Kupesan ayam goreng dan sambal terasi serta mie
goreng seafood. Sebenarnya tidak suka
makan ayam goreng dengan sambal terasi, aku suka sambal dadak, kali ini kupesan
menu yang berbeda, menghindari pesanan yang sama dengan bosku. Jujur perasaanku
agak sensi dengan pesanan makanan, aku memang harus menjaga diri dari sikap menghina dan
meremehkan. Tidak perlu memesan cumi goreng tepung. Aku ingin merubah menu favoriteku karena Bos ku ini mungkin
ingin aku merubah kesukaanku. Aku takut salah lagi dengan mengingatkannya atas
kesukaanku. Semuanya harus berubah untuk tidak mengingatkan keindahan masa
lalu.
Bos
sedang memainkan ponselnya dan sesekali menelepon entah siapa yang di telepon, schedule hari ini sudah kusampaikan tadi
pagi. Tidak ada meeting penting, hanya
nanti sore ada briefing dengan beberapa manager perusahaan. Belum selesai
makanku ada suara mengetuk-ngetuk meja, aku menoleh Bos memberi isyarat
makannya sudah selesai. Tanpa melanjutkan makanku aku memanggil pelayan dan
meminta bill tagihan. Segera kubayar tagihan makan hari itu. Aku melirik meja
Bos mungkin ada yang ingin dibungkus. Sudah kosong. Setelah kubayar semuanya
aku mendekati mejanya.
“Sudah
selesai, pak.” Tanpa menjawab ucapanku, bos bangkit dari duduknya dan berjalan
dengan cepat ke parkiran dimana sopir menunggu, aku mengikuti dari belakang.
Kami langsung masuk ke mobilnya. Bos duduk di depan dengan sopir dan aku
menempati Jok belakang. Tak ada yang kubicarakan dan memang aku sedang menjaga
untuk tidak membuat kesalahan, suasana sunyi sampai kami tiba di kantor lagi.
Ruang
meeting sudah kepersiapkan. Sore ini briefing
dengan para manager, pasti tidak
memerlukan aku. Mbak Ririn biasanya menyuruhku pulang dan menghandle pekerjaanku jika ada yang kurang. Mbak Ririn sangat tahu
kalo aku masih punya balita yang harus kuurus sepulang kerja. Pembantu yang
kerja di rumahku hanya bekerja sampai sore. Kebaikan mbak Ririn ini membuat aku
sangat nyaman bekerja. Mbak Ririn sangat menyayangi dan aku pun menyayanginya.
Kalau pulang dinas dari luar kota ada saja oleh-oleh untukku, aku membalas
kebaikannya dengan menjahitkan hijab berbahan voal kesukaannya.
BAGIAN II
KEHIDUPAN PERNIKAHANKU
Mas
Yoga sudah tiga hari tidak pulang ke rumah, katanya sedang mengantar
bosnya ke Bandung. Aku percaya saja
karena kegiatannya sebagai sopir pribadi harus seperti itu. Anehnya aku merasa
nyaman kalau mas Yoga gak ada di rumah, karena ga ada yang berwajah masam dan tidak
ada suara bentakan yang sudah menjadi santapanku sehari-hari. Setidaknya
kukatakan itu karena sejak kami menikah dia jarang berbicara lembut padaku.
Sikapnya berubah 180 derajat dari sebelum menikah. Tapi aku selalu menerima
bagaimana imamku memperlakukan aku, sebagai tanda baktiku kepada suami. Apa
saja aku menuruti perintahnya. Hanya satu yang sangat aku mau jangan sampai mas
Yoga melarang aku bekerja.
“
Bunda sudah pulang yah. Bino mau main sama, bunda” suara Bino anakku. Anak
inilah satu-satunya alasan yang membuat aku bertahan dengan rumah tanggaku.
“
Iya sayang bunda akan menemani Bino main.” Bino berlari riang mengambil mainan
mobil-mobil dari kotaknya, ditumpahkan mainannya ke lantai. Mainan mobilannya
berserakan, aku mengambilnya satu perstu, kubariskan parallel, Bino mengikuti
gerakan tangan menjajarkan mobil-mobilan satu persatu. Berjajarlah mobil
kecil-kecil itu. Vino sangat senang.
“
Ini lagi macet ya, bunda. Mobilnya berhenti..”
renrenren…ngeng..ngeng.. suara Bino mengikuti suara mobil. Aku tersenyum
bahagia.
“
Iya sayang. Kendaraannya banyak jadi macet, deh”
“
Iya, ini lagi macet, bunda. “ Bino melanjutkan mainannya. Sambil mainan mulut
anak itu kusuapi burger yang kubawa dari kantor. Bahagiaku bersama Bino.
Kini
hidupku berhadapan dengan dua lelaki yang membuat aku tidak bisa tenang.
Suamiku yang suka membentak dan KDRT dan Bosku yang tidak menghargaiku. Pedih
memang sangat pedih. Mas Yoga yang sekolahnya hanya lulus STM itu selalu
berbicara keras padaku. Keterkejutanku dengan perlakuan mas Yoga sejak tiga
bulan aku menikah, karakternya yang semula lembut dan sangat menghargai telah
berubah. Dia pernah menendang penggorengan berisi ayam ungkep yang keletakkan
dekat kompor di rumah kontrakanku dulu. Aku kaget dan menangis sejadi-jadinya.
Perilakunya yang lembut sebelum menikah ternyata hanya sebuah trik untuk menipu
aku dan keluargaku. Ketika aku minta kunci motor yang akan kupakai ke
minimarket, mas Yoga memberikannya dengan melempar ke arahku dan hampir menengnai
wajahku kalau aku tidak mengelak. Juga ketika kami berada di supermarket dia
membentakku di depan umum. Padahal kondisiku sedang hamil besar. Setiap dia
tidak pulang ke rumah karena harus menginap di rumah bos nya saat itulah aku
menumpahkan segala tangisku.
Setelah
anakku lahir dan aku punya tabungan cukup, kami kredit rumah dengan uang muka
dari tabunganku. Dia berjanji akan mengangsur tiap bulannya, tapi itu hanya
dilakukannya beberapa kali. Selanjutnya 2 bulan angsurannya tidak dibayar
sampai tagihan bank datang ke rumah kami. Jika tiga bulan tidak dibayar rumah
itu akan diambil kembali. Terpaksa aku yang menutup semuanya dan seterusnya aku
yang membayar. Seperti itu pengorbananku tapi tidak membuat mas Yoga jera
menyakitiku.
Yang
sangat mengejutkan di saat aku hamil mas Yoga berani memukulku. Hari-hariku dipenuhi
dengan tangis saat kehamilan Bino. Dua manusia lahir dari dua falsafah keluarga
yang berbeda harus bersatu meniti hari-hari perkawinan kami. Aku terlahir
sebagai anak pertama dari dua bersaudara dengan adikku Dinda 5 tahun dibawahku.
Kami dibesarkan dalam kehidupan yang penuh kedamaian dan kasih sayang kedua
orang tuaku. Kedua orang tuaku hidup berkecukupan. Mas Yoga lahir sebagai
satu-satunya anak yang ditinggalkan ayahnya menikah lagi dengan wanita lain,
Ibunya pun sudah menikah lagi, dan mengurusi suami barunya di kota Malang. Perkawinan
yang penuh kesakitan. Kutelan semua yang kudapat tanpa perlu bercerita kepada siapa
pun, aku tidak pernah berani melawan suamiku. Aku takut dosa dan dosa menjadi prahara bagi hidupku, padahal ini adalah
prahara besar yang mengungkungku. Entah sampai kapan ini akan berlaku dalam
hidupku. Aku hanya bisa berdoa dan berdoa semoga Allah melembutkan hati mas
Yoga.
Kesakitan
bertambah sejak mas Pram hadir sebagai bosku. Rupanya kesakitan sedang sangat
akrab dengan hidupku. Aku tidak dapat membayangkan kapan masa indah itu datang,
masa di mana aku tidak hidup di bawah injakan kaki laki-laki yang pernah
sama-sama mengisi kehidupanku.
BAGIAN III
BOS JUTEK
Bos
jutek, Setidaknya kusebut demikian karena tidak ada kelembutan dari setiap pembicaraannya
denganku. Pagi hari cerah aku berdoa agar cerah juga hatiku. Kusematkan papan
nama di dada di baju blazer hijau botol. Blaser ini senada dengan bawahannya
celana panjang. Kupadukan dengan hijab kekuningan dengan bahan lembut.
Setidaknya tidak membuatku merasa gerah hari ini untuk menghadapi sang Bos yang
jutek. Kusempurnakan make up dengan sedikit blush on. Sebagai sekretaris
direktur aku harus selalu tampil sempurna agar tidak memalukan sang bos.
Kembali kupandangi wajahku di kaca dengan make up tipis aku percaya diri. Kali
ini kusapukan eyeshadow warna gelap agar mataku tak tampak sembab karena
sudah semalaman aku menangis. Sudah seminggu mas Yoga ga pulang ke rumah.
Ketika aku telepon ditolak. Ya sudahlah aku menghadapi semuanya dengan tangis.
Semoga nanti ada waktu terindah untukku.
Kukendarai
mobil mungil milikku. Kubeli mobil mungil ini dari bonus, hadiah dan pendapatan
lain yang kutabung tanpa sepengetahuan mas Yoga, Aku katakana pada mas Yoga
kalau itu mobil dinas untukku. Aku memang ingin memiliki mobil agar aku nyaman
dan tidak perlu banyak membetulkan dandananku. Na’asnya hari itu jalanan macet
bukan main, aku terlambat sampai kantor. Keterlambatanku disambut dengan wajah
masam mas Pram. Sang bos dengan sinis menegurku.
“
Jangan sering-sering yah terlambat. Mata saya gak nyaman lihat karyawan
terlambat”
“
Maaf pak. Iya pak, insya Allah besok tidak terlambat lagi.” Aku menangkupkan
tangan untuk permintaan maafku.
Di
meja kerjaku setumpuk pekerjaan sudah menanti. Bos yang meletakkan dengan note
yang ditulis di kertas Sticky note
ditempel di atas meja. Beberapa surat keluar harus kuketik. Baru aku mengetik
surat keluar bos sudah mendatangiku.
“
Siang ini saya akan makan siang dengan kolega saya, tolong pesankan meja“
“
Untuk berapa orang, pak?”
‘
Lima ”
“
Di mana pak ?”
“Dimana
lagi? Di tempat kemarin kita makan lah” Jawabnya jutek, sambil membalikkan
tubuhnya meninggalkanku.
“
Maaf pak sekalian pesan makanannya atau nanti saja.” Aku masih bertanya.
“
Nanti saja biar mereka pilih sendiri mau makan apa.” Dia hanya memalingka
wajahnya sedikit.
“
Baik Pak. Siap”
Aku
segera menghubungi rumah makan Sunda tempat aku makan bersamanya. Setelah siap
kulaporkan dengan alamatnya agar pak Bos dapat menghubungi koleganya, tapi bos
menyuruhku menghubungi nomor telepon yang diberikannya padaku. Pak Arman dengan
nomor teleponnya. Kuputar nomor telepon pak Arman.
“
Selamat pagi, dari mana ini?” belum aku mengucapkan selamat pagi sudah disambut
duluan dengan suara lembut.
“
Saya Adisty sekretaris pak Prambudi, pak” Jawabku
“
Oh ya, gimana ada pesan apa dari pak Pram ?”
“
Ini pak, saya mau menyampaikan acara makan siang dengan pak Pram hari ini di
Resto Sunda…” kuberikan alamatnya.
“
Oh ya, terima kasih tolong share lokasinya ke nomor ini ya.”
“
Baik pak. Terima kasih”
“
Ya sama-sama” suara lembut dari sana mengakhiri pembicaraan kami. Ya Allah seandainya
mas Pram bisa berbicara dengan nada selembut itu, pasti setiap hari hatiku merasa
senang bekerja dan mendampinginya.
Pertemuan
makan siang dengan pak Arman dan dua orang temannya jadi laksanakan di Resto
Sunda. Kali ini Bos membiarkan aku duduk bersama tiga koleganya. Aku tidak diusir untuk menjauh seperti awal
makan di sini beberapa hari lalu.
“
Ini bu Adisty yang tadi menelpon saya ya ?
“ Suara salah satu orang dari tiga orang teman pak bos, aku menoleh
suara itu. Seorang laki-laki berwajah manis, melempar senyum manis padaku. Oh
rupanya ini lah pak Arman yang tadi aku telepon, suaranya manis orangnya pun
manis. Ah lelaki kok manis membuat perempuan iri.
“
Iya pak” aku menjawab sopan. Hanya itu yang kulakukan, tidak melebihkan
kata-kataku agar aku tidak melakukan kesalahan lagi.
Kubuat
pesanan menu, banyak sekali menu kali ini. Ada gurame bakar, gurame goreng melayang,
cumi telor asin, cumi goreng tepung, karedok dan jus alpukat, mangga, jus jeruk
dan belimbing. Teman bos yang gendut memilih jus belimbing. Aku cukup teh tawar
hangat saja. Sambil menunggu pesanan datang
mereka berbincang tenang bisnis dan pekerjaan. Rupanya pak Arman bekerja
diperusahaan eksport import yang membantu perusahaan dipimpin oleh mas Pram, eh
bosku.
Setelah
pesanan datang kami semua menyantap dengan nikmat, kulirik tampak bos menikmati
santapannya.
“
Bu Adis tidak memesan jus ?” Tanya pak Arman memecah kesunyian. Duh aku salah
tidak ikut memesan jus yang membuat satu pertanyaan muncul dari pak Arman.
“
Tidak pak saya sedang tidak enak minum dingin.” Jawabku sekenanya. Sebenarnya
mas Pram tahu aku tidak suka minuman dingin setelah makan.
“
Oh begitu. Jaga kondisi ya bu untuk melayani Bos ganteng ini harus selalu fit”
Gurau pak Arman sambil menunjuk ke arah mas Pram dengan dagunya, sekali lagi
senyum manis itu mengembang.
“
Iya pak” hanya itu jawabanku. Tapi kulihat wajah bosku tidak suka aku bercakap
dengan pak Arman. Aku langsung diam tidak mau membuat kesalahan lagi. Kami pun
lebur dalam suasana yang makan yang mengasyikkan. Selanjutnya lobi-lobi
perencanaan ekspor hasil produksi yang akan dilakukan oleh perusahaan milik pak
Arman.
BAGIAN IV
AKU YANG TERDZALIMI
Sudah
seminggu mas Yoga tidak pulang. Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam terdengar
suara motor yang dikendarai mas Yoga masuk ke halaman rumah. Segera aku bangkit
dari dudukku, kumatikan televisi agar mas Yoga tidak terganggu dengan suara
televisi. Kudekati mas Yoga dan mengulurkan tangan untuk mencium punggung
tangannya. Itu kebiasaan yang kulakukan kalau mas Yoga baru pulang kerja atau
berangkat kerja. Kuminta helm motornya dan kuletakkan di tempat penyimpanan
helm.
Mas
Yoga tampak kelelahan sehingga aku tidak berani menyapa. Kubuatkan kopi susu
panas seperti kebiasaanku kalau mas Yoga pulang malam. Mas Yoga tidak
meminumnya. Aku berharap mas Yoga masih mau duduk berbincang bersamaku, aku
bisa menanyakan ke mana seminggu ini dia tidak pulang dan tidak memberi kabar. Tanpa
bicara apa pun setelah mengganti baju, mas Yoga langsung tidur memunggungiku.
Aku benar-benar takut dengan sikapnya, aku salah apa ? Malam itu sulit
kupejamkan mataku.
Sarapan
nasi goreng yang kumasak hanya dimakan sedikit oleh mas Yoga. Pergi begitu saja tanpa pamit denganku.
Manusia aneh, pikirku. Entah bagaimana aku mau menikah dengan lelaki aneh ini ?
Ini sebuah kesalahan tapi sudah terlanjur.
Sore
hari mas Yoga sudah ada di rumah sebelum aku sampai rumah. Aku masuk rumah
membawa belanjaan untuk kebutuhan makan malam. . Kuucapkan assamualaikum, mas
Yoga menjawab pelan.dia asyik bermain dengan Bino. Kupikir mas Yoga lapar,
setelah mengganti baju kerja dengan baju rumah aku bergegas masak. Sebelum
maghrib masakan sudah siap, ketika aku sholat maghrib mas Yoga menyantap
masakanku. Mas Yoga memang tidak pernah sholat.
“
Mas ke mana seminggu ini gak pulang ke rumah ?” Tanyaku hati-hati. Kulakukan setelah
selesai sholat dan membaca Al Qur’an. Jantungku tiba-tiba berdegup keras demi
melihat wajah mas Yoga tidak senang dengan pertanyaanku.
“
Mas, mas ke mana saja ?” aku mengulangi pertanyaanku.
Plakk…
Satu tamparan mendarat di bagian kiri kepalaku. aku terhuyung, selain pelipis
kiri, mata kiri ku ikut sakit. Pandanganku agak berkunang-kunang, kupegang erat
ujung meja makan untuk menopang kekuatanku. Kali ini sakitnya berkolaborasi antara
hati dan fisikku. Setelah pandanganku terang kembali aku bangkit dan berdiri.
“
Aku salah apa sampai mas sekasar ini? Apa pertanyaanku tadi salah, mas ?.”
Tanyaku sambil mengusah-usap pelipis bagian kiri yang terasa nyeri.
“
Kamu banyak menuntut dan cerewet “ Bentak mas Yoga.
“
Aku hanya bertanya kemana mas seminggu ini? Apa salah mas ?” tanpa bisa kutahan
air mataku mulai mengucur.
“
Itu yang aku gak suka, selalu bertanya dan menelpon terus. Aku kerja masa ga
tahu aku kerja” suara mas Yoga semakin mengeras.
“
Aku tahu mas, tapi setidaknya kan mas bisa memberi kabar untuk anak isteri”
“
Gak penting”
“
Itu penting mas, hal terpenting dalam rumah tangga kan saling komunikasi.”
“
Kamu memang pinter, kamu hebat. Makanya kehebatan kamu untuk mendikte aku”
“
Aku tidak bermaksud begitu, mas.”
“
Ya pasti lah, apalagi ? “ matanya melotot giginya terdengar gemeretak seolah
ingin menerkamku. Aku ketakutan. Bino menangis kencang demi melihat
pertengkaran kami. Sebenarnya aku sudah sering meminta mas Yoga untuk tidak
bertengkar di depan anak. Aku ingin mengambil Bino tapi mas Yoga lebih dulu
menggendong Bino dan menepis dengan kasar tanganku.
“
Mas kita bisa bicara baik-baik, jangan bertengkar di depan Bino”
“
Mau bicara apa ? penting? Gak ada yang penting lagi.”
“
Mas kenapa jadi begini?”
“
Aku bosan dengan sikap kamu, selalu tanya kalau saya ga pulang. Mau Tanya saya
tidur dimana? kamu kan tahu saya sopir
pribadi”
“Iya
mas aku tahu. Aku minta maaf kalau salah.” Berharap pertengkaran ini lerai
karena tangis Bino semakin kencang tidak enak terdengar oleh tetangga.
“
Sini Bino, mas” aku meminta Bino, mas Yoga malah tambah melotot.
“
Bino nangisnya kencang tidak enak didengar tetangga ini sudah malam”
“
Kamu yang memulai”
“
Mas..aku..”
“
Sudah lah saya bosan dengan suara kamu yang sok bijak, pergi sana !” Hardiknya.
“
Maksud mas”
“
Iya pergi sana, keluar dari rumahku..”
“
Mas ini kan rumahku juga,”
“
Ini rumahku, milikku..keluar kamu ”
“
Ini rumah kita, mas. Jangan berkata seperti itu”
“
Rumahku, dengar. Rumah ini atas namaku.” Aku diam. Kemarin-kemarin tidak ada
bahasa masalah rumah. Kenapa sekarang mas Yoga mengungkit itu bukankah kita
masih tinggal sama-sama di rumah ini.
“
ambil barang-barangmu, keluar,,,” mas Yoga, masuk ke kamar Bino dan mendiamkan
anak itu..dari dalam kamar dia masih teriak.
“ Aku keluar dari kama inir, kamu harus sudah
siap untuk keluar. Bawa mobilmu. Pergi sana kemana saja kamu mau “Aku mendekati
kamar Bino yang masih terbuka
“
Mas benar mengusir aku?”
“
Iya, masih kurang dengar,,” ya Allah mas Yoga serius mengusirku. Ketakutan
semakin mendera. Aku bergegas mengambil koper di atas lemari kumasukkan
barang-barangku. Yang tidak masuk ke dalam koper langsung kumasukkan ke dalam
mobil. Aku merasa tidak aman. Suamiku sudah seperti monster, bengis dan
menakutkan.
Malam
itu juga aku keluar dari rumahku hanya membawa mobil yang kubeli dengan uangku sendiri
dan baju-baju serta perlengkapanku hari-hariku untuk bekerja. Kutinggalkan
rumah itu dengan hati pedih..kusesali rumah tangga yang kubangun dengan penuh
kesabaran tetap membuat aku terusir. Apa salahku ? Aku yang sudah banyak
berkorban harus menerima perlakukan seperti ini miris sekali hidupku. Hari
sudah malam aku terpaksa tidur di hotel seorang diri, tidur di hotel berlaku
dua malam sampai aku menemukan penginapan baru. Dapatlah aku menyewa sebuah
apartemen dengan ukuran kecil, kusewa selama satu bulan. Aku tidak mungkin
kembali ke rumah ibu dengan kondisi seperti ini. Ini akan menyakiti hati ibuku.
Tidak ada yang kuberi tahu. Juga Dinda adikku tidak perlu tahu rumah tangga
kakaknya. Aku sudah memastikan tekadku untuk hidup mandiri dan tidak membebani
pikiran orang tua dan keluargaku setelah aku menikah.
Dengan
perasaan sedih kunikmati hari-hariku tidur di apartemen sewaan. Aku masih
berharap mas Yoga menjemputku dan mengajak aku kembali ke rumah itu. Sampai
satu bulan itu tidak dilakukannya bahkan aku ingin bertemu karena kangen anakku
pun tidak diperbolehkan. Betapa kejamnya mas Yoga kepadaku.
“
Aku lahir dari seorang ibu yang sudah dengan susah payah mengandung dan
melahirkanku, juga dari seorang ayah yang menghidupiku sampai aku besar dan
engkau mengambilku sebagai isterinya. Jika mas tidak menginginkan aku lagi
tolong kembalikan aku baik-baik mas. Jangan mengusir aku seperti ini”
“Aku
tidak mengusirmu. Kamu pergi sendiri meninggalkan suami dan anakmu. Kamu yang
salah mengapa aku harus mengembalikan ke orang tuamu ? kamu bisa pulang sendiri ke rumah orang tuamu”
balasnya. Ya Allah kenapa kenyataannya harus dibalik seperti ini, mas Yoga yang
mengusir aku dari rumahku tapi aku yang dianggap pergi sendiri. Cobaan apalagi
ini ya Allah.
“
Mas lupa, mas yang mengusir aku”
“
Aku ga ngusir kamu. Sudah lah jangan mengingkari. Titik. ” hanya itu jawaban
terakhirnya selanjutnya dia tidak mau bicara lagi denganku dan aku kehilangan kontak
dengan mas Yoga. Siang hari di saat libur aku datang ke rumah untuk menemui
anakku. Rasa kangenku sudah tidak bisa kutahan. Yang kutemui bibi yang hanya
berbicara dari dalam pagar rumah dan aku diluar, bibi tidak mau membukakan
gerbang untuk mobilku.
“
Bapak melarang bibi membukakan pintu untuk ibu. Kata bapak sudah minggat ga boleh kembali lagi.” Ya Allah
setega itu mas Yoga menceritakan diriku pada bibi yang sangat polos, pembantuku
ini sudah 3 tahun kerja padaku. Datang pagi pulang sore kalau aku atau mas Yoga
sudah ada di rumah.
“
Ga bi, saya ga minggat, bapak yang
meminta saya pergi”
“
Tapi bu, bapak yang bilang begitu, maaf ya bu, bibi hanya ingin menuruti kata bapak,” Bibi
memang tidak pernah tahu hubungan tidak baik antara aku dan mas yoga. Mas Yoga
selalu melakukan kebengisan dan KDRT setelah bibi pulang. Alangkah malangnya
aku.
“
Itu gak benar bi, Bino mana?”
“
Sedang tidur sama bapak” Berarti mas Yoga ada di dalam. Jika aku memaksa bibi membuka
pintu pasti mas Yoga akan menghardikku. Aku mulai takut sikap mas Yoga sudah
mulai terang-terang menyakitiku.
“
Ya sudah bi, ga apa-apa.. saya titip Bino jaga Bino baik-baik ya bi. “
Kupandangi
sejenak rumah asri walau pun berukuran tidak terlalu besar tapi indah dan
bersih, tanamanku masih tertata dan terawat dengan baik. Aku memastikan uang
mas Yoga tidak akan cukup untuk membeli rumah seperti itu dengan uang muka yang aku perbesar agar angsurannya ringan. Rumah
itu atas nama Mas Yoga, sekarang rumah itu dikuasainya betapa liciknya mas
Yoga. Tinggal aku menyesali nasibku sendiri. Ternyata banyak berkorban tidak
membuat aku disayanginya malah didzalimi Aku meninggalkan rumahku dengan
langkah gontai menuju ke mobilku.
Aku
sudah tidak berani lagi mengunjungi rumahku. Setelah berpikir panjang akhirnya
sampailah aku pada satu keputusan, berpisah dengan mas Yoga. Aku sudah tidak
bisa masuk lagi ke rumah itu. Aku takut ditampar dan dipukul lagi. Sementara
aku mengurus surat perceraianku ke Pengadilan Agama. Aku dengar sudah ada
wanita lain masuk ke rumah yang diakui sebagai rumah mas Yoga. Aku semakin
mantap dengan keputusanku. Aku baru mengerti ternyata mas Yoga sering
marah-marah karena ada wanita lain dalam hidupnya. Aku paham sekarang ternyata
seringnya dia tidak pulang pun dia sudah mendua. Aku terpedaya.
Aku
harus kehilangan anakku karena mas Yoga sudah memberinya ibu baru aku. Walau
berhari-hari aku menangis sangat rindu pada anakku. Aku sudah tidak boleh
menginjakkan kaki lagi di rumah yang kubeli atas nama mas Yoga. Kini rumah itu
kutinggalkan tidak ada harta gono gini karena rumah itu belum lunas dan mas
yoga yang melanjutkan cicilannya. Aku yang menggugat cerai maka aku terusir
dari rumah itu dan tidak boleh membawa anakku. Demi kebahagiaan Bino aku
mengalah, suatu saat anak itu pasti mencariku. Sebenarnya hak asuh anak itu ada
padaku, tapi mas Yoga bersikeras mengambil Bino dengan alasan aku sangat sibuk
dengan pekerjaanku dan entah dengan cara apa lagi dia bisa menang mengambil
Bino. Perjanjian di pengadilan jika anak itu kangen maka ayahnya bersedia
mengantarkan untuk bertemu denganku, tapi itu tidak dilakukannya selanjutnya
Bino tidak diantar ke apartemen yang kusewa padahal aku sudah memberi
alamatnya. Sedangkan aku sudah tidak dapat memasuki rumah mas Yoga. Betapa
kejamnya mas Yoga padaku. Kini aku sendiri. Kulanjutkan menyewa apartemen yang
kubayar bulanan sampai batas waktu yang tidak aku tahu sampai kapan aku harus
hidup begini. Aku tidak mau kembali ke orang tuaku yang membuat orang tuaku
malu sama tetangga. Kasian ayah ibuku andai tahu hidupku sekarang seperti ini.
Berpikir bijak untuk tidak mengadukan masalahku pada kedua orang tuaku mungkin
suatu pilihan yang tepat.
BAGIAN V
DOA IBU
Akhirnya
orang tuaku tahu aku sudah bercerai dengan mas Yoga. Ibu berkunjung ke rumahku
karena kangen cucunya. Hanya Bi Nah yang menemui, bi Nah memberi tahu ibu kalau
aku sudah pergi dari rumah itu.
“
Maafkan Adis, bu. Adis harus mengambil keputusan ini karena Adist sudah tidak
kuat dengan semuanya” aku menangis di pangkuan ibuku. Pangkuan teduh yang dulu
selalu memberiku semangat untuk berjuang di masa-masa sekolahku. Ibu selalu
mengajari aku menerima dan menyikapi kehidupan dengan hati-hati. Ikhlas dan
berpasrah diri. Ibu mengusap-usap kepalaku. Pertanyaan ibu tentang keputusanku
bercerai dengan mas Yoga harus terjawab, aku ceritakan semua dari awal sampai
akhir kejadiannya. tidak ada yang perlu disembunyikan lagi. Tiada tangis di
mata ibu. Ibu hanya mendesar berulang-ulang, tak bisa kumaknai desah penyesalan
atau kelegaan.
“Ga
apa-apa, nak. Semoga ini menjadi
keputusan terbaik yang diberikan Allah. Keputusan yang diridhoi.” Bijak suara
ibu menguatkan hatiku.
“
Tapi, bu Ibu akan sulit bertemu dengan
cucu ibu karena hak asuh jatuh ke tangan mas Yoga”
“
Adist, Ibu memang sayang cucu, tapi Bino adalah hak Yoga karena dia bapaknya.
Ikhlaskan dulu muda-mudahan suatu saat Bino kembali padamu.” Ibu mengangkat
wajahku. Mata ibu yang jernih tanpa airmata mengisyaratkan kalua aku harus
bersikap sama.
“
Jangan terlalu dipikirkan yah. Allah akan atur semuauya, Berdoalah selalu mohon
kepada Allah apa yang jadi keinginanmu” ibu memelukku lama, ibuku memang wanita luar biasa, sebesar apa
pun persoalan yang dihadapi diterima dengan lapang dan ikhlas. Aku banyak
belajar dan berusaha meniru ibu.
“
Anak ibu kuat dan hebat” bisikan ibu terdengar di telingaku, menyejukkan hati.
Ibu berpesan tidak usah memikirkan rumah yang telah kubeli dan diambil mas Yoga
suatu saat Allah akan menggantinya dengan yang lebih baik.
“
Anak orang gak baik biarkan saja diurus bapaknya. “ kata ayahku kesal
“
Loh kok ayah bilang begitu, itu kan anak adist, yah”
“
Ya mudah-mudah kelakuannya tidak seperti
bapaknya”
“
Aamiin ya Robbal’alamin.” Suara Dinda mengaminkan doa ayah seakan membuat aku
tidak percaya. Dinda yang cuek dan masa bodoh sedang sibuk dengan laptop
didepan tiba-tiba memberikan suara. Dinda adikku yang masih kuliah di
kedokteran sangat sibuk dengan kuliahnya. Kesibukannya membuagt kami jarang
berkomunikasi.
“
Bagus lah kakak pisah dengan si Yoga itu. Udah ga usah dipikirin ” suara Dinda
menghentikan tangisku. Mata kami semua tertuju ke arah Dinda yang berbicara matanya
masih asyik ke laptop di depannya. Kata “si Yoga” ucapan Dinda kugaris bawahi.
Dinda memang begitu kalau tidak suka
dengan seseorang maka dia akan sebut namanya sesukanya si Yoga bukan mas Yoga.
“
Loh ini keinginan kamu juga yah kakak bercerai ?” aku sudah menyeka air mataku,
kemarin aku sudah banyak menangis, sekarang yang kusampaikan ke ibu hanya
sisa-sisa tangis karena air mataku terasa sudah mengering untuk menangisi
kelakuan mas Yoga.
“
Lah emang begitu cowok tukang kibul tinggalin aja”
“
Emang Dinda tau kalau mas Yoga tukang kibul?”
“
Yah tahu lah, kakak dan ibu aja yang ga
sadar ketipu sama tukang tipu.” Dinda tertawa
sinis.
“
Hush…” suara ibu menghentikan tawa Dinda, bukannya berhenti tertawa malah melanjukan ucapannya.
“
Dasar tukang tipu ngaku kerja di Perusahaan Jepang, ternyata Sopir orang Jepang…”
Dinda berbicara sambil tangannya mengaktingkan orang nyetir. Aku merasa geli
dibuatnya.
“
Oh jadi kakak bodoh ya !”
“
Bodoh sih enggak, cuma pinter, pinter dikibulin, haaa “ Tawa Dinda berubah menjadi tawa menggoda.
Seketika air mataku kering.
“
Iya deh adikku calon dokter lebih pinter..”
“
Tapi inget loh kakak juga pinter.. beda jurusan kita” kataku, Dinda memajukan bibirnya membuat aku gemas.
Kudekati Dinda dan kupeluk tubuhnya dari belakang, Dinda membalas dengan
memegang kedua lenganku. Sadar aku sekarang selama ini Dinda menjauhiku karena
tidak suka dengan suamiku.
Ya
Allah masa bersama keluargaku seperti dulu telah tiba kembali. Walau harus
kutebus dengan perceraianku. Tidak apalah pasti Allah akan berikan yang
terbaik. Lelaki seperti mas Yoga tidak pantas kujadikan imam. Bagaimana mungkin
menjadi imam yang baik sholat saja dia tidak pernah. Untuk diri sendiri saja
ibadahnya belum cukup bagaimana membagi kebaikan untuk anak dan isteri.
Ibu
benar, apa yang telah hilang jika kita ikhlaskan akan mendapat gantinya lebih.
Setelah lima bulan aku tinggal di apartemen, akhirnya aku bisa membeli rumah cluster yang baru jadi dibangun.
Sebenarnya uangku belum cukup untuk itu. Ayah menawarkan tabungannya yang
diperuntukkan kuliah Dinda, uang itu tidak terburu dipergunakan karena bayarnya
kuliah Dinda persemester. Dan saat ini Dinda belum memerlukan biaya praktikum
yang besar. Nanti menjelang tugas akhir dia akan banyak memerlukan biasa. Tabungan
itu dipinjamkan kepadaku dan aku mencicil pada ayah.
BAGIAN VI
KESAKITAN MASIH BAGIANKU
“
Bapak sudah begini sukses kenapa belum memilih pendamping?” Tanya mbak Ririn
iseng ketika kami makan bersama di kantor, makan bersama ini memang dijadwal 1
bulan sekali. Semua dari direktur dan beberapa divisi serta karyawan tidak ada
yang dibedakan. Manfaatnya untuk menjalin hubungan harmonis antara pimpinan dan
bawahan.
“
Nanti ya, Tenang saja. Saya lagi mencari-cari pendamping, wanita yang cantik,
perkepribadian baik dan setia” katanya sambil tersenyum dan sejenak melirikku.
Aku tahu dia sedang menyindirku. Tapi biarlah, apa pun anggapannya tentang aku
sudah kuterima walau sebenarnya bukan begitu. Bukan aku tak setia. Dia yang PHP
ini seperti penipu. Yah aku sebut saja dia penipu. Apa bedanya penipu dengan
tidak setia. Toh sama saja. Percakapan
hati sedang membidiknya.
“
Yah pak. Kalau cantik dan baik banyak, tapi kalau setia itu kan harus teruji.”
Timpal mbak Ririn yang membuat aku jadi serba salah. Sudah dapat sindiran mbak
Ririn malah bilang begitu. Tidak ada jawaban dari pak Bos alias mas Pram. Aku
tenag dengan harapan semoga hal ini tak dibahas. Kami melanjutan santapan. Aku
mulai tenang.
“
Iya betul, bu Ririn. maka butuh waktu
lama untuk mendapatkan wanita yang teruji kesetiaannya. Doakan saja yah.” Suara
mas Pram dengan nada seolah sedang menyindirku. Aku pura tidak mendengar dan
tidak ikut menanggapi, takut salah pastinya.
Hidupku
menjadi sangat kacau. Perilaku semena-mena terhadapku sudah membuat aku laksana
berdiri di atas satu batu runcing di
bukit curam, kuibaratkan seperti itu. Mas Pram bisa saja memecatku
sewaktu-waktu jika aku membuat kesalahan fatal. Bagaimana super hati-hatinya
aku bekerja selalu ada yang salah. Setiap aku berangkat aku seperti sedang
mendatangi tragedy yang akan menimpaku. Wajah bengis dan dendamnya
selalu muncul dan dinampakkan dengan jelas jika aku sedang berhadapan dengannya,
tapi di hadapan teman-teman dia berubah
menjadi sangat manis dan baik padaku.
Dalam
kurun waktu dua minggu setelah surat resmi perceraian dari pengadilan aku
terima, aku ditampar mas Pram dengan kalimat paling pahit.
“
Karena aku datang lagi kamu memutuskan menjanda ?” Aku tersedak dan menelan
salivaku, sangat terkejut dengan
pertanyaan itu. Dari mana dia tahu kalau aku sudah berpisah dengan suamiku. Pasti
dari mbak Ririn bagian personalia karena kalau ada karyawan yang menikah atau
bercerai harus dilaporkan ke kantor ini wajib untuk data pegawai. Surat dari
Pengadilan agama kutunjukkan pada mbak Ririn
seminggu lalu. Mungkin selama itu dia tahu aku menjanda bos berancang-ancang
untuk menghantamku.
“
Sama sekali tidak benar, pak. Saya
berpisah dengan suami saya karena perjodohan kami memang sudah selesai., itu
saja. Saya mohon bapak tidak memberikan kesimpulan buruk tentang saya.” Aku
membalikkan tubuhku. Ucapan bagai tamparan keras dan kegeeran mas Pram membuatku tubuhku sedikit limbung. Berbagai
perlakukan telah kuterima dengan sabar dan ikhlas, tapi kali ini sebuah tuduhan
negatif yang membuat aku sangat terpukul. Dia menuduh aku ingin kembali padanya
sehingga aku memutuskan berpisah dengan suamiku. Andai saja mas Pram tahu kalau
aku sudah sangat lelah dengan KDRT dan perselingkuhan suamiku, tentu kalimat menyakitkan itu tak akan terucap
dari bibir mas Pram, setidaknya aku masih berpikiran baik tentang pimpinanku. Tak
kuat dengan perlakuannya kali ini aku mencoba menahan airmataku. Tubuhku hampir
terhuyung, kutahan untuk tidak jatuh di depannya. Kupikir untuk apa dia tahu
apa yang kualami. Aku tidak pernah menceritakan apa pun masalah dalam rumah tanggaku
kepada orang lain. Karena bagaimana pun jahatnya mas Yoga padaku dia tetap ayah
dari Bino, anakku. Aku tidak mau anakku dicap sebagai anak tidak beruntung
karena diturunkan oleh laki-laki kejam seperti mas Yoga. Aku masih sangat
menghargai mas Yoga dan melindungi harga diri anakku.
“
Duduk lah.!” perintah mas Pram tanpa
merubah ekspresinya.
“
Pak. Saya mohon jangan kaitkan masalah pribadi saya dengan kedudukan bapak di
sini “ tanpa mampu kutahan airmataku mulai runtuh satu persatu.
“
Jadi tidak benar begitu ?“ katanya sambil meraih tissue di meja dan
mengulurkannya padaku. kuseka airmataku, aku merasa aneh, ternyata bisa baik
juga dia padaku. Seperti dulu ? Ah Tidak, kali ini dia demikian sombong dan
angkuh padaku. Aku mengangguk meyakinkan.
“
Saya sadar siapa saya dan saya tahu kedudukan bapak sini. Bapak pimpinan di
kantor ini tapi saya mohon bapak jangan
menghina saya dan berprasangka buruk pada saya.”
“
Ya sudah maafkan saya kalau anggapan saya salah. Sudah lupakan saja kata-kata
saya tadi.” Hanya itu kata-katanya . Tidak
ada nada penyesalan dalam kalimatnya.
“
Ketidaksetiaan kadang membuat kita terpuruk, ingat ya. ” Walau pelan bicaranya
cukup menusuk. Tidak setia. Jadi selama ini dia menganggap aku tidak setia. aku
menunduk memeras air mataku yang sudah memenuhi mata. Tissue
pemberiannya masih tidak cukup, aku mengambil tissue lagi dengan
mengucapkan kata maaf.
Mas
Pram pernah mengatakan tidak ingin melihat aku menangis sekarang dia dengan
sengaja membuatku menangis. Kenapa lelaki mengucapkan sesuatu tapi diingkarinya
sendiri. Masih duduk santai di kursi direkturnya dia membiarkan aku menangis
dan aku berusaha keras menghentikan tangis tak berguna ini untuknya. Setidaknya
aku berharap dia tidak akan melakukannya lagi. Aku selalu diajarkan ketegaran
oleh ibuku. Berbagai kedzaliman orang lain terhadap kita jika kita hadapi
dengan sabar dan ikhlas Allah akan memberikan hadiah terbaik nantinya. Pesan
yang kupatrikan dalam hidupku. Aku tidak tahu maksud mas Pram apa ini
penghinaan, kedzaliman atau ke suudzonan. Aku berusaha untuk ikhlas. Semoga aku
semakin kuat dengan ujian ini.
“ Maaf pak, saya kembali ke tempat saya” dia
mengangguk dengan sedikit ekspresi penyesalan. Yah hanya sedikit saja sudah aku
maafkan.
Aku
masuk ke toilet pribadi di sebelah ruang kerjaku. Kutajamkan pandanganku ke di
depan cermin wastafel, mataku sembab dan aku melanjutkan tangisku di
situ. Sudah sepedih ini hidupku masih ditambah dengan kedzaliman dari mas Pram.
Ternyata dia sama saja dengan mas Yoga yang awalnya pura pura sebagai lelaki
baik dan ternyata sama bengisnya. Apakah aku harus menyesal kalau dalam hidupku
kutemui dua lelaki yang pernah singgah di hatiku ternyata sama buruknya perlakuannya
padaku. Tidak tahu perasaan dan seenaknya sendiri. Kalau mas Yoga menyakitiku
dengan tangannya, mas Pram dengan kata-kata pedas dan segudang penghinaan
padaku. Mas Pram salah, aku tidak
meninggalkan mas Pram, aku bukan tak setia tapi mas Pram yang menciptakan
hidupku seperti, harus meninggalkannya menikah dengan mas Yoga. Kalau dia merasa
terkhianati itu salah besar. “ Aku tidak mengkhianatimu, mas Pram. Kamu salah.
Kamu biarkan aku menanti di padang asa ku. Tiga tahun kamu biarkan aku
sendiri.. “ aku berbicara sendiri. Entah berapa lama aku merintih. Baru
tersadar kalau aku sedang di tempat kerja. Bergegas aku bangkit kurapikan outer
warna navy dan jilbab biru muda. Kembali merapikan riasan wajahku. Aku
harus kuat menghadapi semua yang kuterima demi kehidupan yang lebih baik.
Bekerja ya, bekerja hasilnya Allah yang berikan. Ya Allah beri aku kekuatan
lebih lagi, aku mohon kepadaMu. Doaku. Aku berpikir sehat, semua tidak akan
bisa dijelaskan, tidak perlu penjelasan karena masalah sudah sangat basi untuk
dibahas lagi. Berbicara dengan manusia temperamen dan hidupnya penuh dendam
hanya akan membuka luka-luka yang semakin menganga.
PAK ARMAN
Acara
makan siang dengan pak Arman terulang kembali. Acara
makan siang merupakan lobi-lobi para direktur untuk bekerjasama memajukan
perusahaannya. Seperti biasa pak bos meminta aku menghubungi pak Arman. Pak
Arman siap menghadiri undangan pak bos.
Sebelum masuk ke restoran bos
Pram sempat berbisik padaku :
“ Sekali pun sudah janda ga usah TP TP (tebar
pesona) ke kolega saya” sindiran yang sangat menyakitkan. Walaupun begitu aku
tetap diam.
Mas Pram benar. Aku memang
harus sangat tahu diri dengan posisiku sebagai seorang janda beranak satu. Sebenarnya
aku merasa penampilanku biasa saja, tidak mengisyaratkan aku wanita penggoda
dan tukang TP TP, tidak masuk akal kalau
aku dianggap sebagai wanita suka tebar pesona dan menggoda. Sekretaris selayaknya
memang tampil modis. Wajar lah aku mengasosiasikan diri dengan penampilan modis. Bukan
tampil fashionable salah satu kewajibanku tapi berhijab juga
kewajibanku untuk mentaati aturan aqidah. Apa pun ucapan mas Pram, aku sudah
sangat kebal. Apa saja yang diucapkan atau disindirkan aku akan selalu diam,
yang penting aku tetap bekerja dengan baik demi mengumpulkan pundi-pundi untuk
segera melunasi angsuran rumahku pada ayah.
Lagi-lagi pak Arman
memperhatikanku, bertanya kabar dan sebagainya di depan mas Pram. Bahkan aku
tidak makan ikan saja jadi pertanyaan.
“ Bu Adis, tidak suka ikan
?” tanya pak Arman
“ Lo perhatian banget sih man,
sama Adisty.” Mas Pram yang menjawab
sebelum aku menjawabnya.
“ Loh kenapa, melanggar
aturan yah..? sorry Bro “
“ Kagak sih, gue napah
ditanya kenapa gue suka ikan. Gue teman loh”
“ wah bosnya jealous
nih, bu Adist..” pak Arman tertawa.
“ Gak lah, mosok gue jealous…”
mas Pram menimpali.
“ Lo jealous,
ntar loh ga respect lagi sama gue..”
Pak Arman masih tertawa.
“ Emang kita guy, apa?” kata mas Pram, pak Arman mengeraskan lagi tawanya. Aku hanya
tersenyum-senyum.
“ Wah gue jadi curiga sama
loh berdua..” bapak yang tubuhnya gendut menimpali, yang satunya hanya
senyum-senyum saja.
“ Loh berdua sohib sejak
kuliah jangan-jangan…” pak gendut masih bicara dipotong mas Pram.
“ Ape… emang gue gila
apa.. tuh Arman yang suka gila..bini…ah udah ah. Lanjut makan tuh ikannya masih
banyak.. “ mas Pram terkekeh.
“ Eh lo jangan buka kartu
dong, Pram..”
“ Emang loh punya kartu
mati..” kata mas Pram.
“ Lo tahu kartu gue mati
pasti loh yang matiin..” pak Arman tidak mau kalah. Gurauan itu memang seru
walau sama sekali aku tak paham arahnya, aku tetap membisu dari pada nanti
dibilang aku TP TP, kan tadi mas Pram sudah wanti-wanti gak boleh TP TP.
Setelah acara makan
selesai aku menjauh pura-pura mau ke kamar kecil, padahal aku sedang tidak ingin
ke sana, kubiarkan mereka melanjutkan percakapan mungkin ada lobi-lobi yang
penting. Aku langsung ke mushola sholat dzuhur. Keluar dari mushola berpapasan
dengan pak Arman yang juga mau sholat dzuhur. Oh ternyata bapak ini soleh juga.
Kami hanya saling melempar senyum.
Balik ke kantor pak bos
masuk sebentar keruangannya dan keluar lagi memberiku setumpuk pekerjaan.
“Malam ini lembur, banyak
pekerjaan sehingga kamu tidak bisa pulang sore” ucap pak Bos. Tumben kali ini
nadanya biasa saja tidak jutek seperti biasanya. Kupikir aku bakal kena damprat
karena tadi di resto mendapat perhatian pak Arman, kali ini dugaanku salah.
“ Baik pak” jawabku
singkat
“ kamu ga capek?” Tanyanya.
Pertanyaan yang membuat aku merasa sedikit aman
“ Tidak pak, saya siap
melayani bapak kapan saja”
“ Haaah ?” Si bos ter
belalak. Oh aku salah bicara.
“ Oh maaf, maksud saya, saya
siap bekerja kapan saja. Insya Allah” aku segera membetulkan kalimatku. Yang pasti
aku belum siap untuk bercanda sekalipun kalimatku siap melayani diasumsikan berbeda.
Daftar pekerjaan telah
diberikan padaku. Sampai jam 10 malam belum juga beres. Bos mendatangiku.
“Kalau belum selesai
lanjutkan besok saja yang penting pekerjaan yang tadi saya tulis di bagian atas
itu jadi priotitas, besok siang segera dilampirkan untuk pengiriman barang oleh
eksportir. “
“ Baik pak..Yang
tertanggal untuk besok pagi sudah selesai. “
“ Ya sudah kamu boleh
pulang”
“ Baik pak, terima kasih”
“ Hanya itu bahasa yang
kukenal dari kamu sejak saya bekerja di sini. Baik pak, siap, pak, terima kasih
pak...” dia menirukan bahasaku sehari-hari.
“ Apa gak ada kata- kata yang lain gitu.. “
“ Maksud bapak !” Tanyaku tak
mengerti.
“ Ada kek apa
pertanyaan atau cerita saja tentang apa gitu yang membuat saya ga bete dengan
bahasa kamu..”
“ Saya takut salah.. bapak
kan.. “ aku tidak berani melanjutkan kata-kataku, padahal aku ingin mengatakan
bapak kan membenci saya.. tapi tercekat di kerongkongan..
“ Apa ..?”
“ Ah tidak pak.. supaya
kita baik-baik saja” baru ini aku berani berbicara dengan kata kita.. semoga
aku ga salah lagi.. bos tidak menanggapi dan berlalu dari hadapanku begitu
saja. Aku segera mengemasi barang-barangku. Sudah hampir setengah sebelas malam.
Di parkiran aku bertemu lagi dengan bos.
“Kamu berani pulang
sendiri?”
“ Insya Allah berani pak”
“ Apa gak sebaiknya mobil
kamu ditinggal di sini saja kamu pulang bersama saya” tawaran yang tidak pernah
kuduga, berarti dia akan mengantarku pulang ke rumah. Ah tidak.. sebaiknya aku
tolak saja.
“ Tidak usah pak, terima kasih” Aku langsung
masuk ke mobil dan menyalakan mobilku dan segera meninggalkan halaman kantor, kulihat
dari kaca spion bos masih mengawasiku, sedikit lega hatiku. Mungkin hari ini
bos sudah minum vitamin kebaikan sehingga dia tidak lagi jutek padaku. Semoga
vitamin itu diminumnya tiap hari biar dendam dan jutenya sembuh total, harapku.
Sambil nyetir aku tersenyum sendiri.
Semangat pagi, dengan hati
berbunga aku berangkat kerja. Lembur tadi malam sama sekali tidak melelahkan.
Kalau segala pekerjaan dikerjakan dengan senang hati maka badan tidak akan
mudah lelah. Sampai kantor bos sudah menyambut di pintu ruanganku. Ah aku
selalu keduluan bos setiap sampai di kantor.
“ Hari ini saya ada perlu.
Kamu bisa bantu saya mengantar surat lampiran ekspor ke kantor pak Arman?”
“ Saya pak?” Aku bertanya
seperti tidak percaya.
“ Iya nanti di antar pak Kardi” pak Kardi
adalah sopir bos.
“ Saya sedang menunggu
orang di sini,”
“ Baik pak”
“ Masih dengan bahasa itu
lagi”
“ Ya pak”
“ Kamu tidak bercerita apa
kek, tadi malam sampai rumah jam berapa dan bagaimana gitu. Yang ramah kenapa
jadi orang biar ga kaku kayak gitu. Luwes gitu”
“ Oh semalam saya sampai
rumah baik-baik saja. Bersih bersih badan terus tidur. Hanya itu saja, tidak
ada yang istimewa” jawabku. Bos tertawa kecil. Tentu saja aku senang. Dan aku
tersenyum seperti yang tadi malam kulakukan demi menikmati perhatiannya pagi
ini.
“ Ya sudah kalau sudah
siap nanti langsung berangkat”
“ Baik, pak”
“ Hmm.. “ gumannya
mendengar bahasa rutinku. Aku tahu dia meledek, aku kan takut salah lagi. Super
hati-hati demi pundi-pundi yang sedang kukumpulkan. Oh sejak hidup sendiri aku
jadi mengerti artinya uang.
Diantar pak Kardi sampai juga aku ke kantor
pak Arman. Hatiku agak berbunga aku akan menjumpai pria manis pemilik senyum
manis. Semoga dia tetap bersikap sama seperti biasanya kalo sedang bertemu
dengan pak bos Pram. Aku tidak perlu memikirkan sindiran mas Pram agar tidak
tebar pesona. Salah sendiri mas Pram menyuruh aku menemui pak Arman kan aku
jadi bisa TP-TP lagi.
Dengan yakin aku memasuki
lift dan menyentuh lantai 7 tempat pak Arman berkantor. Kali ini aku percaya
diri penampilanku sempurna dengan setelan blazer hijau lumut dan hijab motif
bunga berdasar hijau lemon Handbag
warna hitam dan sepatu heels hitam dari brand ternama tampak menyakinkan
diri. Sejak berpisah dengan mas Yoga dan hidup sendiri aku lebih bisa memanjakan
diri dengan penampilanku, setidaknya uang pendapatanku utuh dan bisa kupakai
apa saja selain untuk mencicil hutangku pada ayah. Ada hikmahnya juga menjanda guman
hatiku. Aku bebas dari bentakan suara mas Yoga dan bebas dari ketakutan
dipukuli mas Yoga. Sekarang aku hidup bebas dari rasa takut. Alhamdulillah. Dan
yang membuat hatiku agak berbunga mas Pram sudah tidak kasar lagi dua hari
ini..
Ooh aku sudah sampai lantai
tujuh di dekat lift ada meja security aku bertanya pada bapak penjaga
dimana ruangan pak Arman. Pak Arman sudah menunggu, kuucapkan salam. Dengan
senyum manis pak Arman membalas salamku. Sejuk benar hati ini. Andai bos ku
senyumnya menyejukkan seperti pak Arman. Ah aku berandai-andai.
“ Silahkan duduk bu Disty.”
Katanya. Loh ko dia memanggilku dengan sebutan itu seperti dulu mas Pram
memanggilku. Tapi sekarang mas Pram kan ga pernah nyebut namaku lagi.
“ Ya pak, terima kasih. “ Aku menyampaikan sebendel surat
dari mas Bos. Pak Arman membukanya dan memeriksa satu persatu. Mataku berkeliling
mengamati ruangan sejuk dan tertata rapi. Ruangan ini lebih indah dari ruangan
mas Pram. Wow di sudut sana dekat sofa tamu ada aquarium besar berisi ikan
warna warni. Aku terkagum. Ruangan dengan penataan klasik modern ini
benar-benar luar biasa, indah dan sejuk. Aku jadi mengerti rupanya pak Arman
ini suka dengan yang indah-indah.
“ Sudah lengkap ya, bu”
pak Arman menghentikan mataku menikmati ruangannya.
“ Tidak ada yang kurang ya
pak?”
“ Iya sudah lengkap semua
dan siap diproses”
“ Kenapa bu? Kurang indah
ya ruangan saya..” oh rupanya Pak Arman tahu mataku mengamati ruangannya
“ Oh tidak pak, sangat
indah, bersih dan sejuk. Menginspirasi saya untuk menata ruang pak bos Pram. “
pak Arman tersenyum mendengar pujianku. Pak arman mengangkat gagang telepon di mejanya
memanggil sekretarisnya. Tidak lama seorang perempuan masuk, wanita sekretaris
pak Arman itu juga manis dan ramah mengangguk padaku. Oh direktur dan
sekretarisnya sama sama manis.
“Ini dilanjutkan yah.”
Perintah pak Arman.
“ Ya pak. Apa harus
selesai hari ini karena ekspor dari PT cendikia sekarang harus selesai juga
pak?” Tanya sekretaris manis itu.
“Ya kalau bisa terkejar ok
lah karena ini barangnya sudah ready dan siap dikrim” “ saya usahakan ya pak”
“ Iya, jangan sampai ada
kesalahan ya, kerjanya yang teliti” lembut suara pak Arman menasehati. Tidak
demikian dengan mas Pram yang super jutek. Boro-boro aku dinasehati, yang
sering terjadi kalau salah aku dibentak bentak. Wanita manis itu berlalu sambil
melemparkan senyum manis padaku. Pandangan pak Arman kembali padaku. Senyum
manis lagi dan melirik arlojinya. Aku mengikuti geraknya melirik arlojiku
menunjukkan pukul 11. 56. Oh macet jalanan tadi sudah sangat memakan waktu.
“ Sudah hampir istirahat
makan siang, yuk kita makan siang “ aku terkejut, pak Arman mengajakku makan
siang? Ga salah ini. Bukankah dia akan makan siang dengan sekretaris
pribadinya.
“ Makan siang dengan saya
pak!”
“ Iya. Saya harus menjamu
tamu dengan baik ini sudah saat makan siang. “
“ Tapi pak..”
“ Ga apa-apa. Mari “ ajaknya.
“ Saya tidak enak nanti
pak Pram ..”
“ Gampang nanti saya yang
bilang sama Pram kalo siang ini bu Adist makan siang dengan saya.” Pak Arman
bangkit dari duduk dan berjalan aku mengikutinya.
“ sebenarnya saya takut
pak Pram marah pada saya.”
“ Mosok sekretarisnya
dijamu makan siang marah. Ga mungkin lah” bahasa pak Arman meyakinkan. Ahaa…
aku sedang sikap pak Arman tidak seperti sikap mas Pram kepadaku.
Sopir pak Arman sudah
menanti di lobi, rupanya sopir itu rutin setiap jam makan siang selalu siap
mengantar bosnya kemana mau makan.
“ Mobil bu Adist biar
nunggu saja nanti kita kembali lagi ke sini” aku masih terpana dan
menurut saja.. ya Allah mimpi apa aku diajak makan siang sama pak Arman. Tapi
aku senang sekali.
“ Mau makan apa” Tanya pak
Arman setelah kami duduk dalam mobilnya.
“ Apa saja pak, saya OK”
“ Sukanya apa?”
“ Saya apa saja suka, asal bapak juga suka.”
Jawabku sekenanya. Pak Arman tergelak..
“ Pram…Pram beruntungnya kamu punya sekretaris nurut
begini” pak Arman seperti sedang berbicara sendiri. Kata-katanya itu benar,
tapi mas Pram tidak pernah merasa beruntung, aku dalam teror dendamnya sehingga
mas Pram tidak mensyukuri keberuntungannya memiliki pegawai sepertiku. Ah aku
merasa tersanjung dan menyanjung diriku.
Pak Arman menyuruh
sopirnya berhenti di RM Padang yang terkenal kelezatannya. Dulu sama bos lamaku
pak Harta aku pernah diajak makan di RM ini.
“ Kita makan masakan
Padang saja ya, biar cepat dan bu Adist ga gelisah takut ditunggu Pram.”
Rupanya pak Arman dapat membaca keresahanku.
“ Baik pak, terima kasih”
Acara makan sangat
singkat, kami kembali lagi ke kantor pak Arman dan aku segera balik ke kantorku lagi. Kupikir
aku bakal kena damprat karena makan siang dengan pak Arman, rupanya pak bos gak
tahu aku telah makan siang bersama pak Arman. Aman lah kalau begitu.
BAGIAN VIII
DINAS KE SURABAYA
“Ada tugas ke Surabaya, kamu bisa menggantikan
saya?” kata pak bos.
“ Saya sendiri, pak ?”
“ Ya iya lah masa sama saya, kalau sama saya mending saya sendiri yang
berangkat.” Jawabnya ketus.
“ Baik,
pak. Maaf. Nginep ya pak?” aku bertanya dengan
nada polos.
“ Simposium dua hari mana bisa pulang hari
pasti nginep lah” lagi-lagi jawabnya jutek. Obat baiknya mungkin lupa diminum.
“ Ya pak siap.. tapi pak..” aku masih ingin
mengatakan sesuatu sudah dipotong kalimatku..
“ Tapi kenapa ?”
“ Bapak
jangan jutek sama saya, saya capek pak dijutekin bapak” kataku memberanikan
diri. Sudah lama ini ingin kusampaikan tapi aku tidak pernah berani.
“ Memangnya saya jutek sama kamu ? Perasaan
saya biasa saja”
“ Perasaan saya beda pak. Bapak galak dan
jutek sama saya.” Dia tertawa kecil mulai berani aku tertawa. Bahasaku ini seperti orang asing yang sedang mengingatkan.
“ Disty.. disty.. kamu itu hidup terlalu peka.
Dan perasaanmu itu loh.. “ dari jauh dia menunjuk ke dada ku. Oh baru ini dia
memanggil namaku lagi dengan panggilan itu. Kaget juga sih. Tapi biasa aja..
“Terlalu sensi..” hah aku sensi, perasaan aku
terlalu kuat menghadapi juteknya. Bukan sensi kali.. Gerutu hatiku.
“ Sudah sana segera buat tugas dan pesan tiket
sekalian besok pagi kamu berangkat pilih pesawat paling pagi ceck in besok
siang jam satu. Ini undangannya” Perintah pak bos sambil mengulur surat undangan
simposium. Aku menerimanya. Sebenarnya masih mau bertanya lagi. Kuurungkan
takut nanti malah dibilang aku bego setelah tadi dia bilang aku sensi. Jangan sampai dia bilang aku
bego, bodoh. Aku segera berlalu, meninggalkanya yang masih tersenyum entah apa
makna senyumannya.
Esok harinya jam delapan pagi aku sudah sampai
Surabaya, segera memesan taksi menuju hotel tempat symposium. Aku lega , dua
hari ini aku gak akan ketemu bos jutekku. Refreshing juga lah.
Sampai hotel hari masih pagi, pendaftaran
symposium belum dibuka, bahkan panitianya pun belum ada. Aku menitipkan koporku
pada resepsionis. Aku ingin jalan-jalan dulu menikmati bunga TABUBEYA yang
bermekaran di jalan Tunjungan. Pagi yang menyejukkan dan menyenangkan. Sudah
lama aku tidak menikmati perasaan senang seperti ini. Lama hidupku terkungkung
oleh kehidupan pernikahan yang membuat otakku merasa selalu rumit, serba stag
dan kehilangan harga diri. Betapa bodohnya aku tidak bisa menikmati keindahan
hidup. Jangankan mengajak jalan-jalan menikmati indahnya kota lain di
Indonesia, untuk sekedar mengajak
jalan-jalan keluar rumah makan bakso di pinggir jalan saja tidak pernah
dilakukan oleh mas Yoga. Aku seperti babu yang terperas tenaga dan
pendapatannya. Belanja bersama saja aku trauma kena bentakannya. Ya
Sudah lah, aku sudah mengakhiri semuanya. Kini saatnya aku menikmati hidup
walau masih tertekan dengan perlakuan mas Pram yang luar biasa juteknya.
Simposium Akutansi Keuangan dan Pasar Modal untuk Perusahaan
kuikuti dengan dengan baik. Padahal seharusnya materi ini untuk direktur
perusahaan, gak apa lah buat nambah-nambah ilmu. Aku tidak paham benar materinya,
tetapi kuikuti dengan seksama. Semua materi kukumpulkan untuk laporan ke mas
Bos. Hari pertama simposium sampai jam delapan malam. Aku masih belum ingin masuk
ke kamar. Aku malah masuk ke cafe hotel. Ingin menikmati kopi susu hangat.
Kupesan kopi susu hangat dan Cheese Sandwich kesukaanku.
Aku
sedang memainkan ponsel sambil menunggu pesananku tiba, ada suara yang
mengejutkanku.
“ Boleh duduk di sini ? “ aku mengangkat wajahku
melihat ke asal suara itu. Seorang pria berkemeja biru sudah berdiri di
depanku.
“ Pak Arman..” ucapku reflek. Pak Arman
mengangguk dan biasa.. melontarkan senyum manisnya.
“ Silahkan pak..” pak Arman menarik kursi dan
duduk berseberangan denganku.
“ Pram ga datang ke simposium ?”
“ Tidak pak, saya diminta mewakili”
“ Oh gitu.. bu Adis sendiri ?” Aku mengangguk
“ Bapak mau minum apa.. ?”
“ Nanti saja kalo pesanan bu Adis sudah
datang.. tapi.. sama saja lah dengan bu Adis”
“ Ya pak” aku memanggil pelayan memesan
minuman dan makanan yang sama. Luar biasa ini bos gak ada jaimnya. Mau saja
pesan makanan sama dengan aku yang notabene karyawan temannya. Ada manusia
sukses sebaik ini.
“ Bu Adis balik ke Jakarta kapan ? “
“ Belum tahu, pak. Saya belum pesan tiket..”
“ Gak ingin jalan-ialan dulu menikmati kota Surabaya
?”
“ Lusa kan saya harus masuk kerja? Pak”
“ Besok kan hari Kamis, paling lambat besok acara
selesai jam 4 sore. Mau langsung pulang
malamnya?”
“ Kemungkinan iya, pak. Takut pak bos minta
laporannya hari jum’at”
“ Ijin sajalah sehari, kan lelah. Balik Jum’at sore jalan-jalan dulu
di Surabaya.“ Saran pak Arman.
“ Saya
takut pak bos marah.. “
“ Ga usah takut lah ijin sehari saja.”
“Saya coba nanti ijin pak bos boleh atau tidak
”
“ Jangan-jangan Pram ini bikin karyawan underpressure”
“ Oh tidak, pak” aku berusaha membela mas Pram
bagaimana pun kan mas Pram bos ku, harus kuhormati dan kubela.
“ Pak Pram orangnya baik, saya malah suka ga
enak kalau mau meninggalkan pekerjaan” mudah-mudahan gak kelihatan kalau aku
sedang berkata dusta. Kan memang mas Pram jutek banget sama aku. Pak Arman
tidak menyangkal hanya tersenyum manis.
“ Nanti kabari saya yah. Biar kita beli tiket
sama.” Hah.. pak Arman minta pulang bersamaku. Aku jadi tambah kagum dengan
pria ini.
Kopi susu hangat dan cheese sandwich
ternikmati bersama pak Arman. Rupanya pak Arman juga suka Sandwich. Entah bagaimana perasaanku aku hanya merasa
seperti sedang menikmati Bos yang baik hati.
Bagaimana baiknya pak Arman aku tetap harus
tahu diri, aku takut pak Arman mengetes aku mau bolos kerja atau tidak. Sebelum
tidur aku sms pak Arman kalau aku tetap akan kembali ke Jakarta besok malam
dengan pesawat jam 20.00. Aku belum pesan tiket, kupikir besok pagi masih bisa, hari kerja
tidak terlalu sulit pesan tiket. Aku baru menyampaikan 15 menit lalu, pak Arman
sudah mengirimkan kode booking tiket pesawat ke Jakarta
“ Masya Allah, bapak sudah membelikan tiket untuk
saya, saya baru berencana membeli tiket besok pagi.. “ belum selesai menulis pak Arman menelpon
aku.
“ Bu Adist. Belum tidur ya.. maaf mengganggu”
suara pak Arman di seberang sana.
“ Ya
pak, belum “
“ Saya sudah belikan tiketnya besok kita pulang ke jakarta sama- sama yah.. “
“ Tapi pak..”
“ Sudah ga apa-apa. Besok ke bandaranya sama-sama,
bu Adist bisa tunggu saya sebentar
selesai simposium saya mau ke rumah adik saya dulu, ga lama ko rumahnya dekat
.. ok ya”
“ Pak...uang
tiketnya saya transfer ya. ”
“ Oh gak usah, bu Adis seperti sama siapa..
Sudah ya, selamat malam selamat beristirahat” ditutup teleponnya. Waduh, gimana
ini mau transfer mau tanya no rek telepon sudah ditutup. Ya Allah demikian
baiknya pak Arman padaku. Wah kalau pak
Arman ga punya sekretaris, aku mau jadi
sekretarinya. Tapi pak Arman kan punya sekretaris yang manis dan bersenyum
manis seperti pak Arman.
Malam itu aku jadi pulang bersama pak Arman.
Kami menunggu pesawat bersama dan duduk berdampingan. Pak Arman ternyata mau
duduk bersebelahan denganku. Mas Pram aja bosku sendiri gak mau makan
berdekatan sama aku. Jadi inget watu makan pertama kali di resto Sunda aku
disuruh duduk menjauh. Pak Arman yang
baik isterinya pasti cantik dan baik
juga, nyatanya dia bisa hidup sesantai dan sebesan ini. Tapi aku tidak berani
membuka kata untuk bertanya tentang rumah tangganya. Mana mungkin aku selancang
itu. Aku pun merasa aman karena pak Arman tidak bertanya keluarga dan kehidupan
pribadiku. Malu lah kalau sampai aku harus bilang bahwa aku ini janda beranak
satu, anakku dibawa mantan suamiku. Alhamdulillah aman.
Pak Arman hanya bercerita kalau dia 2
bersaudara, adiknya satu perempuan dan tinggal di Surabaya yang tadi sore
dikunjunginya. Adiknya sudah berkeluarga dan memiliki 2 putera. Adiknya menikah
dengan orang Surabaya dan tinggal di Dukuh Kupang. Pak Arman hanya menanyakan
apa hobbiku dan sudah beli oleh-oleh khas Surabaya atau belum. Aku tadi sudah
membeli makanan hits Surabaya Almond Chrispy dan Lapis Surabaya yang
kubeli pakai gosend.
Paginya ketika masuk kerja ternyata bos ga
masuk. Sudah 2 hari gak masuk kerja sakit katanya. Aku bukannya senang bos ga
masuk karena sakit, tapi aku merasa aman karena merasa aman dari hal yang
kutakutkan kalau pak Bos bertanya bertemu dengan pak Arman atau tidak. Nanti
dia mengira aku TP TP lagi. Semua diktat dan segala hasil simposium kuletakkan
di mejanya sedangkan materi soft copy dari flasdish sudah kukirim
via email tapi karena sakit sepertinya bos belum membuka emailku
BAGIAN IX
BAHAGIA BERSAMA DINDA
Pundi-pundi semakin menggunung di tabunganku,
setidaknya aku bilang begitu walau pun menurut orang lain tak seberapa. Uang
lembur, bonus, uang dinas luar semua kumasukkan ke rekeningku. Sejak kapan aku
jadi penikmat uang ? tentu saja sejak aku hidup sendiri tanpa suami. Suami dulu
sering menguras tabunganku. Tanggal muda dia memberiku uang, dua minggu
kemudian dia minta uang bensin dan uang makan. Mas Yoga memang sangat pandai
memanfaatkan aku. Aku tersenyum bangga mengecek isi tabunganku. Sebentar lagi
hutangku sama ayah akan kulunasi. Baru aku menikmati hidupku tanpa hutang. Dan aku
bisa mengganti mobilku dengan mobil keluaran terbaru, begitu khayalku. Aku merasa lega. Enak juga tidak dimanfaatkan
suami. Sedihnya aku hilang kontak dengan Bino, itu yang membuat aku kadang menangis sendiri kalau
ingat Bino. Anak itu usianya hampir lima tahun tentu sebentar lagi dia sekolah.
Aku pernah menelepon Bino lewat hp bi Nah. Naas bagi bi Nah. Bino mengadu pada ayahnya, bi Nah kena marah bahkan diancam akan dipecat
kalau berani lagi menghubungkan aku dengan Bino. Sejak itu aku tidak mau
mengganggunya lagi.
Makan sendiri, masak sendiri sudah menjadi
kebiasaanku. Mau apalagi kalau hari Sabtu dan Minggu sudah menjadi kebiasaanku.
Sarapan sudah selesai, aku duduk di sofa sambil memainkan ponselku. Hari masih
pagi tiba tiba ada mobil berhenti di depan rumah, aku hapal betul itu mobil Dinda
adikku. Dinda mengunjungi rumahku sudah beberapa kali.. Kangenku sama Bino biar
tersapu oleh kedatangan Dina. Dengan riang Dinda masuk ke rumahku.
“ Assalamualaikum”
“ Waalaikumsalam “ balasku. Selama tinggal dengan mas
Yoga belum pernah sekali pun Dinda datang ke rumahku. Seakan ada jarak yang
membatasi kami. Sekarang Dina sudah mau main ke rumahku menengok kakaknya.
“Wow rumahnya bersih dan indah” puji Dinda
“ Iya dong rumah siapa dulu” jawabku bangga.
Dengan santai dia duduk di sofa meraih toples snack
biskuit coklat, dengan santai toples dipeluknya dan mulai sibuk mengunyah, sejak
kecil aku dan Dinda memang jadi penggemar coklat.
“ Hai gak cuci tangan dulu. Calon dokter ko jorok”
sapaku
“ Gak, tanganku bersih, yakin sehat” Dinda terus
mengunyah.
“ Ke mall yuk kak”
“ Ngapain ke mall”
“ Yah belanja-belanja lah emangnya kakak ga ingin
belanja2 buat ibu. Kan kakak lama ga belanjain ibu” Iya ya kenapa aku tidak punya pikiran seperti itu ?
Dinda saja belum kerja punya ide untuk belanjain ibu. Lama sekali aku sibuk
dengan kebutuhan sendiri sampai lupa memperhatikan orang tua. Saat masih bersama
mas Yoga aku sibuk dengan keperluan rumah tangga sampai tidak memperhatikan
kebutuhan orang tua. Orang tua ku yang telah membiaya sekolahku kuabaikan.
Bahkan aku malah merepotkan ayah untuk membeli rumah ini. Dinda laksana
malaikat pengingat saatnya aku memberi pada orang tua. Kapan lagi sekarang aku
telah memiliki uang cukup banyak.
“ Yuk.. tapi kamu yang nyetir yah. Kakak masih
capek..”
“ Boleh-boleh.. tapi dengan syarat”
“ Apa syaratnya?”
“ Beliin baju yah..”
“ Oh dasar maunya”
Kedekati Dinda kusentil hidungnya dengan ujung
jariku, Dinda nyengir. Aku beranjak ke kamar untuk ganti baju.
Hari masih pagi Mall baru buka jam sepuluh.
Dinda ngajar puter-puter sambil menikmati pemandangan kota. Saat seperti ini
yang pernah kurindukan kembali lagi. Dinda ngajak ngobrol dan bercerita macam-
macam membuat hatiku senang. Tentang ayah yang suka mainan ponsel dan ibu yang
sepo dan cemburu. Aku tergelak mendengar cerita Dinda.
“ Kamu udah punya pacar belum?” Aku membuka
pertanyaan Dinda sudah kuliah dan wajahnya cantik tak jauh beda denganku. Suatu
saat dia akan jadi dokter yang cantik. Aku membayangkan dengan hati senang
“ Pacar sih belum kak, cuma ada yang lagi deket..
PDKT gitu deh. “
“Teman kuliah”
“ Iya lah teman kuliah kan jelas asal usulnya anak
kuliahan, biar ga kena tipu..” kucubit pahanya dia memang sedang menyindir aku
dan aku ngrasa begitu’
“Aduuh “ Dinda mengaduh dan memoncongkan mulutnya
lucu.
“Kamu nyindir kakak ya”
“ Yah ga usah disindir jg udah ngrasa kena
tipu..hahaa” kucubit sekali lagi pahanya..
“ Kamu nih sama kakaknya begitu”
“ Yah biar melek kalau cari jodoh lagi.. “ Dinda
mengeraskan tawanya. Kubungkam mulutnya.. sehingga mobil yang disetiri agak oleng
” Eeh kak” aku menghentikan kegiatanku membungkam mulutnya
dengan tangan, takut terjadi apa apa
dengan mobil kami. Dinda ini walaupun suka ceplos ceplos dan ngocol banyak
benernya. Nyatanya aku digiring untuk membelanjakan ibu. Dan konyolnya dia
sering mengatakan aku tertipu tapi benar memang aku tertipu oleh mas Yoga.
“Btw itu cowok yang PDKT anak kedokteran juga?”
“ Iya lah kan bagus dokter sama dokter dari pada
sopir sama sekretaris.. “ Dinda mulai menyungkurkan aku lagi kali ini kujawab
dengan canda
“ Yah kan sekretarisnya disopiri” aku tak mau kalah.
“ Tapi sopirnya dinikahi.. ih ga pas banget dech....
“ Dinda terbahak lagi. Lagi- lagi suara Dinda telak membuat hatiku terkulai dan
ga sanggup membalas lagi. Dinda memang sangat cerdas. Pantas lah kalau dia
ingin jadi dokter. Aku tak mau bertanya atau menasehati Dinda masalah pacar.
Mana mungkin aku menasehati Dinda untuk memilih laki-laki yang baik aku saja
tidak pinter memilih, makanya terjerumus memilih lelaki yang gak baik.
Sampai di dalam Mall yang baru buka Dinda bilang :
“ Belanja di super market buat ibu nanti saja ya
kak.. beli baju dulu kan tadi kakak janji. ” Dinda langsung menarikku memasuki Departemen
Store yang memapang baju-baju anak muda. Sibuk dia memlih. aku mengikutinya
saja.
“Ngomong-ngomong budget nya berapa nih ?” Dinda berbisik sambil memegang kemeja yang
diinginkanya
“ Berapa aja kamu mau”
“Hah serius, kak?”
“ Iya serius. Kamu mau apa aja ambil.. “
“ Beneran kak? Uhuuy.. “ Cup... satu kecupan mendarat
di pipiku.. kecupan Dinda.. ya Tuhan Aku sebahagia ini merasa disayang sama
Dinda.. apa pun maunya pasti kuturuti.. Dinda sibuk memilih baju dia mengambil
3 kemeja sekaligus, apa warna grey, pink dan navy.tanpa dicobanya langsung
dimasukkan keranjang belanja..
“ Ini ya kak! “ aku mengacungkan ibu jariku tanda
setuju di masukkannya baju-baju itu ke tas belanja.
“OK” Dinda
tertawa riang.
Selesai dari bagian kemeja Dinda bergegas ke tempat celana jeans anak muda.
“Tambah ini ya kak.” Dinda mengulurkan jeans warna
grey, aku mengacungkan ibu jari tanda setuju. Dinda langsung meraih 2
celana Jeans warna navy dan grey yang dari awal sudah dipegangnya, berlari
dibawa ke kamar pas untuk dicoba. Keluar dari kamar pas Dinda menunjukkan
padaku
“ Dua-duanya ya kak” aku menyungging senyum tanda
setuju..
“ Surga belanja ..” katanya seraya tertawa renyah. Dinda
tampak sangat bahagia. Kemudian memelukku manja.
“Makasih kak” kedua tanganku diciumnya.
“ Iya adik sayang “ Dinda mengajakku jalan ke kasir
“ sebenarnya masih ada yang dimauin “
“ Apa ? ambil
saja..”
“ Uangnya memang ada?”
“ Ada lah,,,”
“ Oh iya gaji sekretaris direksi sekarang utuh “
“ Ach kamu”
“ Ya kan sudah gak membiayai hidup si sopir Yoga..”
“ Hus..” Dinda nyengir.
“ Udah dech, ga usah diterusin. Jadi kamu mau apa
lagi?”
“ Sebenarnya sich aku mau dibelikan arloji..arlojiku
rusak. Mau minta ayah kasihan kan ayah sudah pensiun” oh iya aku baru ingat dua
bulan lalu ayahku pensiun sebagai pegawai BUMN. Kalau pesangon diberikan
seluruhnya berarti ayah tidak punya gaji bulanan lagi. Oh aku menyesali
keteledoranku melupakan pekerjaan ayah. Inilah saatnya aku harus membantu biaya
hidup keluargaku. Pikirku.
“ Ya sudah ambil saja sana, mana yang kamu mau.”
“ Nanti aja belum mood.”
“ Ach beli arloji aja pake mood..”
“ Ya kan maunya yang mahal biar ga nyesel..”
“ Yaudah terserah kamu lah”
“ Bulan depan ya kak,” Dinda mengedip-ngedip matanya.
“ Ok oke..siaapp”
Di super market Dinda memasukkan berbagai
kebutuhan rumah tangga, seperti Rinso, pewangi, sabun cuci piring dan
sebagainya.
“ Ini buat ibu, ini juga…”
“ Ambilnya jangan satu-satu dong, kakak
juga diambilin..” Dinda mengcungkan ibu jarinya dan menambah belanjaannya.
“ Dokter Beni. “ Dinda berlari mendekati pria
berkacamata yang berdiri di deretan tempat sabun mandi. Pria berkaca mata itu
menoleh ke arah Dinda, Dinda aegera mencium tangannya. Aku masih terpaku
melihatnya Dinda melambaikan tangannya memintaku mendekat kutinggalkan trouli
yang ditanganku mendekati Dinda
“Kak kenalkan ini dokter Beni dosen Dinda” aku
melihat wajah pria berkacamata itu sedang
melihat ke wajahku juga.
“ Kenalkan, dok.. ini kakak saya” dokter itu segera mengulurkan
tangannya dan aku menyambutnya
“ Beni”
“ Adisty” Kami saling menyebutkan nama da melempar
senyum.
“ Dokter sama siapa ke sini ?”
“ Sendiri”
“ Perlu dibantuin belanjanya, dok? “ Dinda menawarkan
diri. Adikku ini memang luar biasa mengerti tentang kebaikan.
“ Terima kasih. Tidak usah dinda. Saya hanya belanja
sedikit”
“ Kalau begitu saya kembali ke sana ya. Dok” Dinda
menunjukkan tanngannya ke belakang ke tempat aku meninggalkan trouli belanja.
“ Baik dinda, selamat berbelanja” dokter itu melirik
padaku, aku membalasnya dengan anggukan. Kami kembali ke tempat belanjaan yang
kutinggalkan.
“ Masih single” Dinda berbisik ke telingaku aku
mengernyitkan keningku.
“ Nanti ya mgobrolnya, takut dia dengar” ih apa-apa
sih Dinda ini. Dokter itu sekali-kali melirik ke arah kami. Aku ingin segera
menyelesaikan acara belanja.
“ Tahu gak kak, dokter Beni itu masih single”
“ Enggak, ga tau”
“ Ich kakak, dikasih tau jaga”
“ Kenapa ga kamu gebet aja kalua masih single dari
pada PDKT sAma teman kan mending dia sudah jadi dokter”
“ Ich ketuaan tauuuu.. “
“ Ga apa-apa tua kan sudah mapan.”
“ Gak ach” dinda mendesah.
“ Maksud Dinda buat kakak aja.. kan pas tuh. Dokter
loh..”
“ Ach kamu enak aja jodoh2in orang”
“ Siapa tau kakak mau, jadi punya kakak ipar dokter dari pada sop....
“ ku segera membungkam mulut Dinda
“ Iya.. iya maaf “ hari ini hari yang sangat
menyenangkan jalan-jalan bersama Dinda.
Aku sedang menikmati sinetron di televisi. Sejak
tidak ada kegiatan tiap malam aku sering nonton sinetron.. ponselku berdering,
Dinda telp.. aku agak kaget juga mudah2an bapk ibu baik baik saja
“Assalamualaikum”
“ Walaikumsalam “
“Ada
apa adikku sayang tumben telp, mau nagih arloji ya ? “, aku ingat janjiku mau
beliin arloji, mungkin mood Dinda sudah ada.
“ Ih kakak, suudzon aja sama adiknya”
“ lah kamu tumben telpon”
“ kak
lagi apa ?”
“Lagi nonton sinetron”
“ Ih kakak nonton sinetron kayak ibu -ibu aja”
“ Kakak kan emang udah ibu-ibu lupa ya kakak
udah punya anak”
“ Oh iya kakak udah ibu-ibu, ibunya Bino.. “ Dinda
tertawa disebarang sana.
“ Kak..”
“ Apa ?”
“ Anu..ee”
“ apa sih?”
“ Dapat salam dari dokter Beni.. hehe”
“ Iihh.. pasti kamu yang promosiin”
“ Enggak.. dokter Beni yang bilang waktu aku
selesai kuliah, dokter Beni bilang salam
buat kakaknya ya Dinda ..gitu kan buat kakak harus disampein kalau ga kan dosa”
“ Iya iya .. terima kasih walaikumsalam”
“ Boleh juga ya dokter Beni”
“ Gak..”
“ Iih kakak.. emang berapa nilainya menurut
kakak ?”
“ Berapa ya. 7 sampai 8 gitu...” kujawab
sekenanya
“ Iih
kakak… kakak mau yang 9-10 yah, makanya deket dulu nanti nilai naik loh kak..”
“ Kamu apa-apaan sih ngledek sama kakaknya”
Dinda tertawa renyah.
“ Kali aja kakak mau.”
“ Gak. Jangan macem-macem deh..”
“ Kalo dokter Beni minta telepon kakak boleh
ga?”
“ Gak..”
“ Beneran ?”
“ Iya beneran. kakak sibuk.. “
“ Ih sok sibuk, itu lagi nonton sinetron..”
“ Ini lagi iseng aja..”
“ Jadi ga boleh ya no kakak dikasih ke dokter Beni”
“ Enggaaaakkk…” aku memanjangkan suaraku
“ Yaudah deh..dag kakak..” Dinda menutup
teleponnya.. Aku menggeleng-gelengkan kepala. Dinda nih ada-ada saja menjodoh
jodohkan aku dengan dosennya.. Aku jadi tersenyum sendiri.
BAGIAN X
MAWAR TIGA WARNA
Rumah
baru yang ketempati memberi kenyamanan tersendiri, type cluster begini hanya beberapa rumah dalam satu Blok, setiap Blok
ada Satpamnya. Tidak sembarang orang masuk tanpa ijin Security,
Buket
bunga mawar ungu kuterima di hari minggu
pagi. Ini buqet bunga ke 3 yang dikirim pak Arman untukku. Pertama mawar merah
di padukan dengan seruni putih, meski terkejut aku menyambutnya biasa saja. Aku
menganggap itu hanya bentuk keakrabannya denganku. Tapi khawatir juga jangan-jangan
dia sedang mengujiku apakah aku sekretaris yang mudah digoda.
Kiriman
kedua minggu lalu mawar putih dipadukan dengan sedikit bunga daisy yang
mempertajam warna putihnya. Ketika kiriman ke dua datang ada rasa takut menyelinap. Bagaimana kalau isterinya
tahu, aku bisa disebut pelakor walau pun kami tidak ada hubungan apa-apa.
Pengirim Arman Ardiatna tidak ada kata yang terselip hanya pengirimnya saja.
Sehingga aku tak perlu menanggapi.
Kiriman
ketiga ini mawar segar warna ungu. Aku. pernah dengan kalau warna ungu identik
dengan warna janda. Aku tersenyum sendiri. Aku jadi ingat. Sebelum mengirim
buqet bunga, pak Arman pernah menyelipkan secarik kertas di atas mejaku ketika
pagi-pagi pak Arman ingin bertemu mas Pram dan sejenak singgah di ruang kerjaku
bertanya apakah pak bos sudah datang. Kubuka kertas kecil yang terselip dibawah
map, hanya secarik kertas biasa seukuran kartu nama bertulisan :
“Selamat
pagi ibu sekretaris cantik”. Ya Allah, aku deg-degan bertanya-tanya apa maksudnya toh tadi dia
sudah menyapaku dengan ucapan selamat pagi. Tapi kalimat itu ditulis dan
sepertinya sengaja dibawa untuk disampaikan padaku. Aku membaca kalimat itu
sekali lagi dan langsung kumasukkan dalam tasku. Jangan sampai ada orang lain
membaca. Dipuji seperti itu sama direktur ada dua kemungkinan ingin
menggangguku atau ngetes apakah aku sekretaris murahan yang bisa digoda. Atau ada hal lain yang tidak kumengerti. Ah
aku malas memikirkan itu. Yang pasti dia baik padaku.
Pak
Arman kolega mas Pram makin intensif perhatiannya padaku sejak pulang bersama
dari Surabaya. Kabarnya selain rekan
bisnis pak Arman juga teman kuliah mas Pram ketika mereka sama-sama kuliah di
Depok. Aku tidak tahu banyak tentang itu tapi mereka selalu menyebut diri
mereka dalam setiap percakapan sebagai teman dalam suka dan duka. Aku sering
mendengar itu.
Mawar
berwarna ungu masih kubelai-belai. Mawar ungu ini seperti memiliki magnet untuk
melayangkan pikiranku pada pak Arman, lelaki itu sebaya dengan mas Pram. Pak
Arman juga tampan tapi tidak setampan mas Pram. Pak Arman memiliki senyum
manis. Mas Pram galak dan jutek jadi mengurangi ketampanannya. Pak Arman lebih asumsikan
sebagai seorang pemimpin yang mengayomi,
wajah nya penuh ketulusan, tidak ada
keangkuhan yang kulihat dari setiap tatapannya. Ah mikir apa aku sampai
membandingkan antara mas Pram dan pak Arman
Aku masih membelai mawar ungu yang sekali-kali kudekatkan ke hidung untuk menikmati harumnya. Tanganku meraba sampai ke secarik kertas nama pengirim. Nama yang sama dengan mawar minggu lalu, kubalik kertas mungil itu. Oh ada tulisan pesan: “ Semoga adik suka dengan warna ini” Hahaa aku tergelak giliran warna janda aku diminta untuk suka. Jangan-jangan pak Arman sudah tahu kalau memang aku janda.
Hari ini tiba-tiba aku menikmati rasa bahagia dan tersenyum- senyum sendiri. Terima kasih ya Allah telah memberi suasana hati yang berbeda untuk hari ini. Dan mengirimkan orang baik seperti pak Arman yang bisa menjadi sahabatku sekalipun dia seorang direktur perusahaan besar tapi mau dekat denganku.
Aku masuk ke dalam rumah, membuka tutup piano yang kubawa dari rumah ibuku. Piano ini dulu dibelikan ayah ketika aku masih sekolah, tentu saja biar aku tidak suka keluyuran kemana-mana. Dulu ayah tidak pernah menawarkan aku untuk membawa piano ini. Setelah aku erpisah dari mas Yoga, Piano itu kubawa ke rumah baruku atas perintah ayah, di rumah ayah piano itu tidak ada yang memainkan.
Kuletakkan mawar itu di atas rak piano. Sejenak kulantum kan “ Kiss The Rain”nya Yiruma. Kuresapi bait akhir lagu itu.
And every night I lie awake Thinking maybe you love me Like I've always loved you But how…
Dan setiap malam
Aku terbangun
Berpikir mungkin kamu mencintaiku
Seperti aku selalu mencintaimu
Tapi bagaimana caranya…
Entah kepada siapa lagu itu kutujukan, aku
hanya merasa bahagia dikirimi bunga mawar warna ungu oleh pak Arman; kuharap
ini tidak menjadi bencana untuk hidupku.aku segera menelpon pak Arman untuk
mengucapkan terima kasih,
“ Terima kasih kiriman bunganya. Bapak mengirimi saya
bunga apa tidak ada yang marah, pak ? ” aku
memberanikan diri bertanya.
“ Siapa yg marah saya single dengan status duda
beranak satu anak saya perempuan dibawa isteri saya. Isteri saya sudah menikah
lagi dengan rekan kerjanya. Biasa lah teman kantor suka tergoda dan menggoda”
“ Oh begitu, pak”
“ Saya kesitu yah”
“ Ooh jangan...” telepon sudah
dimatikan. Tidak bisa kuhubungi lagi, 20 menit kemudian sebuah mobil Pajero
sport warna hitam sudah berhenti di rumahku. Aku hafal dengan mobil itu karena
sering dipake pak Arman kalau makan siang bersama bos Pram. Dan aku sudah
pernah menaiki mobil itu saat diajak pak Arman makan nasi Padang. Aku kebingungan.. senekad ini pak Arman sampai
datang ke rumahku.
Seperti sudah direncanakan pak Arman menenteng
chocolate Cake di atasnya dihiasi bunga.
“ Saya tidak sedang berulang tahun pak” kataku
saat menyambutnya. Cake itu diulurkan padaku. Senyum manisnya masih mengembang
seperti biasa.
“ Tidak harus berulang tahun untuk menerima kue
ini?” katanya datar.
“ Terima kasih, pak” kataku. Lagi-lagi pak
Arman tersenyum.
Kupersilahkan duduk dan kubuatkan kopi susu
seperti ketika kami sama-sama minum di café hotel di Surabaya. Aku yakin pak
Arman pasti suka.
“ Sebenarnya saya bingung, dari mana bapak
tahu rumah saya?”
“ Hm..laki-laki, bu..” ya Allah ucapan itu,
membuat aku sedikit bergetar. Bodohnya aku bertanya seperti itu. Oh ya
laki-laki akan selalu mencari siapa wanita yang ingin dijumpainya, dan itu
selalu mudah buat laki-laki, aku tersenyum.
Kami hanya berbincang-bincang biasa. Tidak ada
yang istimewa, namun dia mulai tahu kalau aku memang sudah menjanda. Dan tidak
perlu bertanya pasti dia akan menjawab sama dengan ketika aku bertanya dari
mana tahu rumahku.
BAGIAN XI
SIMPANG JALAN
Minggu malam pak Arman mengajakku dinner
di luar. Tidak ada yang istimewa, keakraban kami tetap biasa. Yang membuat aku
merasa berbeda adalah tempat Dinner yang dipilih pak Arman. Sebuah restoran fine
dining yang menyanjikan berbagai macam steak. Salah satu restoran mahal di Jakarta.
Untuk sekedar memasuki kawasan itu saja aku harus berpikir panjang untuk
kocekku, apalagi sampai makan di tempat
itu, pasti mahal. Ada lah sedikit rasa geer dan tersanjung. Ada
pertanyaan menyelinap di lubuk hati apakah ada maksud tertentu yang menyebabkan
Pak Arman mengajakku ke tempat istimewa
ini ? Aku saja hanya sekretaris temannya diajak makan ke sini bagaimana dengan
sekretaris pribadinya yang sering membantu pekerjaannya pasti lebih istimewa
diberikan oleh pak Arman untuk sekretaris pribadinya. Huff kok aku jadi cemburu.
“ Selamat menikmati, Bu Disty.. “ kata pak
Arman setelah steak US Prime Beef dengan selimut marbling di tiap sisi daging tersaji di
depanku. Selain terpana dengan steak yang menggugah selera, aku pun terkejut mendengar pak Arman memanggilku dengan
panggilan Disty, kemarin Adis ko sekarang jadi Disty. seperti mas Pram
memanggilku dulu. Duh jangan-jangan dua lelaki itu bersengkongkol untuk
memperdayakan aku. Atau mas Pram menyuruh pak Arman untuk mengganggu aku demi
mengetes apakah aku wanita murahan atau tidak. Tapi mana mungkin kesetiaanku di
tes sedangkan dia sangat benci padaku, mana mungkin masih mengurusi aku.
Pikiran burukku berkeliling mengitari otak, sulit menterjemahkan kebaikan pak
Arman.
Usai dinner. Aku langsung mengajak
pulang. Pak Arman menawarkan aku ingin mampir ke mana. Aku lebih memilih balik
ke rumahku. Malam ini mengesankan. Bukan karena ada sesuatu yang berbeda dari
pak Arman. Tapi karena pak Arman benar-benar berlaku santun terhadapku.
Tiga hari berikutnya aku menerima pesan dari
pak Arman. Pesan yang dikirim melalui email. Ini laki-laki aneh pesan
pribadi kan bisa pake sms, WA, Line, atau massenger. Kenapa harus via email..
kayak kirim kerjaan kantor aja. Ah pak Arman.. lama-lama membuat aku jadi
bingung. Kubuka pesan itu seperti pantun atau puisi entah apa lah aku kurang
paham.
“ Daun yang jatuh bukan harus dibuang“
Dalam
kebingungan mulai muncul banyak pertanyaan di otakku dari kiriman bunga mawar
tiga warna, kehadirannya dan dinner bersama. Sampai kalimat singkat yang
dikirim via email. Apa maksud pak Arman dari semua itu. Pikiranku jadi kacau. Untunglah tidak ada kerjaanku yang
salah kalau ditambah kesalahan dan kena dampratan pak bos tambah kacau.
Hari itu pak Arman menyita pikiranku.
Kutanyakan maksud kalimatnya via SMS tidak dibalasnya. Ya Allah kemana pak
Arman ? Mulai terselip rasa takut kehilangan. Aku sudah memiliki teman yang
menghibur hati, bagaimana jika dia pergi ? aku tidak bisa membayangkannya.
Sampai 3 hari SMS ku tidak dibalas, di hari ke
empat penantianku, badanku mulai menggigil. Aku demam. Aku sampai berobat ke
klinik dekat rumah. Sudah seharian minum obat, kabar pak Arman belum juga
datang. Rindu menyeruak menggempur pertahananku yang semula angkuh. Kebaikan
pak Arman yang kuanggap biasa saja, kini kutakuti jika itu segera berlalu.
Mondar-mandir di dalam rumah dengan badan
tidak fit dari sisa-sisa demam, serba gak enak. Keluar masuk rumah, seperti ada
yang kutunggu, tapi siapa yang kutunggu? Aku menunggu siapa? Siapa yang membuat
resah hatiku? Tidak biasanya aku seperti ini. Apa lebih baik aku masuk kamar
dan tidur saja. Ya Allah lepaskan aku dari kondisi seperti ini.
Aku baru mematikan lampu ruang tamu, deru mobil
berhenti di depan rumah. Aku mengintip dari gorden yang kusibakkan sedikit.
Mobil itu sangat kukenal. Masya Allah, dia datang. Apakah benar ini yang nanti.
Kunyalakan lagi lampu ruang tamu. Kubuka pintu, seseorang sudah berdiri dengan
senyum mengembang, senyum itu.. !!! seru hatiku, dari remang-remang lampu teras
dia bisa melihat wajahku yang pasti tidak seperti biasanya, kali ini aku kuyu.
Senyum mengembangnya menyurut demi melihat wajahku.
“ Oh.. Sakit ?” tanyanya nampak panik. Aku
menangguk. Tangan yang disimpannya di belakang dengan pelan dinampakkan ke
wajahku. Tangan itu… ada sekuntum mawar merah, hanya sekuntum… tubuhku terasa
menggigil lagi, bukan karena sakit seperti kemarin. Gigil ini karena mawar
merekah yang disampaikan padaku..
“ Pak.. “ hanya itu suara yang keluar dari
bibirku. Dan mata itu, betapa teduhnya. Sorotnya begitu indah. Menyesal rasanya
kemarin-kemarin mata itu tidak pernah aku perhatikan demi menjaga harga diri
dari keterhinaan. Lama kami bertatapan.
“ Jangan katakan saya sedang mengetes
kepribadian, bu Disty..” kata-kata itu seperti menembak isi hatiku. Kutelisik raut wajahnya untuk menemukan kecurigaanku
selama ini. Tidak kutemukan di wajah dan matanya, kuteliti setiap inchi dari
keseluruhannya tidak ada jawaban dari prasangka burukku. Ya Allah betapa besar
dosaku telah suudzon terhadap wajah tulus ini. Ampuni aku ya Allah.
“ Tapi pak.. “ Aku bingung harus menjawab apa
untuk kata-katanya.
“ Biarkan saya menikmati rasa bahagia saya,
bila menemui, bu Disty… “ aku tambah
bingung dengan kalimatnya. Aku terdiam tak mampu menjawab.
“ Saya..” bersamaan kami mengucapkan kata yang
sama. Dia tertawa dan aku pun tertawa. Kami tertawa bersama.
“ Jadi siapa dulu yang akan melanjutkan.. saya
atau bu Disty ?” tanyanya masih dengan sisa tawanya.
“ Bapak saja.. “ jawabku cepat
“ Bu Disty saja …” dia membalas kami seperti
berdebat kecil saling menawarkan untuk berbicara lebih dulu.
“ Terima kasih bunganya, pak” Akhirnya aku
mendahului.
“ Terima kasih, jika bisa menghilangkan
prasangka buruk tentang saya…”
“ Loh ko bersyarat ?” aku protes..
“ Iya.. itu syarat..”
“ Oh, masuk pak “ aku mengalihkan pembicaraan
dan mempersilahkannya masuk. Aku membalikkan tubuhku. Tanganku tertahan dengan
lembut oleh tangan pak Arman.
“ Oh maaf..” dilepaskan tanganku aku sudah
terlanjur membalikkan tubuhku dan wajahku ke arahnya lagi.
“ Mohon dijawab dulu, syaratnya dipenuhi tidak
?”
“ Harus sekarang ?”
“ Iya..”
“ Wajib”
“ Wajib..” jawabnya yakin. Aku memutar-mutar
bola mataku. Pak Arman dengan sabar menunggu jawabanku. Aku mengangguk.
Akhirnya pak Arman masuk ke dalam rumahku.
Pak Arman
duduk di sofa panjang. Aku mau beranjak membuatkan minum pak Arman melarang
meminta aku duduk disampingnya, seperti anak kecil aku menurut saja. Tangannya
menyentuh dahiku seperti memperlakukan aku anak kecil.
“ Sakit ya,
sudah ke dokter?” Tanyanya cemas, menyelinap rasa senang melihat reaksi pak
Arman yang cemas.
“ Sudah,
kemarin sore”
“ Badannya
masih ga enak”
“ Sudah
enakan, kemarin demam” seperti orang mengadu kata-kataku meluncur begitu saja.
Sedikit kusesali, sayang terlanjur meluncur.
“ Sakit
karena saya ya ?“ guraunya setengah menggoda. Pukulan telak mendarat di hatiku.
Apes ketahuan penyebab sakitku.
“ Iya kan,
karena saya ?” pak Arman bertanya lagi sambil terkekeh. Ingin aku mencubitnya.
Ah jangan emangnya aku siapanya. Cegah batinku. Tanpa kusadari aku mengangguk
malu.
“ Jadi benar
karena saya ?” pak Arman meyakinkan.
“ Saya salah
ya ? “ tanyanya pura-pura bodoh.
“ Sebutkan
salah saya” benar benar seperti membujuk anak kecil, walau aku bukan anak kecil
anehnya aku merasa senang
“ Saya tanya
maksud email bapak apa, tidak dijawab samapi SMS juga tidak dibalas.” kuungkap
sebuah kejujuran.
“ Masya
Allah.. sampai begitu, bu Disty ?” aku
mengangguk.
“ Karena email atau karena SMS ga saya balas ?”
“ Dua duanya”
“ Saya yakin
yang ke 2.. kangen kan sama SMS saya “ tak sengaja aku langsung mencubit
lengannya.
“ Eeh maaf
pak”
“ Cubit lagi ga
apa-apa. ” matanya membinar.
“ Ih
bapak...” aku merengek manja.
“ Rasanya tua
dipanggil bapak..” matanya berkedip. Kami jadi sangat akrab.
“ Panggil
Arman saja”
“ Saya tetap
mau panggil bapak, bapak Arman” aku bersikeras. pak Arman berusaha mengalah. Tangan pak Arman mengambil bunga mawar pemberiannya
yang kuletakkan di atas meja. Mataku mengikuti gerak tangannya.
“ Ini obat
kangen dan mewakili juga kangen saya. Semoga lekas sembuh ya “ dengan lembut
bunga itu diberikan padaku. ya Allah, jantungku berdegup keras, tatapannya bak
air es mengguyur kepalaku yang terasa panas mejadi dingin..
“ Saya juga
kangen”
“ Saya kan ga
bilang kangen. “
“ Saya yakin
kangen” Bibirnya memutar mutar menggoda. Duh Adisty kenapa kamu ga ngaku aja, hilangin
gengsi, yang kamu kangenin pun sudah ngaku. Aku mengambil bunga yang masih
dipegangnya. Ini suatu gerakan salah tingkahku. Pak Arman mengibaskan tangannya
setelah bunga di tanganku.
“ Alhamdulillah obat kangen dari saya sudah
diterima”
“ Pak..... “
“ Terima
kasih ya”
“ Untuk…”
“ Obat kangen
saya diterima..” dia tahu aku seperti
ingin mengembalikan bunganya, pak Arman langsung menaikkan kedua tangannya.
Senyum-senyum menggoda.
Semalaman aku
sulit memejamkan mata setelah kejadian itu. Hatiku seperti sayap mengepak di
udara. Paginya selesai sholat subuh, ada SMS dari pak Arman, segera kubuka.
“ Kangen saya
belum hilang..”
“ Sama..” aku ingin menghapus SMS yang telah kutulis
tapi terlanjur terkirim. Emote senyum dan bunga dikirim sebagai balasannya. Aku merasa seperti berada
di simpang jalan. Antara kejujuran dan ketidakyakinan, antara keberanian dan
ketakutan yang mendera.
PRAMBUDI
Senja
di akhir pekan waktu yang kusukai seakan memberiku warna tersendiri untuk
kehidupanku. Aku bisa melepas penat, membaca novel atau menyalurkan hobiku
memasak dan menjahit. Memasak ? Sementara kuabaikan hobiku satu ini, aku
tinggal sendiri harus memasak untuk siapa? Waktu keluargaku masih utuh aku akan
memasak makanan untuk mas Yoga dan Bino. Bola-bola coklat kesukaan Bino disukai
mas Yoga juga. Ah aku mencoba menepis ingatanku tentang Bino yang sekarang ikut
mas Yoga bersama isteri barunya. Pada awal aku berpisah dengan Bino rasanya hampir
gila aku saat kangen dengan buah hatiku. Aku stres berat sampai kudatangi
seorang ustazah yang kupercaya untuk curhatanku.
“
Terus dekatkan diri neng Adis pada Allah, karena semua masalah Allah yang beri
mohonlah pada Allah untuk Menyelesaikan. “
“
Ya bu ustadzah, tapi kangen saya pada anak saya membuat saya tidak konsentrasi
melakukan apa saja”
“
Pelan- pelan insya Allah rasa kangen itu akan diobati, hanya dibutuhkan
kesabaran. Ingat firman Allah ; Jadikan sabar dan sholat jadi penolongmu. “
Tausiah
dan nasehat bu ustadzah Yeni sangat bermanfaat. Aku langsung mendekatkan diri
pada Allah dengan sholat dan doa-doaku. Sedikit demi sedikit aku mampu
menghalau rinduku pada Bino. Semoga suatu saat aku dipertemukan dengan Bino dan
hidup bersama lagi.
Lamunan
tentang Bino dipecahkan kehadiran mas Pram sangat mengejutkanku, bagaimana bisa
terjadi bos yang sangat membenciku itu mau mengunjungi rumahku.
“
Saya ke sini ingin menyampaikan permintaan maaf “ Mas Pram memulai kalimatnya.
“
Maaf untuk apa, pak ?”
“
Untuk perlakuan saya selama ini.” Aku terdiam
”
Selama ini saya dendam sama kamu. Kamu ninggalin saya menikah dengan orang
lain. “ Ternyata benar dugaanku perlakuannya yang kasar dan jutek kepadaku
karena dendam.
“
Saya mencintai kamu. Sangat mencintai “ kalimat itu tanpa kuduga. Ini saatnya
aku ungkap semuanya.
“
Saya juga pernah mencintai mas, sangat mencintai, menunggu kehadiran mas untuk
menjemput saya, bukan waktu sebentar. Tiga tahun saya lakukan itu. Mas Pram tidak pernah hadir untuk saya. Mas tidak
mengerti luka saya. Kalau sampai akhirnya saya menerima pinangan mas Yoga bukan
pertimbangan yang mudah. Menanti yang tak pasti membuat saya luka dan
kehilangan asa. Saya ingin berbakti pada kedua orang tua saya, walau akhirnya
saya tertipu, saya ikhlas sebagai suatu perjalanan hidup yang harus saya lalui,
saya tidak pernah pacaran dengan mas Yoga. Saya menerima perjodohan itu dengan
ridho kedua orang tua saya.” Uraiku lancar dan lepas begitu saja. Mas Pram maju
ingin memelukku tapi aku mundur menghindarinya.
“
Jangan mas, jangan lakukan itu lagi. Saya pernah merindukan pelukan mas tapi
itu tidak pernah saya dapat, kalau sekarang mas ingin melakukan keadaannya
sudah berubah. “
“
Maafkan aku, Disty “ mas Pram memang memanggilku dengan sebutan Disty sementara
yang lain biasa memanggilku Adisti. Dan Pak Arman mulai memanggilku dengan
sebutan itu, oh kenapa aku jadi ingat pak Arman..
“
Selama ini aku salah menilaimu. aku berprasangka buruk padamu.”
“
Saya sudah memaafkan mas. Kalau mas dendam pada saya sudah saya terima dengan
keikhlasan walau pun di sini kadang tidak kuat” aku menepuk dadaku pelan,
kutunjukkan bahwa hatiku sakit menerima perlakuannya selama ini, aku
terhina dan terluka. Aku mulai menangis, tidak perduli kalau kedatangan
mas Pram kali ini hanya kusuguhi dengan tangis.
Aku
menjanda bukan keinginanku, ingin kuciptakan rumah tangga yang harmonis tidak
bisa terwujud, malah kelam yang kudapatkan. Aku membangun hidupku sendiri
dengan jerih payah dan ketekunanku bekerja sampai terbeli rumah ini. Sampai
pada satu titik nadir kesakitan dan kejatuhanku aku hanya bisa mengadu dan
berharap Sang Mahakuasa segera menyudahi cobaan yang kudapat.
“
Saya hanya wanita yang hina dihadapan, mas. Tak pantas menerima cinta mas Pram.
Setelah penghinaan dari mantan suami saya. Saya sudah akrab dengan kesakitan jadi
tidak mengapa dengan perlakuan mas. Mas Pram bisa terus melanjutkannya sampai
kapan pun mas mau. Saya selalu siap...”
“
Tidak disty, aku sadar, jujur aku masih mencintaimu. “ byuur kepalaku seperti
terguyur air hujan deras. Cinta ? Bagaimana dia masih mencintaiku setahun lebih
dia melempar kebencian padaku.
“
Cinta tidak menyakiti, mas”
“
Itu manifestasi dari rasa kecewaku padamu. Mengertilah.. “ kali ini mas Pram begitu nekad dan memaksa
memelukku.
“
Saya belum bisa mengerti, mas... “ aku
terkulai dan jatuh ke dadanya dada yang pernah kurindukan bertahun-tahun. Dalam
dekapan itu aku menangis sejadi-jadinya biarlah setelah aku puas, aku akan melepaskan pelukannya lagi. Ini tidak
boleh terjadi terlalu lama aku dalam dekapnnya, mas Pram bukan muhrimku.
Aku
hanya ingin mas Pram tahu hatiku. Asa ku yang terseok dan berserakan. Dari
guncangan tangisku, aku ingin dia merasakan apa yang kurasakan. Tangannya masih
memegang bahuku. Kutatap mata yang biasa bengis kini menjadi redup. Mata kami
beradu pandang berbeda dengan hari-hari selama dia menjadi bos ku di kantor.
“
Aku sulit mendapatkan gantimu” ujarnya bersama pandangannya yang lembut.
“
Hitung berapa lama aku mencari penggantimu”
“
Saya tidak tahu mas..” jawabku sekenanya. Tangannya mendudukkan aku di kursi
dengan lembut.
“
Lama sekali, Disty.. sampai aku tahu kamu sudah sendiri lagi, aku bwlum mendapatkannya,
ketegaranmu yang teruji, kamu selalu kuat dengan apa pun perlakuanku padamu, penghinaan
dan apa saja kamu menerima tanpa dendam. Kupikir kamu akan mundur dan menjauh
dari aku, keluar dari perusahaan dan meninggalkanku. Itu tidak kamu lakukan.
Kecekatan dan ketrampilanmu pekerja perusahaan mana pun akan menerima lamaranmu
tapi kamu bertahan meski aku sering menyakitimu. Kamu hebat.. bahkan hancurnya
rumah tanggamu yang kutahu karena KDRT yang kamu alami kamu tetap kuat dan
menyimpannya rapat-rapat.. “ aku masih mendengar penuturannya..
“
Mas tahu dari mana masalah rumah tangga saya? “
“
Dari ibumu. Aku mendatangi ibu dan menanyakan semuanya, ibu sudah bercerita padaku “
Oh
jadi selama ini mas mencoba mencari berita tentang aku dari ibu. Ya Allah mudah-mudahan
ibu tidak mengungkap penyesalannya telah meminta aku menikah dengan Mas Yoga.
Kehidupanku bersama mas Yoga sebuah perjalanan yang sudah diatur oleh Yang Maha
Kuasa, pahitnya sebagai pembelajaran
terbaik untukku..
“Ibuku?
Mas “
“
Ibu cerita apa saja tentang aku? Oh... “
“
Banyak yang diceritakan tentang kisah hidupmu. Aku merasa bersalah makanya aku
datang ke sini”
“ Maaf, mas bagaimana gadis Pare-pare yang dulu akan mas nikahi
itu. Aku dengar dari Asri ketika putranya ultahulang tahun aku datang ke rumah
mas Adi ” mas Pram mengernyitkan dahinya.
“
Runi. Namanya. “
“Astagfirullahaladzim.
Aku akan menikahi anak kecil itu ? mana mungkin. makanya gak usah banyak ngobrol sama orang “lambe turah”
“
Maksud mas?” Aku tidak mengerti dengan istilah lambe turah
“
Iya lambe turah atau turah lambe. Orang kelebihan bibir tau
gak? Itu kakak ipar saya isterinya mas Adi”
“
Kenapa begitu”
“
Perlu kamu tahu ya, saya itu sak jekjumlek
kamu tahu gak artinya ? yah selamanya tidak pernah ngobrol dengan kakak ipar
saya itu. Tahu-tahuan dia bilang saya mau nikah dengan gadis Pare-pare..” mas
Pram mencoba menerangkan.
“
Gadis Pare-pare itu masih kecil, anak berusia 9 tahun ditinggal ayahnya kecelakaan
kerja di Balikpapan, ibunya tidak bekerja dan tidak mau kembali ke Sulawesi. Saya
membiayai sekolahnya. Saya hanya cerita itu sama mas Adi. Ternyata ditambahin
oleh si mbak turah lambe” mas Pram tersenyum kecut sambil
menggeleng-gelengkan kepalanya.
“
Jadi...”
“
Ya Runi itu anak asuh saya. Sekarang dia sudah SMA dan saya berjanji akan membiayainya
sampai dia lulus kuliah nanti” Ya Allah kenapa jahat banget mbak Asri sama aku.
Mengarang kebohongan yang membuat aku mundur dari kehidupan mas Pram dan
memilih menikah dengan mas Yoga yang harus berakhir dengan perceraian. Nasi
sudah menjadi bubur dan tidak akan lagi menjadi nasi. Perjalanan hidupku sudah
kujalani dengan tabah.
Mas
Pram terus mengajakku berbincang, kesibukannya selama tidak menghubungiku dia
kerja sambal kuliah. Hanya kata cinta yang tidak lagi membri getaran hatiku.
Getaran itu telah lenyap ditelan luapan dendam yang membukit. Mas Pram meninggalkan rumahku dengan langkah
setengah gontai. Langkah seperti itu sering kunikmati saat aku meninggalkan
kantor. Satu yang kupatrikan pada prinsipku bahwa hubungan asmara perlu
komunikasi yang baik, agar tidak salah paham dan saling mencurigai.
BAGIAN XIII
PADA SATU PILIHAN
Ayah dan ibu memanggilku, ibu menyampaikan Mas Pram
melamar aku ke ayah dan ibu. Sementara itu aku telah menerima lamaran pria lain
yang melamarku. Maafkan aku mas Pram. Saat ini hanya pak Arman yang kuandalkan.
Hubungan kami tidak pernah ternoda, kami hanya punya pengalaman masa lalu yang
sama-sama kelam, ditinggalkan pasangan
hidup masing-masing. Dua manusia pernah hidup dalam kesakitan bersatu mudah-mudahan
bisa saling menyembuhkan. Kami memiliki getaran yang sama dalam waktu yang
bersamaan. Ketika malam sepi dalam kesendirian kami saling mencari hati dan
hati itu tertangkum di bawah naungan lentera yang sama. Lentera cinta yang
bermaksud saling menerangi. Setelah cintaku terlempar di padang asa. Kelamku
tertutupi oleh sosok pelindungku Pak Arman. Aku menyampaikan penolakanku atas
lamaran mas Pram kepada kedua orang tuaku. “Sekali lagi maafkan aku mas Pram “
kata hatiku.
Kuajak Pak Arman ke rumah kedua orang tuaku. Lamaran
pak Arman telah diterima kedua orang tuaku dengan lapang hati. Kali ini ibu
tidak akan memaksakan pilihannya lagi setelah pengalaman pahit yang kudapatkan
dari pilihannya.
Aku resign
dari kantor mas Pram, bukan untuk menghindari pertemuan dengan mas Pram saja, sudah jadi tekadku untuk move on dari
kehidupan mas Pram. Sebenarnya Ini suatu keputusan yang aneh, ketika mas Pram
masih kejam padaku aku bertahan. Setelah mas Pram mengatakan masih cinta padaku
aku malah menjauh. Itulah kehidupan.
Sebelum resign
aku mencoba melamar ke perusahaan lain. Dan mendapat balasan kalau aku akan
diinterview langsung oleh direksi, saat ini direksi sedang tugas ke LN selama
satu bulan. Pengalamanku sudah cukup banyak sehingga aku percaya diri akan
diterima perusahaan itu. Aku sudah
menyampaikan ini pada pak Arman buat pak Arman tidak jadi masalah, aku mau
berhenti bekerja pun tidak masalah yang penting aku bahagia. Hanya itu yang
disampaikan mas Arman
Ijab kabul telah selesai aku resmi menjadi nyonya
Arman. Pernikahan sederhana di sebuah hotel hanya mengundang 200 tamu.Mas Pram tidak
hadir saat pernikahanku karena sedang sakit. Entah sakit apa belum kutahu. Aku
hanya berbaik sangka mungkin ini cara
Tuhan untuk menyelamatkan hati kami, hatiku, hati mas Pram dan hati pak Arman.
Pak Arman tentu merasa tidak enak karena aku mantan pacar sahabatnya itu. Kami
sudah saling terbuka. Setelah resepsi, aku minta pak Arman pulang ke rumahku.
Tidak pulang ke rumah orang tuaku atau ke rumah pak Arman. Pak Arman menyetujui,
ayah, ibu dan yang lain pulang ke rumah
masing-masing. Malam ini ingin kunikmati berdua dengan pak Arman di rumahku.
Kamar tidur sudah tertata rapi, aku telah menyewa vendor untuk
mendekor kamar pengantinku dengan kilauan warna gold. Rupanya pak Arman
meminta vendor untuk menambah hiasan dengan buket bunga mawar warna warni.
Aku terkagum-kagum masuk ke kamarku. Di atas nakas sudah ada 3 buqet bunga
warna merah putih dan ungu. 3 warna mawar yang pernah dikirimkan untukku betapa
romantis pak Arman.
Setelah mandi, kulanjutkan sholat isya. kukenakan lingeri
warna gold senada dengan kamar pengantinku. Pak Arman gantian membersihkan diri
ke kamar mandi dan melanjutkan sholat isya. Kali ini kami masih sholat
sendiri-sendiri. Kugerai rambutku yang sepunggung. Ini pertama kalinya aku
menggerai dan menampakkan mahkotaku di depan laki-laki setelah perpisahan
dengan mas Yoga. Bau harum memenuhi kamar pengantin kami, harum ruangan, harum
tubuhku dan tubuh pak Arman, semua keharuman memberi aroma kesegaran hati. Aku
masih membelai rambutku sambil berdiri di depan cermin, Nampak bayangan pak
Arman di cermin mendekatiku, pak Arman melingkarkan kedua tangannya di
pinggangku, getar menjalar mengikuti aliran darahku. Baru pertama kali aku
merasakan getar seperti ini. Dieratkan pelukannya, dagunya menyapu punggungku sambil
menyibak rambut yang tergerai, harum
tentunya aku suka memelihara keharuman rambutku. Getar terus menjalar membuat
aku tak kuat menahan gejolak untuk lebih merapatkan tubuhku ke tubuh pak Arman.
“ Pak “ aku berbisik manja.
“Aku mencintaimu, Adisty” bisikan di telinga semakin menggetarkan
hatiku, bulu kudukku berdiri menikmati getaran indah, kuyakini aku sedang tidak
bermimpi. Kubalikkan tubuhku dan wajahku ke arahnya. Segera dia kecup keningku
lembut yang membuat getaran itu semakin kencang. Bibirnya yang harum menyapu
kelopak mataku halus, hangat menggetarkan.
“ Aku sangat mencintaimu, Adisty” Kalimat itu diulang
ditambah kata “sangat” aku baru sadar kalau aku belum membalas ucapannya, tentu
saja aku lupa karena terbuai dengan cumbuannya.
“ Saya juga mencintaimu, Pak Arman” balasku setengah
berbisik karena malu.
“Hm..Maass” pak Arman seperti meminta aku merubah
panggilanku.
“ Ucapkan sekali lagi, Adisty” pintanya, bibirnya
sudah di ujung hidungku, nafas lembutnya membuai.
“ Aku juga mencintaimu, mas Arman.”
“ Terima kasih, sayang” dipagutnya bibirku setelah
kuucapkan kata cinta, aku membalasnya. Getaran semakin tajam. Ini puncak
bahagiaku akhirnya kudapatkan cinta dan belaian lelaki yang kucintai. Dengan
mengucap Bismillah. Malam itu menjadi malam yang terindah buat aku dan mas
Arman. Ini memang bukan pertama kali bagiku dan bagi mas Arman tapi ini adalah
pengobat rasa sakit kami yang pernah kami rasakan. Indahnya kenikmatan yang
diridhoi, aku ridho mas Arman pun ridho. Semua indah pada waktunya dan inilah
keindahan yang diberikan Tuhan padaku. Sujud syukur berdua mas Arman dalam
sholat tahajud kami. Insya Allah tidak ada lagi rasa sakit dan tersakiti.
Semoga ini jawaban atas permohonanku kepada Allah untuk mendapatkan imam yang baik dalam
hidupku.. Hati dan jiwaku dan mas Arman
menyatu.
Keindahan semakin memenuhi hari hariku. Pak Arman
dengan setia selalu menemani.. siang itu kami belanja ke supermarket. Sekalian
belanjain ibu dan mengajak mas Arman ke rumah ibu setelah belanja. Sebenarnya
aku trauma ke supermarket bersama suami. Teringat dulu dibentak mas Yoga
saat aku salah mengambil susu, dibentak di depan umum yang membuat pandangan
semua orang ke arahku, aku malu dan kehilangan harga diri. Semoga itu tak
terulang lagi.
Keranjang belanja sudah penuh, Pak Arman dengan sabar
menemaniku berbelanja ini itu. Setiap aku mengambil sesuatu aku melihatnya jangan
sampai aku dipelototin seperti dulu mas Yoga memelototi aku karena aku
mengambil sesuatu yang tidak kehendaki. Dia selalu merasa repot padahal belanja
memakai uangku. Setiap aku mengambil sesuatu aku melihat wajah mas Arman, mas
Arman melontarkan senyum manis dengan tatapan indah. Ah mata itu seolah
memberikan cahaya bintang di hatiku. Jika aku berdiri di satu konter tiba-tiba
mas Arman merangkul bahuku. Belanja indah. Ingat dinda mengistilahnya “ Surga
belanja” aku belanja indah saja. Banyak sekali yang kubeli sekalian untuk ibu.
Hatiku berjanji akan membayarnya sendiri toh uangku cukup. Kasir sudah selesai
menghitung semua belanjaanku ketika aku membuka dompet mau mengambil kartu ATM
ku, mas Arman sudah memberikan ATM nya ke mbak kasir. Sebenarnya aku ga enak
tapi tidak berani protes.
“Mas “ kataku dia seperti tahu kalau aku mau
memprotes tindakannya.
“Lupa ya, punya suami?” Suaranya berbisik agar tak
terdengar pengunjung lain dan mbak kasir. Aku menyikut lembut perutnya. Mas
Arman menekan nomor pin ATM nya.. selesai membayar kartu ATM nya diserahkan
padaku. Semula aku akan menolak kuurungkan takut kelihatan orang lain. Kami
berdua sama-sama mendorong trouli menuju lobby. Aku mengembalikan kartu ATM mas
Arman. Kalimatnya di depan kasir diulang lagi.
“ Lupa ya punya suami? “
“ Tapi mas.
Ini kan punya mas.”
“ Punya suami kan punya isteri juga” senyum manisnya
mengembang.
“ Aku…”
“ Ayo lah simpan itu milikmu juga.” Milikku, ya ampun
suamiku dulu tidak pernah mengatakan begitu, ATM nya milik dia dan ATM ku
sering dipinjam dan dikuras uangku, ternyata mas Arman sangat berbeda dengan mas
Yoga. Dicintai mas Arman saja aku sudah sangat bahagia.
“ Oh ya, kita tidak pegang uang cash ya. Ambil dulu di ATM mungkin nanti kita mau bayar sesuatu
dengan uang cash”
“ Ada mas sedikit “ uang cash itu ingin kuberikan pada ibu.
“ Ambil saja lah..ke atm aku tunggu di lobby ya”
“ Berapa mas?”
“ Berapa saja semaumu.. “ katanya sambil menambahkan
menyebutkan no pin nya
“ Ingat kan no pin nya “ aku mengangguk
“ Iya mas ..” nomor 6 angka itu kuulang lagi pelan.
Ya Allah aku baru sadar ternyata itu nomor tanggal lahirku. Sejak kapan mas
Arman menggunakan pin tanggal lahirku. Hatiku tambah berbunga. Indahnya cinta
mas Arman kepadaku. Aku masuk ke atm
centre dan mendekat ke salah satu mesin ATM sesuai dengan bank yang
mengeluarkan katu ATM milik mas Arman.. Satu juta cukup pikirku. Aku terbelalak
melihat sisa saldo rekening setelah kuambil satu juta rupiah.. Subhanallah.. ATM
dengan saldo sebanyak ini diberikan
padaku. Ini sih bisa buat beli 5 rumah baru seperti rumahku.. Mendadak aku
merasa menjadi kaya setelah menerima ATM ini dari Mas Arman. Tidak.. aku harus
mengembalikan kartu atm ini, bisik hatiku.. Karena bukan harta yang kuharapkan
dari pernikahanku dengan mas Arman. Aku mencintai mas Arman sosok dan
pribadinya seutuhnya. Mas Arman yang keteduhan matanya berusaha melindungiku.
Mas Arman yang selalu ada untuk aku, cintanya, keromatisannya menjadikan aku sebagai
wanita utuh yang terlepas dari keterhinaan. Di dalam mobil aku mengulang
mengembalikan atmATM itu pada mas Arman.
“ Ini punya mas. Nanti mas pake apa kalau perlu uang
?”
“ Aku masih ada ATM lagi, sayang.. ayo lah nurut sama
suami, disuruh pegang ATM kok nolak”
“ Saya ga enak, pak..”
“ Maaass.. “ potongnya. Ya ampun aku memang sulit
menghilangkan kebiasaanku dengan menyebutkan mas Arman dengan panggilan pak..
“ Eh mas.. saya ga enak mas.. saya menikah dengan mas
bukan mau ini.. tapi mau ini “ kugayuti lengan kirimya dengan manja, mas Arman
membalas tangan kirimya mengusap kepalaku lembut.
“ Saya juga mau bisa begini membelai wanita terbaik
untuk hidup saya..”
“ Mulai gombal dech” aku menepuk lengannya
“ Ko gombal ada di sini, gombal ga ada di sini, yang ada Arman.. “ kami pun tertawa bersama.
“ Simpan ATM nya. Nanti jatuh hilang kalau ga
disimpan. “ aku menurut. Seyogyanya aku ga boleh lupa harus selalu menurut pada
suami. Seperti dulu aku selalu menurut sama mas Yoga. Kumasukkan ATM kembali ke dompetku dan aku kembali memandangi
mas Arman yang sedang menyetir.
“ Curi-curi pandang ya. “ mas Arman nyeletuk tanpa
menoleh ke arahkan matanya sibuk dengan pandangannya ke jalanan depan.
“ Ga curi-curi pandang.. memang sedang melihat
suamiku nyetir”
“ Suka yah melihat wajahku yang tampan..” dia
tersenyum. Aha.. senyum manis itu akhirnya jadi milikku
“ Ich geer” aku mencubit lengannya..
“ Ga geer, emang tampan kan” mas Arman memang tampan
ditambah pribadinya yang baik sempurnalah ketampanannya.
“ Terima kasih ya Allah Engkau berikan manusia tampan
ini untukku.” Doaku yang sengaja kukeraskan.. mas Arman menjawab dengan doa
juga.
“ Alhamdulillah ya Allah, Engkau berikan wanita cantik
ini untukku. “ dan kami mengaminkan bersama. Sejenak kami saling berpandangan
dan melemparkan senyum kemudian mengalihkan pandangan lagi ke arah jalanan di
depan. Music lembut mengalun dari DVD
player di mobil mas Arman. Indahnya hari bersama suamiku tercinta.
BAGIAN XIV
MENANTU UNTUK ORANG TUAKU
Sampai di rumah ibu, aku langsung masak. Sebenarnya ibu
sudah membuat soto ayam kampung kesukaan ayah. Aku masih ingin menambahkan
daging saus tiram kesukaan mas Arman. Selama aku masak mas Arman asyik
berbincang dengan ayah, baru beberapa kali bertemu mereka sepertinya sudah
sangat akrab. Mas Yoga dulu jarang berbicara dengan ayah dan Dinda, tapi lebih
sering dengan ibu makanya ibu terkena rayuan mas Yoga dan menjodohkan denganku.
Tapi sejak aku dan mas Yoga menikah, mas Yoga tidak pernah dekat lagi dengan
siapa pun. Bahkan kami jarang ke rumah orang tua. Ah sudahlah. Aku tidak ingin
lagi mengingat mas Yoga. Dinda tidak di rumah sedang belajar ke urmah temannya.
kata ibu sejak pagi Dinda sudah pergi.
Rumah jadi agak sepi ga ada Dinda. Selesai masak kami makan bersama. Suasana
siang hari itu begitu indah.
Usai makan bersama aku dan mas Arman masuk ke kamarku.
Kamar masa gadisku dulu, sampai sekarang
kamar itu masih ada dan selalu dibersihkan oleh mbak yan, asisten rumah tangga
ibu yang bekerja pulang hari. Boneka-boneka kesayanganku masih ada. Mas Arman
senyum-senyum simpul melihat isi kamarku.
“ Kok senyum-senyum kenapa ?” Aku bertanya karena senyum
manisnya itu ga berhenti- henti..
“ Tahu ga kenapa aku senyum-senyum ?”
“ Gak tau.. “ jawabku
“ Masuk kamar ini aku merasa menikahi seorang gadis..”
“ Ko bisa begitu ?”
“ Iya lah beib kamar ini kan seperti kamar gadis,
interiornya, pernak perniknya..” mas Arman menunjuk boneka-boneka milikku.
“ Enaknya kalau malam pertama kita di sini. Kita bobo
sini yuk..! “ mas Arman mulai genit memelukku.
“ Ga mungkin lah mas, kan kita ga bawa baju ganti. Nanti
saja kapan-kapan ya..” mas Arman semakin membuaiku. Aku memutar tubuh.
“ Genit” bisikku.. tangan mas Arman semakin menggangguku.
Aku memukul pelan dadanya dan melepaskan pelukannya. Senyumnya berubah jadi
tawa yang tertahan. Beruntung mas Arman tidak melanjutkan permainan genitnya.
Bahagia hari
ini di rumah ibu. Waktu aku melihat ikan-ikan peliharaan ayah mas Arman
mendampingi sambil terus merangkul pundakku. Seperti ingin menunjukkan kepada
kedua orang tuaku kalau dia sangat menyayangi aku. Aku senang bisa menunjukkan
bahagia di depan kedua orang tuaku. Ketika kami mau pulang aku ijin memberikan
uangku untuk ibu mas Arman meneliti uang yang akan kuberikan pada ibu. Mas
Arman bilang itu kurang.
“ Jangan ber
hitung lah sama orang tua.” Suara mas Arman membuat aku merasa malu.. Karena
uang cash tidak seberapa, akhirnya kami sepakat untuk menstranfer uang lagi ke
rekening Dinda.
Rasa syukurku
bertambah memiliki suami yang sangat baik pada keluargaku. Mas Arman sangat
mengerti keluargaku. Sedangkan mas Arman sendiri sudah tidak memiliki kedua
orang tua. Ayahnya meninggal saat mas Arman masih duduk di bangku SMP dan
ibunya meninggal dalam kurun waktu yang bersamaan dengan perginya isteri dan
anaknya untuk mengejar cinta laki-laki lain. Bisa kubayangkan betapa pedihnya
hati mas Arman saat itu. Semoga mas
Arman tetap menjadi orang terbaik sebagai menantu ayah dan ibuku.
BAGIAN XV
SELAMAT JALAN
MAS PRAM
Mas Pram ternyata sakit lever sudah sangat parah,
sejak aku resign dari kantornya kabarnya mas Pram jarang masuk kerja. Mas
Arman memberitahuku sewaktu pulang kerja. Mas Arman bersama teman-temannya
sudah membesuk mas Pram. Sudah satu bulan mas Pram dirawat di Rumah Sakit.
“ Pram pernah mencintaimu. Sejenak luangkan waktumu
untuk merawatnya. Rawatlah Pram atas ijinku, suamimu!” Suara mas Arman yang pelan menusuk
jantungku. Aku tersinggung sepertinya dia sedang mempermainkan aku. Bagaimana
mungkin seorang suami akan membiarkan isterinya merawat bekas pacarnya. Apakah
mas Arman sudah gila mengucapkan itu.
“ Mas.. “ suaraku meneliti matanya.
“ Jangan ngetes aku seperti ini mas.. “ aku sedih
diperlakukan seperti ini oleh suamiku. airmataku mulai mengambang.. diangkatnya
daguk, ditatapnya mataku dalam-dalam, aku merasa asing dengan suamiku. Mas Arman
tahu mataku mulai berkaca-kaca.
“Jangan
menangis. Lihatlah mataku. Lihatlah sayang, ketulusanku ada di sana”
“Saat ini aku hanya mencintaimu, mas. Tolong jangan
perlakukan aku seperti ini.. hikz.. aku mulai menangis.. mas Arman melekatkan
tubuhku ke tubuhnya didekapnya aku erat-erat, tangisku makin mengeras dan aku
tak kuat menahan isak tangisku.
“ Jangan menangis sayang.. aku mencintaimu sangat
mencintaimu. Aku tidak akan melepaskanmu untuk siapa pun” mas Arman lebih
mengeratkan dekapannya.
“ Tapi jangan membiarkan aku merawat pria lain meski
itu masa laluku.. aku sakit mas .. aku sakit.. “
“ Adisty, dengar sayang. Dengarkan aku..”
“ Tidak aku tidak mau mendengar apa pun.. jangan
ucapkan itu lagi, aku harus merawat pria lain aku tidak mungkin melakukan
itu..jangan mas..”
“ Adisty .. Pram sahabatku..”
“ Aku tahu tapi jangan punya ide gila meminta aku
merawatnya.. “ aku memukul-mukul dada suamiku..
“Oke.. oke.. maafkan aku, maafkan aku, sayang..” mas
Arman mengusap-usap kepalaku, aku semakin tersedu dan sulit menghentikan
tangisku.
“ Kita jangan salah paham, sayang..” mas Arman
melonggarkan pelukannya diangkatnya wajahku, airmataku dihapus dengan punggung
telunjuknya.
“ Aku mencintaimu dan sedikit pun tidak pernah
berniat menyakitimu. “ suaranya lirih menekan telinga.
“ Sudah ya jangan menangis.. seorang suami yang baik tidak
akan membiarkan isterinya menangis, apalagi membuatnya menangis.. aku akan
selalu jadi suami yang baik.. mangertilah isteriku.. “ mas Arman tersenyum
manis, senyum manis yang kusukai itu pelan-pelan menghentikan tangisku.
“ Iya tadi mas bilang begitu.. aku sedih”
“ Ga sayang.. maksud aku…ah sudahlah. Ga usah kita bahas dulu.. oh isteriku sayang..”
mas Arman mengecup keningku lembut..
lalu memoncongkan bibirnya di depan mataku.. aku tahu dia mulai menggodaku..
kutekan mulut moncongnya dengan ujung jariku..
“ Ah sebel.. “ kataku manja masih dengan sisa tangis meski
airmataku sudah dikeringkan mas Arman.
“Sebel! Seneng betul, aku tampan..” mas Arman tertawa pelan
“ Enggak “
“ Loh waktu itu bilang suamiku tampan. Sudah berubah
lagi toh? “ aku pura-pura cemberut.
“ Oh sekarang mau bilang suamiku ganteng” ahh .. aku
mencubit hidungnya yang mancung. mas Arman langsung mengecup bibirku. membuat
aku terkejut. Betapa romantisnya suamiku. Terima kasih ya Allah, Engkau beri
aku suami yang luar biasa cintanya. Aku mohon keabadian cinta mas Arman untukku.
“ Baru kali ini aku melihat isteriku menangis seperti itu
” katanya sambil senyum-senyum.
“ Karena lontaran ide gila suamiku” balasku. Sekali lagi dekapan
eratnya menelan seluruh tubuhku.
Aku dan mas Arman, membezuk mas Pram di rumah sakit. Mas
Pram sedang sendirian. Tubuh tak berdaya dengan wajah pucat dan bibir mengering
kondisi yang tidak bisa kupercaya. Laki-laki mantan bosku dan mantan kekasihku
ini sangat berbeda dengan ketika masih bekerja sebagai direktur perusahaan.
Badannya yang tegap berwibawa dan tampan tidak ada lagi.
“ Mas” aku menyalami tangan mas Pram, mas Pram menyambut lemah.
“ Gimana kondisimu, Pram. Ada perubahan ga ?” Tanya mas
Arman
“ Yah begini..” jawab mas Pram pelan.
Mata mas Arman ke arah piring berisi makanan yang belum
disentuh. Rupanya mas Pram belum makan.
“ Belum makan ya ? Makan disuapin Adisty yah..? ” aku
sangat terkejut demi mendengar ucapan mas Arman. Kulihat wajah mas Arman. Dia berkedip
tanda memohon padaku. Kalau sudah begini aku harus nurut. Kuraih makanan mas
Pram kutuangkan sayur bening di atas buburnya dan kutambahkan lauknya. Kuambil
satu sendok, tanganku langsung mengulurkan sendok ke dekat mulut mas Pram...
“ Boleh, Man ? “ mas Pram bertanya pada mas Arman apakah
aku boleh menyuapinya.
“ Pastilah aku
yang minta. Isteriku kan mantan anak buahmu juga.. gak lah aku ga cemburu” Mas Pram membuka mulutnya
ketika sendok yang telah berisi makanan kudekatkan dibibirnya. Sambil menyuapi
mas Pram, kedua bahuku dipegang oleh mas
Arman. Suasana keakraban luar biasa. Inilah yang tak kupahami dari mas Arman saat mas Arman
memintaku untuk merawat mas Pram. Akhirnya aku bisa mengerti. Betapa bijaknya
suamiku menyikapi kehidupan di sekelilingnya. Mas Arman menyuruhku merawat mas
Pram karena kondisinya sudah sangat mengkhawatirkan.. kalau tahu begini
mestinya aku ga usah ngamuk.
Dua hari setelah aku dan mas Arman membezuk mas Pram
wafat. Begitu cepat mas Pram meninggalkan dunia ini. Aku menangis terguncang,
bagaimanapun mas Pram pernah singgah di hatiku. Aku merasa kehilangan. Beberapa
waktu lalu bebanku hilang karena kami
sudah saling memaafkan. Demi melihat aku menangis, mas Arman memegang bahuku dari belakang. Aku
tak kuat menahan tangis akan kehilangan ini. Selesai menangis aku berbalik
menatap suamiku apakah ada tanda cemburu di matanya. Yang kudapatkan wajah duka
yang mendalam di mata mas Arman.
“ Semoga Prambudi Perwiratama husnul khotimah” doa
mas Arman kuaminkan bersama. Dibalik bantal tempat tidur mas Pram, mas Arman
menemukan amplop yang ditujukan kepada mas Arman. Kami baru membuka setelah sampai di rumah. Sebaris
tulisan tangan mas Pram terbaca.
“ Daun jatuh yang telah kau ambil itu sebenarnya
permata, kutitipkan padamu agar
terjaga keasliannya “ Sahabatmu Prambudi.
Setelah membaca tulisan itu bersama kami saling
berpandangan. Oh.. aku jadi ingat email yang dikirim mas Arman tentang
daun yang jatuh itu ternyata aku. Ada bulir air bening yang menetes dari
mata mas Arman. Aku bisa merasakan betapa pedihnya suamiku kehilangan sahabat
sejatinya. Ganti aku yang menghapus airmata mas Arman dengan jari-jariku. “ Laki-laki
boleh saja menangis jika batas kekuatannya sudah sangat merapuh “ Bisikku.
Kupeluk suamiku yang sedang memendam duka mendalam.
Aku dan mas Arman tidak hadir ke pemakaman mas Pram
di Solo, karena sudah ada benih cinta
mas Arman di rahimku. Aku tidak boleh jalan jauh-jauh dan mas Arman tidak mau
meninggalkan aku sendiri di rumah. Hari-hariku memang tidak pernah lepas dari
mas Arman. Ke mana saja aku diantar. Bulan madu yang dijanjikan ke Eropa pun
ditunda demi sang baby yang kami nanti. Pasti lah kami sangat menanti setelah
anak ku dan anak mas Arman di bawa mantan masing masing. Dan aku pun sudah tidak
boleh bekerja dulu, harus fokus menjaga calon bayiku. Aku harus menolak
panggilan interview di perusahaan obat-obatan tempat aku melamar.
Sebenarnya perusahaan ini sama dengan perusahaan mas Pram, kemungkinan diterima
cukup menjanjikan. Aku menurut saja pada mas Arman. Mas Arman pun berjanji
nanti kalau bayi kami sudah agak besar aku boleh bekerja.
BAGIAN XVI
PADANG ASAKU
Usia kandunganku sudah menginjak empat bulan, mas Arman
mengajakku pergi ke suatu tempat. Aku tidak banyak bertanya, paling mas Arman
mengajak aku ke panti asuhan anak yatim piatu. Mas Arman selalu menyampaikan
uang zakat dan sodakohnya ke panti-panti asuhan. Biasanya yang berada di daerah
Bogor, Puncak atau Sukabumi. Perjalanannya ternyata ke Jakarta bagian selatan.
Sampai di suatu tempat di bawah pohon rindang pinggir jalan mas Arman
menghentikan mobilnya.
“Ko berhenti di sini ?“ tanyaku aku khawatir ada apa-apa
dengan mobilnya. Mas Arman tidak menjawab, mengambil saputangan warna hitam.
Saputangan dilipat menyerong dan dipilin tebal. Aku semakin kebingungan, Diraihnya
kepalaku saputangan dilingkar menutupi mataku dan diikat bagian belakang.
Mataku tertutup rapat.
“Ini apa-apaan sih, mas ? “
“ Hush, diam ga
boleh protes”
“ Tapi ini ngiketnya terlalu kenceng kepalaku sakit” mas
Arman mengendorkan ikatannya.
“ Segini sakit ga ?”
“ Gak. Mau kasih kejutan apa sih, mas?” Tanpa menjawab
mas Arman kembali menjalankan mobilnya.
“ Sepertinya aku ga akan terkejut”
“ Siapa yang mau kasih kejutan?”
“ Ini maksudnya apa?”
“ Jalanan di depan banyak laki-laki jelek nanti kamu
nyidam laki-laki jelek kalau lihat mereka, aku ga mau anakku jelek. “ mas Arman
tertawa-tawa dengan mata tertutup gini mana mungkin aku bisa melihat wajahnya.
“ Ga lucu ah..”
“ Lucu banget, ini aku tertawa lihat isteriku matanya
ditutup” Masih juga suamiku ngocol menggodaku. Tidak beberapa lama mas Arman
menghentikan mobilnya. Keluar dari samping pintu stir dan membukakan pintu
untukku. Aku dituntun k eluar mobil dan berjalan pelan-pelan.
“ Udah lewat yah jalanan yang banyak laki-laki jeleknya? “ tanyaku ganti menggodanya.
“ Sebentar ya. Sekarang yang ada tinggal lelaki tampan di
dekatmu”
“ Iih..” aku memukul badannya tapi karena mataku tertutup
tidak mengena sepertinya mas Arman menghindar dan berdiri di belakangku membuka
saputangan yang menutupi mataku.
“ Buka matanya, sayang” aku membuka pelan-pelan mataku.
Kutajamkan pandanganku . Di depan berdiri rumah megah dua lantai bergaya klasik
dengan cat serba putih. Aku terpana melihatnya.
“ Ini rumah siapa, mas ?“
“ Rumah kita, semoga kamu suka yah” aku melonjak
kegirangan.
“ Sst.. jangan diguncang-guncang baby-nya kasian”
aku baru sadar kalau aku sedang hamil muda. Kuhentikan atraksiku. Aku yakin
pasti sangat norak.
“ Maaasss... aku suka banget..terima kasih mas. Terima
kasih” Kataku manja, kurangkul leher mas Arman. Happ.. aku digendongnya
memasuki rumah itu. Tubuhku diletakkan di sofa putih. Aku beranjak duduk, mataku
berkeliling di ruang tamu rumah itu. Masya Allah luar biasa. Aku bangun dan
berlari ingin mengamati seisi rumah itu. Mas Arman mencegahku.
“ Pelan-pelan jalannya, sayang” mas Arman membimbingku.
Tidak bisa kuurai bahagianya aku. Ada mushola kecil dengan karpet dan sajadah
tergelar aku menuju ke situ langsung duduk dan sujud syukur. Mas Arman
mengikuti gerakku. Setelah bangun dari sujud aku dipapahnya berdiri dan
berjalan kembali ke ruang tamu.
“ Terima kasih kejutannya” Kataku malu-malu.
“ Tadi katanya ga akan terkejut. Terkejut juga ya ?” Mas
Arman menggodaku. Inilah mas Arman selalu save kataku dan dikembalikan
padaku. Kugayutkan tanganku ke lehernya, kukecup bibirnya seperti yang selalu
dia lakukan kalau bibirku banyak protes, mas Arman membalasnya dengan romantika
sensualnya yang membuat aku terkulai dalam pelukannya. Kami merapatkan tubuh
merapatkan cinta. Betapa luar biasanya Allah menggantikan apa yang kulepas
dengan ikhlas. Rumah yang kulepas untuk mas Yoga dan isterinya telah diganti
oleh Allah dengan rumah semegah ini. Terima kasih ya Allah tiada nikmatMu yang
kuingkari.
Bayi pertamaku lahir dengan selamat, berjenis kelamin perempuan. Kami membawa bayi
itu ke rumah baru pemberian mas Arman. Rumah megah itu telah dihiasi tangis
bayi. Bayi mungil yang wajahnya mirip mas Arman, oleh mas Arman diberi nama “Adila
Ardiatna Putri”
Suatu pagi aku baru selesai menyusui Adila yang sudah
berumur 2 bulan aku duduk di ruang tamu. Mobil Dinda berhenti di depan rumah. Keluarlah
dari dalam mobil ayah, ibu, Dinda dan anak laki-laki kecil digandeng ibu. Aku mengamati
anak itu. Ya Allah, itu Bino..
“ Bino... “ aku kegirangan, kuberikan Adila ke mas Arman.
Sejenak kutatap wajah mas Arman, mas Arman mengangguk. Aku berlari ke arah Bino
yang berjalan pelan bersama ibu diiringi Dinda dan Ayah. Bino kebingungan kupeluk
dan kucium.
“ Ini bunda sayang..bunda.. “
“Bunda.. “ Bino memanggilku dan membalas pelukanku,
rupanya Bino tidak lupa padaku. Kubawa Bino mendekati mas Arman yang masih
tertegun. Ibu meraih Adila dari tangan mas Arman. Mas Arman jongkok mengangkat
Bino
“Ini papa Arman” kata mas Arman kepada Bino yang sudah di
gendongannya. Bino memandang wajah mas Arman.
“Ini siapa?” Mas Arman menanyakan lagi agar Bino
mengulangi ucapannya. Bino menjawab
“Papa Arman” Bino
mengulangi ucapan mas Arman, mas Arman langsung mencium kedua pipi Bino dan membawa
Bino ke halaman belakang. Bino dibawa ke tepi kolam renang kecil untuk anak-anak, letaknya
di bagian depan kolam renang besar, aku mengikuti dari belakang.
“Mau berenang ga?” Tanya mas Arman.
“Mau.” Jawab Bino riang
“Nanti kita berenang yah” Bino sudah akrab dengan mas
Arman. Mas Arman mengambil bola plastik dan mereka mulai bermain bola asyik
sekali.
Aku masuk ke dalam rumah kutanyakan kenapa Bino sampai
ada pada ibu. Ibu bercerita kalau sudah seminggu berada di rumah ibu. Bino
diantarkan isteri mas Yoga, karena mas Yoga terkena stroke, jadi ga bisa
merawat Bino lagi. Tapi ibu meminta padaku agar Bino tinggal bersama ayah dan
ibu. Ibu sangat memohon karena ibu kesepian. Aku menyetujui demi membahagiakan
ibu. Aku sangat bersyukur, akhirnya Bino dikembalikan kepadaku dengan cara
Allah. Cara Allah lah yang terbaik meski pun mas Yoga harus sakit.
Setelah ayah, ibu, Dinda dan Bino pulang kudekati mas
Arman yang sedang menidurkan Adila ke baby box. Bayi mungil itu tidur
terlelap. Aku dan mas Arman memandangi si mirip mas Arman. Setelah itu kami
saling berpandangan dan melempar senyum bahagia. Kupandangi wajah mas Arman, mata teduhnya indah menatapku. Didekatkan
wajahnya ke arah wajahku. sepertinya mas Arman tahu kalau aku akan mengatakan
sesuatu.
“ Sayang..” dikecupnya keningku, setelah kecupan itu, aku
agak menjauhkan wajahku ingin melihat mata Mas Arman seutuhnya. Kutatap mata
binar mas Arman. Ya Allah, mata tulus suamiku ini luar biasa. Mata itu
memberiku sejuta asa bahagia. Mata yang penuh cinta, asa cintaku seakan berada
di sana. Mas Arman padang asa cintaku yang kuyakini tidak akan tersia-sia lagi.
“Mas.. terima kasih atas semuanya, terima kasih untuk
cinta mas kepadaku, untuk kebahagiaan, kecukupan dan ...” belum selesai bibirku
sudah ditutup oleh bibir mas Arman. Aku terasa melayang.
Terima Kasih Ya Allah atas kenikmatan yang Engkau
berikan. Abadikan cinta kami dalam kebaikan. Aamiin Ya Robbal’alamin.
SEKIAN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar