Kamis, 28 Mei 2020

CINTAKU DI PADANG ASA (NOVELKU)


CINTA DI  PADANG ASA
BAGIAN I
BOS BARU

Lelaki itu muncul di hadapanku sebagai Direktur perusahaan tempat aku bekerja. Mbak Ririn manager personalia memperkenalkannya kepada kami.  Lelaki itu tampil gagah semampai dengan senyum manis mengembang. Berdiri tegak di hadapan kami. Aku sangat terkejut, ternyata bos baruku lelaki itu. Tubuhnya yang tegap tampan dibalut jas warna maroon dan kemeja putih dasi bercorak Versace dengan warna senada jasnya. Penampilan seperti itu membuat dirinya tampak sempurna sebagai seorang direktur. Masih disertai rasa keterkejutan yang belum lenyap sekejap pandangannya dingin  ke arahku seolah tidak mengenalku. Tubuhnya lebih gemuk sedikit dibanding tujuh tahun yang lalu. Yah tujuh tahun lalu aku kenal dengan laki-laki ini, dan menjalin kenangan selama lima  tahun, hanya dua tahun keindahan sisanya ketidakjelasan.  Kini dia hadir  ke sini sebagai direktur perusahaan. Ya Allah alamat apa ini untuk diriku. Menebar senyum manis ke arah karyawan, masih ada lesung pipit yang dulu sangat kusukai, tidak adil rasanya laki-laki sudah tampan masih diberi lesung pipit menawan. Tapi kuasa Allah apa saja diciptakanNya. Bola matanya berputar meneliti satu persatu yang berdiri memperkenalkan diri. Banyak yang tertegun, begitu sampai ke arahku yang berdiri berseberangan sedikit bibir sinis muncul. Aku mencoba menguasai hati. Tidak mengerti dengan sikapnya. Apa itu pandangan dendam ? entahlah, tapi bagaimana ini terjadi dia akan jadi bosku yang akan selalu bekerjasama denganku. Dengan pandangan seperti tadi membuat hatiku bergetar disertai rasa takut dan miris.
 “ Ini bu Adisti sekretaris di sini yang akan mendampingi tugas bapak.” Kata mbak Ririn menunjuk dengan sopan ke arahku. Bos baru kembali mengarahkan matanya ke wajahku, pandangan dingin itu dilontarkan sekali lagi, dan berubah sesaat menjadi pandangan manis yang dibuat-buat. Aku yakin ini sangat dibuat-buat. Aku tersenyum mengangguk,  dibalasnya dengan sikap yang sama. Sedikit membuat hatiku lega.
Perkenalan itu dilaksanakan sebentar hanya sekitar sepuluh menit kemudian kami kembali ke meja kerja masing-masing. Aku segera mengontrol ruang kerjanya apakah sudah rapi dan  bersih, semua sudah Ok. Di pintu masuk ruang direksi langkahku terhenti. Bos baru ini tiba-tiba membuka pintu dan melangkah masuk ruangannya. Kutebarkan senyum mempersilahkannya dan bos baru hanya mengangguk tanpa menengok ke arahku. Tak apa lah karena kami memang harus bekerja professional. Mudah-mudahan situasi ini hanya awal, selanjutnya dia bisa beramah-ramah padaku. Itu harapku.
Sebagai sekretaris di sini harus siap melayani apa saja kebutuhan sang bos, sesuai dengan Tupoksi sekretaris. Sekretaris harus menjaga bisnis perusahaan tetap berjalan mulus dan memastikan terlaksananya fungsi-fungsi organisasional dalam perusahaan dengan sebaik-baiknya. Melayani direktur, mengatur dan mencatat  jadwal kerja, korespondensi, menemani meeting dan pertemuan-pertemuan dengan client yang menjadi tugas utamaku.
Sandiwara hari ini berjalan cukup baik. Dia pura-pura tidak mengenalku dan aku pun berlaku sama. Tidak terlalu sulit berpura-pura. Tapi resah itu tetap ada. Dulu aku sering mengungkap rindu dalam penantianku terhadap Bos baruku itu nama lengkapnya Prambudi Perwiratama.  Aku biasa memanggilnya Mas Pram. Yah Mas Pram bagian cinta masa laluku. Cinta yang bertengger di dahan hatiku itu kulepas sejak aku memutuskan menikah dengan mas Yoga. Pertimbanganku menerima mas Yoga karena dia lelaki baik, gencar mengejark, ibu sangat  menyukainya memberikan harapan besar. Mas Yoga mengaku bekerja di perusahaan asing milik Negara Jepang. Penampilannya yang sopan dan sikapnya yang lembut mampu menarik hati kedua orang tuaku. Mobil mewah yang dikendarainya lebih meyakinkan ibuku bahwa dia lelaki mapan. Orang tua mana yang tidak mengijinkan anaknya dilamar lelaki berpenampilan seperti mas Yoga.
Orang tua mas Yoga tinggal di Jawa Timur, mas Yoga anak tunggal dan tinggal sebatang kara di Jakarta.  4 tahun perjalanan pernikahanku dengan mas Yoga, seorang anak laki-laki berusia 3 tahun hadir dalam pernikahan kami. Aku hanya berharap dengan kepatuhan dan pengabdianku kepada orang tua membuat aku berpikir apa yang dipilihkan pasti terbaik untukku. Setelah  menikah ternyata mas Yoga bukan yang baik untukku, itu  kurasakan sejak beberapa bulan usia pernikahanku sampai sekarang.  
Kehadiran mas Pram mengingatkan aku kembali akan ladang kapas di samping rumah milik eyang putriku menjadi saksi rindu dan penantianku terhadap mas Pram. Kukepakkan sayap rindu dalam penantian untuk janji manisnya. Setiap malam minggu aku main ke rumah eyang. Merenung dan berbicara sendiri kapan mas Pram akan datang, jangankan kedatangannya, bahkan kabarnya pun tak kunjung tiba. Aku tidak ingin mengungkap kelelahanku meski pun menunggu itu melelahkan. Aku tidak bisa membuktikan kepada ibuku kesungguhan mas Pram mencintaiku meski dua tahun awal pacaran mas Pram begitu akrab dengan keluargaku. Sejak aku menikah ladang kapas eyang sudah dirombak jadi bangunan rumah mungil yang ditempati omku, putra bungsu eyang. Sembilu tertancap di hatiku, lukaku dalam penantian yang tak berujung. Ladang kapas itu kusebut sebagai padang asa. Asa ku tertinggal di sana, lukaku tanpa pengertian orang yang kucintai.
Ketika mas Pram pergi aku masih kuliah di  Sekolah Tinggi Ilmu Sekretaris selesai kuliah aku bekerja menjadi sekretaris perusahaan ini, Kini aku berjumpa dengan nya lagi, sayangnya aku sudah hidup dengan lelaki pilihan ibuku.  Mungkin mas Pram memang bukan jodohku. Bertahun hatiku menangis. Mas Pram pernah mengatakan tidak suka aku menangis.
 “ Jangan menangis karena aku tidak ingin membiarkan air matamu tumpah sia-sia” itu ucapan yang kudengar ketika aku ingin menitikkan air mata sebelum ia berangkat ke Kota Balikpapan tempatnya bekerja. Kala itu dia memberi sejuta harapan yang terus kusimpan. Dia berjanji akan datang menjemputku. Bahkan aku tidak pernah tahu kapan janji dan harapan itu akan terpenuhi.
“ Suatu saat nanti kita sama-sama bekerja untuk hidup layak. Aku bekerja dan kamu pun bekerja. Selesaikan kuliahmu. Suatu saat semua hasilnya akan kita petik. Jika sama-sama bekerja suami-isteri, ekonomi rumah tangga akan terasa ringan walau pun itu tidak wajib bagi isteri untuk bekerja.” Itu skenario mas Pram jika nanti kita sudah menikah. Aku mau tetap bekerja setelah nikah, setidaknya aku tidak mengecewakan orang tuaku yang telah membiayai aku sekolah sampai kuliah. Kalau aku ingin membelikan sesuatu untuk ayah dan ibu bisa menggunakan uangku sendiri, bukan uang dari suami.
Ucapan mas Pram terbukti,  sekarang aku dan dia sama-sama bekerja, di kantor yang sama tapi tidak untuk hidup bersama. Kepedihan yang harus kurasakan saat ini sudah menjadi bagianku. Dia akan membalas dendamnya karena sudah kutinggalkan menikah lebih dahulu.
Sebelum Menikah, aku main ke rumah kakak mas Pram, mas Adi, ngobrol-ngobrol dengan mas Asri istri mas Adi. Entah berawal dari mana mbak Asri membuka kalimat tentang mas Pram.
“ Pram mau menikah dengan orang Pare Pare “ suara kakak iparnya yang pelan tapi terasa godam yang menghantam kepalaku, menusuk hatiku.apa ini yang membuat mas Pram lupa padaku ? Saat aku merasa penantianku sia-sia. Aku harus menentukan pilihan dalam  dilema hati yang membuat aku terpuruk dalam penantianku, oh jadi selama ini mas Pram tidak menghiraukan aku karena ada gadis lain di hatinya, sementara aku terus menggantungkan asaku untuk hidup bahagia bersamanya.
Ibuku sudah mendesak untuk segera menetapkan pilihan. Tidak mungkin menunggu. Penantian hanya sebuah penundaan kekecewaan  yang semakin panjang Kecemburuanku pada gadis Pare-Pare yang disebut mbak Asri membuat aku tidak percaya mas Pram akan hadir melamarku,, alasan lain, aku ingin berbakti pada kedua orang tuaku. Aku sudah menghapus tangisku dan bahkan menghapus sosoknya dari ingatan dan hatiku. Itu bukan sesuatu hal yang mudah. Bertahun-tahun aku berusaha itu. Hari-hari kupadati dengan kegiatan yang penting dan tidak penting, apa saja yang membuat aku bisa melupakan mas Pram.  Kukabarkan pernikahanku  via mas Adi kakak kandung mas Pram, dengan menyampaikan permintaan maafku bahwa aku harus menikah dan meninggalkan mas Pram.
Sekarang berbagai pertanyaan berkecamuk di hatiku. Apakah mas Pram bekerja di perusahaan tempatku bekerja sebagai satu cara untuk meluapkan rasa dendamnya padaku ? Kalau mas Pram dendam itu salah, seharusnya dendam itu milikku karena dia tidak pernah membalas suratku selama tiga tahun, bahkan mengangkat teleponku pun dia tidak mau. Tapi aku tidak dendam pada mas Pram.Dendam tidak akan pernah membuahkan pikiran dan hati yang sehat. Dendam hanya merusak naluri utuk segera membalasnya dengan berbagai cara. Bagaimana jika  terjadi pada diri mas Prambudi ?
Seminggu ini pikiranku kalut. Bukan cinta yang  tinggal asa yang menggangguku, tapi masalah ekonomi yang kukhawatirkan jika dia suatu saat  memecatku, tatanan ekonomi keluarga yang kubangun bersama suamiku akan terancam. Pendapatan terbesar rumah tanggaku dariku. Suamiku hanya seorang sopir pribadi orang Jepang yang menjadi pimpinan cabang perusahaan di Indonesia. Gajiku beberapa  kali lipat dari gaji suamiku. Aku tidak pernah berhitung untuk itu. Diijinkan bekerja oleh suamiku sudah sangat kusyukuri. Semuanya berjalan baik-baik saja. Membeli mobil dan biaya kebutuhan anakku satu-satunya aku yang menanggung. Uang muka rumah aku yang membayar dari sisa pendapatan yang kukumpulkan dan itu tidak sedikit karena aku ingin angsurannya kecil. Aku tidak pernah bercerita pada ibu kalau masalah ekonomi keluarga aku yang menanggung.Jangan sampai beliau bertambah penyesalannya. Ibu tahu mas Yoga hanya sopir saja ibu sudah menyesal.
 “ Ini apa? Yang teliti kalau kerja.” Kata bos baruku pagi itu setelah dia menerima dan membaca isi berkas uang kusodorkan untuk ditandatangani, aku terhenyak dengan suara juteknya, bosku sebelumnya tidak pernah berbicara kasar padaku. Dia menunjuk satu lembar kertas yang sedang dibacanya. Bola mataku mengarah ke arah kertas yang sudah kuketik dan siap ditandatangani. Benar aku sudah melakukan kesalahan dalam penulisan. Ya Allah pagi-pagi begini aku sudah membuat kesalahan.
“ Buat lagi yang baru !” perintahnya sambil mengembalikan berkas yang kusodorkan. Segera aku kembali ke meja kerjaku untuk membetulkan kekeliruan yang telah kubuat. Dan kembali lagi menyampaikan berkas yang sudah kubetulkan.
“ Saya kira di sini semua serba baru, tapi ternyata ada orang yang masih tertinggal yang membuat saya harus teringat lagi masa lalu” kata-kata itu diucapkan seperti menggumam. Dan sempat  terdengar olehku membuat hatiku ketir. Duh apalagi ini. Jangan sampai dia mengungkap masa lalu kami. Aku tak menghedaki itu. Aku tak berani melihat wajahnya. Ucapan itu sinis laksana sindiran yang menembak hati untuk sakit. Aku masih diam mematung menunggu berkas yang harus ditandatangani. Berdiri tepat di depan meja mas Pram,.tanpa melihat wajahku kulirik dia masih membolak balikkan berkas. “Ya Allah, semoga ga ada yang salah lagi. “ Doaku.
 “ Temani saya makan siang” kalimat terakhir yang diucapkannya sebelum aku meninggalkannya. Menemani makan siang sampai melayaninya adalah tugas tambahan sebagai sekretaris yang harus kukerjakan dengan baik.
“ Baik pak.” Kataku tanpa bertanya mau makan siang di mana.
Aku menemani makan siang di sebuah rumah makan Sunda yang sangat terkenal. Bos yang memilihkan tempat itu, rupanya dia tidak asing dengan daerah ini. Kupikir dia akan duduk bersamaku, paling tidak aku bisa mulai memperbaiki kesalahan dan meminta maaf atas kekeliruan pekerjaanku. Ternyata bukan itu yang kudapatkan. Dia mengambil tempat di lesehan dan meminta menu lalu menunjuk beberapa makanan yang diinginkan untuk kupesan. Kupesankan makanan yang diinginkan, Gurame bakar sambal kecap, karedok tidak terlalu pedas, cumi goreng tepung, ditambah sambal dadak khas sunda yang sangat kusuka. Oh dia memesankan aku cumi goreng tepung. Ternyata dia masih ingat kesukaanku. Dulu saat pacaran kami memang sering makan masakan Sunda dengan menu seperti itu. Hatiku mulai riang.  Setelah menyampaikan pesanan dan sang pelayan mengulang lagi pesanan kami, mas Pram menambahkan request minuman jus alpulat, yah dia sangat suka itu. Mas Pram tidak menanyakan aku mau minum apa. Tidak mengapa, aku bisa pesan sendiri, pikirku santai.
“ Duduk lah kamu di meja sana. Saya ingin makan sendiri di sini” katanya setelah pelayan berlalu. Hatiku yang sudah mulai senang kini menciut lagi. Situasi ini sangat tidak kuduga. Dia tidak menginginkan duduk dan makan bersamaku.
“ Baik pak” aku membalikkan tubuh dan segera meninggalkannya. Mengambil salah satu meja dekat kasir, yang bisa terlihat si bos, agar dia tidak terlalu sulit jika memerlukan tenagaku. Tidak bisa kuurai bagaimana persaanku dengan sikapnya itu.
Aku memesan makananku sendiri. Kupesan ayam goreng dan sambal terasi serta mie goreng seafood. Sebenarnya tidak suka makan ayam goreng dengan sambal terasi, aku suka sambal dadak, kali ini kupesan menu yang berbeda, menghindari pesanan yang sama dengan bosku. Jujur perasaanku agak sensi dengan pesanan makanan, aku memang harus  menjaga diri dari sikap menghina dan meremehkan. Tidak perlu memesan cumi goreng tepung. Aku ingin merubah menu favoriteku karena Bos ku ini mungkin ingin aku merubah kesukaanku. Aku takut salah lagi dengan mengingatkannya atas kesukaanku. Semuanya harus berubah untuk tidak mengingatkan keindahan masa lalu.
Bos sedang memainkan ponselnya dan sesekali menelepon entah siapa yang di telepon, schedule hari ini sudah kusampaikan tadi pagi. Tidak ada meeting penting, hanya nanti sore ada briefing dengan beberapa manager perusahaan. Belum selesai makanku ada suara mengetuk-ngetuk meja, aku menoleh Bos memberi isyarat makannya sudah selesai. Tanpa melanjutkan makanku aku memanggil pelayan dan meminta bill tagihan. Segera kubayar tagihan makan hari itu. Aku melirik meja Bos mungkin ada yang ingin dibungkus. Sudah kosong. Setelah kubayar semuanya aku mendekati mejanya.
“Sudah selesai, pak.” Tanpa menjawab ucapanku, bos bangkit dari duduknya dan berjalan dengan cepat ke parkiran dimana sopir menunggu, aku mengikuti dari belakang. Kami langsung masuk ke mobilnya. Bos duduk di depan dengan sopir dan aku menempati Jok belakang. Tak ada yang kubicarakan dan memang aku sedang menjaga untuk tidak membuat kesalahan, suasana sunyi sampai kami tiba di kantor lagi.
Ruang meeting sudah kepersiapkan. Sore ini briefing dengan para manager, pasti  tidak memerlukan aku. Mbak Ririn biasanya menyuruhku pulang dan menghandle pekerjaanku jika ada yang kurang. Mbak Ririn sangat tahu kalo aku masih punya balita yang harus kuurus sepulang kerja. Pembantu yang kerja di rumahku hanya bekerja sampai sore. Kebaikan mbak Ririn ini membuat aku sangat nyaman bekerja. Mbak Ririn sangat menyayangi dan aku pun menyayanginya. Kalau pulang dinas dari luar kota ada saja oleh-oleh untukku, aku membalas kebaikannya dengan menjahitkan hijab berbahan voal kesukaannya.
BAGIAN II
KEHIDUPAN PERNIKAHANKU

Mas Yoga sudah tiga hari tidak pulang ke rumah, katanya sedang mengantar bosnya  ke Bandung. Aku percaya saja karena kegiatannya sebagai sopir pribadi harus seperti itu. Anehnya aku merasa nyaman kalau mas Yoga gak ada di rumah, karena ga ada yang berwajah masam dan tidak ada suara bentakan yang sudah menjadi santapanku sehari-hari. Setidaknya kukatakan itu karena sejak kami menikah dia jarang berbicara lembut padaku. Sikapnya berubah 180 derajat dari sebelum menikah. Tapi aku selalu menerima bagaimana imamku memperlakukan aku, sebagai tanda baktiku kepada suami. Apa saja aku menuruti perintahnya. Hanya satu yang sangat aku mau jangan sampai mas Yoga melarang aku bekerja.
“ Bunda sudah pulang yah. Bino mau main sama, bunda” suara Bino anakku. Anak inilah satu-satunya alasan yang membuat aku bertahan dengan rumah tanggaku.  
“ Iya sayang bunda akan menemani Bino main.” Bino berlari riang mengambil mainan mobil-mobil dari kotaknya, ditumpahkan mainannya ke lantai. Mainan mobilannya berserakan, aku mengambilnya satu perstu, kubariskan parallel, Bino mengikuti gerakan tangan menjajarkan mobil-mobilan satu persatu. Berjajarlah mobil kecil-kecil itu. Vino sangat senang.
“ Ini lagi macet ya, bunda. Mobilnya berhenti..”  renrenren…ngeng..ngeng.. suara Bino mengikuti suara mobil. Aku tersenyum bahagia.
“ Iya sayang. Kendaraannya banyak jadi macet, deh”  
“ Iya, ini lagi macet, bunda. “ Bino melanjutkan mainannya. Sambil mainan mulut anak itu kusuapi burger yang kubawa dari kantor. Bahagiaku bersama Bino.
Kini hidupku berhadapan dengan dua lelaki yang membuat aku tidak bisa tenang. Suamiku yang suka membentak dan KDRT dan Bosku yang tidak menghargaiku. Pedih memang sangat pedih. Mas Yoga yang sekolahnya hanya lulus STM itu selalu berbicara keras padaku. Keterkejutanku dengan perlakuan mas Yoga sejak tiga bulan aku menikah, karakternya yang semula lembut dan sangat menghargai telah berubah. Dia pernah menendang penggorengan berisi ayam ungkep yang keletakkan dekat kompor di rumah kontrakanku dulu. Aku kaget dan menangis sejadi-jadinya. Perilakunya yang lembut sebelum menikah ternyata hanya sebuah trik untuk menipu aku dan keluargaku. Ketika aku minta kunci motor yang akan kupakai ke minimarket, mas Yoga memberikannya dengan melempar ke arahku dan hampir menengnai wajahku kalau aku tidak mengelak. Juga ketika kami berada di supermarket dia membentakku di depan umum. Padahal kondisiku sedang hamil besar. Setiap dia tidak pulang ke rumah karena harus menginap di rumah bos nya saat itulah aku menumpahkan segala tangisku.
Setelah anakku lahir dan aku punya tabungan cukup, kami kredit rumah dengan uang muka dari tabunganku. Dia berjanji akan mengangsur tiap bulannya, tapi itu hanya dilakukannya beberapa kali. Selanjutnya 2 bulan angsurannya tidak dibayar sampai tagihan bank datang ke rumah kami. Jika tiga bulan tidak dibayar rumah itu akan diambil kembali. Terpaksa aku yang menutup semuanya dan seterusnya aku yang membayar. Seperti itu pengorbananku tapi tidak membuat mas Yoga jera menyakitiku.
Yang sangat mengejutkan di saat aku hamil mas Yoga berani memukulku. Hari-hariku dipenuhi dengan tangis saat kehamilan Bino. Dua manusia lahir dari dua falsafah keluarga yang berbeda harus bersatu meniti hari-hari perkawinan kami. Aku terlahir sebagai anak pertama dari dua bersaudara dengan adikku Dinda 5 tahun dibawahku. Kami dibesarkan dalam kehidupan yang penuh kedamaian dan kasih sayang kedua orang tuaku. Kedua orang tuaku hidup berkecukupan. Mas Yoga lahir sebagai satu-satunya anak yang ditinggalkan ayahnya menikah lagi dengan wanita lain, Ibunya pun sudah menikah lagi, dan mengurusi suami barunya di kota Malang. Perkawinan yang penuh kesakitan. Kutelan semua yang kudapat tanpa perlu bercerita kepada siapa pun, aku tidak pernah berani melawan suamiku. Aku takut dosa dan  dosa menjadi  prahara bagi hidupku, padahal ini adalah prahara besar yang mengungkungku. Entah sampai kapan ini akan berlaku dalam hidupku. Aku hanya bisa berdoa dan berdoa semoga Allah melembutkan hati mas Yoga.
Kesakitan bertambah sejak mas Pram hadir sebagai bosku. Rupanya kesakitan sedang sangat akrab dengan hidupku. Aku tidak dapat membayangkan kapan masa indah itu datang, masa di mana aku tidak hidup di bawah injakan kaki laki-laki yang pernah sama-sama mengisi kehidupanku.
BAGIAN III
BOS JUTEK
Bos jutek, Setidaknya kusebut demikian karena tidak ada kelembutan dari setiap pembicaraannya denganku. Pagi hari cerah aku berdoa agar cerah juga hatiku. Kusematkan papan nama di dada di baju blazer hijau botol. Blaser ini senada dengan bawahannya celana panjang. Kupadukan dengan hijab kekuningan dengan bahan lembut. Setidaknya tidak membuatku merasa gerah hari ini untuk menghadapi sang Bos yang jutek. Kusempurnakan make up dengan sedikit blush on. Sebagai sekretaris direktur aku harus selalu tampil sempurna agar tidak memalukan sang bos. Kembali kupandangi wajahku di kaca dengan make up tipis aku percaya diri. Kali ini kusapukan eyeshadow warna gelap agar mataku tak tampak sembab karena sudah semalaman aku menangis. Sudah seminggu mas Yoga ga pulang ke rumah. Ketika aku telepon ditolak. Ya sudahlah aku menghadapi semuanya dengan tangis. Semoga nanti ada waktu terindah untukku.

Kukendarai mobil mungil milikku. Kubeli mobil mungil ini dari bonus, hadiah dan pendapatan lain yang kutabung tanpa sepengetahuan mas Yoga, Aku katakana pada mas Yoga kalau itu mobil dinas untukku. Aku memang ingin memiliki mobil agar aku nyaman dan tidak perlu banyak membetulkan dandananku. Na’asnya hari itu jalanan macet bukan main, aku terlambat sampai kantor. Keterlambatanku disambut dengan wajah masam mas Pram. Sang bos dengan sinis menegurku.
“ Jangan sering-sering yah terlambat. Mata saya gak nyaman lihat karyawan terlambat”
“ Maaf pak. Iya pak, insya Allah besok tidak terlambat lagi.” Aku menangkupkan tangan untuk permintaan maafku.
Di meja kerjaku setumpuk pekerjaan sudah menanti. Bos yang meletakkan dengan note yang ditulis di kertas Sticky note ditempel di atas meja. Beberapa surat keluar harus kuketik. Baru aku mengetik surat keluar bos sudah mendatangiku.
“ Siang ini saya akan makan siang dengan kolega saya, tolong pesankan meja“
“ Untuk berapa orang, pak?”
‘ Lima ”
“ Di mana pak ?”
“Dimana lagi? Di tempat kemarin kita makan lah” Jawabnya jutek, sambil membalikkan tubuhnya meninggalkanku.
“ Maaf pak sekalian pesan makanannya atau nanti saja.” Aku masih bertanya.
“ Nanti saja biar mereka pilih sendiri mau makan apa.” Dia hanya memalingka wajahnya sedikit.
“ Baik Pak. Siap”
Aku segera menghubungi rumah makan Sunda tempat aku makan bersamanya. Setelah siap kulaporkan dengan alamatnya agar pak Bos dapat menghubungi koleganya, tapi bos menyuruhku menghubungi nomor telepon yang diberikannya padaku. Pak Arman dengan nomor teleponnya. Kuputar nomor telepon pak Arman.
“ Selamat pagi, dari mana ini?” belum aku mengucapkan selamat pagi sudah disambut duluan dengan suara lembut.
“ Saya Adisty sekretaris pak Prambudi, pak” Jawabku
“ Oh ya, gimana ada pesan apa dari pak Pram ?”
“ Ini pak, saya mau menyampaikan acara makan siang dengan pak Pram hari ini di Resto Sunda…” kuberikan alamatnya.
“ Oh ya, terima kasih tolong share lokasinya ke nomor  ini ya.”
“ Baik pak. Terima kasih”
“ Ya sama-sama” suara lembut dari sana mengakhiri pembicaraan kami. Ya Allah seandainya mas Pram bisa berbicara dengan nada selembut itu, pasti setiap hari hatiku merasa senang bekerja dan mendampinginya.

Pertemuan makan siang dengan pak Arman dan dua orang temannya jadi laksanakan di Resto Sunda. Kali ini Bos membiarkan aku duduk bersama tiga koleganya.  Aku tidak diusir untuk menjauh seperti awal makan di sini beberapa hari lalu.
“ Ini bu Adisty yang tadi menelpon saya ya ?  “ Suara salah satu orang dari tiga orang teman pak bos, aku menoleh suara itu. Seorang laki-laki berwajah manis, melempar senyum manis padaku. Oh rupanya ini lah pak Arman yang tadi aku telepon, suaranya manis orangnya pun manis. Ah lelaki kok manis membuat perempuan iri.
“ Iya pak” aku menjawab sopan. Hanya itu yang kulakukan, tidak melebihkan kata-kataku agar aku tidak melakukan kesalahan lagi.
Kubuat pesanan menu, banyak sekali menu kali ini. Ada gurame bakar, gurame goreng melayang, cumi telor asin, cumi goreng tepung, karedok dan jus alpukat, mangga, jus jeruk dan belimbing. Teman bos yang gendut memilih jus belimbing. Aku cukup teh tawar hangat saja. Sambil menunggu pesanan datang  mereka berbincang tenang bisnis dan pekerjaan. Rupanya pak Arman bekerja diperusahaan eksport import yang membantu perusahaan dipimpin oleh mas Pram, eh bosku.
Setelah pesanan datang kami semua menyantap dengan nikmat, kulirik tampak bos menikmati santapannya.
“ Bu Adis tidak memesan jus ?” Tanya pak Arman memecah kesunyian. Duh aku salah tidak ikut memesan jus yang membuat satu pertanyaan muncul dari pak Arman.
“ Tidak pak saya sedang tidak enak minum dingin.” Jawabku sekenanya. Sebenarnya mas Pram tahu aku tidak suka minuman dingin setelah makan.
“ Oh begitu. Jaga kondisi ya bu untuk melayani Bos ganteng ini harus selalu fit” Gurau pak Arman sambil menunjuk ke arah mas Pram dengan dagunya, sekali lagi senyum manis itu mengembang.
“ Iya pak” hanya itu jawabanku. Tapi kulihat wajah bosku tidak suka aku bercakap dengan pak Arman. Aku langsung diam tidak mau membuat kesalahan lagi. Kami pun lebur dalam suasana yang makan yang mengasyikkan. Selanjutnya lobi-lobi perencanaan ekspor hasil produksi yang akan dilakukan oleh perusahaan milik pak Arman.

BAGIAN IV
AKU YANG TERDZALIMI

Sudah seminggu mas Yoga tidak pulang. Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam terdengar suara motor yang dikendarai mas Yoga masuk ke halaman rumah. Segera aku bangkit dari dudukku, kumatikan televisi agar mas Yoga tidak terganggu dengan suara televisi. Kudekati mas Yoga dan mengulurkan tangan untuk mencium punggung tangannya. Itu kebiasaan yang kulakukan kalau mas Yoga baru pulang kerja atau berangkat kerja. Kuminta helm motornya dan kuletakkan di tempat penyimpanan helm.
Mas Yoga tampak kelelahan sehingga aku tidak berani menyapa. Kubuatkan kopi susu panas seperti kebiasaanku kalau mas Yoga pulang malam. Mas Yoga tidak meminumnya. Aku berharap mas Yoga masih mau duduk berbincang bersamaku, aku bisa menanyakan ke mana seminggu ini dia tidak pulang dan tidak memberi kabar. Tanpa bicara apa pun setelah mengganti baju, mas Yoga langsung tidur memunggungiku. Aku benar-benar takut dengan sikapnya, aku salah apa ? Malam itu sulit kupejamkan mataku.
Sarapan nasi goreng yang kumasak hanya dimakan sedikit oleh mas Yoga.  Pergi begitu saja tanpa pamit denganku. Manusia aneh, pikirku. Entah bagaimana aku mau menikah dengan lelaki aneh ini ? Ini sebuah kesalahan tapi sudah terlanjur.
Sore hari mas Yoga sudah ada di rumah sebelum aku sampai rumah. Aku masuk rumah membawa belanjaan untuk kebutuhan makan malam. . Kuucapkan assamualaikum, mas Yoga menjawab pelan.dia asyik bermain dengan Bino. Kupikir mas Yoga lapar, setelah mengganti baju kerja dengan baju rumah aku bergegas masak. Sebelum maghrib masakan sudah siap, ketika aku sholat maghrib mas Yoga menyantap masakanku. Mas Yoga memang tidak pernah sholat.
“ Mas ke mana seminggu ini gak pulang ke rumah ?” Tanyaku hati-hati. Kulakukan setelah selesai sholat dan membaca Al Qur’an. Jantungku tiba-tiba berdegup keras demi melihat wajah mas Yoga tidak senang dengan pertanyaanku.
“ Mas, mas ke mana saja ?” aku mengulangi pertanyaanku.
Plakk… Satu tamparan mendarat di bagian kiri kepalaku. aku terhuyung, selain pelipis kiri, mata kiri ku ikut sakit. Pandanganku agak berkunang-kunang, kupegang erat ujung meja makan untuk menopang kekuatanku. Kali ini sakitnya berkolaborasi antara hati dan fisikku. Setelah pandanganku terang kembali aku bangkit dan berdiri.
“ Aku salah apa sampai mas sekasar ini? Apa pertanyaanku tadi salah, mas ?.” Tanyaku sambil mengusah-usap pelipis bagian kiri yang terasa nyeri.
“ Kamu banyak menuntut dan cerewet “ Bentak mas Yoga.
“ Aku hanya bertanya kemana mas seminggu ini? Apa salah mas ?” tanpa bisa kutahan air mataku mulai mengucur.
“ Itu yang aku gak suka, selalu bertanya dan menelpon terus. Aku kerja masa ga tahu aku kerja” suara mas Yoga semakin mengeras.
“ Aku tahu mas, tapi setidaknya kan mas bisa memberi kabar untuk anak isteri”
“ Gak penting”
“ Itu penting mas, hal terpenting dalam rumah tangga kan saling komunikasi.”
“ Kamu memang pinter, kamu hebat. Makanya kehebatan kamu untuk mendikte aku”
“ Aku tidak bermaksud begitu, mas.”
“ Ya pasti lah, apalagi ? “ matanya melotot giginya terdengar gemeretak seolah ingin menerkamku. Aku ketakutan. Bino menangis kencang demi melihat pertengkaran kami. Sebenarnya aku sudah sering meminta mas Yoga untuk tidak bertengkar di depan anak. Aku ingin mengambil Bino tapi mas Yoga lebih dulu menggendong Bino dan menepis dengan kasar tanganku.
“ Mas kita bisa bicara baik-baik, jangan bertengkar di depan Bino”
“ Mau bicara apa ? penting? Gak ada yang penting lagi.”
“ Mas kenapa jadi begini?”
“ Aku bosan dengan sikap kamu, selalu tanya kalau saya ga pulang. Mau Tanya saya tidur dimana?  kamu kan tahu saya sopir pribadi”
“Iya mas aku tahu. Aku minta maaf kalau salah.” Berharap pertengkaran ini lerai karena tangis Bino semakin kencang tidak enak terdengar oleh tetangga.
“ Sini Bino, mas” aku meminta Bino, mas Yoga malah tambah melotot.
“ Bino nangisnya kencang tidak enak didengar tetangga ini sudah malam”
“ Kamu yang memulai”
“ Mas..aku..”
“ Sudah lah saya bosan dengan suara kamu yang sok bijak, pergi sana !” Hardiknya.
“ Maksud mas”
“ Iya pergi sana, keluar dari rumahku..”
“ Mas ini kan rumahku juga,”
“ Ini rumahku, milikku..keluar kamu ”
“ Ini rumah kita, mas. Jangan berkata seperti itu”
“ Rumahku, dengar. Rumah ini atas namaku.” Aku diam. Kemarin-kemarin tidak ada bahasa masalah rumah. Kenapa sekarang mas Yoga mengungkit itu bukankah kita masih tinggal sama-sama di rumah ini.
“ ambil barang-barangmu, keluar,,,” mas Yoga, masuk ke kamar Bino dan mendiamkan anak itu..dari dalam kamar dia masih teriak.
 “ Aku keluar dari kama inir, kamu harus sudah siap untuk keluar. Bawa mobilmu. Pergi sana kemana saja kamu mau “Aku mendekati kamar Bino yang masih terbuka
“ Mas benar mengusir aku?”
“ Iya, masih kurang dengar,,” ya Allah mas Yoga serius mengusirku. Ketakutan semakin mendera. Aku bergegas mengambil koper di atas lemari kumasukkan barang-barangku. Yang tidak masuk ke dalam koper langsung kumasukkan ke dalam mobil. Aku merasa tidak aman. Suamiku sudah seperti monster, bengis dan menakutkan.
Malam itu juga aku keluar dari rumahku hanya membawa mobil yang kubeli dengan uangku sendiri dan baju-baju serta perlengkapanku hari-hariku untuk bekerja. Kutinggalkan rumah itu dengan hati pedih..kusesali rumah tangga yang kubangun dengan penuh kesabaran tetap membuat aku terusir. Apa salahku ? Aku yang sudah banyak berkorban harus menerima perlakukan seperti ini miris sekali hidupku. Hari sudah malam aku terpaksa tidur di hotel seorang diri, tidur di hotel berlaku dua malam sampai aku menemukan penginapan baru. Dapatlah aku menyewa sebuah apartemen dengan ukuran kecil, kusewa selama satu bulan. Aku tidak mungkin kembali ke rumah ibu dengan kondisi seperti ini. Ini akan menyakiti hati ibuku. Tidak ada yang kuberi tahu. Juga Dinda adikku tidak perlu tahu rumah tangga kakaknya. Aku sudah memastikan tekadku untuk hidup mandiri dan tidak membebani pikiran orang tua dan keluargaku setelah aku menikah.
Dengan perasaan sedih kunikmati hari-hariku tidur di apartemen sewaan. Aku masih berharap mas Yoga menjemputku dan mengajak aku kembali ke rumah itu. Sampai satu bulan itu tidak dilakukannya bahkan aku ingin bertemu karena kangen anakku pun tidak diperbolehkan. Betapa kejamnya mas Yoga kepadaku.
“ Aku lahir dari seorang ibu yang sudah dengan susah payah mengandung dan melahirkanku, juga dari seorang ayah yang menghidupiku sampai aku besar dan engkau mengambilku sebagai isterinya. Jika mas tidak menginginkan aku lagi tolong kembalikan aku baik-baik mas. Jangan mengusir aku seperti ini”
“Aku tidak mengusirmu. Kamu pergi sendiri meninggalkan suami dan anakmu. Kamu yang salah mengapa aku harus mengembalikan ke orang tuamu ?  kamu bisa pulang sendiri ke rumah orang tuamu” balasnya. Ya Allah kenapa kenyataannya harus dibalik seperti ini, mas Yoga yang mengusir aku dari rumahku tapi aku yang dianggap pergi sendiri. Cobaan apalagi ini ya Allah.
“ Mas lupa,  mas yang mengusir aku”
“ Aku ga ngusir kamu. Sudah lah jangan mengingkari. Titik. ” hanya itu jawaban terakhirnya selanjutnya dia tidak mau bicara lagi denganku dan aku kehilangan kontak dengan mas Yoga. Siang hari di saat libur aku datang ke rumah untuk menemui anakku. Rasa kangenku sudah tidak bisa kutahan. Yang kutemui bibi yang hanya berbicara dari dalam pagar rumah dan aku diluar, bibi tidak mau membukakan gerbang untuk mobilku.
“ Bapak melarang bibi membukakan pintu untuk ibu. Kata bapak  sudah minggat ga boleh kembali lagi.” Ya Allah setega itu mas Yoga menceritakan diriku pada bibi yang sangat polos, pembantuku ini sudah 3 tahun kerja padaku. Datang pagi pulang sore kalau aku atau mas Yoga sudah ada di rumah.
“ Ga bi,  saya ga minggat, bapak yang meminta saya pergi”
“ Tapi bu, bapak yang bilang begitu, maaf ya bu,  bibi hanya ingin menuruti kata bapak,” Bibi memang tidak pernah tahu hubungan tidak baik antara aku dan mas yoga. Mas Yoga selalu melakukan kebengisan dan KDRT setelah bibi pulang. Alangkah malangnya aku.
“ Itu gak benar bi, Bino mana?”
“ Sedang tidur sama bapak” Berarti mas Yoga ada di dalam. Jika aku memaksa bibi membuka pintu pasti mas Yoga akan menghardikku. Aku mulai takut sikap mas Yoga sudah mulai terang-terang menyakitiku.
“ Ya sudah bi, ga apa-apa.. saya titip Bino jaga Bino baik-baik ya bi. “
Kupandangi sejenak rumah asri walau pun berukuran tidak terlalu besar tapi indah dan bersih, tanamanku masih tertata dan terawat dengan baik. Aku memastikan uang mas Yoga tidak akan cukup untuk membeli rumah seperti itu dengan uang muka  yang aku perbesar agar angsurannya ringan. Rumah itu atas nama Mas Yoga, sekarang rumah itu dikuasainya betapa liciknya mas Yoga. Tinggal aku menyesali nasibku sendiri. Ternyata banyak berkorban tidak membuat aku disayanginya malah didzalimi Aku meninggalkan rumahku dengan langkah gontai menuju ke mobilku.
Aku sudah tidak berani lagi mengunjungi rumahku. Setelah berpikir panjang akhirnya sampailah aku pada satu keputusan, berpisah dengan mas Yoga. Aku sudah tidak bisa masuk lagi ke rumah itu. Aku takut ditampar dan dipukul lagi. Sementara aku mengurus surat perceraianku ke Pengadilan Agama. Aku dengar sudah ada wanita lain masuk ke rumah yang diakui sebagai rumah mas Yoga. Aku semakin mantap dengan keputusanku. Aku baru mengerti ternyata mas Yoga sering marah-marah karena ada wanita lain dalam hidupnya. Aku paham sekarang ternyata seringnya dia tidak pulang pun dia sudah mendua. Aku terpedaya.

Aku harus kehilangan anakku karena mas Yoga sudah memberinya ibu baru aku. Walau berhari-hari aku menangis sangat rindu pada anakku. Aku sudah tidak boleh menginjakkan kaki lagi di rumah yang kubeli atas nama mas Yoga. Kini rumah itu kutinggalkan tidak ada harta gono gini karena rumah itu belum lunas dan mas yoga yang melanjutkan cicilannya. Aku yang menggugat cerai maka aku terusir dari rumah itu dan tidak boleh membawa anakku. Demi kebahagiaan Bino aku mengalah, suatu saat anak itu pasti mencariku. Sebenarnya hak asuh anak itu ada padaku, tapi mas Yoga bersikeras mengambil Bino dengan alasan aku sangat sibuk dengan pekerjaanku dan entah dengan cara apa lagi dia bisa menang mengambil Bino. Perjanjian di pengadilan jika anak itu kangen maka ayahnya bersedia mengantarkan untuk bertemu denganku, tapi itu tidak dilakukannya selanjutnya Bino tidak diantar ke apartemen yang kusewa padahal aku sudah memberi alamatnya. Sedangkan aku sudah tidak dapat memasuki rumah mas Yoga. Betapa kejamnya mas Yoga padaku. Kini aku sendiri. Kulanjutkan menyewa apartemen yang kubayar bulanan sampai batas waktu yang tidak aku tahu sampai kapan aku harus hidup begini. Aku tidak mau kembali ke orang tuaku yang membuat orang tuaku malu sama tetangga. Kasian ayah ibuku andai tahu hidupku sekarang seperti ini. Berpikir bijak untuk tidak mengadukan masalahku pada kedua orang tuaku mungkin suatu pilihan yang tepat.
BAGIAN V
DOA IBU

Akhirnya orang tuaku tahu aku sudah bercerai dengan mas Yoga. Ibu berkunjung ke rumahku karena kangen cucunya. Hanya Bi Nah yang menemui, bi Nah memberi tahu ibu kalau aku sudah pergi dari rumah itu.
“ Maafkan Adis, bu. Adis harus mengambil keputusan ini karena Adist sudah tidak kuat dengan semuanya” aku menangis di pangkuan ibuku. Pangkuan teduh yang dulu selalu memberiku semangat untuk berjuang di masa-masa sekolahku. Ibu selalu mengajari aku menerima dan menyikapi kehidupan dengan hati-hati. Ikhlas dan berpasrah diri. Ibu mengusap-usap kepalaku. Pertanyaan ibu tentang keputusanku bercerai dengan mas Yoga harus terjawab, aku ceritakan semua dari awal sampai akhir kejadiannya. tidak ada yang perlu disembunyikan lagi. Tiada tangis di mata ibu. Ibu hanya mendesar berulang-ulang, tak bisa kumaknai desah penyesalan atau kelegaan.
“Ga apa-apa,  nak. Semoga ini menjadi keputusan terbaik yang diberikan Allah. Keputusan yang diridhoi.” Bijak suara ibu menguatkan hatiku.
“ Tapi, bu Ibu  akan sulit bertemu dengan cucu ibu karena hak asuh jatuh ke tangan mas Yoga”
“ Adist, Ibu memang sayang cucu, tapi Bino adalah hak Yoga karena dia bapaknya. Ikhlaskan dulu muda-mudahan suatu saat Bino kembali padamu.” Ibu mengangkat wajahku. Mata ibu yang jernih tanpa airmata mengisyaratkan kalua aku harus bersikap sama.
“ Jangan terlalu dipikirkan yah. Allah akan atur semuauya, Berdoalah selalu mohon kepada Allah apa yang jadi keinginanmu” ibu memelukku lama,  ibuku memang wanita luar biasa, sebesar apa pun persoalan yang dihadapi diterima dengan lapang dan ikhlas. Aku banyak belajar dan berusaha meniru ibu.
“ Anak ibu kuat dan hebat” bisikan ibu terdengar di telingaku, menyejukkan hati. Ibu berpesan tidak usah memikirkan rumah yang telah kubeli dan diambil mas Yoga suatu saat Allah akan menggantinya dengan yang lebih baik.
“ Anak orang gak baik biarkan saja diurus bapaknya. “ kata ayahku kesal
“ Loh kok ayah bilang begitu, itu kan anak adist, yah”
“  Ya mudah-mudah kelakuannya tidak seperti bapaknya”
“ Aamiin ya Robbal’alamin.” Suara Dinda mengaminkan doa ayah seakan membuat aku tidak percaya. Dinda yang cuek dan masa bodoh sedang sibuk dengan laptop didepan tiba-tiba memberikan suara. Dinda adikku yang masih kuliah di kedokteran sangat sibuk dengan kuliahnya. Kesibukannya membuagt kami jarang berkomunikasi.
“ Bagus lah kakak pisah dengan si Yoga itu. Udah ga usah dipikirin ” suara Dinda menghentikan tangisku. Mata kami semua tertuju ke arah Dinda yang berbicara matanya masih asyik ke laptop di depannya. Kata “si Yoga” ucapan Dinda kugaris bawahi. Dinda  memang begitu kalau tidak suka dengan seseorang maka dia akan sebut namanya sesukanya  si Yoga bukan mas Yoga.
“ Loh ini keinginan kamu juga yah kakak bercerai ?” aku sudah menyeka air mataku, kemarin aku sudah banyak menangis, sekarang yang kusampaikan ke ibu hanya sisa-sisa tangis karena air mataku terasa sudah mengering untuk menangisi kelakuan mas Yoga.
“ Lah emang begitu cowok tukang kibul tinggalin aja”
“ Emang Dinda tau kalau mas Yoga tukang kibul?”
“ Yah tahu lah,  kakak dan ibu aja yang ga sadar ketipu sama tukang tipu.”  Dinda tertawa sinis.
“ Hush…” suara ibu menghentikan tawa Dinda, bukannya berhenti  tertawa malah melanjukan ucapannya.
“ Dasar tukang tipu ngaku kerja di Perusahaan Jepang, ternyata Sopir orang Jepang…” Dinda berbicara sambil tangannya mengaktingkan orang nyetir. Aku merasa geli dibuatnya.
“ Oh jadi kakak bodoh ya !”
“ Bodoh sih enggak, cuma pinter, pinter dikibulin, haaa  “ Tawa Dinda berubah menjadi tawa menggoda. Seketika air mataku kering.
“ Iya deh adikku calon dokter lebih pinter..”
“ Tapi inget loh kakak juga pinter.. beda jurusan kita” kataku,  Dinda memajukan bibirnya membuat aku gemas. Kudekati Dinda dan kupeluk tubuhnya dari belakang, Dinda membalas dengan memegang kedua lenganku. Sadar aku sekarang selama ini Dinda menjauhiku karena tidak suka dengan suamiku.
Ya Allah masa bersama keluargaku seperti dulu telah tiba kembali. Walau harus kutebus dengan perceraianku. Tidak apalah pasti Allah akan berikan yang terbaik. Lelaki seperti mas Yoga tidak pantas kujadikan imam. Bagaimana mungkin menjadi imam yang baik sholat saja dia tidak pernah. Untuk diri sendiri saja ibadahnya belum cukup bagaimana membagi kebaikan untuk anak dan isteri.
Ibu benar, apa yang telah hilang jika kita ikhlaskan akan mendapat gantinya lebih. Setelah lima bulan aku tinggal di apartemen, akhirnya aku bisa membeli rumah cluster yang baru jadi dibangun. Sebenarnya uangku belum cukup untuk itu. Ayah menawarkan tabungannya yang diperuntukkan kuliah Dinda, uang itu tidak terburu dipergunakan karena bayarnya kuliah Dinda persemester. Dan saat ini Dinda belum memerlukan biaya praktikum yang besar. Nanti menjelang tugas akhir dia akan banyak memerlukan biasa. Tabungan itu dipinjamkan kepadaku dan aku mencicil pada ayah.
BAGIAN VI
KESAKITAN MASIH BAGIANKU

“ Bapak sudah begini sukses kenapa belum memilih pendamping?” Tanya mbak Ririn iseng ketika kami makan bersama di kantor, makan bersama ini memang dijadwal 1 bulan sekali. Semua dari direktur dan beberapa divisi serta karyawan tidak ada yang dibedakan. Manfaatnya untuk menjalin hubungan harmonis antara pimpinan dan bawahan.
“ Nanti ya, Tenang saja. Saya lagi mencari-cari pendamping, wanita yang cantik, perkepribadian baik dan setia” katanya sambil tersenyum dan sejenak melirikku. Aku tahu dia sedang menyindirku. Tapi biarlah, apa pun anggapannya tentang aku sudah kuterima walau sebenarnya bukan begitu. Bukan aku tak setia. Dia yang PHP ini seperti penipu. Yah aku sebut saja dia penipu. Apa bedanya penipu dengan tidak setia.  Toh sama saja. Percakapan hati sedang membidiknya.
“ Yah pak. Kalau cantik dan baik banyak, tapi kalau setia itu kan harus teruji.” Timpal mbak Ririn yang membuat aku jadi serba salah. Sudah dapat sindiran mbak Ririn malah bilang begitu. Tidak ada jawaban dari pak Bos alias mas Pram. Aku tenag dengan harapan semoga hal ini tak dibahas. Kami melanjutan santapan. Aku mulai tenang.
“ Iya betul, bu Ririn.  maka butuh waktu lama untuk mendapatkan wanita yang teruji kesetiaannya. Doakan saja yah.” Suara mas Pram dengan nada seolah sedang menyindirku. Aku pura tidak mendengar dan tidak ikut menanggapi, takut salah pastinya.
Hidupku menjadi sangat kacau. Perilaku semena-mena terhadapku sudah membuat aku laksana berdiri  di atas satu batu runcing di bukit curam, kuibaratkan seperti itu. Mas Pram bisa saja memecatku sewaktu-waktu jika aku membuat kesalahan fatal. Bagaimana super hati-hatinya aku bekerja selalu ada yang salah. Setiap aku berangkat aku seperti sedang mendatangi tragedy yang akan menimpaku. Wajah bengis dan dendamnya selalu muncul dan dinampakkan dengan jelas jika aku sedang berhadapan dengannya,  tapi di hadapan teman-teman dia berubah menjadi sangat manis dan baik padaku.
Dalam kurun waktu dua minggu setelah surat resmi perceraian dari pengadilan aku terima, aku ditampar mas Pram dengan kalimat paling pahit.
“ Karena aku datang lagi kamu memutuskan menjanda ?” Aku tersedak dan menelan salivaku, sangat terkejut  dengan pertanyaan itu. Dari mana dia tahu kalau aku sudah berpisah dengan suamiku. Pasti dari mbak Ririn bagian personalia karena kalau ada karyawan yang menikah atau bercerai harus dilaporkan ke kantor ini wajib untuk data pegawai. Surat dari Pengadilan agama kutunjukkan pada mbak Ririn  seminggu lalu. Mungkin selama itu dia tahu aku menjanda bos berancang-ancang untuk menghantamku.
“ Sama sekali tidak benar, pak.  Saya berpisah dengan suami saya karena perjodohan kami memang sudah selesai., itu saja. Saya mohon bapak tidak memberikan kesimpulan buruk tentang saya.” Aku membalikkan tubuhku. Ucapan bagai tamparan keras dan kegeeran mas Pram membuatku tubuhku sedikit limbung. Berbagai perlakukan telah kuterima dengan sabar dan ikhlas, tapi kali ini sebuah tuduhan negatif yang membuat aku sangat terpukul. Dia menuduh aku ingin kembali padanya sehingga aku memutuskan berpisah dengan suamiku. Andai saja mas Pram tahu kalau aku sudah sangat lelah dengan KDRT dan perselingkuhan suamiku,  tentu kalimat menyakitkan itu tak akan terucap dari bibir mas Pram, setidaknya aku masih berpikiran baik tentang pimpinanku. Tak kuat dengan perlakuannya kali ini aku mencoba menahan airmataku. Tubuhku hampir terhuyung, kutahan untuk tidak jatuh di depannya. Kupikir untuk apa dia tahu apa yang kualami. Aku tidak pernah menceritakan apa pun masalah dalam rumah tanggaku kepada orang lain. Karena bagaimana pun jahatnya mas Yoga padaku dia tetap ayah dari Bino, anakku. Aku tidak mau anakku dicap sebagai anak tidak beruntung karena diturunkan oleh laki-laki kejam seperti mas Yoga. Aku masih sangat menghargai mas Yoga dan melindungi harga diri anakku.
“ Duduk  lah.!” perintah mas Pram tanpa merubah ekspresinya.
“ Pak. Saya mohon jangan kaitkan masalah pribadi saya dengan kedudukan bapak di sini “ tanpa mampu kutahan airmataku mulai runtuh satu persatu.  
“ Jadi tidak benar begitu ?“ katanya sambil meraih tissue di meja dan mengulurkannya padaku. kuseka airmataku, aku merasa aneh, ternyata bisa baik juga dia padaku. Seperti dulu ? Ah Tidak, kali ini dia demikian sombong dan angkuh padaku. Aku mengangguk meyakinkan.
“ Saya sadar siapa saya dan saya tahu kedudukan bapak sini. Bapak pimpinan di kantor ini tapi saya mohon bapak  jangan menghina saya dan berprasangka buruk pada saya.”
“ Ya sudah maafkan saya kalau anggapan saya salah. Sudah lupakan saja kata-kata saya tadi.”  Hanya itu kata-katanya . Tidak ada nada penyesalan dalam kalimatnya.
“ Ketidaksetiaan kadang membuat kita terpuruk, ingat ya. ” Walau pelan bicaranya cukup menusuk. Tidak setia. Jadi selama ini dia menganggap aku tidak setia. aku menunduk memeras air mataku yang sudah memenuhi mata. Tissue pemberiannya masih tidak cukup, aku mengambil tissue lagi dengan mengucapkan kata maaf.
Mas Pram pernah mengatakan tidak ingin melihat aku menangis sekarang dia dengan sengaja membuatku menangis. Kenapa lelaki mengucapkan sesuatu tapi diingkarinya sendiri. Masih duduk santai di kursi direkturnya dia membiarkan aku menangis dan aku berusaha keras menghentikan tangis tak berguna ini untuknya. Setidaknya aku berharap dia tidak akan melakukannya lagi. Aku selalu diajarkan ketegaran oleh ibuku. Berbagai kedzaliman orang lain terhadap kita jika kita hadapi dengan sabar dan ikhlas Allah akan memberikan hadiah terbaik nantinya. Pesan yang kupatrikan dalam hidupku. Aku tidak tahu maksud mas Pram apa ini penghinaan, kedzaliman atau ke suudzonan. Aku berusaha untuk ikhlas. Semoga aku semakin kuat dengan ujian ini.
 “ Maaf pak, saya kembali ke tempat saya” dia mengangguk dengan sedikit ekspresi penyesalan. Yah hanya sedikit saja sudah aku maafkan.
Aku masuk ke toilet pribadi di sebelah ruang kerjaku. Kutajamkan pandanganku ke di depan cermin wastafel, mataku sembab dan aku melanjutkan tangisku di situ. Sudah sepedih ini hidupku masih ditambah dengan kedzaliman dari mas Pram. Ternyata dia sama saja dengan mas Yoga yang awalnya pura pura sebagai lelaki baik dan ternyata sama bengisnya. Apakah aku harus menyesal kalau dalam hidupku kutemui dua lelaki yang pernah singgah di hatiku ternyata sama buruknya perlakuannya padaku. Tidak tahu perasaan dan seenaknya sendiri. Kalau mas Yoga menyakitiku dengan tangannya, mas Pram dengan kata-kata pedas dan segudang penghinaan padaku.  Mas Pram salah, aku tidak meninggalkan mas Pram, aku bukan tak setia tapi mas Pram yang menciptakan hidupku seperti, harus meninggalkannya menikah dengan mas Yoga. Kalau dia merasa terkhianati itu salah besar. “ Aku tidak mengkhianatimu, mas Pram. Kamu salah. Kamu biarkan aku menanti di padang asa ku. Tiga tahun kamu biarkan aku sendiri.. “ aku berbicara sendiri. Entah berapa lama aku merintih. Baru tersadar kalau aku sedang di tempat kerja. Bergegas aku bangkit kurapikan outer warna navy dan jilbab biru muda. Kembali merapikan riasan wajahku. Aku harus kuat menghadapi semua yang kuterima demi kehidupan yang lebih baik. Bekerja ya, bekerja hasilnya Allah yang berikan. Ya Allah beri aku kekuatan lebih lagi, aku mohon kepadaMu. Doaku. Aku berpikir sehat, semua tidak akan bisa dijelaskan, tidak perlu penjelasan karena masalah sudah sangat basi untuk dibahas lagi. Berbicara dengan manusia temperamen dan hidupnya penuh dendam hanya akan membuka luka-luka yang semakin menganga.


PAK ARMAN

Acara makan siang dengan pak Arman terulang kembali. Acara makan siang merupakan lobi-lobi para direktur untuk bekerjasama memajukan perusahaannya. Seperti biasa pak bos meminta aku menghubungi pak Arman. Pak Arman siap menghadiri undangan pak bos.
Sebelum masuk ke restoran bos  Pram sempat berbisik padaku :
 “ Sekali pun sudah janda ga usah TP TP (tebar pesona) ke kolega saya” sindiran yang sangat menyakitkan. Walaupun begitu aku tetap diam.
Mas Pram benar. Aku memang harus sangat tahu diri dengan posisiku sebagai seorang janda beranak satu. Sebenarnya aku merasa penampilanku biasa saja, tidak mengisyaratkan aku wanita penggoda dan tukang TP TP,  tidak masuk akal kalau aku dianggap sebagai wanita suka tebar pesona dan menggoda. Sekretaris selayaknya memang tampil modis. Wajar lah aku  mengasosiasikan diri dengan penampilan modis. Bukan tampil fashionable  salah satu kewajibanku tapi berhijab juga kewajibanku untuk mentaati aturan aqidah. Apa pun ucapan mas Pram, aku sudah sangat kebal. Apa saja yang diucapkan atau disindirkan aku akan selalu diam, yang penting aku tetap bekerja dengan baik demi mengumpulkan pundi-pundi untuk segera melunasi angsuran rumahku pada ayah.
Lagi-lagi pak Arman memperhatikanku, bertanya kabar dan sebagainya di depan mas Pram. Bahkan aku tidak makan ikan saja jadi pertanyaan.
“ Bu Adis, tidak suka ikan ?” tanya pak Arman
“ Lo perhatian banget sih man, sama Adisty.” Mas Pram  yang menjawab sebelum aku menjawabnya.
“ Loh kenapa, melanggar aturan yah..? sorry Bro “
“ Kagak sih, gue napah ditanya kenapa gue suka ikan. Gue teman loh”
“ wah bosnya jealous nih, bu Adist..” pak Arman tertawa.
“ Gak lah, mosok gue jealous…” mas Pram menimpali.
“  Lo  jealous, ntar  loh ga respect lagi sama gue..” Pak Arman masih tertawa.
“ Emang kita guy, apa?”  kata mas Pram,  pak Arman mengeraskan lagi tawanya. Aku hanya tersenyum-senyum.
“ Wah gue jadi curiga sama loh berdua..” bapak yang tubuhnya gendut menimpali, yang satunya hanya senyum-senyum saja.
“ Loh berdua sohib sejak kuliah jangan-jangan…” pak gendut masih bicara dipotong mas Pram.
“ Ape… emang gue gila apa.. tuh Arman yang suka gila..bini…ah udah ah. Lanjut makan tuh ikannya masih banyak.. “ mas Pram terkekeh.
“ Eh lo jangan buka kartu dong, Pram..”
“ Emang loh punya kartu mati..” kata mas Pram.
“ Lo tahu kartu gue mati pasti loh yang matiin..” pak Arman tidak mau kalah. Gurauan itu memang seru walau sama sekali aku tak paham arahnya, aku tetap membisu dari pada nanti dibilang aku TP TP, kan tadi mas Pram sudah wanti-wanti gak boleh TP TP.
Setelah acara makan selesai aku menjauh pura-pura mau ke kamar kecil, padahal aku sedang tidak ingin ke sana, kubiarkan mereka melanjutkan percakapan mungkin ada lobi-lobi yang penting. Aku langsung ke mushola sholat dzuhur. Keluar dari mushola berpapasan dengan pak Arman yang juga mau sholat dzuhur. Oh ternyata bapak ini soleh juga. Kami hanya saling melempar senyum.
Balik ke kantor pak bos masuk sebentar keruangannya dan keluar lagi memberiku setumpuk pekerjaan.
“Malam ini lembur, banyak pekerjaan sehingga kamu tidak bisa pulang sore” ucap pak Bos. Tumben kali ini nadanya biasa saja tidak jutek seperti biasanya. Kupikir aku bakal kena damprat karena tadi di resto mendapat perhatian pak Arman, kali ini dugaanku salah.
“ Baik pak” jawabku singkat
“ kamu ga capek?” Tanyanya. Pertanyaan yang membuat aku merasa sedikit  aman
“ Tidak pak, saya siap melayani bapak kapan saja”
“ Haaah ?” Si bos ter belalak. Oh aku salah bicara.
“ Oh maaf, maksud saya, saya siap bekerja kapan saja. Insya Allah” aku segera membetulkan kalimatku. Yang pasti aku belum siap untuk bercanda sekalipun kalimatku siap melayani  diasumsikan berbeda.
Daftar pekerjaan telah diberikan padaku. Sampai jam 10 malam belum juga beres. Bos mendatangiku.
“Kalau belum selesai lanjutkan besok saja yang penting pekerjaan yang tadi saya tulis di bagian atas itu jadi priotitas, besok siang segera dilampirkan untuk pengiriman barang oleh eksportir. “
“ Baik pak..Yang tertanggal untuk besok pagi sudah selesai. “
“ Ya sudah kamu boleh pulang”
“ Baik pak, terima kasih”
“ Hanya itu bahasa yang kukenal dari kamu sejak saya bekerja di sini. Baik pak, siap, pak, terima kasih pak...” dia menirukan bahasaku sehari-hari.
 “ Apa gak ada kata- kata yang lain gitu.. “
“ Maksud bapak !” Tanyaku tak mengerti.
“ Ada kek apa pertanyaan atau cerita saja tentang apa gitu yang membuat saya ga bete dengan bahasa kamu..”
“ Saya takut salah.. bapak kan.. “ aku tidak berani melanjutkan kata-kataku, padahal aku ingin mengatakan bapak kan membenci saya.. tapi tercekat di kerongkongan..
“ Apa ..?”
“ Ah tidak pak.. supaya kita baik-baik saja” baru ini aku berani berbicara dengan kata kita.. semoga aku ga salah lagi.. bos tidak menanggapi dan berlalu dari hadapanku begitu saja. Aku segera mengemasi barang-barangku. Sudah hampir setengah sebelas malam. Di parkiran aku bertemu lagi dengan bos.
“Kamu berani pulang sendiri?”
“ Insya Allah berani pak”
“ Apa gak sebaiknya mobil kamu ditinggal di sini saja kamu pulang bersama saya” tawaran yang tidak pernah kuduga, berarti dia akan mengantarku pulang ke rumah. Ah tidak.. sebaiknya aku tolak saja.
 “ Tidak usah pak, terima kasih” Aku langsung masuk ke mobil dan menyalakan mobilku dan  segera meninggalkan halaman kantor, kulihat dari kaca spion bos masih mengawasiku, sedikit lega hatiku. Mungkin hari ini bos sudah minum vitamin kebaikan sehingga dia tidak lagi jutek padaku. Semoga vitamin itu diminumnya tiap hari biar dendam dan jutenya sembuh total, harapku. Sambil nyetir aku tersenyum sendiri.

Semangat pagi, dengan hati berbunga aku berangkat kerja. Lembur tadi malam sama sekali tidak melelahkan. Kalau segala pekerjaan dikerjakan dengan senang hati maka badan tidak akan mudah lelah. Sampai kantor bos sudah menyambut di pintu ruanganku. Ah aku selalu keduluan bos setiap sampai di kantor.
“ Hari ini saya ada perlu. Kamu bisa bantu saya mengantar surat lampiran ekspor ke kantor pak Arman?”
“ Saya pak?” Aku bertanya seperti tidak percaya.
 “ Iya nanti di antar pak Kardi” pak Kardi adalah sopir bos.
“ Saya sedang menunggu orang di sini,”
“ Baik pak”
“ Masih dengan bahasa itu lagi”
“ Ya pak”
“ Kamu tidak bercerita apa kek, tadi malam sampai rumah jam berapa dan bagaimana gitu. Yang ramah kenapa jadi orang biar ga kaku kayak gitu. Luwes gitu”
“ Oh semalam saya sampai rumah baik-baik saja. Bersih bersih badan terus tidur. Hanya itu saja, tidak ada yang istimewa” jawabku. Bos tertawa kecil. Tentu saja aku senang. Dan aku tersenyum seperti yang tadi malam kulakukan demi menikmati perhatiannya pagi ini.
“ Ya sudah kalau sudah siap nanti langsung berangkat”
“ Baik, pak”
“ Hmm.. “ gumannya mendengar bahasa rutinku. Aku tahu dia meledek, aku kan takut salah lagi. Super hati-hati demi pundi-pundi yang sedang kukumpulkan. Oh sejak hidup sendiri aku jadi mengerti artinya uang.
 Diantar pak Kardi sampai juga aku ke kantor pak Arman. Hatiku agak berbunga aku akan menjumpai pria manis pemilik senyum manis. Semoga dia tetap bersikap sama seperti biasanya kalo sedang bertemu dengan pak bos Pram. Aku tidak perlu memikirkan sindiran mas Pram agar tidak tebar pesona. Salah sendiri mas Pram menyuruh aku menemui pak Arman kan aku jadi bisa TP-TP lagi.
Dengan yakin aku memasuki lift dan menyentuh lantai 7 tempat pak Arman berkantor. Kali ini aku percaya diri penampilanku sempurna dengan setelan blazer hijau lumut dan hijab motif bunga berdasar hijau lemon  Handbag warna hitam dan sepatu heels hitam dari brand ternama tampak menyakinkan diri. Sejak berpisah dengan mas Yoga dan hidup sendiri aku lebih bisa memanjakan diri dengan penampilanku, setidaknya uang pendapatanku utuh dan bisa kupakai apa saja selain untuk mencicil hutangku pada ayah. Ada hikmahnya juga menjanda guman hatiku. Aku bebas dari bentakan suara mas Yoga dan bebas dari ketakutan dipukuli mas Yoga. Sekarang aku hidup bebas dari rasa takut. Alhamdulillah. Dan yang membuat hatiku agak berbunga mas Pram sudah tidak kasar lagi dua hari ini..
Ooh aku sudah sampai lantai tujuh di dekat lift ada meja security aku bertanya pada bapak penjaga dimana ruangan pak Arman. Pak Arman sudah menunggu, kuucapkan salam. Dengan senyum manis pak Arman membalas salamku. Sejuk benar hati ini. Andai bos ku senyumnya menyejukkan seperti pak Arman. Ah aku berandai-andai.
“ Silahkan duduk bu Disty.” Katanya. Loh ko dia memanggilku dengan sebutan itu seperti dulu mas Pram memanggilku. Tapi sekarang mas Pram kan ga pernah nyebut namaku lagi.
“ Ya pak,  terima kasih. “ Aku menyampaikan sebendel surat dari mas Bos. Pak Arman membukanya dan memeriksa satu persatu. Mataku berkeliling mengamati ruangan sejuk dan tertata rapi. Ruangan ini lebih indah dari ruangan mas Pram. Wow di sudut sana dekat sofa tamu ada aquarium besar berisi ikan warna warni. Aku terkagum. Ruangan dengan penataan klasik modern ini benar-benar luar biasa, indah dan sejuk. Aku jadi mengerti rupanya pak Arman ini suka dengan yang indah-indah.
“ Sudah lengkap ya, bu” pak Arman menghentikan mataku menikmati ruangannya.
“ Tidak ada yang kurang ya pak?”
“ Iya sudah lengkap semua dan siap diproses”
“ Kenapa bu? Kurang indah ya ruangan saya..” oh rupanya Pak Arman tahu mataku mengamati ruangannya
“ Oh tidak pak, sangat indah, bersih dan sejuk. Menginspirasi saya untuk menata ruang pak bos Pram. “ pak Arman tersenyum mendengar pujianku. Pak arman mengangkat gagang telepon di mejanya memanggil sekretarisnya. Tidak lama seorang perempuan masuk, wanita sekretaris pak Arman itu juga manis dan ramah mengangguk padaku. Oh direktur dan sekretarisnya sama sama manis.
“Ini dilanjutkan yah.” Perintah pak Arman.
“ Ya pak. Apa harus selesai hari ini karena ekspor dari PT cendikia sekarang harus selesai juga pak?” Tanya sekretaris manis itu.
“Ya kalau bisa terkejar ok lah karena ini barangnya sudah ready dan siap dikrim” “ saya usahakan ya pak”
“ Iya, jangan sampai ada kesalahan ya, kerjanya yang teliti” lembut suara pak Arman menasehati. Tidak demikian dengan mas Pram yang super jutek. Boro-boro aku dinasehati, yang sering terjadi kalau salah aku dibentak bentak. Wanita manis itu berlalu sambil melemparkan senyum manis padaku. Pandangan pak Arman kembali padaku. Senyum manis lagi dan melirik arlojinya. Aku mengikuti geraknya melirik arlojiku menunjukkan pukul 11. 56. Oh macet jalanan tadi sudah sangat memakan waktu.
“ Sudah hampir istirahat makan siang, yuk kita makan siang “ aku terkejut, pak Arman mengajakku makan siang? Ga salah ini. Bukankah dia akan makan siang dengan sekretaris pribadinya.
“ Makan siang dengan saya pak!”
“ Iya. Saya harus menjamu tamu dengan baik ini sudah saat makan siang. “
“ Tapi pak..”
“ Ga apa-apa. Mari “ ajaknya.
“ Saya tidak enak nanti pak Pram ..”
“ Gampang nanti saya yang bilang sama Pram kalo siang ini bu Adist makan siang dengan saya.” Pak Arman bangkit dari duduk dan berjalan aku mengikutinya.
“ sebenarnya saya takut pak Pram marah pada saya.”
“ Mosok sekretarisnya dijamu makan siang marah. Ga mungkin lah” bahasa pak Arman meyakinkan. Ahaa… aku sedang sikap pak Arman tidak seperti sikap mas Pram kepadaku.
Sopir pak Arman sudah menanti di lobi, rupanya sopir itu rutin setiap jam makan siang selalu siap mengantar bosnya kemana mau makan.
“ Mobil bu Adist biar nunggu  saja nanti kita kembali lagi ke sini” aku masih terpana dan menurut saja.. ya Allah mimpi apa aku diajak makan siang sama pak Arman. Tapi aku senang sekali.
“ Mau makan apa” Tanya pak Arman setelah kami duduk dalam mobilnya.
“ Apa saja pak,  saya OK”
“ Sukanya apa?”
 “ Saya apa saja suka, asal bapak juga suka.” Jawabku sekenanya. Pak Arman tergelak..
“ Pram…Pram  beruntungnya kamu punya sekretaris nurut begini” pak Arman seperti sedang berbicara sendiri. Kata-katanya itu benar, tapi mas Pram tidak pernah merasa beruntung, aku dalam teror dendamnya sehingga mas Pram tidak mensyukuri keberuntungannya memiliki pegawai sepertiku. Ah aku merasa tersanjung dan menyanjung diriku.
Pak Arman menyuruh sopirnya berhenti di RM Padang yang terkenal kelezatannya. Dulu sama bos lamaku pak Harta aku pernah diajak makan di RM ini.
“ Kita makan masakan Padang saja ya, biar cepat dan bu Adist ga gelisah takut ditunggu Pram.” Rupanya pak Arman dapat membaca keresahanku.
“ Baik pak, terima kasih”
Acara makan sangat singkat, kami kembali lagi ke kantor pak Arman  dan aku segera balik ke kantorku lagi. Kupikir aku bakal kena damprat karena makan siang dengan pak Arman, rupanya pak bos gak tahu aku telah makan siang bersama pak Arman. Aman lah kalau begitu.



BAGIAN VIII
DINAS  KE SURABAYA

“Ada tugas ke Surabaya, kamu bisa menggantikan saya?” kata pak bos.
“ Saya sendiri, pak ?”
“ Ya iya lah masa sama saya,  kalau sama saya mending saya sendiri yang berangkat.” Jawabnya ketus.
 “ Baik,  pak. Maaf. Nginep ya pak?” aku bertanya dengan nada polos.
“ Simposium dua hari mana bisa pulang hari pasti nginep lah” lagi-lagi jawabnya jutek. Obat baiknya mungkin lupa diminum.
“ Ya pak siap.. tapi pak..” aku masih ingin mengatakan sesuatu sudah dipotong kalimatku..
“ Tapi kenapa ?”
 “ Bapak jangan jutek sama saya, saya capek pak dijutekin bapak” kataku memberanikan diri. Sudah lama ini ingin kusampaikan tapi aku tidak pernah berani.
“ Memangnya saya jutek sama kamu ? Perasaan saya biasa saja”
“ Perasaan saya beda pak. Bapak galak dan jutek sama saya.” Dia tertawa kecil mulai berani aku tertawa. Bahasaku  ini seperti orang asing yang sedang  mengingatkan.
“ Disty.. disty.. kamu itu hidup terlalu peka. Dan perasaanmu itu loh.. “ dari jauh dia menunjuk ke dada ku. Oh baru ini dia memanggil namaku lagi dengan panggilan itu. Kaget juga sih. Tapi biasa aja..
“Terlalu sensi..” hah aku sensi, perasaan aku terlalu kuat menghadapi juteknya. Bukan sensi kali.. Gerutu hatiku.
“ Sudah sana segera buat tugas dan pesan tiket sekalian besok pagi kamu berangkat pilih pesawat paling pagi ceck in besok siang jam satu. Ini undangannya” Perintah pak bos sambil mengulur surat undangan simposium. Aku menerimanya. Sebenarnya masih mau bertanya lagi. Kuurungkan takut nanti malah dibilang aku bego setelah tadi dia  bilang aku sensi. Jangan sampai dia bilang aku bego, bodoh. Aku segera berlalu,  meninggalkanya yang masih tersenyum entah apa makna senyumannya.
Esok harinya jam delapan pagi aku sudah sampai Surabaya, segera memesan taksi menuju hotel tempat symposium. Aku lega , dua hari ini aku gak akan ketemu bos jutekku. Refreshing juga lah.
Sampai hotel hari masih pagi, pendaftaran symposium belum dibuka, bahkan panitianya pun belum ada. Aku menitipkan koporku pada resepsionis. Aku ingin jalan-jalan dulu menikmati bunga TABUBEYA yang bermekaran di jalan Tunjungan. Pagi yang menyejukkan dan menyenangkan. Sudah lama aku tidak menikmati perasaan senang seperti ini. Lama hidupku terkungkung oleh kehidupan pernikahan yang membuat otakku merasa selalu rumit, serba stag dan kehilangan harga diri. Betapa bodohnya aku tidak bisa menikmati keindahan hidup. Jangankan mengajak jalan-jalan menikmati indahnya kota lain di Indonesia, untuk sekedar  mengajak jalan-jalan keluar rumah makan bakso di pinggir jalan saja tidak pernah dilakukan oleh mas Yoga. Aku seperti babu yang terperas tenaga dan pendapatannya. Belanja bersama saja aku trauma kena bentakannya. Ya Sudah lah, aku sudah mengakhiri semuanya. Kini saatnya aku menikmati hidup walau masih tertekan dengan perlakuan mas Pram yang luar biasa juteknya.
Simposium Akutansi  Keuangan dan Pasar Modal untuk Perusahaan kuikuti dengan dengan baik. Padahal seharusnya materi ini untuk direktur perusahaan, gak apa lah buat nambah-nambah ilmu. Aku tidak paham benar materinya, tetapi kuikuti dengan seksama. Semua materi kukumpulkan untuk laporan ke mas Bos. Hari pertama simposium sampai jam delapan malam. Aku masih belum ingin masuk ke kamar. Aku malah masuk ke cafe hotel. Ingin menikmati kopi susu hangat. Kupesan kopi susu hangat dan Cheese Sandwich kesukaanku.
 Aku sedang memainkan ponsel sambil menunggu pesananku tiba, ada suara yang mengejutkanku.
“ Boleh duduk di sini ? “ aku mengangkat wajahku melihat ke asal suara itu. Seorang pria berkemeja biru sudah berdiri di depanku.
“ Pak Arman..” ucapku reflek. Pak Arman mengangguk dan biasa.. melontarkan senyum manisnya.
“ Silahkan pak..” pak Arman menarik kursi dan duduk berseberangan denganku.
“ Pram ga datang ke simposium ?”
“ Tidak pak, saya diminta mewakili”
“ Oh gitu.. bu Adis sendiri ?” Aku mengangguk
“ Bapak mau minum apa.. ?”
“ Nanti saja kalo pesanan bu Adis sudah datang.. tapi.. sama saja lah dengan bu Adis”
“ Ya pak” aku memanggil pelayan memesan minuman dan makanan yang sama. Luar biasa ini bos gak ada jaimnya. Mau saja pesan makanan sama dengan aku yang notabene karyawan temannya. Ada manusia sukses sebaik ini.
“ Bu Adis balik ke Jakarta kapan ? “
“ Belum tahu, pak. Saya belum pesan tiket..”
“ Gak ingin jalan-ialan dulu menikmati kota Surabaya ?”
“ Lusa kan saya harus masuk kerja? Pak”
“ Besok kan hari Kamis, paling lambat besok acara  selesai jam 4 sore. Mau langsung pulang malamnya?”
“ Kemungkinan iya, pak. Takut pak bos minta laporannya hari jum’at”
“ Ijin sajalah sehari,  kan lelah. Balik Jum’at sore jalan-jalan dulu di Surabaya.“ Saran pak Arman.
 “ Saya takut pak bos marah.. “
“ Ga usah takut lah ijin sehari saja.”
“Saya coba nanti ijin pak bos boleh atau tidak ”
“ Jangan-jangan Pram ini bikin karyawan underpressure
“ Oh tidak, pak” aku berusaha membela mas Pram bagaimana pun kan mas Pram bos ku, harus kuhormati dan kubela.  
“ Pak Pram orangnya baik, saya malah suka ga enak kalau mau meninggalkan pekerjaan” mudah-mudahan gak kelihatan kalau aku sedang berkata dusta. Kan memang mas Pram jutek banget sama aku. Pak Arman tidak menyangkal hanya tersenyum manis.
“ Nanti kabari saya yah. Biar kita beli tiket sama.” Hah.. pak Arman minta pulang bersamaku. Aku jadi tambah kagum dengan pria ini.
Kopi susu hangat dan cheese sandwich ternikmati bersama pak Arman. Rupanya pak Arman juga suka Sandwich.  Entah bagaimana perasaanku aku hanya merasa seperti sedang menikmati Bos yang baik hati.
Bagaimana baiknya pak Arman aku tetap harus tahu diri, aku takut pak Arman mengetes aku mau bolos kerja atau tidak. Sebelum tidur aku sms pak Arman kalau aku tetap akan kembali ke Jakarta besok malam dengan pesawat jam 20.00. Aku belum pesan tiket,  kupikir besok pagi masih bisa, hari kerja tidak terlalu sulit pesan tiket. Aku baru menyampaikan 15 menit lalu, pak Arman sudah mengirimkan kode booking tiket pesawat ke Jakarta
“ Masya Allah, bapak sudah membelikan tiket untuk saya, saya baru berencana membeli tiket besok pagi..   “ belum selesai menulis pak Arman menelpon aku.
“ Bu Adist. Belum tidur ya.. maaf mengganggu” suara pak Arman di seberang sana.
 “ Ya pak,  belum “
“ Saya sudah belikan tiketnya besok kita  pulang ke jakarta sama- sama yah.. “
“ Tapi pak..”
“ Sudah ga apa-apa. Besok ke bandaranya sama-sama,  bu Adist bisa tunggu saya sebentar selesai simposium saya mau ke rumah adik saya dulu, ga lama ko rumahnya dekat .. ok ya”
 “ Pak...uang tiketnya saya transfer ya. ”
“ Oh gak usah, bu Adis seperti sama siapa.. Sudah ya, selamat malam selamat beristirahat” ditutup teleponnya. Waduh, gimana ini mau transfer mau tanya no rek telepon sudah ditutup. Ya Allah demikian baiknya pak Arman padaku. Wah kalau  pak Arman ga punya sekretaris,  aku mau jadi sekretarinya. Tapi pak Arman kan punya sekretaris yang manis dan bersenyum manis seperti pak Arman.
Malam itu aku jadi pulang bersama pak Arman. Kami menunggu pesawat bersama dan duduk berdampingan. Pak Arman ternyata mau duduk bersebelahan denganku. Mas Pram aja bosku sendiri gak mau makan berdekatan sama aku. Jadi inget watu makan pertama kali di resto Sunda aku disuruh duduk menjauh.  Pak Arman yang baik isterinya  pasti cantik dan baik juga, nyatanya dia bisa hidup sesantai dan sebesan ini. Tapi aku tidak berani membuka kata untuk bertanya tentang rumah tangganya. Mana mungkin aku selancang itu. Aku pun merasa aman karena pak Arman tidak bertanya keluarga dan kehidupan pribadiku. Malu lah kalau sampai aku harus bilang bahwa aku ini janda beranak satu, anakku dibawa mantan suamiku. Alhamdulillah aman.
Pak Arman hanya bercerita kalau dia 2 bersaudara, adiknya satu perempuan dan tinggal di Surabaya yang tadi sore dikunjunginya. Adiknya sudah berkeluarga dan memiliki 2 putera. Adiknya menikah dengan orang Surabaya dan tinggal di Dukuh Kupang. Pak Arman hanya menanyakan apa hobbiku dan sudah beli oleh-oleh khas Surabaya atau belum. Aku tadi sudah membeli makanan hits Surabaya Almond Chrispy dan Lapis Surabaya yang kubeli pakai gosend.
Paginya ketika masuk kerja ternyata bos ga masuk. Sudah 2 hari gak masuk kerja sakit katanya. Aku bukannya senang bos ga masuk karena sakit, tapi aku merasa aman karena merasa aman dari hal yang kutakutkan kalau pak Bos bertanya bertemu dengan pak Arman atau tidak. Nanti dia mengira aku TP TP lagi. Semua diktat dan segala hasil simposium kuletakkan di mejanya sedangkan materi soft copy dari flasdish sudah kukirim via email tapi karena sakit sepertinya bos belum membuka emailku


BAGIAN IX
BAHAGIA BERSAMA DINDA

Pundi-pundi semakin menggunung di tabunganku, setidaknya aku bilang begitu walau pun menurut orang lain tak seberapa. Uang lembur, bonus, uang dinas luar semua kumasukkan ke rekeningku. Sejak kapan aku jadi penikmat uang ? tentu saja sejak aku hidup sendiri tanpa suami. Suami dulu sering menguras tabunganku. Tanggal muda dia memberiku uang, dua minggu kemudian dia minta uang bensin dan uang makan. Mas Yoga memang sangat pandai memanfaatkan aku. Aku tersenyum bangga mengecek isi tabunganku. Sebentar lagi hutangku sama ayah akan kulunasi. Baru aku menikmati hidupku tanpa hutang. Dan aku bisa mengganti mobilku dengan mobil keluaran terbaru, begitu khayalku.  Aku merasa lega. Enak juga tidak dimanfaatkan suami. Sedihnya aku hilang kontak dengan Bino,  itu yang membuat aku kadang menangis sendiri kalau ingat Bino. Anak itu usianya hampir lima tahun tentu sebentar lagi dia sekolah.
Aku pernah menelepon Bino lewat hp bi Nah.  Naas bagi bi Nah. Bino mengadu pada ayahnya,  bi Nah kena marah bahkan diancam akan dipecat kalau berani lagi menghubungkan aku dengan Bino. Sejak itu aku tidak mau mengganggunya lagi.
Makan sendiri, masak sendiri sudah menjadi kebiasaanku. Mau apalagi kalau hari Sabtu dan Minggu sudah menjadi kebiasaanku. Sarapan sudah selesai, aku duduk di sofa sambil memainkan ponselku. Hari masih pagi tiba tiba ada mobil berhenti di depan rumah, aku hapal betul itu mobil Dinda adikku. Dinda mengunjungi rumahku sudah beberapa kali.. Kangenku sama Bino biar tersapu oleh kedatangan Dina. Dengan riang Dinda masuk ke rumahku.
“ Assalamualaikum”
“ Waalaikumsalam “ balasku. Selama tinggal dengan mas Yoga belum pernah sekali pun Dinda datang ke rumahku. Seakan ada jarak yang membatasi kami. Sekarang Dina sudah mau main ke rumahku menengok kakaknya.
“Wow rumahnya bersih dan indah” puji Dinda
“ Iya dong rumah siapa dulu” jawabku bangga.
Dengan santai dia duduk di sofa meraih toples snack biskuit coklat, dengan santai toples dipeluknya dan mulai sibuk mengunyah, sejak kecil aku dan Dinda memang jadi penggemar coklat.
“ Hai gak cuci tangan dulu. Calon dokter ko jorok” sapaku
“ Gak, tanganku bersih, yakin sehat” Dinda terus mengunyah.
“ Ke mall yuk kak”
“ Ngapain ke mall”
“ Yah belanja-belanja lah emangnya kakak ga ingin belanja2 buat ibu. Kan kakak lama ga belanjain ibu”  Iya ya  kenapa aku tidak punya pikiran seperti itu ? Dinda saja belum kerja punya ide untuk belanjain ibu. Lama sekali aku sibuk dengan kebutuhan sendiri sampai lupa memperhatikan orang tua. Saat masih bersama mas Yoga aku sibuk dengan keperluan rumah tangga sampai tidak memperhatikan kebutuhan orang tua. Orang tua ku yang telah membiaya sekolahku kuabaikan. Bahkan aku malah merepotkan ayah untuk membeli rumah ini. Dinda laksana malaikat pengingat saatnya aku memberi pada orang tua. Kapan lagi sekarang aku telah memiliki uang cukup banyak.
“ Yuk.. tapi kamu yang nyetir yah. Kakak masih capek..”
“ Boleh-boleh.. tapi dengan syarat”
“ Apa syaratnya?”
“ Beliin baju yah..”
“ Oh dasar maunya”
Kedekati Dinda kusentil hidungnya dengan ujung jariku, Dinda nyengir. Aku beranjak ke kamar untuk ganti baju.
Hari masih pagi Mall baru buka jam sepuluh. Dinda ngajar puter-puter sambil menikmati pemandangan kota. Saat seperti ini yang pernah kurindukan kembali lagi. Dinda ngajak ngobrol dan bercerita macam- macam membuat hatiku senang. Tentang ayah yang suka mainan ponsel dan ibu yang sepo dan cemburu. Aku tergelak mendengar cerita Dinda.
“ Kamu udah punya pacar belum?” Aku membuka pertanyaan Dinda sudah kuliah dan wajahnya cantik tak jauh beda denganku. Suatu saat dia akan jadi dokter yang cantik. Aku membayangkan dengan hati senang
“ Pacar sih belum kak, cuma ada yang lagi deket.. PDKT gitu deh. “
“Teman kuliah”
“ Iya lah teman kuliah kan jelas asal usulnya anak kuliahan, biar ga kena tipu..” kucubit pahanya dia memang sedang menyindir aku dan aku ngrasa begitu’
“Aduuh “ Dinda mengaduh dan memoncongkan mulutnya lucu.
“Kamu nyindir kakak ya”
“ Yah ga usah disindir jg udah ngrasa kena tipu..hahaa” kucubit sekali lagi pahanya..
“ Kamu nih sama kakaknya begitu”
“ Yah biar melek kalau cari jodoh lagi.. “ Dinda mengeraskan tawanya. Kubungkam mulutnya.. sehingga mobil yang disetiri agak oleng
” Eeh kak” aku menghentikan kegiatanku membungkam mulutnya dengan tangan,  takut terjadi apa apa dengan mobil kami. Dinda ini walaupun suka ceplos ceplos dan ngocol banyak benernya. Nyatanya aku digiring untuk membelanjakan ibu. Dan konyolnya dia sering mengatakan aku tertipu tapi benar memang aku tertipu oleh mas Yoga.
“Btw itu cowok yang PDKT anak kedokteran juga?”
“ Iya lah kan bagus dokter sama dokter dari pada sopir sama sekretaris.. “ Dinda mulai menyungkurkan aku lagi kali ini kujawab dengan canda
“ Yah kan sekretarisnya disopiri” aku tak mau kalah.
“ Tapi sopirnya dinikahi.. ih ga pas banget dech.... “ Dinda terbahak lagi. Lagi- lagi suara Dinda telak membuat hatiku terkulai dan ga sanggup membalas lagi. Dinda memang sangat cerdas. Pantas lah kalau dia ingin jadi dokter. Aku tak mau bertanya atau menasehati Dinda masalah pacar. Mana mungkin aku menasehati Dinda untuk memilih laki-laki yang baik aku saja tidak pinter memilih, makanya terjerumus memilih lelaki yang gak baik.
Sampai di dalam Mall yang baru buka Dinda bilang :
“ Belanja di super market buat ibu nanti saja ya kak.. beli baju dulu kan tadi kakak janji. ” Dinda langsung menarikku memasuki Departemen Store yang memapang baju-baju anak muda. Sibuk dia memlih. aku mengikutinya saja.
“Ngomong-ngomong budget nya berapa nih ?”  Dinda berbisik sambil memegang kemeja yang diinginkanya
“ Berapa aja kamu mau”
“Hah serius, kak?”
“ Iya serius. Kamu mau apa aja ambil.. “
“ Beneran kak? Uhuuy.. “ Cup... satu kecupan mendarat di pipiku.. kecupan Dinda.. ya Tuhan Aku sebahagia ini merasa disayang sama Dinda.. apa pun maunya pasti kuturuti.. Dinda sibuk memilih baju dia mengambil 3 kemeja sekaligus, apa warna grey, pink dan navy.tanpa dicobanya langsung dimasukkan keranjang belanja..
“ Ini ya kak! “ aku mengacungkan ibu jariku tanda setuju di masukkannya baju-baju itu ke tas belanja.
“OK”  Dinda tertawa riang.
Selesai dari bagian kemeja Dinda bergegas ke tempat celana jeans anak muda.
“Tambah ini ya kak.” Dinda mengulurkan jeans warna grey, aku mengacungkan ibu jari tanda setuju. Dinda langsung meraih 2 celana Jeans warna navy dan grey yang dari awal sudah dipegangnya, berlari dibawa ke kamar pas untuk dicoba. Keluar dari kamar pas Dinda menunjukkan padaku
“ Dua-duanya ya kak” aku menyungging senyum tanda setuju..
“ Surga belanja ..” katanya seraya tertawa renyah. Dinda tampak sangat bahagia. Kemudian memelukku manja.
“Makasih kak” kedua tanganku diciumnya.
“ Iya adik sayang “ Dinda mengajakku jalan ke kasir
“ sebenarnya masih ada yang dimauin “
“ Apa  ? ambil saja..”
“ Uangnya memang ada?”
“ Ada lah,,,”
“ Oh iya gaji sekretaris direksi sekarang utuh “
“ Ach kamu”
“ Ya kan sudah gak membiayai hidup si sopir Yoga..”
“ Hus..” Dinda nyengir.
“ Udah dech, ga usah diterusin. Jadi kamu mau apa lagi?”
“ Sebenarnya sich aku mau dibelikan arloji..arlojiku rusak. Mau minta ayah kasihan kan ayah sudah pensiun” oh iya aku baru ingat dua bulan lalu ayahku pensiun sebagai pegawai BUMN. Kalau pesangon diberikan seluruhnya berarti ayah tidak punya gaji bulanan lagi. Oh aku menyesali keteledoranku melupakan pekerjaan ayah. Inilah saatnya aku harus membantu biaya hidup keluargaku. Pikirku.
“ Ya sudah ambil saja sana, mana yang kamu mau.”
“ Nanti aja belum mood.”
“ Ach beli arloji aja pake mood..”
“ Ya kan maunya yang mahal biar  ga nyesel..”
“ Yaudah terserah kamu lah”
“ Bulan depan ya kak,” Dinda mengedip-ngedip matanya.
“ Ok oke..siaapp”             
Di super market Dinda memasukkan berbagai kebutuhan rumah tangga, seperti Rinso, pewangi, sabun cuci piring dan sebagainya.
“ Ini buat ibu, ini juga…”
“ Ambilnya jangan satu-satu dong, kakak juga diambilin..” Dinda mengcungkan ibu jarinya dan menambah belanjaannya.
“ Dokter Beni. “ Dinda berlari mendekati pria berkacamata yang berdiri di deretan tempat sabun mandi. Pria berkaca mata itu menoleh ke arah Dinda, Dinda aegera mencium tangannya. Aku masih terpaku melihatnya Dinda melambaikan tangannya memintaku mendekat kutinggalkan trouli yang ditanganku mendekati Dinda
“Kak kenalkan ini dokter Beni dosen Dinda” aku melihat wajah pria berkacamata  itu sedang melihat ke wajahku juga.  
“ Kenalkan, dok.. ini kakak saya” dokter itu segera mengulurkan tangannya dan aku menyambutnya
“ Beni”
“ Adisty” Kami saling menyebutkan nama da melempar senyum.
“ Dokter sama siapa ke sini ?”
“ Sendiri”
“ Perlu dibantuin belanjanya, dok? “ Dinda menawarkan diri. Adikku ini memang luar biasa mengerti tentang kebaikan.
“ Terima kasih. Tidak usah dinda. Saya hanya belanja sedikit”
“ Kalau begitu saya kembali ke sana ya. Dok” Dinda menunjukkan tanngannya ke belakang ke tempat aku meninggalkan trouli belanja.
“ Baik dinda, selamat berbelanja” dokter itu melirik padaku, aku membalasnya dengan anggukan. Kami kembali ke tempat belanjaan yang kutinggalkan.
“ Masih single” Dinda berbisik ke telingaku aku mengernyitkan keningku.
“ Nanti ya mgobrolnya, takut dia dengar” ih apa-apa sih Dinda ini. Dokter itu sekali-kali melirik ke arah kami. Aku ingin segera menyelesaikan acara belanja.
“ Tahu gak kak, dokter Beni itu masih single”
“ Enggak, ga tau”
“ Ich kakak, dikasih tau jaga”
“ Kenapa ga kamu gebet aja kalua masih single dari pada PDKT sAma teman kan mending dia sudah jadi dokter”
“ Ich ketuaan tauuuu.. “
“ Ga apa-apa tua kan sudah mapan.”
“ Gak ach” dinda mendesah.
“ Maksud Dinda buat kakak aja.. kan pas tuh. Dokter loh..”
“ Ach kamu enak aja jodoh2in orang”
“ Siapa tau kakak mau,  jadi punya kakak ipar dokter dari pada sop.... “ ku segera membungkam mulut Dinda
“ Iya.. iya maaf “ hari ini hari yang sangat menyenangkan jalan-jalan bersama Dinda.
Aku sedang menikmati sinetron di televisi. Sejak tidak ada kegiatan tiap malam aku sering nonton sinetron.. ponselku berdering, Dinda telp.. aku agak kaget juga mudah2an bapk ibu baik baik saja
“Assalamualaikum”
“ Walaikumsalam “
 “Ada apa adikku sayang tumben telp, mau nagih arloji ya ? “, aku ingat janjiku mau beliin arloji, mungkin mood Dinda sudah ada.
“ Ih kakak, suudzon aja sama adiknya”
“ lah kamu tumben telpon”
 “ kak lagi apa ?”
“Lagi nonton sinetron”
“ Ih kakak nonton sinetron kayak ibu -ibu aja”
“ Kakak kan emang udah ibu-ibu lupa ya kakak udah punya anak”
“ Oh iya kakak udah ibu-ibu, ibunya Bino.. “ Dinda tertawa disebarang sana.
 “ Kak..”
“ Apa ?”
“ Anu..ee”
“ apa sih?”
“ Dapat salam dari dokter Beni.. hehe”
“ Iihh.. pasti kamu yang promosiin”
“ Enggak.. dokter Beni yang bilang waktu aku selesai kuliah,  dokter Beni bilang salam buat kakaknya ya Dinda ..gitu kan buat kakak harus disampein kalau ga kan dosa”
“ Iya iya .. terima kasih walaikumsalam”
“ Boleh juga ya dokter Beni”
“ Gak..”
“ Iih kakak.. emang berapa nilainya menurut kakak ?”
“ Berapa ya. 7 sampai 8 gitu...” kujawab sekenanya
 “ Iih kakak… kakak mau yang 9-10 yah, makanya deket dulu nanti nilai naik loh kak..”
“ Kamu apa-apaan sih ngledek sama kakaknya” Dinda tertawa renyah.
“ Kali aja kakak mau.”
“ Gak. Jangan macem-macem  deh..”
“ Kalo dokter Beni minta telepon kakak boleh ga?”
“ Gak..”
“ Beneran ?”
“ Iya beneran.  kakak sibuk.. “
“ Ih sok sibuk,  itu lagi nonton sinetron..”
“ Ini lagi iseng aja..”
“ Jadi ga boleh ya no kakak dikasih ke dokter Beni”
“ Enggaaaakkk…”  aku memanjangkan suaraku
“ Yaudah deh..dag kakak..” Dinda menutup teleponnya.. Aku menggeleng-gelengkan kepala. Dinda nih ada-ada saja menjodoh jodohkan aku dengan dosennya.. Aku jadi tersenyum sendiri.

BAGIAN X
MAWAR TIGA WARNA
Rumah baru yang ketempati memberi kenyamanan tersendiri, type cluster begini hanya beberapa rumah dalam satu Blok, setiap Blok ada Satpamnya. Tidak sembarang orang masuk tanpa ijin Security,
Buket  bunga mawar ungu kuterima di hari minggu pagi. Ini buqet bunga ke 3 yang dikirim pak Arman untukku. Pertama mawar merah di padukan dengan seruni putih, meski terkejut aku menyambutnya biasa saja. Aku menganggap itu hanya bentuk keakrabannya denganku. Tapi khawatir juga jangan-jangan dia sedang mengujiku apakah aku sekretaris yang mudah digoda.
Kiriman kedua minggu lalu mawar putih dipadukan dengan sedikit bunga daisy yang mempertajam warna putihnya. Ketika kiriman ke dua datang ada  rasa takut menyelinap. Bagaimana kalau isterinya tahu, aku bisa disebut pelakor walau pun kami tidak ada hubungan apa-apa. Pengirim Arman Ardiatna tidak ada kata yang terselip hanya pengirimnya saja. Sehingga aku tak perlu menanggapi.

Kiriman ketiga ini mawar segar warna ungu. Aku. pernah dengan kalau warna ungu identik dengan warna janda. Aku tersenyum sendiri. Aku jadi ingat. Sebelum mengirim buqet bunga, pak Arman pernah menyelipkan secarik kertas di atas mejaku ketika pagi-pagi pak Arman ingin bertemu mas Pram dan sejenak singgah di ruang kerjaku bertanya apakah pak bos sudah datang. Kubuka kertas kecil yang terselip dibawah map, hanya secarik kertas biasa seukuran kartu nama bertulisan :
“Selamat pagi ibu sekretaris cantik”. Ya Allah, aku deg-degan bertanya-tanya apa maksudnya toh tadi dia sudah menyapaku dengan ucapan selamat pagi. Tapi kalimat itu ditulis dan sepertinya sengaja dibawa untuk disampaikan padaku. Aku membaca kalimat itu sekali lagi dan langsung kumasukkan dalam tasku. Jangan sampai ada orang lain membaca. Dipuji seperti itu sama direktur ada dua kemungkinan ingin menggangguku atau ngetes apakah aku sekretaris murahan yang bisa digoda.  Atau ada hal lain yang tidak kumengerti. Ah aku malas memikirkan itu. Yang pasti dia baik padaku.
Pak Arman kolega mas Pram makin intensif perhatiannya padaku sejak pulang bersama dari Surabaya.  Kabarnya selain rekan bisnis pak Arman juga teman kuliah mas Pram ketika mereka sama-sama kuliah di Depok. Aku tidak tahu banyak tentang itu tapi mereka selalu menyebut diri mereka dalam setiap percakapan sebagai teman dalam suka dan duka. Aku sering mendengar itu.
Mawar berwarna ungu masih kubelai-belai. Mawar ungu ini seperti memiliki magnet untuk melayangkan pikiranku pada pak Arman, lelaki itu sebaya dengan mas Pram. Pak Arman juga tampan tapi tidak setampan mas Pram. Pak Arman memiliki senyum manis. Mas Pram galak dan jutek jadi mengurangi ketampanannya. Pak Arman lebih asumsikan  sebagai seorang pemimpin yang mengayomi, wajah nya penuh ketulusan,  tidak ada keangkuhan yang kulihat dari setiap tatapannya. Ah mikir apa aku sampai membandingkan antara mas Pram dan pak Arman
Aku masih membelai mawar ungu yang sekali-kali kudekatkan ke hidung untuk menikmati harumnya. Tanganku meraba sampai ke secarik kertas nama pengirim. Nama yang sama dengan mawar minggu lalu, kubalik kertas mungil itu. Oh ada tulisan pesan: “ Semoga adik suka dengan warna ini”  Hahaa aku tergelak giliran warna janda aku diminta untuk suka. Jangan-jangan pak Arman sudah tahu kalau memang aku janda. 
Hari ini tiba-tiba aku menikmati rasa bahagia dan tersenyum- senyum sendiri. Terima kasih ya Allah telah memberi suasana hati yang berbeda untuk hari ini. Dan mengirimkan orang baik seperti pak Arman yang bisa menjadi sahabatku sekalipun dia seorang direktur perusahaan besar tapi mau dekat denganku. 
 Aku masuk ke dalam rumah, membuka tutup piano yang kubawa dari rumah ibuku. Piano ini dulu dibelikan ayah ketika aku masih sekolah, tentu saja biar aku tidak suka keluyuran kemana-mana. Dulu ayah tidak pernah menawarkan aku untuk membawa piano ini. Setelah aku erpisah dari mas Yoga, Piano itu kubawa ke rumah baruku atas perintah ayah, di rumah ayah piano itu tidak ada yang memainkan. 
Kuletakkan mawar itu di atas rak  piano.  Sejenak kulantum kan “ Kiss The Rain”nya Yiruma. Kuresapi bait akhir lagu itu. 
And every night

I lie awake

Thinking maybe you love me

Like I've always loved you

But how…
Dan setiap malam
Aku terbangun
Berpikir mungkin kamu mencintaiku
Seperti aku selalu mencintaimu
Tapi bagaimana caranya…
 Entah kepada siapa lagu itu kutujukan, aku hanya merasa bahagia dikirimi bunga mawar warna ungu oleh pak Arman; kuharap ini tidak menjadi bencana untuk hidupku.aku segera menelpon pak Arman untuk mengucapkan terima kasih,
“ Terima kasih kiriman bunganya. Bapak mengirimi saya bunga apa tidak ada yang marah, pak ? ” aku memberanikan diri bertanya.
“ Siapa yg marah saya single dengan status duda beranak satu anak saya perempuan dibawa isteri saya. Isteri saya sudah menikah lagi dengan rekan kerjanya. Biasa lah teman kantor suka tergoda dan menggoda”
“ Oh begitu, pak”
“ Saya kesitu yah”
Ooh jangan...” telepon sudah dimatikan. Tidak bisa kuhubungi lagi, 20 menit kemudian sebuah mobil Pajero sport warna hitam sudah berhenti di rumahku. Aku hafal dengan mobil itu karena sering dipake pak Arman kalau makan siang bersama bos Pram. Dan aku sudah pernah menaiki mobil itu saat diajak pak Arman makan nasi Padang.  Aku kebingungan.. senekad ini pak Arman sampai datang ke rumahku.
Seperti sudah direncanakan pak Arman menenteng chocolate Cake di atasnya dihiasi bunga.
“ Saya tidak sedang berulang tahun pak” kataku saat menyambutnya. Cake itu diulurkan padaku. Senyum manisnya masih mengembang seperti biasa.
“ Tidak harus berulang tahun untuk menerima kue ini?” katanya datar.
“ Terima kasih, pak” kataku. Lagi-lagi pak Arman tersenyum.
Kupersilahkan duduk dan kubuatkan kopi susu seperti ketika kami sama-sama minum di café hotel di Surabaya. Aku yakin pak Arman pasti suka.
“ Sebenarnya saya bingung, dari mana bapak tahu rumah saya?”
“ Hm..laki-laki, bu..” ya Allah ucapan itu, membuat aku sedikit bergetar. Bodohnya aku bertanya seperti itu. Oh ya laki-laki akan selalu mencari siapa wanita yang ingin dijumpainya, dan itu selalu mudah buat laki-laki, aku tersenyum.
Kami hanya berbincang-bincang biasa. Tidak ada yang istimewa, namun dia mulai tahu kalau aku memang sudah menjanda. Dan tidak perlu bertanya pasti dia akan menjawab sama dengan ketika aku bertanya dari mana tahu rumahku.

BAGIAN XI
SIMPANG JALAN

Minggu malam pak Arman mengajakku dinner di luar. Tidak ada yang istimewa,  keakraban kami tetap biasa. Yang membuat aku merasa berbeda adalah tempat Dinner yang dipilih pak Arman. Sebuah restoran fine dining yang menyanjikan berbagai macam  steak. Salah satu restoran mahal di Jakarta. Untuk sekedar memasuki kawasan itu saja aku harus berpikir panjang untuk kocekku,  apalagi sampai makan di tempat itu, pasti mahal. Ada lah sedikit rasa geer dan tersanjung. Ada pertanyaan menyelinap di lubuk hati apakah ada maksud tertentu yang menyebabkan Pak Arman  mengajakku ke tempat istimewa ini ? Aku saja hanya sekretaris temannya diajak makan ke sini bagaimana dengan sekretaris pribadinya yang sering membantu pekerjaannya pasti lebih istimewa diberikan oleh pak Arman untuk sekretaris pribadinya. Huff kok aku jadi cemburu.
“ Selamat menikmati, Bu Disty.. “ kata pak Arman setelah steak US Prime Beef dengan selimut marbling di tiap sisi daging tersaji di depanku. Selain terpana dengan steak yang menggugah selera,  aku  pun terkejut mendengar pak Arman memanggilku dengan panggilan Disty, kemarin Adis ko sekarang jadi Disty. seperti mas Pram memanggilku dulu. Duh jangan-jangan dua lelaki itu bersengkongkol untuk memperdayakan aku. Atau mas Pram menyuruh pak Arman untuk mengganggu aku demi mengetes apakah aku wanita murahan atau tidak. Tapi mana mungkin kesetiaanku di tes sedangkan dia sangat benci padaku, mana mungkin masih mengurusi aku. Pikiran burukku berkeliling mengitari otak, sulit menterjemahkan kebaikan pak Arman.
Usai dinner. Aku langsung mengajak pulang. Pak Arman menawarkan aku ingin mampir ke mana. Aku lebih memilih balik ke rumahku. Malam ini mengesankan. Bukan karena ada sesuatu yang berbeda dari pak Arman. Tapi karena pak Arman benar-benar berlaku santun terhadapku.
Tiga hari berikutnya aku menerima pesan dari pak Arman. Pesan yang dikirim melalui email. Ini laki-laki aneh pesan pribadi kan bisa pake sms, WA, Line, atau massenger. Kenapa harus via email.. kayak kirim kerjaan kantor aja. Ah pak Arman.. lama-lama membuat aku jadi bingung. Kubuka pesan itu seperti pantun atau puisi entah apa lah aku kurang paham.
“ Daun yang jatuh bukan harus dibuang“
 Dalam kebingungan mulai muncul banyak pertanyaan di otakku dari kiriman bunga mawar tiga warna, kehadirannya dan dinner bersama. Sampai kalimat singkat yang dikirim via email. Apa maksud pak Arman dari semua itu. Pikiranku jadi  kacau. Untunglah tidak ada kerjaanku yang salah kalau ditambah kesalahan dan kena dampratan pak bos tambah kacau.
Hari itu pak Arman menyita pikiranku. Kutanyakan maksud kalimatnya via SMS tidak dibalasnya. Ya Allah kemana pak Arman ? Mulai terselip rasa takut kehilangan. Aku sudah memiliki teman yang menghibur hati, bagaimana jika dia pergi ? aku tidak bisa membayangkannya.
Sampai 3 hari SMS ku tidak dibalas, di hari ke empat penantianku, badanku mulai menggigil. Aku demam. Aku sampai berobat ke klinik dekat rumah. Sudah seharian minum obat, kabar pak Arman belum juga datang. Rindu menyeruak menggempur pertahananku yang semula angkuh. Kebaikan pak Arman yang kuanggap biasa saja, kini kutakuti jika itu segera berlalu.
Mondar-mandir di dalam rumah dengan badan tidak fit dari sisa-sisa demam, serba gak enak. Keluar masuk rumah, seperti ada yang kutunggu, tapi siapa yang kutunggu? Aku menunggu siapa? Siapa yang membuat resah hatiku? Tidak biasanya aku seperti ini. Apa lebih baik aku masuk kamar dan tidur saja. Ya Allah lepaskan aku dari kondisi seperti ini.
Aku baru mematikan lampu ruang tamu, deru mobil berhenti di depan rumah. Aku mengintip dari gorden yang kusibakkan sedikit. Mobil itu sangat kukenal. Masya Allah, dia datang. Apakah benar ini yang nanti. Kunyalakan lagi lampu ruang tamu. Kubuka pintu, seseorang sudah berdiri dengan senyum mengembang, senyum itu.. !!! seru hatiku, dari remang-remang lampu teras dia bisa melihat wajahku yang pasti tidak seperti biasanya, kali ini aku kuyu. Senyum mengembangnya menyurut demi melihat wajahku.
“ Oh.. Sakit ?” tanyanya nampak panik. Aku menangguk. Tangan yang disimpannya di belakang dengan pelan dinampakkan ke wajahku. Tangan itu… ada sekuntum mawar merah, hanya sekuntum… tubuhku terasa menggigil lagi, bukan karena sakit seperti kemarin. Gigil ini karena mawar merekah yang disampaikan padaku..
“ Pak.. “ hanya itu suara yang keluar dari bibirku. Dan mata itu, betapa teduhnya. Sorotnya begitu indah. Menyesal rasanya kemarin-kemarin mata itu tidak pernah aku perhatikan demi menjaga harga diri dari keterhinaan. Lama kami bertatapan.
“ Jangan katakan saya sedang mengetes kepribadian, bu Disty..” kata-kata itu seperti menembak isi hatiku. Kutelisik  raut wajahnya untuk menemukan kecurigaanku selama ini. Tidak kutemukan di wajah dan matanya, kuteliti setiap inchi dari keseluruhannya tidak ada jawaban dari prasangka burukku. Ya Allah betapa besar dosaku telah suudzon terhadap wajah tulus ini. Ampuni aku ya Allah.
“ Tapi pak.. “ Aku bingung harus menjawab apa untuk kata-katanya.
“ Biarkan saya menikmati rasa bahagia saya, bila menemui, bu Disty… “  aku tambah bingung dengan kalimatnya. Aku terdiam tak mampu menjawab.
“ Saya..” bersamaan kami mengucapkan kata yang sama. Dia tertawa dan aku pun tertawa. Kami tertawa bersama.
“ Jadi siapa dulu yang akan melanjutkan.. saya atau bu Disty ?” tanyanya masih dengan sisa tawanya.
“ Bapak saja.. “ jawabku cepat
“ Bu Disty saja …” dia membalas kami seperti berdebat kecil saling menawarkan untuk berbicara lebih dulu.
“ Terima kasih bunganya, pak” Akhirnya aku mendahului.
“ Terima kasih, jika bisa menghilangkan prasangka buruk tentang saya…”
“ Loh ko bersyarat ?” aku protes..
“ Iya.. itu syarat..”
“ Oh, masuk pak “ aku mengalihkan pembicaraan dan mempersilahkannya masuk. Aku membalikkan tubuhku. Tanganku tertahan dengan lembut oleh tangan pak Arman.
“ Oh maaf..” dilepaskan tanganku aku sudah terlanjur membalikkan tubuhku dan wajahku ke arahnya lagi.
“ Mohon dijawab dulu, syaratnya dipenuhi tidak ?”
“ Harus sekarang ?”
“ Iya..”
“ Wajib”
“ Wajib..” jawabnya yakin. Aku memutar-mutar bola mataku. Pak Arman dengan sabar menunggu jawabanku. Aku mengangguk. Akhirnya pak Arman masuk ke dalam rumahku.
Pak Arman duduk di sofa panjang. Aku mau beranjak membuatkan minum pak Arman melarang meminta aku duduk disampingnya, seperti anak kecil aku menurut saja. Tangannya menyentuh dahiku seperti memperlakukan aku anak kecil.
“ Sakit ya, sudah ke dokter?” Tanyanya cemas, menyelinap rasa senang melihat reaksi pak Arman yang cemas.
“ Sudah, kemarin sore”
“ Badannya masih ga enak”
“ Sudah enakan, kemarin demam” seperti orang mengadu kata-kataku meluncur begitu saja. Sedikit kusesali, sayang terlanjur meluncur.
“ Sakit karena saya ya ?“ guraunya setengah menggoda. Pukulan telak mendarat di hatiku. Apes ketahuan penyebab sakitku.
“ Iya kan, karena saya ?” pak Arman bertanya lagi sambil terkekeh. Ingin aku mencubitnya. Ah jangan emangnya aku siapanya. Cegah batinku. Tanpa kusadari aku mengangguk malu.
“ Jadi benar karena saya ?” pak Arman meyakinkan.
“ Saya salah ya ? “ tanyanya pura-pura bodoh.
“ Sebutkan salah saya” benar benar seperti membujuk anak kecil, walau aku bukan anak kecil anehnya aku merasa senang
“ Saya tanya maksud email bapak apa, tidak dijawab samapi SMS juga tidak dibalas.” kuungkap sebuah kejujuran.
“ Masya Allah.. sampai begitu,  bu Disty ?” aku mengangguk.
 “ Karena email atau karena SMS ga saya balas ?”
“ Dua duanya”
“ Saya yakin yang ke 2.. kangen kan sama SMS saya “ tak sengaja aku langsung mencubit lengannya.
“ Eeh maaf pak”
“ Cubit lagi ga apa-apa. ” matanya membinar.
“ Ih bapak...” aku merengek manja.
“ Rasanya tua dipanggil bapak..” matanya berkedip. Kami jadi sangat akrab.
“ Panggil Arman saja”
“ Saya tetap mau panggil bapak, bapak Arman” aku bersikeras. pak Arman berusaha mengalah.  Tangan pak Arman mengambil bunga mawar pemberiannya yang kuletakkan di atas meja. Mataku mengikuti gerak tangannya.
“ Ini obat kangen dan mewakili juga kangen saya. Semoga lekas sembuh ya “ dengan lembut bunga itu diberikan padaku. ya Allah, jantungku berdegup keras, tatapannya bak air es mengguyur kepalaku yang terasa panas mejadi dingin..
“ Saya juga kangen”
“ Saya kan ga bilang kangen. “
“ Saya yakin kangen” Bibirnya memutar mutar menggoda. Duh Adisty kenapa kamu ga ngaku aja, hilangin gengsi, yang kamu kangenin pun sudah ngaku. Aku mengambil bunga yang masih dipegangnya. Ini suatu gerakan salah tingkahku. Pak Arman mengibaskan tangannya setelah bunga di tanganku.
 “ Alhamdulillah obat kangen dari saya sudah diterima”
“ Pak..... “
“ Terima kasih ya”
“ Untuk…”
“ Obat kangen saya diterima..”  dia tahu aku seperti ingin mengembalikan bunganya, pak Arman langsung menaikkan kedua tangannya. Senyum-senyum menggoda.
Semalaman aku sulit memejamkan mata setelah kejadian itu. Hatiku seperti sayap mengepak di udara. Paginya selesai sholat subuh, ada SMS dari pak Arman, segera kubuka.
“ Kangen saya belum hilang..”
“ Sama..”  aku ingin menghapus SMS yang telah kutulis tapi terlanjur terkirim. Emote senyum dan bunga dikirim  sebagai balasannya. Aku merasa seperti berada di simpang jalan. Antara kejujuran dan ketidakyakinan, antara keberanian dan ketakutan yang mendera.

 BAGIAN XII
PRAMBUDI

Senja di akhir pekan waktu yang kusukai seakan memberiku warna tersendiri untuk kehidupanku. Aku bisa melepas penat, membaca novel atau menyalurkan hobiku memasak dan menjahit. Memasak ? Sementara kuabaikan hobiku satu ini, aku tinggal sendiri harus memasak untuk siapa? Waktu keluargaku masih utuh aku akan memasak makanan untuk mas Yoga dan Bino. Bola-bola coklat kesukaan Bino disukai mas Yoga juga. Ah aku mencoba menepis ingatanku tentang Bino yang sekarang ikut mas Yoga bersama isteri barunya. Pada awal aku berpisah dengan Bino rasanya hampir gila aku saat kangen dengan buah hatiku. Aku stres berat sampai kudatangi seorang ustazah yang kupercaya untuk curhatanku.
“ Terus dekatkan diri neng Adis pada Allah, karena semua masalah Allah yang beri mohonlah pada Allah untuk Menyelesaikan. “
“ Ya bu ustadzah, tapi kangen saya pada anak saya membuat saya tidak konsentrasi melakukan apa saja”
“ Pelan- pelan insya Allah rasa kangen itu akan diobati, hanya dibutuhkan kesabaran. Ingat firman Allah ; Jadikan sabar dan sholat jadi penolongmu. “
Tausiah dan nasehat bu ustadzah Yeni sangat bermanfaat. Aku langsung mendekatkan diri pada Allah dengan sholat dan doa-doaku. Sedikit demi sedikit aku mampu menghalau rinduku pada Bino. Semoga suatu saat aku dipertemukan dengan Bino dan hidup bersama lagi.
Lamunan tentang Bino dipecahkan kehadiran mas Pram sangat mengejutkanku, bagaimana bisa terjadi bos yang sangat membenciku itu mau mengunjungi rumahku.
“ Saya ke sini ingin menyampaikan permintaan maaf “ Mas Pram memulai kalimatnya.
“ Maaf untuk apa, pak ?”
“ Untuk perlakuan saya selama ini.” Aku terdiam
” Selama ini saya dendam sama kamu. Kamu ninggalin saya menikah dengan orang lain. “ Ternyata benar dugaanku perlakuannya yang kasar dan jutek kepadaku karena dendam.
“ Saya mencintai kamu. Sangat mencintai “ kalimat itu tanpa kuduga. Ini saatnya aku ungkap semuanya.
“ Saya juga pernah mencintai mas, sangat mencintai, menunggu kehadiran mas untuk menjemput saya, bukan waktu sebentar. Tiga tahun saya lakukan itu. Mas Pram  tidak pernah hadir untuk saya. Mas tidak mengerti luka saya. Kalau sampai akhirnya saya menerima pinangan mas Yoga bukan pertimbangan yang mudah. Menanti yang tak pasti membuat saya luka dan kehilangan asa. Saya ingin berbakti pada kedua orang tua saya, walau akhirnya saya tertipu, saya ikhlas sebagai suatu perjalanan hidup yang harus saya lalui, saya tidak pernah pacaran dengan mas Yoga. Saya menerima perjodohan itu dengan ridho kedua orang tua saya.” Uraiku lancar dan lepas begitu saja. Mas Pram maju ingin memelukku tapi aku mundur menghindarinya.
“ Jangan mas, jangan lakukan itu lagi. Saya pernah merindukan pelukan mas tapi itu tidak pernah saya dapat, kalau sekarang mas ingin melakukan keadaannya sudah berubah. “
“ Maafkan aku, Disty “ mas Pram memang memanggilku dengan sebutan Disty sementara yang lain biasa memanggilku Adisti. Dan Pak Arman mulai memanggilku dengan sebutan itu, oh kenapa aku jadi ingat pak Arman..
“  Selama ini aku salah menilaimu.  aku berprasangka buruk padamu.”
“ Saya sudah memaafkan mas. Kalau mas dendam pada saya sudah saya terima dengan keikhlasan walau pun di sini kadang tidak kuat” aku menepuk dadaku pelan, kutunjukkan bahwa hatiku sakit menerima perlakuannya selama ini,  aku  terhina dan terluka. Aku mulai menangis, tidak perduli kalau kedatangan mas Pram kali ini hanya kusuguhi dengan tangis.
Aku menjanda bukan keinginanku, ingin kuciptakan rumah tangga yang harmonis tidak bisa terwujud, malah kelam yang kudapatkan. Aku membangun hidupku sendiri dengan jerih payah dan ketekunanku bekerja sampai terbeli rumah ini. Sampai pada satu titik nadir kesakitan dan kejatuhanku aku hanya bisa mengadu dan berharap Sang Mahakuasa segera menyudahi cobaan yang kudapat.
“ Saya hanya wanita yang hina dihadapan, mas. Tak pantas menerima cinta mas Pram. Setelah penghinaan dari mantan suami saya. Saya sudah akrab dengan kesakitan jadi tidak mengapa dengan perlakuan mas. Mas Pram bisa terus melanjutkannya sampai kapan pun mas mau. Saya selalu siap...”
“ Tidak disty, aku sadar, jujur aku masih mencintaimu. “ byuur kepalaku seperti terguyur air hujan deras. Cinta ? Bagaimana dia masih mencintaiku setahun lebih dia melempar kebencian padaku.
“ Cinta tidak menyakiti, mas”
“ Itu manifestasi dari rasa kecewaku padamu. Mengertilah.. “  kali ini mas Pram begitu nekad dan memaksa memelukku.
“ Saya belum bisa mengerti,  mas... “ aku terkulai dan jatuh ke dadanya dada yang pernah kurindukan bertahun-tahun. Dalam dekapan itu aku menangis sejadi-jadinya biarlah setelah aku puas,  aku akan melepaskan pelukannya lagi. Ini tidak boleh terjadi terlalu lama aku dalam dekapnnya, mas Pram bukan muhrimku.
Aku hanya ingin mas Pram tahu hatiku. Asa ku yang terseok dan berserakan. Dari guncangan tangisku, aku ingin dia merasakan apa yang kurasakan. Tangannya masih memegang bahuku. Kutatap mata yang biasa bengis kini menjadi redup. Mata kami beradu pandang berbeda dengan hari-hari selama dia menjadi bos ku di kantor.
“ Aku sulit mendapatkan gantimu” ujarnya bersama pandangannya yang lembut.
“ Hitung berapa lama aku mencari penggantimu”
“ Saya tidak tahu mas..” jawabku sekenanya. Tangannya mendudukkan aku di kursi dengan lembut.
“ Lama sekali, Disty.. sampai aku tahu kamu sudah sendiri lagi, aku bwlum mendapatkannya, ketegaranmu yang teruji, kamu selalu kuat dengan apa pun perlakuanku padamu, penghinaan dan apa saja kamu menerima tanpa dendam. Kupikir kamu akan mundur dan menjauh dari aku, keluar dari perusahaan dan meninggalkanku. Itu tidak kamu lakukan. Kecekatan dan ketrampilanmu pekerja perusahaan mana pun akan menerima lamaranmu tapi kamu bertahan meski aku sering menyakitimu. Kamu hebat.. bahkan hancurnya rumah tanggamu yang kutahu karena KDRT yang kamu alami kamu tetap kuat dan menyimpannya rapat-rapat.. “ aku masih mendengar penuturannya..
“ Mas tahu dari mana masalah rumah tangga saya? “
“ Dari ibumu. Aku mendatangi ibu dan menanyakan semuanya,  ibu sudah bercerita padaku “
Oh jadi selama ini mas mencoba mencari berita tentang aku dari ibu. Ya Allah mudah-mudahan ibu tidak mengungkap penyesalannya telah meminta aku menikah dengan Mas Yoga. Kehidupanku bersama mas Yoga sebuah perjalanan yang sudah diatur oleh Yang Maha Kuasa,  pahitnya sebagai pembelajaran terbaik untukku..
“Ibuku? Mas “
“ Ibu cerita apa saja tentang aku? Oh... “
“ Banyak yang diceritakan tentang kisah hidupmu. Aku merasa bersalah makanya aku datang ke sini”
 “ Maaf, mas bagaimana  gadis Pare-pare yang dulu akan mas nikahi itu. Aku dengar dari Asri ketika putranya ultahulang tahun aku datang ke rumah mas Adi ” mas Pram mengernyitkan dahinya.
“ Runi. Namanya. “
“Astagfirullahaladzim. Aku akan menikahi anak kecil itu ? mana mungkin.  makanya gak usah banyak ngobrol sama orang “lambe turah”
“ Maksud mas?” Aku tidak mengerti dengan istilah lambe turah
“ Iya lambe turah atau turah lambe. Orang kelebihan bibir tau gak? Itu kakak ipar saya isterinya mas Adi”
“ Kenapa begitu”
“ Perlu kamu tahu ya, saya itu sak jekjumlek kamu tahu gak artinya ? yah selamanya tidak pernah ngobrol dengan kakak ipar saya itu. Tahu-tahuan dia bilang saya mau nikah dengan gadis Pare-pare..” mas Pram mencoba menerangkan.
“ Gadis Pare-pare itu masih kecil, anak berusia 9 tahun ditinggal ayahnya kecelakaan kerja di Balikpapan, ibunya tidak bekerja dan tidak mau kembali ke Sulawesi. Saya membiayai sekolahnya. Saya hanya cerita itu sama mas Adi. Ternyata ditambahin oleh si mbak turah lambe” mas Pram tersenyum kecut sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
“ Jadi...”
“ Ya Runi itu anak asuh saya. Sekarang dia sudah SMA dan saya berjanji akan membiayainya sampai dia lulus kuliah nanti” Ya Allah kenapa jahat banget mbak Asri sama aku. Mengarang kebohongan yang membuat aku mundur dari kehidupan mas Pram dan memilih menikah dengan mas Yoga yang harus berakhir dengan perceraian. Nasi sudah menjadi bubur dan tidak akan lagi menjadi nasi. Perjalanan hidupku sudah kujalani dengan tabah.
Mas Pram terus mengajakku berbincang, kesibukannya selama tidak menghubungiku dia kerja sambal kuliah. Hanya kata cinta yang tidak lagi membri getaran hatiku. Getaran itu telah lenyap ditelan luapan dendam yang membukit.  Mas Pram meninggalkan rumahku dengan langkah setengah gontai. Langkah seperti itu sering kunikmati saat aku meninggalkan kantor. Satu yang kupatrikan pada prinsipku bahwa hubungan asmara perlu komunikasi yang baik, agar tidak salah paham dan saling mencurigai.

BAGIAN XIII
PADA SATU PILIHAN

Ayah dan ibu memanggilku, ibu menyampaikan Mas Pram melamar aku ke ayah dan ibu. Sementara itu aku telah menerima lamaran pria lain yang melamarku. Maafkan aku mas Pram. Saat ini hanya pak Arman yang kuandalkan. Hubungan kami tidak pernah ternoda, kami hanya punya pengalaman masa lalu yang sama-sama kelam,  ditinggalkan pasangan hidup masing-masing. Dua manusia pernah hidup dalam kesakitan bersatu mudah-mudahan bisa saling menyembuhkan. Kami memiliki getaran yang sama dalam waktu yang bersamaan. Ketika malam sepi dalam kesendirian kami saling mencari hati dan hati itu tertangkum di bawah naungan lentera yang sama. Lentera cinta yang bermaksud saling menerangi. Setelah cintaku terlempar di padang asa. Kelamku tertutupi oleh sosok pelindungku Pak Arman. Aku menyampaikan penolakanku atas lamaran mas Pram kepada kedua orang tuaku. “Sekali lagi maafkan aku mas Pram “ kata hatiku.
Kuajak Pak Arman ke rumah kedua orang tuaku. Lamaran pak Arman telah diterima kedua orang tuaku dengan lapang hati. Kali ini ibu tidak akan memaksakan pilihannya lagi setelah pengalaman pahit yang kudapatkan dari pilihannya.
Aku resign dari kantor mas Pram, bukan untuk menghindari pertemuan dengan mas Pram saja,  sudah jadi tekadku untuk move on dari kehidupan mas Pram. Sebenarnya Ini suatu keputusan yang aneh, ketika mas Pram masih kejam padaku aku bertahan. Setelah mas Pram mengatakan masih cinta padaku aku malah menjauh. Itulah kehidupan.
Sebelum resign aku mencoba melamar ke perusahaan lain. Dan mendapat balasan kalau aku akan diinterview langsung oleh direksi, saat ini direksi sedang tugas ke LN selama satu bulan. Pengalamanku sudah cukup banyak sehingga aku percaya diri akan diterima  perusahaan itu. Aku sudah menyampaikan ini pada pak Arman buat pak Arman tidak jadi masalah, aku mau berhenti bekerja pun tidak masalah yang penting aku bahagia. Hanya itu yang disampaikan mas Arman
Ijab kabul telah selesai aku resmi menjadi nyonya Arman. Pernikahan sederhana di sebuah hotel hanya mengundang 200 tamu.Mas Pram tidak hadir saat pernikahanku karena sedang sakit. Entah sakit apa belum kutahu. Aku hanya berbaik sangka  mungkin ini cara Tuhan untuk menyelamatkan hati kami, hatiku, hati mas Pram dan hati pak Arman. Pak Arman tentu merasa tidak enak karena aku mantan pacar sahabatnya itu. Kami sudah saling terbuka. Setelah resepsi, aku minta pak Arman pulang ke rumahku. Tidak pulang ke rumah orang tuaku atau ke rumah pak Arman. Pak Arman menyetujui, ayah, ibu  dan yang lain pulang ke rumah masing-masing. Malam ini ingin kunikmati berdua dengan pak Arman di rumahku.
Kamar tidur sudah tertata  rapi, aku telah menyewa vendor untuk mendekor kamar pengantinku dengan kilauan warna gold. Rupanya pak Arman meminta vendor untuk menambah hiasan dengan buket bunga mawar warna warni. Aku terkagum-kagum masuk ke kamarku. Di atas nakas sudah ada 3 buqet bunga warna merah putih dan ungu. 3 warna mawar yang pernah dikirimkan untukku betapa romantis pak Arman.
Setelah mandi, kulanjutkan sholat isya. kukenakan lingeri warna gold senada dengan kamar pengantinku. Pak Arman gantian membersihkan diri ke kamar mandi dan melanjutkan sholat isya. Kali ini kami masih sholat sendiri-sendiri. Kugerai rambutku yang sepunggung. Ini pertama kalinya aku menggerai dan menampakkan mahkotaku di depan laki-laki setelah perpisahan dengan mas Yoga. Bau harum memenuhi kamar pengantin kami, harum ruangan, harum tubuhku dan tubuh pak Arman, semua keharuman memberi aroma kesegaran hati. Aku masih membelai rambutku sambil berdiri di depan cermin, Nampak bayangan pak Arman di cermin mendekatiku, pak Arman melingkarkan kedua tangannya di pinggangku, getar menjalar mengikuti aliran darahku. Baru pertama kali aku merasakan getar seperti ini. Dieratkan pelukannya, dagunya menyapu punggungku sambil menyibak rambut yang tergerai,  harum tentunya aku suka memelihara keharuman rambutku. Getar terus menjalar membuat aku tak kuat menahan gejolak untuk lebih merapatkan tubuhku ke tubuh pak Arman.
“ Pak “ aku berbisik manja.
“Aku mencintaimu,  Adisty” bisikan di telinga semakin menggetarkan hatiku, bulu kudukku berdiri menikmati getaran indah, kuyakini aku sedang tidak bermimpi. Kubalikkan tubuhku dan wajahku ke arahnya. Segera dia kecup keningku lembut yang membuat getaran itu semakin kencang. Bibirnya yang harum menyapu kelopak mataku halus, hangat menggetarkan.
“ Aku sangat mencintaimu, Adisty” Kalimat itu diulang ditambah kata “sangat” aku baru sadar kalau aku belum membalas ucapannya, tentu saja aku lupa karena terbuai dengan cumbuannya.
“ Saya juga mencintaimu, Pak Arman” balasku setengah berbisik karena malu.
“Hm..Maass” pak Arman seperti meminta aku merubah panggilanku.
“ Ucapkan sekali lagi, Adisty” pintanya, bibirnya sudah di ujung hidungku, nafas lembutnya membuai.
“ Aku juga mencintaimu, mas Arman.”
“ Terima kasih, sayang” dipagutnya bibirku setelah kuucapkan kata cinta, aku membalasnya. Getaran semakin tajam. Ini puncak bahagiaku akhirnya kudapatkan cinta dan belaian lelaki yang kucintai. Dengan mengucap Bismillah. Malam itu menjadi malam yang terindah buat aku dan mas Arman. Ini memang bukan pertama kali bagiku dan bagi mas Arman tapi ini adalah pengobat rasa sakit kami yang pernah kami rasakan. Indahnya kenikmatan yang diridhoi, aku ridho mas Arman pun ridho. Semua indah pada waktunya dan inilah keindahan yang diberikan Tuhan padaku. Sujud syukur berdua mas Arman dalam sholat tahajud kami. Insya Allah tidak ada lagi rasa sakit dan tersakiti. Semoga ini jawaban atas permohonanku kepada  Allah  untuk mendapatkan imam yang baik dalam hidupku.. Hati dan jiwaku  dan mas Arman menyatu.
Keindahan semakin memenuhi hari hariku. Pak Arman dengan setia selalu menemani.. siang itu kami belanja ke supermarket. Sekalian belanjain ibu dan mengajak mas Arman ke rumah ibu setelah belanja. Sebenarnya aku trauma ke supermarket bersama suami. Teringat dulu dibentak mas Yoga saat aku salah mengambil susu, dibentak di depan umum yang membuat pandangan semua orang ke arahku, aku malu dan kehilangan harga diri. Semoga itu tak terulang lagi.
Keranjang belanja sudah penuh, Pak Arman dengan sabar menemaniku berbelanja ini itu. Setiap aku mengambil sesuatu aku melihatnya jangan sampai aku dipelototin seperti dulu mas Yoga memelototi aku karena aku mengambil sesuatu yang tidak kehendaki. Dia selalu merasa repot padahal belanja memakai uangku. Setiap aku mengambil sesuatu aku melihat wajah mas Arman, mas Arman melontarkan senyum manis dengan tatapan indah. Ah mata itu seolah memberikan cahaya bintang di hatiku. Jika aku berdiri di satu konter tiba-tiba mas Arman merangkul bahuku. Belanja indah. Ingat dinda mengistilahnya “ Surga belanja” aku belanja indah saja. Banyak sekali yang kubeli sekalian untuk ibu. Hatiku berjanji akan membayarnya sendiri toh uangku cukup. Kasir sudah selesai menghitung semua belanjaanku ketika aku membuka dompet mau mengambil kartu ATM ku, mas Arman sudah memberikan ATM nya ke mbak kasir. Sebenarnya aku ga enak tapi tidak berani protes.
“Mas “ kataku dia seperti tahu kalau aku mau memprotes tindakannya.
“Lupa ya, punya suami?” Suaranya berbisik agar tak terdengar pengunjung lain dan mbak kasir. Aku menyikut lembut perutnya. Mas Arman menekan nomor pin ATM nya.. selesai membayar kartu ATM nya diserahkan padaku. Semula aku akan menolak kuurungkan takut kelihatan orang lain. Kami berdua sama-sama mendorong trouli menuju lobby. Aku mengembalikan kartu ATM mas Arman. Kalimatnya di depan kasir diulang lagi.
“ Lupa ya punya suami? “
 “ Tapi mas. Ini kan punya mas.”
“ Punya suami kan punya isteri juga” senyum manisnya mengembang.
“ Aku…”
“ Ayo lah simpan itu milikmu juga.” Milikku, ya ampun suamiku dulu tidak pernah mengatakan begitu, ATM nya milik dia dan ATM ku sering dipinjam dan dikuras  uangku,  ternyata mas Arman sangat berbeda dengan mas Yoga. Dicintai mas Arman saja aku sudah sangat bahagia.
“ Oh ya, kita tidak pegang uang cash ya. Ambil dulu di ATM mungkin nanti kita mau bayar sesuatu dengan uang cash
“ Ada mas sedikit “ uang cash itu ingin kuberikan pada ibu.
“ Ambil saja lah..ke atm aku tunggu di lobby ya”
“ Berapa mas?”
“ Berapa saja semaumu.. “ katanya sambil menambahkan menyebutkan no pin nya
“ Ingat kan no pin nya “ aku mengangguk
“ Iya mas ..” nomor 6 angka itu kuulang lagi pelan. Ya Allah aku baru sadar ternyata itu nomor tanggal lahirku. Sejak kapan mas Arman menggunakan pin tanggal lahirku. Hatiku tambah berbunga. Indahnya cinta mas Arman kepadaku. Aku masuk ke atm centre dan mendekat ke salah satu mesin ATM sesuai dengan bank yang mengeluarkan katu ATM milik mas Arman.. Satu juta cukup pikirku. Aku terbelalak melihat sisa saldo rekening setelah kuambil satu juta rupiah.. Subhanallah.. ATM  dengan saldo sebanyak ini diberikan padaku. Ini sih bisa buat beli 5 rumah baru seperti rumahku.. Mendadak aku merasa menjadi kaya setelah menerima ATM ini dari Mas Arman. Tidak.. aku harus mengembalikan kartu atm ini, bisik hatiku.. Karena bukan harta yang kuharapkan dari pernikahanku dengan mas Arman. Aku mencintai mas Arman sosok dan pribadinya seutuhnya. Mas Arman yang keteduhan matanya berusaha melindungiku. Mas Arman yang selalu ada untuk aku, cintanya, keromatisannya menjadikan aku sebagai wanita utuh yang terlepas dari keterhinaan. Di dalam mobil aku mengulang mengembalikan atmATM itu pada mas Arman.
“ Ini punya mas. Nanti mas pake apa kalau perlu uang ?”
“ Aku masih ada ATM lagi, sayang.. ayo lah nurut sama suami, disuruh pegang ATM kok nolak”
“ Saya ga enak, pak..”
“ Maaass.. “ potongnya. Ya ampun aku memang sulit menghilangkan kebiasaanku dengan menyebutkan mas Arman dengan panggilan pak..
“ Eh mas.. saya ga enak mas.. saya menikah dengan mas bukan mau ini.. tapi mau ini “ kugayuti lengan kirimya dengan manja, mas Arman membalas tangan kirimya mengusap kepalaku lembut.
“ Saya juga mau bisa begini membelai wanita terbaik untuk hidup saya..”
“ Mulai gombal dech” aku menepuk lengannya
“ Ko gombal ada di sini, gombal ga ada di sini,  yang ada Arman.. “ kami pun tertawa bersama.
“ Simpan ATM nya. Nanti jatuh hilang kalau ga disimpan. “ aku menurut. Seyogyanya aku ga boleh lupa harus selalu menurut pada suami. Seperti dulu aku selalu menurut sama mas Yoga. Kumasukkan ATM  kembali ke dompetku dan aku kembali memandangi mas Arman yang sedang menyetir.
“ Curi-curi pandang ya. “ mas Arman nyeletuk tanpa menoleh ke arahkan matanya sibuk dengan pandangannya ke jalanan depan.
“ Ga curi-curi pandang.. memang sedang melihat suamiku nyetir”
“ Suka yah melihat wajahku yang tampan..” dia tersenyum. Aha.. senyum manis itu akhirnya jadi milikku
“ Ich geer” aku mencubit lengannya..
“ Ga geer,  emang tampan kan” mas Arman memang tampan ditambah pribadinya yang baik sempurnalah ketampanannya.
“ Terima kasih ya Allah Engkau berikan manusia tampan ini untukku.” Doaku yang sengaja kukeraskan.. mas Arman menjawab dengan doa juga.
“ Alhamdulillah ya Allah, Engkau berikan wanita cantik ini untukku. “ dan kami mengaminkan bersama. Sejenak kami saling berpandangan dan melemparkan senyum kemudian mengalihkan pandangan lagi ke arah jalanan di depan. Music lembut mengalun dari  DVD player di mobil mas Arman. Indahnya hari bersama suamiku tercinta.

BAGIAN XIV
MENANTU UNTUK ORANG TUAKU

Sampai di rumah ibu, aku langsung masak. Sebenarnya ibu sudah membuat soto ayam kampung kesukaan ayah. Aku masih ingin menambahkan daging saus tiram kesukaan mas Arman. Selama aku masak mas Arman asyik berbincang dengan ayah, baru beberapa kali bertemu mereka sepertinya sudah sangat akrab. Mas Yoga dulu jarang berbicara dengan ayah dan Dinda, tapi lebih sering dengan ibu makanya ibu terkena rayuan mas Yoga dan menjodohkan denganku. Tapi sejak aku dan mas Yoga menikah, mas Yoga tidak pernah dekat lagi dengan siapa pun. Bahkan kami jarang ke rumah orang tua. Ah sudahlah. Aku tidak ingin lagi mengingat mas Yoga. Dinda tidak di rumah sedang belajar ke urmah temannya.  kata ibu sejak pagi Dinda sudah pergi. Rumah jadi agak sepi ga ada Dinda. Selesai masak kami makan bersama. Suasana siang hari itu begitu indah.
Usai makan bersama aku dan mas Arman masuk ke kamarku. Kamar masa gadisku dulu,  sampai sekarang kamar itu masih ada dan selalu dibersihkan oleh mbak yan, asisten rumah tangga ibu yang bekerja pulang hari. Boneka-boneka kesayanganku masih ada. Mas Arman senyum-senyum simpul melihat isi kamarku.
“ Kok senyum-senyum kenapa ?” Aku bertanya karena senyum manisnya itu ga berhenti- henti..
“ Tahu ga kenapa aku senyum-senyum ?”
“ Gak tau.. “ jawabku
“ Masuk kamar ini aku merasa menikahi seorang gadis..”
“ Ko bisa begitu ?”
“ Iya lah beib kamar ini kan seperti kamar gadis, interiornya, pernak perniknya..” mas Arman menunjuk boneka-boneka milikku.
“ Enaknya kalau malam pertama kita di sini. Kita bobo sini yuk..! “ mas Arman mulai genit memelukku.
“ Ga mungkin lah mas, kan kita ga bawa baju ganti. Nanti saja kapan-kapan ya..” mas Arman semakin membuaiku. Aku memutar tubuh.
“ Genit” bisikku.. tangan mas Arman semakin menggangguku. Aku memukul pelan dadanya dan melepaskan pelukannya. Senyumnya berubah jadi tawa yang tertahan. Beruntung mas Arman tidak melanjutkan permainan genitnya.
Bahagia hari ini di rumah ibu. Waktu aku melihat ikan-ikan peliharaan ayah mas Arman mendampingi sambil terus merangkul pundakku. Seperti ingin menunjukkan kepada kedua orang tuaku kalau dia sangat menyayangi aku. Aku senang bisa menunjukkan bahagia di depan kedua orang tuaku. Ketika kami mau pulang aku ijin memberikan uangku untuk ibu mas Arman meneliti uang yang akan kuberikan pada ibu. Mas Arman bilang itu kurang.
“ Jangan ber hitung lah sama orang tua.” Suara mas Arman membuat aku merasa malu.. Karena uang cash tidak seberapa, akhirnya kami sepakat untuk menstranfer uang lagi ke rekening Dinda.
Rasa syukurku bertambah memiliki suami yang sangat baik pada keluargaku. Mas Arman sangat mengerti keluargaku. Sedangkan mas Arman sendiri sudah tidak memiliki kedua orang tua. Ayahnya meninggal saat mas Arman masih duduk di bangku SMP dan ibunya meninggal dalam kurun waktu yang bersamaan dengan perginya isteri dan anaknya untuk mengejar cinta laki-laki lain. Bisa kubayangkan betapa pedihnya hati mas Arman saat itu.  Semoga mas Arman tetap menjadi orang terbaik sebagai menantu ayah dan ibuku.

BAGIAN XV
SELAMAT JALAN MAS PRAM

Mas Pram ternyata sakit lever sudah sangat parah, sejak aku resign dari kantornya kabarnya mas Pram jarang masuk kerja. Mas Arman memberitahuku sewaktu pulang kerja. Mas Arman bersama teman-temannya sudah membesuk mas Pram. Sudah satu bulan mas Pram dirawat di Rumah Sakit.
“ Pram pernah mencintaimu. Sejenak luangkan waktumu untuk merawatnya. Rawatlah Pram atas ijinku,  suamimu!” Suara mas Arman yang pelan menusuk jantungku. Aku tersinggung sepertinya dia sedang mempermainkan aku. Bagaimana mungkin seorang suami akan membiarkan isterinya merawat bekas pacarnya. Apakah mas Arman sudah gila mengucapkan itu.
“ Mas.. “ suaraku meneliti matanya.
“ Jangan ngetes aku seperti ini mas.. “ aku sedih diperlakukan seperti ini oleh suamiku. airmataku mulai mengambang.. diangkatnya daguk, ditatapnya mataku dalam-dalam, aku merasa asing dengan suamiku. Mas Arman tahu mataku mulai berkaca-kaca.
 “Jangan menangis. Lihatlah mataku. Lihatlah sayang, ketulusanku ada di sana”
“Saat ini aku hanya mencintaimu, mas. Tolong jangan perlakukan aku seperti ini.. hikz.. aku mulai menangis.. mas Arman melekatkan tubuhku ke tubuhnya didekapnya aku erat-erat, tangisku makin mengeras dan aku tak kuat menahan isak tangisku.
“ Jangan menangis sayang.. aku mencintaimu sangat mencintaimu. Aku tidak akan melepaskanmu untuk siapa pun” mas Arman lebih mengeratkan dekapannya.
“ Tapi jangan membiarkan aku merawat pria lain meski itu masa laluku.. aku sakit mas .. aku sakit.. “
“ Adisty, dengar sayang. Dengarkan aku..”
“ Tidak aku tidak mau mendengar apa pun.. jangan ucapkan itu lagi, aku harus merawat pria lain aku tidak mungkin melakukan itu..jangan mas..”
“ Adisty .. Pram sahabatku..”
“ Aku tahu tapi jangan punya ide gila meminta aku merawatnya.. “ aku memukul-mukul dada suamiku..
“Oke.. oke.. maafkan aku, maafkan aku, sayang..” mas Arman mengusap-usap kepalaku, aku semakin tersedu dan sulit menghentikan tangisku.
“ Kita jangan salah paham, sayang..” mas Arman melonggarkan pelukannya diangkatnya wajahku, airmataku dihapus dengan punggung telunjuknya.
“ Aku mencintaimu dan sedikit pun tidak pernah berniat menyakitimu. “ suaranya lirih menekan telinga.
“ Sudah ya jangan menangis.. seorang suami yang baik tidak akan membiarkan isterinya menangis, apalagi membuatnya menangis.. aku akan selalu jadi suami yang baik.. mangertilah isteriku.. “ mas Arman tersenyum manis, senyum manis yang kusukai itu pelan-pelan menghentikan tangisku.
“ Iya tadi mas bilang begitu.. aku sedih”
“ Ga sayang.. maksud aku…ah sudahlah.  Ga usah kita bahas dulu.. oh isteriku sayang..”  mas Arman mengecup keningku lembut.. lalu memoncongkan bibirnya di depan mataku.. aku tahu dia mulai menggodaku.. kutekan mulut moncongnya dengan ujung jariku..
“ Ah sebel.. “ kataku manja masih dengan sisa tangis meski airmataku sudah dikeringkan mas Arman.
“Sebel! Seneng betul,  aku tampan..” mas Arman tertawa pelan
“ Enggak “
“ Loh waktu itu bilang suamiku tampan. Sudah berubah lagi toh? “ aku pura-pura cemberut.
“ Oh sekarang mau bilang suamiku ganteng” ahh .. aku mencubit hidungnya yang mancung. mas Arman langsung mengecup bibirku. membuat aku terkejut. Betapa romantisnya suamiku. Terima kasih ya Allah, Engkau beri aku suami yang luar biasa cintanya. Aku mohon keabadian cinta mas Arman untukku.
“ Baru kali ini aku melihat isteriku menangis seperti itu ” katanya sambil senyum-senyum.
“ Karena lontaran ide gila suamiku” balasku. Sekali lagi dekapan eratnya menelan seluruh tubuhku.

Aku dan mas Arman, membezuk mas Pram di rumah sakit. Mas Pram sedang sendirian. Tubuh tak berdaya dengan wajah pucat dan bibir mengering kondisi yang tidak bisa kupercaya. Laki-laki mantan bosku dan mantan kekasihku ini sangat berbeda dengan ketika masih bekerja sebagai direktur perusahaan. Badannya yang tegap berwibawa dan tampan tidak ada lagi.
“ Mas” aku menyalami tangan mas Pram,  mas Pram menyambut lemah.
“ Gimana kondisimu, Pram. Ada perubahan ga ?” Tanya mas Arman
“ Yah begini..” jawab mas Pram pelan.
Mata mas Arman ke arah piring berisi makanan yang belum disentuh. Rupanya mas Pram belum makan.
“ Belum makan ya ? Makan disuapin Adisty yah..? ” aku sangat terkejut demi mendengar ucapan mas Arman. Kulihat wajah mas Arman. Dia berkedip tanda memohon padaku. Kalau sudah begini aku harus nurut. Kuraih makanan mas Pram kutuangkan sayur bening di atas buburnya dan kutambahkan lauknya. Kuambil satu sendok, tanganku langsung mengulurkan sendok ke dekat mulut mas Pram...
“ Boleh, Man ? “ mas Pram bertanya pada mas Arman apakah aku boleh menyuapinya.
 “ Pastilah aku yang minta. Isteriku kan mantan anak buahmu juga.. gak  lah aku ga cemburu” Mas Pram membuka mulutnya ketika sendok yang telah berisi makanan kudekatkan dibibirnya. Sambil menyuapi mas Pram, kedua bahuku dipegang oleh  mas Arman. Suasana keakraban luar biasa. Inilah yang  tak kupahami dari mas Arman saat mas Arman memintaku untuk merawat mas Pram. Akhirnya aku bisa mengerti. Betapa bijaknya suamiku menyikapi kehidupan di sekelilingnya. Mas Arman menyuruhku merawat mas Pram karena kondisinya sudah sangat mengkhawatirkan.. kalau tahu begini mestinya aku ga usah ngamuk.
Dua hari setelah aku dan mas Arman membezuk mas Pram wafat. Begitu cepat mas Pram meninggalkan dunia ini. Aku menangis terguncang, bagaimanapun mas Pram pernah singgah di hatiku. Aku merasa kehilangan. Beberapa waktu lalu bebanku hilang karena  kami sudah saling memaafkan. Demi melihat aku menangis,  mas Arman memegang bahuku dari belakang. Aku tak kuat menahan tangis akan kehilangan ini. Selesai menangis aku berbalik menatap suamiku apakah ada tanda cemburu di matanya. Yang kudapatkan wajah duka yang mendalam di mata mas Arman.
“ Semoga Prambudi Perwiratama husnul khotimah” doa mas Arman kuaminkan bersama. Dibalik bantal tempat tidur mas Pram, mas Arman menemukan amplop yang ditujukan kepada mas Arman.  Kami baru membuka setelah sampai di rumah. Sebaris tulisan tangan mas Pram terbaca.
“ Daun jatuh yang telah kau ambil itu sebenarnya permata,  kutitipkan padamu agar terjaga keasliannya “ Sahabatmu Prambudi.
Setelah membaca tulisan itu bersama kami saling berpandangan. Oh.. aku jadi ingat email yang dikirim mas Arman tentang daun yang jatuh itu ternyata aku. Ada bulir air bening yang menetes dari mata mas Arman. Aku bisa merasakan betapa pedihnya suamiku kehilangan sahabat sejatinya. Ganti aku yang menghapus airmata mas Arman dengan jari-jariku. “ Laki-laki boleh saja menangis jika batas kekuatannya sudah sangat merapuh “ Bisikku. Kupeluk suamiku yang sedang memendam duka mendalam.
Aku dan mas Arman tidak hadir ke pemakaman mas Pram di Solo,  karena sudah ada benih cinta mas Arman di rahimku. Aku tidak boleh jalan jauh-jauh dan mas Arman tidak mau meninggalkan aku sendiri di rumah. Hari-hariku memang tidak pernah lepas dari mas Arman. Ke mana saja aku diantar. Bulan madu yang dijanjikan ke Eropa pun ditunda demi sang baby yang kami nanti. Pasti lah kami sangat menanti setelah anak ku dan anak mas Arman di bawa mantan masing masing. Dan aku pun sudah tidak boleh bekerja dulu, harus fokus menjaga calon bayiku. Aku harus menolak panggilan interview di perusahaan obat-obatan tempat aku melamar. Sebenarnya perusahaan ini sama dengan perusahaan mas Pram, kemungkinan diterima cukup menjanjikan. Aku menurut saja pada mas Arman. Mas Arman pun berjanji nanti kalau bayi kami sudah agak besar aku boleh bekerja.


BAGIAN XVI
PADANG ASAKU

Usia kandunganku sudah menginjak empat bulan, mas Arman mengajakku pergi ke suatu tempat. Aku tidak banyak bertanya, paling mas Arman mengajak aku ke panti asuhan anak yatim piatu. Mas Arman selalu menyampaikan uang zakat dan sodakohnya ke panti-panti asuhan. Biasanya yang berada di daerah Bogor, Puncak atau Sukabumi. Perjalanannya ternyata ke Jakarta bagian selatan. Sampai di suatu tempat di bawah pohon rindang pinggir jalan mas Arman menghentikan mobilnya.
“Ko berhenti di sini ?“ tanyaku aku khawatir ada apa-apa dengan mobilnya. Mas Arman tidak menjawab, mengambil saputangan warna hitam. Saputangan dilipat menyerong dan dipilin tebal. Aku semakin kebingungan, Diraihnya kepalaku saputangan dilingkar menutupi mataku dan diikat bagian belakang. Mataku tertutup rapat.
“Ini apa-apaan sih,  mas ? “
“ Hush,  diam ga boleh protes”
“ Tapi ini ngiketnya terlalu kenceng kepalaku sakit” mas Arman mengendorkan ikatannya.
“ Segini sakit ga ?”
“ Gak. Mau kasih kejutan apa sih, mas?” Tanpa menjawab mas Arman kembali menjalankan mobilnya.
“ Sepertinya aku ga akan terkejut”
“ Siapa yang mau kasih kejutan?”
“ Ini maksudnya apa?”
“ Jalanan di depan banyak laki-laki jelek nanti kamu nyidam laki-laki jelek kalau lihat mereka, aku ga mau anakku jelek. “ mas Arman tertawa-tawa dengan mata tertutup gini mana mungkin aku bisa melihat wajahnya.
“ Ga lucu ah..”
“ Lucu banget, ini aku tertawa lihat isteriku matanya ditutup” Masih juga suamiku ngocol menggodaku. Tidak beberapa lama mas Arman menghentikan mobilnya. Keluar dari samping pintu stir dan membukakan pintu untukku. Aku dituntun k eluar mobil dan berjalan pelan-pelan.
“ Udah lewat yah jalanan yang banyak laki-laki  jeleknya? “ tanyaku ganti menggodanya.
“ Sebentar ya. Sekarang yang ada tinggal lelaki tampan di dekatmu”
“ Iih..” aku memukul badannya tapi karena mataku tertutup tidak mengena sepertinya mas Arman menghindar dan berdiri di belakangku membuka saputangan yang menutupi mataku.
“ Buka matanya, sayang” aku membuka pelan-pelan mataku. Kutajamkan pandanganku . Di depan berdiri rumah megah dua lantai bergaya klasik dengan cat serba putih. Aku terpana melihatnya.
“ Ini rumah siapa, mas ?“
“ Rumah kita, semoga kamu suka yah” aku melonjak kegirangan.
“ Sst.. jangan diguncang-guncang baby-nya kasian” aku baru sadar kalau aku sedang hamil muda. Kuhentikan atraksiku. Aku yakin pasti sangat norak.
“ Maaasss... aku suka banget..terima kasih mas. Terima kasih” Kataku manja, kurangkul leher mas Arman. Happ.. aku digendongnya memasuki rumah itu. Tubuhku diletakkan di sofa putih. Aku beranjak duduk, mataku berkeliling di ruang tamu rumah itu. Masya Allah luar biasa. Aku bangun dan berlari ingin mengamati seisi rumah itu. Mas Arman mencegahku.
“ Pelan-pelan jalannya, sayang” mas Arman membimbingku. Tidak bisa kuurai bahagianya aku. Ada mushola kecil dengan karpet dan sajadah tergelar aku menuju ke situ langsung duduk dan sujud syukur. Mas Arman mengikuti gerakku. Setelah bangun dari sujud aku dipapahnya berdiri dan berjalan kembali ke ruang tamu.
“ Terima kasih kejutannya”  Kataku malu-malu.
“ Tadi katanya ga akan terkejut. Terkejut juga ya ?” Mas Arman menggodaku. Inilah mas Arman selalu save kataku dan dikembalikan padaku. Kugayutkan tanganku ke lehernya, kukecup bibirnya seperti yang selalu dia lakukan kalau bibirku banyak protes, mas Arman membalasnya dengan romantika sensualnya yang membuat aku terkulai dalam pelukannya. Kami merapatkan tubuh merapatkan cinta. Betapa luar biasanya Allah menggantikan apa yang kulepas dengan ikhlas. Rumah yang kulepas untuk mas Yoga dan isterinya telah diganti oleh Allah dengan rumah semegah ini. Terima kasih ya Allah tiada nikmatMu yang kuingkari.
Bayi pertamaku lahir dengan selamat,  berjenis kelamin perempuan. Kami membawa bayi itu ke rumah baru pemberian mas Arman. Rumah megah itu telah dihiasi tangis bayi. Bayi mungil yang wajahnya mirip mas Arman, oleh mas Arman diberi nama “Adila Ardiatna Putri”
Suatu pagi aku baru selesai menyusui Adila yang sudah berumur 2 bulan aku duduk di ruang tamu.  Mobil Dinda berhenti di depan rumah. Keluarlah dari dalam mobil ayah, ibu, Dinda dan anak laki-laki kecil digandeng ibu. Aku mengamati anak itu. Ya Allah, itu Bino..
“ Bino... “ aku kegirangan, kuberikan Adila ke mas Arman. Sejenak kutatap wajah mas Arman, mas Arman mengangguk. Aku berlari ke arah Bino yang berjalan pelan bersama ibu diiringi Dinda dan Ayah. Bino kebingungan kupeluk dan kucium.
“ Ini bunda sayang..bunda.. “
“Bunda.. “ Bino memanggilku dan membalas pelukanku, rupanya Bino tidak lupa padaku. Kubawa Bino mendekati mas Arman yang masih tertegun. Ibu meraih Adila dari tangan mas Arman. Mas Arman jongkok mengangkat Bino
“Ini papa Arman” kata mas Arman kepada Bino yang sudah di gendongannya. Bino memandang wajah mas Arman.
“Ini siapa?” Mas Arman menanyakan lagi agar Bino mengulangi ucapannya. Bino menjawab
“Papa Arman”  Bino mengulangi ucapan mas Arman, mas Arman langsung mencium kedua pipi Bino dan membawa Bino ke halaman belakang. Bino dibawa ke tepi  kolam renang kecil untuk anak-anak, letaknya di bagian depan kolam renang besar, aku mengikuti dari belakang.
“Mau berenang ga?” Tanya mas Arman.
“Mau.” Jawab Bino riang
“Nanti kita berenang yah” Bino sudah akrab dengan mas Arman. Mas Arman mengambil bola plastik dan mereka mulai bermain bola asyik sekali.
Aku masuk ke dalam rumah kutanyakan kenapa Bino sampai ada pada ibu. Ibu bercerita kalau sudah seminggu berada di rumah ibu. Bino diantarkan isteri mas Yoga, karena mas Yoga terkena stroke, jadi ga bisa merawat Bino lagi. Tapi ibu meminta padaku agar Bino tinggal bersama ayah dan ibu. Ibu sangat memohon karena ibu kesepian. Aku menyetujui demi membahagiakan ibu. Aku sangat bersyukur, akhirnya Bino dikembalikan kepadaku dengan cara Allah. Cara Allah lah yang terbaik meski pun mas Yoga harus sakit.
Setelah ayah, ibu, Dinda dan Bino pulang kudekati mas Arman yang sedang menidurkan Adila ke baby box. Bayi mungil itu tidur terlelap. Aku dan mas Arman memandangi si mirip mas Arman. Setelah itu kami saling berpandangan dan melempar senyum bahagia. Kupandangi wajah mas Arman,  mata teduhnya indah menatapku. Didekatkan wajahnya ke arah wajahku. sepertinya mas Arman tahu kalau aku akan mengatakan sesuatu.
“ Sayang..” dikecupnya keningku, setelah kecupan itu, aku agak menjauhkan wajahku ingin melihat mata Mas Arman seutuhnya. Kutatap mata binar mas Arman. Ya Allah, mata tulus suamiku ini luar biasa. Mata itu memberiku sejuta asa bahagia. Mata yang penuh cinta, asa cintaku seakan berada di sana. Mas Arman padang asa cintaku yang kuyakini tidak akan tersia-sia lagi.
“Mas.. terima kasih atas semuanya, terima kasih untuk cinta mas kepadaku, untuk kebahagiaan, kecukupan dan ...” belum selesai bibirku sudah ditutup oleh bibir mas Arman. Aku terasa melayang.
Terima Kasih Ya Allah atas kenikmatan yang Engkau berikan. Abadikan cinta kami dalam kebaikan. Aamiin Ya Robbal’alamin.

SEKIAN





Tidak ada komentar:

Posting Komentar