“ Teganya kamu membiarkan aku seperti ini, teganya kamu
menelantarkan hatiku, apa harus ini yang kuterima darimu, untuk pengorbanan dan
cintaku, untuk kegelisahanku bertahun-tahun yang sulit memudar. Aku selalu
menjadi yang tidak sempurna bagimu, dan aku menyesali kalimat cinta untukmu
yang seringkali terucap dari bibirku, aku cinta , aku rindu. Tapi balasan yang
kuterima seperti ini, sakit dan terabaikan. Mas membiarkan aku hidup
bertahun-tahun tanpa arah. Setidaknya saat aku mulai bisa menyapa mas kembali
mas akan mengatakan inilah waktu yang kunanti, tapi itu tidak mas dan tidak
akan ada kalimat seperti itu.
Tulisan Luna menganggu hatiku, merobek naluriku sebagai laki-laki
yang mencintainya, selama ini aku salah menilai, dia yang tak acuh dengan
ungkapan rasaku ternyata bisa menulis seperti itu. Sebagai balasan suratku
“Sekarang aku jauh , jaga lah dirimu baik-baik” itu tulisan akhir dari
suratku.dan balasannya tidak pernah kuduga dengan kalimat seperti ini “Untuk
cinta, aku tiada dapat kupeluk walau kini airmataku deras, sampai-sampai
airmata ini terasa hampir kering’ kalimat Luna tidak sampai di situ, bahkan dia
menyampaikan kegelisahan dan kesakitannya. “ Ketika dekat tidak pernah kusadari
keberadaannya yang sebenarnya sangat kuperlukan, setelah jauh aku merasakan ini
cinta. “Aku Cinta, aku cinta mas dengan segenap hatiku” berulang-ulang kubaca
rangkaian huruf yang terangkai dengan indah. Kepalaku tergeleng-geleng, kalimat
yang kuharapkan ini akhirnya muncul juga walau hanya dalam bentuk tulisan
.”Andai kau tahu, Lunaku sayang, ini yang kuharapkan darimu sejak dulu, sejak
aku menemukanmu dan menemukan rasa di hatiku, rasa cintaku kepadamu, andai saja
kamu tahu perjuanganku ini untukmu, untuk masa depan kita”. Kini apa masih pantas
aku menjadi laki-laki yang meratap, laki-laki bisa saja kalah, tapi tak pantas
meratap” itu prinsipku, prinsip itu terbongkah karena aku merasa pantas
menangis dan meratap. sejak lama aku ingin memelukmu, tapi tak pernah kulakukan
karena aku menunggu ucapanmu itu, “aku juga cinta”. Sejak Luna duduk di bangku
kelas 3 SMA aku menunggu kalimat itu, dia menghindar tapi membalas setiap
suratku dengan nada cemburu. Aku seperti tidak peduli aku hanya mengatakan
“sebaiknya rasa cemburu itu “TIADA” karena kamu pasti tahu bagaimana aku berdoa
untuk kita”. Kini kita berbatas lautan, mungkin hanya butuh waktu sehari untuk
mengunjungimu memelukmu sekejap, memberi kekuatan yang selalu ingin kuberikan
padamu, sekarang bahkan aku tidak mampu menjagamu dari dekat” bulan-bulan
kulalui bersama bulan di atas sana setiap aku menatap bulan seperti ada
bayangan Luna, aku seperti membentuk sebuah ilustrasi untuk bulan, bayangan
Luna laksana tarian gemulai bersama awan , sulit kuraih karena terlalu tinggi,
sulit kupeluk karena berbatas duri, tapi senyum sejuknya yang selalu kuingat
akan mengantar aku dalam tidur malamku, dan aku hidup antara senyum dan tangis.
Beginilah lelaki mencinta. Sulit menjangkau bahagiaku walau sudah berlari cepat
dan berlompat tinggi.
Namun aku masih banyak berharap,
Luna dalam genggaman nadiku.bersama memacu jantung dalam kehidupan indah kami.
Waktu terus berjalan, Luna sudah menjadi milik lelaki lain, ingin
aku merebutnya, tapi untuk apa jika ini merebut bahagianya. Surat undangan yang
dikirim 2 hari setelah pernikahannya adalah kesengajaan yang menandakan ia
tidak menginginkan kehadiranku, berakhir sudah kata cintanya, itu dulu hanya
fatamorgama yang menyenangkanku. Luna kamu mengkhianati aku. Tiba-tiba aku
ingin membencimu, ingin kukatakan bahwa kau wanita pendusta yang membuat
hidupku porak poranda, kubatalkan tugas belajar ke Jerman satu bulan setelah
pernikahanmu. Aku benci kamu walau hati kecilku menolak bahwa kamu tidak patut
kubenci, aku yang salah, aku yang telah lama membiarkanmu sendiri tanpa kabar.
Aku mengembangkan harapanku lewat perjuangan yang tidak pernah kamu tahu.
Aku tidak pantas membenci luna, Luna memiliki sorot mata kejujuran
, setiap perkataannya adalah kejujuran itu tersirat dari matanya yang selalu
polos dan bening.lewat lagu kubuat syair-syair mata beningnya gadisku, hatinya
bening, kecerdasannya adalah pangkal kekuatannya. Sekali pun sibuk dengan
kuliahnya dia tidak pernah mengatakan kelelahannya. Paling hanya tulisan yang
mewakilinya “jam 3 pagi mataku baru terpejam, mas” keluhnya suatu pagi kubaca
dari SMSnya. padahal aku sudah terlelap
5 jam sebelumnya. Aku tersenyum tapi tidak perduli. Apa pantas aku membencinya?
Jika lelaki lain memilikinya itu sudah menjadi kodratnya. Dia bahagia di sana.
Aku memang pencinta yang “mbeling”
kuabaikan setiap perkataannya, keluhannya, curhatannya, setiap kali dia telepon
interlokal yang harus dia bayar mahal dia bilang “aku mau ujian, doakan aku ya,
mas” tapi aku menjawab semauku “Mau ujian aja ko resah, aku sering ujian tapi
senang-senang saja” itu jawaban konyolku dan dia membalas dengan sabar “aku
beda dengan mas, mas kan pintar dan selalu percaya diri” Ya Tuhan percakapan
itu kusesali. Aku bukan menguatkannya tapi malah menyepelekannya. Seharusnya
aku tidak melakukan itu terhadap gadis yang kucintai. Tapi dia sepertinya tidak
pernah sakit hati, bahkan terakhir dia menuliskan kegiatannya mulai dari
membuat proposal skripsi sampai akhir sidang yang menegangkan yang diakhiri
dengan kalimat “ini tidak penting bagi , mas.
Maafkan aku ya mas selalu mengganggumu.”.
Kesibukanku benar-benar mengabaikan surat-suratnya. Aku harus
bekerja overtime untuk mendongkrak
dedikasi demi lancarnya cita-citaku. Aku egois karena hatiku selalu berkata
“kamu tidak perlu tahu, sibukku ini untukmu, untuk kita” dan Luna memang tidak
pernah mengerti kesibukanku. Kupersiapkan berkas-berkas ajuan tugas belajar ke
Luar Negeri, karena ini kesempatan yang baik. Aku berpikir jika 2 tahun
sesudahnya aku selesai maka aku bisa menjanjikan kehidupan yang lebih baik
untuk Luna, untukku dan untuk keluarga kecil
yang ingin kubangun bersama Luna. Ini kejutan yang ingin kuberikan dan
membiarkannya tidak perlu tahu itu. Ini masalahku dan aku hanya ingin
memberikan keberuntungan untuknya.
Keberuntungan untuk Luna tidak dapat kuwujudkan, aku benar-benar
harus menjatuhkan air mata ketika undangan pernikahannya dalam genggamku. Aku
seperti kehilangan pegangan, kehilangan kendali emosiku. Aku selalu ingat saat
Luna menahan tangis jika dia cerita sedang kecewa aku bilang “menangis lah jika
itu melegakan perasaanmu” dia menjawab “menangis pun tak ada gunanya” padahal
aku lihat ia menahan air matanya. Seperti itulah gadisku, dia seperti permata
yang hilang ditelan waktu. Bahkan bisa
kukatakan seperti ditelan bumi, bumi mana yang kuinjak tak menampakkan
permataku.
Kuremas undangannya dengan hati geram. Waktu itu aku tidak
memikirkan apa yang terjadi dengan Luna, kusesali pengorbanan dan perjuanganku
bertahun-tahun untuk gadis pengkhianat ini. Bahkan aku tidak bisa melihat gadis
lain yang kuanggap baik di sekelilingku, semua sudah kuanggap seperti Luna,
pengkhianat dan perusak hati. Kejamnya aku menilai kaum ibuku. Dan hanya ibuku
yang baik di dunia ini. Sehingga ketika 2 tahun setelah pernikahan Luna aku
masih sendiri, ibuku menjodohkanku dengan gadis pilihannya. Gadis yang tak
pernah kuingini ini bersanding di pelaminan bersamaku.aku gamang tapi tak akan
berani menolak keinginan ibu agar aku segera menikah. Aku sangat tahu ibu
mengharap cucu dariku. Hanya aku dari ketiga kakakku yang belum menikah sedangkan
Tantri sudah mendapatkan pria idamannya.. Mengapa tak kuwujudkan keinginan ibu
sementara tiada yang kutunggu, yang kutunggu telah menjadi milik lelaki yang
beruntung.
Sampai kemudian aku tahu karena diam-diam aku mencari informasi
tentangnya, dia sudah menjadi guru di sebuah sekolah negeri, tidak sulit
mencarinya . aku mencari nomor telepon sekolahnya. Kutelepon adakah guru yang
bernama Luna, waktu itu dia sudah pulang, penerima telepon teman Luna seperti
curiga siapa aku lelaki kok mencarinya, wajar saja karena status luna memiliki
suami dan keluarga. Aku katakan kalau aku teman lamanya yang ingin mengunjungi
keluarganya, bahkan aku minta alamatnya . ternyata Luna satu komplek dengan
adikku. Aku mencari nomor telepon alamat rumah luna. Dan tidak perlu buang
waktu aku menelpon ke rumahnya, Luna yang mengangkatkan, ada nada terkejut dari
suaranya “Ini mas dari mana tahu nomor telponku”
“ Tidak sulit bagiku hanya untuk mencari sebuah nomor telepon” Dia
tertawa berderai, ada yang berbeda sekarang Luna bisa tertawa berderai, tidak
seperti dulu kalau telpon menyiratkan rasa rindu, aaah …lagi-lagi aku merasa
menemukan hal baru dari gadisku dulu, dia lebih dewasa dan komunikatif, enak
diajak ngobrol
“Aku kira mas masih marah padaku”
“Iya aku marah, tapi itu dulu, sekarang aku sudah tidak pemarah
lagi” balasku. Saat itu aku memang tidak ingin marah, mendengar suaranya sudah
menyejukkanku. Kami berbicara berbagi cerita tentang keluarga kami. Aku dengan
satu anak dan dia sudah beranak dua.
“ Hahaa..ternyata kamu wanita produktif yang suka beranak”
candaku. Entah bagaimana ekspresinya dia hanya menggumam.
“ aku senang berjumpa dengan mas lagi walau tidak untuk bersama,
setidaknya aku lega karena mas telah memaafkan aku”
“ Siapa bilang aku memaafkanmu, aku hanya bilang tidak marah lagi,
tapi bukan berarti aku sudah memaafkan”
kataku dengan nada serius yg kubuat-buat.
“Jangan gitu dong, mas, kan mas ga pernah bertanya kenapa aku
harus menikah dan meninggalkan mas, aku sebenarnya kecewa dengan mas. Tapi…ya
sudahlah mas kita tak berjodoh”
Terbayang wajah cintaku yang menyapa setelah tenggelam oleh
waktu. Luna begitu polos dalam ungkapan
hatinya.
Pada suatu pertemuan tak sengaja, Saat aku ingin memeluknya dia
mundur dan menghindar. Kebersihan seperti ini yang dulu selalu kujaga “ jangan,
mas. Sekarang aku milik orang lain, begitu juga mas… dulu ketika aku masih
menjadi bagian hidup mas, mas tidak pernah melakukan itu.” katanya “ padahl aku
ingin mas melakukannya di saat aku rindu “ bisiknya lagi. Ini terjadi saat aku
menyempatkan waktu untuk bertemu, aku ingin sekali berjumpa. Dari Medan aku
mendarat di Jakarta, Luna menungguku di Bandara,
“aku tidak ingin menangis, mas. Tangisku sudah hampir habis dalam
penantian yang sia-sia”
“Ups salah..” ak memotong.. kalimatnya, “ itu salah besar.”
“Tidak..itu tidak salah..” dia balas memotong kata-kataku
“Salah…” dan kami saling memotong kata hingga menjadi perdebatan.
“Tidak salah, mas. Jelas tidak salah karena waktu itu aku tidak
menyadari bahwa aku sedang mengharap seorang yang misterius sepertimu, maka
jangan salahkan aku” tegasnya, aku mencoba mengalah.
“Aku misterius ?” tanyaku
“ Sangat misterius. Aku tidak pernah tahu isi hatimu yang
sebenarnya”
“ Aku tidak berterus terang semua isi hatiku, bukan apa-apa. Itu
mendidik..”
“Mendidik yang menyakitkan, apakah guru harus mendidik dengan cara
menyakiti ? itu tidak benar, mas”
“ Oh iya sekarang aku sedang berbicara dengan guru..baik bu guru”
aku tidak mau merusak suasana, aku tidak mau uraian rindu masa lalu menjadi
pertikaian yang tak seru.
“Kali ini aku hanya ingin bertemu dengan guru cantik yg gagal jadi
milikku..” dia tersenyum
“ Mas lagi berbicara ngacau..”
“Iya benar..” aku ngotot, Luna tidak menanggapi. “Tapi lupakan
itu, aku senang melihatmu bahagia”
“ Iya aku juga senang melihatmu bahagia” balasnya
“Memang kamu yakin aku bahagia ?”
“Iya aku yakin mas sudah sangat bahagia dengan keluarga mas”
“Semoga ya..” Tukasku sekenanya
“Ya semoga..” Luna tersenyum.. aku curiga dengan senyumnya yang
masih terasa menyelidik. “ sejak 12 tahun lalu aku mencintai wanita, 6 tahun di
masa gadisnya dan sisanya ….”
“ Tidak usah dibahas…” Dia memotong kalimatku. Tangan mungilnya
masih mengaduk-aduk jus alpukat di hadapannya.
Ketika memilih kemeja di display butik dia hampir terjatuh, saat
mau kutangkap dia menolak “ jangan mas, aku bisa sendiri”
“ Kalau dulu aku ibarat ilalang yang bergoyang seperti tak
berakar, kini aku suka menjadi bunga alamanda yang selalu mekar dan tersenyum.
Aku suka alamanda aku ingin terus laksana alamanda. Memberikan keceriaan tanpa
tahu orang suka atau tidak. Dan yang pasti hatiku tidak pahit lagi.
Kusandarkan kepalaku di jendela kaca kereta api yang membawa aku kembali
ke kota kerjaku. Aku seperti bermimpi menjumpai gadis masa laluku. Dan aku
sempat mencuri pandang wajah cantiknya yang semakin sempurna. Tapi itu bukan
milikku. Ternyata memiliki sebuah
keinginan kadangkala hanya menjadi sebuah angan. Dan rasa bersalah menyelimuti
hati. Luna yang pernah kulukai kini menjadi wanita tegar dan ceria. Aku kalah
karena salah.
Sampai kotaku esoknya aku meluncur ke toko bunga, aku mencari
bunga alamanda kesukaan Luna yang diibaratkan menjadi dirinya. Ini sungguh
bodoh, bagaimana mungkin aku menjadi lelaki bodoh yang mencari bunga. Kupesan
alamanda sebanyak-banyaknya. Merah, ungu, kuning putih, semua terhias dalam
pot-pot mungil yang indah.
Sampai di rumah istri dan anakku
terheran dengan alamanda yang kubawa.
“ Untuk apa, yah” Tanya istriku
“ Untuk bunda tolong dirawat yah” kataku
pada isteriku tanpa berani aku menatap wajahnya. Aku memang sedang berdusta,
andai aku bisa jujur ingin kukatakan bahwa ini bunga kesukaan Luna. Aku tidak
mungkin jujur. Luna masa lalu, masa cinta dan masa-masaku menikmati rasa cinta.
Biar cinta ini jadi milikku, milik kami yang tidak berani mengganggu hati-hati
lain yang mencinta. Sekarang kupahami, sesukses apa pun karir kita, kita tidak bias
mengabaikan hati dan perasaan cinta. Kekasih masa laluku tetap ada dan tidak
bersamaku.