Retno Yuliati Sunaryo
Minggu, 05 Juni 2022
Kamis, 26 Agustus 2021
Sabtu, 21 Agustus 2021
ALLAMANDA BERSERAK BAGIAN XIX, XX, XI DAN XXII (SELESAI)
BAGIAN XIX
MENGISI CATWALK LAGI
Selanjutnya
goresan-goresan tangan menari-nari di atas kertas disainku. Aku ingin melupakan
pak Arya. Sebulan ini aku menyelesaikan 5 rancangan yang siap launching.
Keasyikan ini yang membuat hidupku terasa bermakna. Kudaftar proposalku ke
sebuah EO yang akan menggelar life music jazz di hotel berbintang di
Surabaya. Aku menawarkan peragaan
busana. Semuanya di setujui, untuk fashion show kali ini aku mengeluarkan 5
hasil rancangan baru dan rancangan oret-oretan sisa rancangan setelah mas Panji
pergi meninggalku.
EO
mencarikan model-model handal di Surabaya, aku juga meminta bantuan Mersi untuk
menghubungi beberapa model yang pernah memperagakan disain pakaianku. Semua
berjalan lancar dan banyak kemudahan.
“Mersi,
ini launching disain saya yang perttama di kota Surabaya, bisa kah ibu minta
waktumu untuk membantu ibu di sini. 1 minggu saja ibu butuh dukunganmu” kataku
pada Mersi mantan asisten ku di Jakarta.
“Dengan
senang hati,bu. Saya mau ambil cuti 1 minggu untuk membantu ibu” jawaban Mersi
tanpa menawar. Mersi pun sangat riang. Aku bahagia Mersi bisa membantuku karena
untuk urusan peragaan busana yang kulaunching Mersi sudah sangat tahu
apa saja yang harus kupersiapkan.
Tema
pakaian untuk fashionhow kali ini kuberi nama “Allamanda” oleh EO ditambah
temanya dengan “Allamanda Prita”. Aku semakin bangga dan bersemangat.
Gemerlap
lampu hotel berbintang lima mendukung model-modelku yang melenggak-lenggok
mengenakan hasil rancanganku.
Perwira hati kedua telah bersama gadis pilihan orang tuanya. Ternyata
aku telah salah memilih laki-laki keduaku, mereka tidak sama. Pak Arya tidak
sama dengan mas Panji. Pak Arya kekar berhati lemah, pak Arya tidak punya hati yang
kuat untuk melamarku. Sedangkan mas Panji berhati kuat bertubuh lemah hingga tidak
berdaya tidak jadi melamarku dan menghadap Sang Khalik. Dua lelaki yang pernah
singgah di hatiku tidak ada yang menguntungkanku. Hatiku meratap di antara deru
ombak pantai Kenjeran. Aku sudah sampai pada titik nadir kekalahanku untuk
mendapatkan cinta yang sesungguhnya. Derai airmata yang berjatuhan tak
membuatku bisa memeluk cinta.
“hai Prita, apa kabar?” suara Esty di seberang sana
“Kamu
nangis atau memang suaramu sedang serak, Prita?” pertanyaan Esty di seberang
sana. Aku memang sedang menangis diiringi deru ombak pantai Kenjeran. Esty
selalu pandai menebak hatiku. Di saat aku sedih begini dia menelponku.
“Aku
gak apa-apa. Aku hanya Lelah aja semalam ada peragaan busana disainku.”
“Wah
keren kamu sudah mulai berkarya lagi.
Setelah
Esty menutup teleponnya aku terduduk lemas. Aku punya bahagia dari sebuah
keberhasilan. Menjadi direktur sebuah perusahaan terkenal, menjadi disainer handal
semua itu membuahkan angka-angka yang semakin banyak dalam rekening tabunganku.
Aku tidak tahu untuk apa semua itu. Aku tetap duduk dalam cinta yang hampa.
Harta dan kekayaan tidak menggerakkan hatiku untuk mengumbar rasa ke mana saja
aku mau. Inilah kehidupanku.
Sendiri
membiaskan sunyi yang menggigit. Aku bangun dari dudukku, berjalan menuju laut lepas, sambil memainkan
kaki di atas pasir. Entah apa yang ingin kutuju. Gerak kakiku semakin maju dan
terus maju, hingga air laut tersentuh oleh kakiku. Aku tidak tahu lagi ke mana
arah jalan ini. Air laut semakin tinggi membalut tubuhku, gelombang ombak ke arah
pantai yang begitu keras seperti mengayun tubuhku. Ombak besar datang
mengantam, handphone di tanganku lepas. Masih kulihat handphone mengambang di
atas permukaan air laut, aku mencoba mengejarnya, ombak datang lagi menghantam
tumbuhku lebih keras dan tubuhku masuk dalam kungkungan air, pernafasanku
tersengal seluruh air menelan tubuhku. Aku tak kuasa melawan.
“Tolong…
“ teriakku sambil menaikkan tanganku ke permukaan air, aku semakin tenggelam
dan tak sanggup lagi berteriak. Hatiku masih bisa berucap
“Ayah,
ibu, Wanda.. maafkan aku….. “ jika ini sudah waktuku aku menyerah. Di dalam air aku seperti melayang dan
terbang ke awan biru, awan itu lama-lama berubah menjadi pekat. Aku pasrah
dalam kegelapan yang kurasakan.
∞∞
“Bunuh
diri.. bunuh diri” suara orang-orang di sekitarku, dada dan perutku merasakan
sakit karena ada yang menekan-nekan. Suara riuh itu membangunkanku. Kurasakan
dadaku penuh air dan tertumpah dari mulutku. Tubuhku terkulai dengan nafas
tersengal dan batuk yang menyesakkan.
Kubuka
mataku, tubuhku terbujur di antara kerumunan orang-orang. Seorang bapak tua
berjongkok di sisiku. Wajah bapak itu mengingatkan pada wajah ayahku. Aku
hampir berteriak memanggil ayahku. Kuurungkan karena aku tersadar aku dalam
kerumunan masa yang menolongku.
“bu
sadar bu..!” kata bapak tua itu seolah ingin menyegarkan pikiranku.
“Saya
di mana, pak?” tanyaku pelan.
“Ibu
tadi tenggelam di laut sana.”
“Jadi
bapak yang menolong saya ?”
“Iya
bersama teman-teman ini. “ bapak tua itu menunjuk beberapa laki-laki yang
mengerumuniku, beberapa orang berlalu meninggalkanku.
“Terima
kasih pak “ kataku dengan suara serak.
Aku
masih beruntung tas selempang yang kulilitkan di tubuhku tidak ikut hanyut
terbawa ombak. Aku meraba isi tasku, dompet dan kunci mobil masih utuh, aku
membuka risleting benda yang berada di dalamnya sedikit basah dari air yang
masuk ke tasku. Tas anti air ini sangat menguntungkanku, karena melindungi
benda-benda berharga di dalamnya. Aku bersyukur tidak ada yang mengambil
kesempatan dari musibahku.
“Maaf,
ada yang bisa menyetir mobil?” kataku
setelah kerumunan orang berkurang. Mereka pergi meninggalkanku satu persatu
setelah aku sadar dan mulai biisa berbicara dengan lancar.
“Saya
bisa, bu.” Kata bapak tua yang tadi menolongku.
“Bisa
antar saya pulang ke rumah ?”
“Bisa,
bu. Ibu mau pulang sekarang ?”
“Yuk
kita bantu ibu ini ke mobil. “ beberapa orang memapahku, aku masuk ke jok
belakang mobil dengan baju yang basah. Dua orang duduk di depan. Aku bersyukur
banyak orang baik di kota besar Surabaya ini.
Kurenungi
teriakan orang-orang yang tadi mengatakan aku bunuh diri. Aku tidak mungkin
bunuh diri. Beberapa kejadian yang menyakitkan selalu kulewati dengan hati.
Jika aku mau bunuh diri tentu sudah kulakukan sejak dulu. Sejak ayah dan ibu
mengusirku, sejak mas Panji meninggalkanku dan gagal melamarku. Tidak. Aku
masih percaya pada Tuhan sepenuhnya bahwa seluruh kehidupanku adalah scenario
terbaikNya untukku.
Aku
menjelaskan kepada kedua lelaki yang mengantarkanku kalau aku sama sekali tidak
berniat bunuh diri atas kejadian naas yang menimpaku pada kedua bapak yang
mengantarkan aku pulang ke rumah. Murni aku hanya mengejar hanphoneku yang
terbawa ombak. Kedua bapak itu percaya padaku.
*
Jika
aku tidak datang ke rumah ayah, bukan karena aku menuruti ego dan kekerasanku.
Sekali pun orang tuaku sudah memaafkanku, aku tidak mau menghadirkan diriku
sebelum orang tuaku benar-benar menganggap aku tidak bersalah dan tidak berlaku
nista. Berat menjelaskan semuanya tanpa ada pencabutan kata dari mas Rangga. Mas
Rangga tidak merehabilitasi namaku di depan ayah dan ibuku. Sekali pun ibu
menangis menelponku meminta aku datang ke Jakarta hatiku tak tergerak untuk
itu. Karena aku masih punya setempel nista, berselingkuh dan berzina. Ini
fitnah terberat yang harus kulalui.
Hatiku
sudah memaafkan, tapi apa mas Rangga memiliki kejujuran untuk mencabut
tuduhannya dan mengatakan sebenarnya? Mas Rangga tidak berani melakukan itu.
Ayah dan ibu hanya memaafkanku tidak melepaskan anggapan buruk tentang aku. Kubiarkan
ini terjadi, jika kehidupan mas Rangga berakhir dengan simpanan dosa mas Rangga
kepada ayah dan ibuku, aku akan membiarkan itu jadi urusan mas Rangga dengan
Tuhannya.
∞
Kocekku
yang semakin tebal dari hasil penjualan karya-karyaku dan gaji direktur
perusahan garment tempatku bekerja. Garment itu semakin maju, kuantitas
produksinya semakin membumbung dan kualitasnya semakin banyak menarik konsumen. Apa lagi yang kurang dari
keberhasilanku ? aku ingin terus bisa bekerja dan bekerja. Hasilnya Tuhan yang
akan menghujani aku dengan rezeki. Aku mulai berpikir ingin memanfaatkan hasil
jerih payahku untuk kesenanganku sendiri. Saatnya aku memanjakan diriku dengan apa
yang sudah kuraih.
Bukan
aku ingin menyaingi mas Rangga kalau akhirnya aku bisa membeli rumah mewah
dengan fasilitas lengkap di sebelah barat Surabaya. Rumah bergaya klasik yang
kubeli dilengkapi dengan kolam renang dan arena fitness. Tak lupa aku membuat
kamar besar untuk aku bekerja. Aku tidak memikirkan untuk apa rumah sebesar itu
hanya kunikmati sendiri. Aku ingin menikmati hidup bahagia di rumah megah dan
nyaman. Dulu aku pernah menikmati rumah mewah bersama mas Rangga dan anakku,
sayangnya di rumah itu aku tidak merasakan bahagia bahkan menjadi korban fitnah
yang menyakitkan.
Ayah
dan ibu mau datang juga ke Surabaya. Ayah dan ibu berdecak kagum melihat
rumahku. Setidaknya aku bangga dengan apa yang sudah kuraih dengan jerih
payahku di antara kesakitan dan derasnya airmata. Mereka tidak tahu itu.
“Kamu
luar biasa, Prita, perjuanganmu bisa menghasilkan seperti ini.” Kata ayah
memujiku. Aku tersenyum mendengar pujian ayah.
“Kamu
kaya raya dari hasil perjuanganmu sendiri, nak.” Ayah menambhkan kata-katanya.
“Terima
kasih ayah. “ jawabku masih dengan senyum, pada hal batinku ingin mengatakan
pada ayah “Untuk menjadi kaya tidak harus menikah dengan orang kaya”. Kusimpan
kalimatku dalam hatiku sendiri. Aku tidak ingin menyakiti ayah karena aku sudah
mendapat karunia kebahagiaan seperti ini.
“Rangga
sudah bangkrut “ kata ibu menyela tanpa kumintai kabar tentang mas Rangga. Aku
hanya menyungging sedkit senyum agar tak ada kesan menghina atas kejatuhan mas
Rangga.
“Masih
banyak simpanannya mungkin, bu” kataku menetralisir suasana.
“Ga
ada, sudah habis, bahkan untuk biaya sekolah Wanda saja ibu yang membayar.” Aku
terkejut sampai sejauh itu kejatuhan mas Rangga.
“Prita
mau membiayai sekolah Wanda, biar lah Prita yang membiayai, bu. Jangan ibu. “
“Betul
itu, nak?” tanya ibu seperti tak percaya. Aku mengangguk pasti.
BAGIAN XX
KEMENANGAN HATI
Bulan
telah merubah tanggal, hari-hari baru mengganti hari kemarin, lusa dan
hari-hari yang telah berlalu. Waktu terus berjalan. Kunikmati dengan kualitas
diri. Kualitas diri menumbuhkan kekaguman.
Kesabaranku
tak sis-sia, akhirnya mas Rangga mau memindahkan hak asuh Wanda kepadaku,
kehidupan yang sudah sangat sulit bagi mas Rangga membuat mas Rangga menyerah.
Tuhan telah menjawab doa-doaku. Aku tidak pernah berdoa buruk untuk mantan
suamiku, karena bagaimana pun buruknya perlakuan mas Rangga kepadaku dia tetap
bapak anakku,
Ω
Sebelum
Wanda datang aku menyempatkan diri ke makam mas Panji. Sudah lama aku tidak
berziarah ke makam mas Panji. Aku ingin mendoakan mas Panji dengan rasa syukur
yang sekarang kunikmati. Mas Panji guru kebaikan untukku.
“Tenanglah
di sana, mas. “ kata-kata yang kusampaikan diikuti dengan doaku. Kuusap
pusaranya.
“Aku
datang ke sini membuka kunci hati, hati yang terkunci dalam sepi. Kubuka kunci
itu untuk mengunjungimu, semoga sepi ini sedikit memencar dan menghadirkan
keceriaan. “ kalimatku meluncur begitu saja dalam suasana sunyi dan bicara
sendiri. Lama aku terdiam di sana, kusebarkan petikan allamanda yang sudah
hampir layu, allamanda bersetakan di atas makam mas Panji, sera yang kusengaja,
allamanda yang kuserakan seolah menorehkan suatu lukisan asmara senja yang
menggantung di langit sana.
“Kali
ini aku tidak ingin menangis lagi. Sepedih apa pun kehilanganmu aku akan tetap
ada. Aku tidak tahu kapan penggantimu akan datang, aku masih bisa setia di sini
bersama kesucian cinta kita. Aku akan mengingat pesan-pesanmu sebagai quates
yang kubukukan dalam hati dan jiwaku. “
“Orang-orang
yang hadir dalam kehidupan kita dan mendzalimi kita itu kirimanNya.” Kuteguhkan hatiku untuk bisa
memaafkan siapa pun juga yang pernah mendzalimiku. Aku yakin Allah juga yang
akan menghentikannya.
Di
dekat pusara mas Panji aku seperti menikmati rasa cinta yang sebenarnya. Walau
sudah tiada rasa itu tetap membekas menggetarkan sanubari. Dulu aku selalu berusaha membunuhnya. Kali ini aku tidak
ingin mengungkap kepalsuan hati. Mengingatnya adalah suatu upaya mengisi
pikiran. Aku merasakan bagian rinduku menyelinap dalam kisah sunyiku.
Aku
tidak ingin menjelaskan sebuah kebenaran. Allah lah yang menjelaskan sebuah
kebenaran dengan CaraNya, karena cara Allah lah yang terbaik. Aku sudah
menikmati hidupku. Bekerja dan berkarya. Sementara ini aku memilih sendiri
dalam kehidupanku. Mungkin sendiri lebih baik dari pada hidup dengan orang yang
tidak mengerti kehidupanku. Aku akan terus di kota ini sekali pun sampai
memutih rambutku. Aku masih ingat kata-kata mas Panji.
"Menjadi
orang baik tidak pernah rugi. " Semoga Allah menetapkan aku menjadi wanita baik.
Kisah
cintaku dengan mas Panji tidak sama dengan kisah cinta Romeo dan Juliet
dalam novel yang ditulis William Sakhespeare, tidak sama dengan kisah Sampek
Engtay dari negeri Tiongkok, tidak sama juga dengan kisah cinta dalam
cerita dari negeriku Roro Mendut dan Pronocitro, dimana tokoh-tokoh
cinta itu sama-sama mengakhiri hidupnya demi kebersamaan. Jika satu jiwa
melayang maka yang lainnya berusaha menyusul. Kisah cintaku dengan mas Panji merupakan
sebuah kisah cinta yang harus dijalani sebagai sebuah takdir dalam skenario
Yang Maha Kuasa. Aku selalu ikhlas menikmati keindahan cintaku dan mas Panji.
Semua indah pada waktunya dan pada cara Terbaik dari Nya.
Senyumku
mengembang. Aku hanya mampu tersenyum meraih kemenangan atas sebuah kesabaran
dan keikhlasan. Terbayang lagi senyum mas Panji, Berangkat menuju kehidupan
baru dengan semangat baru. Biarlah Allah yang tentukan jodohku. Jika suatu saat
Allah memberiku jodoh lagi. Aku ingin pria sebaik dan sesabar mas Panji.
Selesai
kupanjatkan doa lagi, kuelus pusaranya lagi, seolah mas Panji dekat dan
membalas, aku bangkit dari posisi jongkokku, berdiri dan tersenyum melihat
pusaranya, pelan kubalikkan tubuh dan mulai menapak, aku akan menapaki jalan
kehidupanku sendiri tanpamu, mas Panji. Pasti mas Panji mengijinkan aku
menangis selamanya, namun apakah ini masih bermanfaat bagiku dan mas Panji? aku
hanya mampu berdoa semoga Tuhan menjagamu.
Semoga aku menjadi semakin kuat dan hidupku semakin bermakna bersama
langkah pastiku bersama anakku.
ALAMANDA BERSERAK BAGIAN XVII DAN XVIII
BAGIAN XVII
PERWIRA HATI
Ada
sebuah alasan untuk berkenalan dengan dua orang polisi. Perkenalan yang dimulai
saat aku kehilangan motor dan melaporkan ke kantornya. Polisi yang bernama
Suwardi dan Sutrisno datang ke rumahku mengecek keadaan rumahku, menanyakan
letak motor hingga bisa disabet maling. Laporanku dicacat. Security komplek menemani
kedua polisi mengecek kondisi rumahku. Menjelaskan kejadian sebenarnya.
Menurut
keterangan security, ada dua orang masuk kompleks siang hari. Motorku dibawanya,
tapi security tidak curiga kalau itu pencuri. Sebenarnya aku malas ribet
begini, tak apa lah kalau itu jadi suatu keharusan, sebagai warga negara yang
baik aku ikuti peraturan. Kehilangan motor ya harus lapor polisi.
Siang
itu aku berjumpa lagi dengan 2 orang polisi yang pernah datang ke rumahku, saat
aku menikmati rawon setan yang terkenal di Surabaya. Pak Suwardi yang mengurus
kasus hilangnya motorku sedang menikmati makan siang dengan atasan dan
teman-temannya.
Laki-laki
bertubuh semampai dan dan berwajah bersih diperkenalkan padaku, namanya pak
Arya seorang perwira polisi yang menjabat sebagai Kapolsek. Perkenalan dengan bahasa
umum terjadi biasa saja.
Aku
selesai lebih dulu langsung membayar di kasir terdengar mereka bercakap tentang
aku dan saling berbisik. Aku tak peduli. Mungkin mereka sedang mempercakapkan
ke-jandaanku. Biasa lah janda sering menjadi pergunjingan kaum lelaki. Biarlah
memang aku janda beranak satu dan tinggal sendiri. Mau apa lagi.
Satu
minggu kemudian Pria bernama Arya itu
datang ke rumahku. Seakan ingin menyelidik tentang kasus hilangnya motorku.
Menyelidiki motorku atau menyelidiki kehidupanku. Masa bodoh aku hanya
menyambut mereka seperti layaknya tamu. Anehnya urusan hilang motor saja bos
polsek ikut datang ke rumah. Tak terelak lagi tujuannya mendekatiku.
Duda
beranak satu itu bernama Arya Wiguna itu selanjutnya menemani hari-hariku.
Tubuhnya yang tegap seakan menawarkan perlindungan untuk ragaku. Sebuah tatapan
halus mengurut nadi. menghenyakkan aku dari lamuman panjang yang mengisi
pikiranku. Ucapan cinta itu bagai sebuah kesungguhan.
Tiga
bulan berjalan kedekatanku dengan pak Arya. Kata cinta pak Arya menawarkan
sebuah kesungguhan untuk membuka hatiku. Pertimbanganku, aku butuh laki-laki
mampu melindungi diriku sepenuhnya. Dua beranak satu itu memperkenalkan aku
dengan anaknya. Anak laki-laki berusia 5 tahun itu sudah ditinggal ibunya untuk
selama-lamanya karena sakit maag kronis. Ketika ditingga anak itu usianya 2,5
tahun. Aku ingat Wanda, ketika kutinggalkan Wanda berusia sama. Anak itu
langsung akrab denganku.
Dalam
remang malam pantai Kenjeran aku mendapatkan sebuah dilemma yang membuat aku
berada di simpang jalan. Rangkaian bunga mawar disampaikan pak Arya sebagai kesungguhannya
ingin meminangku. Aku merasa asyik bersama pak Arya, tapi hatiku belum asyik. Bayangan mas Panji meracuni benakku.
Tiada
kepastian dari hatiku. Berhari aku memikirkannya. Antara menerima dan menolak.
Menatap pak Arya, membuat aku merasakan suatu dosa. Dosa mengkhianati cintaku
yang sudah tak mungkin kukejar. Apa aku bisa menggantikan mas Panji dengan pak
Arya di hatiku ? pertanyaan itu menghantui hatiku. Dulu aku ingin menggantikan
mas Panji dengan sosok mas Rangga, aku gagal dan kecewa. Kini aku masuk dalam
dilemma yang sama, Aku ingin kesungguhan cinta seperti cintanya mas Panji
kepadaku, tapi pak Arya bukan mas Panji, itu kenyataannya.
Aku
aku tidak tahu apakah aku harus jujur pada pak Arya, kalau aku belum bisa
melupakan masa laluku. Rasanya terlalu naif kalau itu kulakukan. Aku ini wanita
dewasa, tidak harus cengeng dengan urusan cinta.
Aku
ingin menghilangkan kegalauan hati, sulit menjawab pernyataan pak Arya. Aku
butuh waktu merenung. Keputusanku aku harus menjernihkan pikiranku sampai aku
tahu jawaban yang paling tepat.
Kusetir
mobilku ke arah Banyuwangi. Aku ingin menikmati akhir pekanku sendiri. Jika mungkin aku ingin menyeberang ke pulau
Bali. Gundahku dalam keraguan yang dalam menerima pak Arya.
Pertimbangan
ini menyiksaku. Tidak ada yang kurang dari pak Arya, sikap yang sangat baik,
kehidupan yang mapan dan jabatan yang menjanjikan mampu melindungiku yang hidup
sendiri. Getaran ini menyembulkan riak-riak kesakitan dari masa laluku, tentang
kehidupan perkawinan yang kandas dan cinta yang berakhir tragis.
Aku berhenti di resto pasir putih. Pantai dengan pemandangan pasir
putih halus yang memanjang, air laut yang bening membiru, ombak yang landau.
Sejak habis subuh aku sdh berjalan
meninggalkan rumahku, aku akan mengisi perutku untuk sarapan pagi.
Teh poci dan roti bakar sudah bisa
menghangatkan perutku.
Kuselesaikan
makanku dengan cepat, kupercepat langkahku untuk kembali ke mobil dan
melanjutkan perjalananku lagi,
“Pak
Arya?” Lagi-laki itu dengan kuat mencekal pergelangan tanganku. Aku menelusuri tatapannya,
mata lembutnya menghujam ke wajahku. Senyumnya merebak menebar kepastian seakan
menunjukkan dirinya bersungguh-sungguh ingin menemaniku.
“Tidak
perlu lari meski pun penuh keraguan” kalimat sejuknya menelusuri hati.
“Saya
ingin berakhir pekan pak” kataku sehalus mungkin membela diri dari tuduhannya.
Dia pasti tahu aku sedang berbohong.
“Saya
bersabar menunggu sebuah jawaban, tapi saya tidak akan membiarkan wanita hebat
di depan ini berjalan sendiri”
“Pak..”
panggilku pelan. Pak Arya menganggukkan kepala pelan seakan ingin menepis
seluruh keraguanku.
“Saya
akan menemani dik Prita kemana pun pergi. Jangan pergi sendiri.” Kata-kata
itu.. nada suara itu aku seperti pernah menikmatinya.
“Mengapa
ragu pada saya kalau saya sanggup menemanimu.” Tambahnya lagi.
“Saya…
saya… “ aku tak sanggup melanjutkan kata-kataku. Mata itu semakin tajam
menuangkan pandandan harapan.
“Saya
siap menemani kemana saja, sini kunci mobilnya. Entah apa yang menggerakkanku,
kuulurkan kunci mobil di tanganku. Dengan sigap pak Arya mengambil dari
tanganku dan menuntunku ke arah sebelah kiri mobil, membukakan pintu untukku,
aku seperti robot menurut saja.
Pak
Arya sudah duduk di belakang setir mobilku, aku masih terdiam mengamati
gerak-geriknya. Pak Arya menoleh ke arahku
“Dik
Prita mau kemana?” Tanyanya dengan lontaran senyum yang memikat. Aku diam hanya
memandanginya. Aku sendiri tidak tahu mau ke mana? Setelah pak Arya menyusul
aku tidak hasrat ke Bali, keputusan yang tiba-tiba seperti halnya kedatangan
pak Arya.
“Kok
diam, dik Prita mau kemana saya siap antar?” Ujarnya lagi dengan mata membinar.
Ketemukan ketulusan di wajah pak Arya.
Aku
menggeleng pelan, dahi pak Arya berkerut. Tapi Kembali tersenyum.
“Hilang
selera jalan-jalan setelah kedatangan saya?” Tanyanya lagi seperti kecewa. Aku
menggeleng lagi.
“jadi
bagaimana maunya dik Prita?”
“Untuk
apa menyusul saya ke sini?” Tanyaku.
“Untuk
cinta.. “ Katanya tegas. Untuk cinta ? kuulangi pernyataannya di hatiku.
Kuteliti pandangannya, aku tidak mengerti kesungguhan atau bergurau.
“Ya
untuk Cinta.. “ Ulangnya lagi lebih tegas, setegas sikapnya dalam jabatannya
sebagai Perwira polisi. Aku tak mampu menjawab, mataku tertunduk dari
tatapannya. Sebuah tangan lembut mengelus ujung hijabku. Aku berharap ini tidak
menghadirkan bayangan mas Panji lagi, aku tidak ingin tersiksa lagi.
XVIII
NUR’AINI
Aku
harus bertanding lagi ? bertanding mendapatkan laki-laki untuk hidupku. Dulu
Anggun memperkenalkan diri sebagai calon penggantiku di sisi mas Rangga. Aku menyerah
karena tidak ada arti mempertahankan laki-laki yang telah menyakitiku.
Gadis
bernama Nur’aini datang mengunjungi rumahku. Dia datang dengan segenap
keyakinannya dan membawa cerita manis tentang lamaran orang tua pak Arya, tentu
saja ini cerita pahit untukku.
Pak
Arya beberapa hari ini sedang Lokakarya ke Semarang. Itu pamitnya padaku, tapi
Nur’aini mengatakan orang tua pak Arya melamarnya. Apa pak Arya berdusta padaku
tentang Lokakarya yang diikutinya. Dibalik semua itu dia melamar Nur’aini. Aku
sungguh tidak menyangka pak Arya demikian tega padaku.
“Biarkan
pak Arya mendapatkan gadis dari pada dapat janda.” Ujar wanita itu. Aku
tersenyum. Mungkin dia benar.
“Kalau
begitu kita tak perlu banyak kata. Silahkan ambil pak Arya, menikah lah dengan
pak Arya dan tinggalkan rumah saya.”
Semalam
kurenungkan ucapannya. Nur’aini benar, dia memang lebih pantas untuk pak Arya.
Pak Arya tentu lebih bangga dan bahagia mendapatkan seorang gadis dari pada
janda sepertiku. Aku akan memutuskan hubunganku dengan pak Arya.
Renungan
Panjang meremukkan hatiku. Aku tak sanggup menjalani kehidupan bersama
bayang-bayang wanita lain dalam gerak langkahku. Aku harus melepaskan pak Arya
demi gadis cantik bernama Nur’aini. Nur’aini lebih pantas untuk pak Arya. Kukirim
kalimat singkatku.
“Jangan
menjadi pendusta untuk mengelabuhi saya.” Pesan singkat yang kukirim pada pak
Arya. Kutunggu lama tidak ada balasan. Aku tidak ingin menulis lagi. Kalimat
itu sudah cukup untuk membuat pak Arya paham maksudku.
“
“Mohon
maaf, sebaiknya hubungan kita, kita akhiri sampai di sini.” hanya itu yang
kutulis jelang tidurku, kalimat singkat itu membuat tidurku terasa lega dan
nyenyak.
Jam
delapan pagi laki-laki itu sudah berdiri di depan ruang kerjaku. Menyambutku
dengan wajah pias. Pakaian dinas lengkap membalut tubuhnya, pertanda dia ma uke
kantor tapi mampir ke sini.
Ini efek dari pesan singkatku tadi malam.
Untuk apa dia datang sementara hatiku sudah mulai lega. Sebenarnya aku tidak
ingin berjumpa lagi dengannya. Keputusanku itu sudah sepenuh hati. Kalimat
Nur’aini sudah memantapkan tekadku. Mengapa pak Arya harus datang lagi
menemuiku. Sudah ada Nur’aini yang dipersiapkan ibu pak Arya dan siap menemani Arya, siap juga mengasuh putra
tunggalnya.
“Dik
Prita.. “ Panggilnya lirih sebelum aku memasuki ruang kerjaku. Aku mengangkat
wajah.
“Sepertinya
semua sudah jelas, pak. Sudah sesuai dengan kalimat saya tadi malam”
“Apa
harus seperti ini hubungan kita, saya ingin mempertahan dik Prita….”
“Tapi
orang tua pak menghendaki Nur’aini, bukan saya” kataku memotong kalimatnya, Pak
Arya mendesah.
“Saya
sudah paham dan cukup mengerti.”
“Tapi,
dik.. saya.. saya ..”
“Kita
harus sama-sama belajar untuk menerima takdir, pak Arya”
“Maaf
telah membuat dik Prita sakit hati. ” Aku tersenyum tipis dan menggeleng.
“Saya
akan baik-baik saja.”
“Bijak
seperti itu yang membuat saya semakin takut kehilangan”
“Bapak
seorang perwira, gagah dan berwibawa. Tidak ada yang perlu ditakuti.”
“Itu
semua tentang Profesi, karir dan jabatan, bukan tentang hati, Perwira juga
manusia yang punya hati.”
“ Hati
pak Arya boleh untuk saya, tapi hidup pak Arya sebaiknya untuk mengabdi pada
orangtua.”
“Saya
permisi “ kataku aku membuka handle pintu ruang kerjaku
Kuoret
oret kertas kosong di atas meja kerjaku. Pikiranku kusut.. aku tidak bisa
bekerja hati ini, wajah pak Arya sangat menggangguku.
Selesai
lah sudah semuanya. perwira hati itu hanya singgah sekejap dalam kehidupanku.
Dia seperti hujan mengguyur bumi, datang tanpa diduga dan pergi tanpa suara
tapi meninggalkan bumi yang basah yang kurasakan. Tetesan hujan seakan mewakili
tangisku. Biar lah hujan yang mewakili karena sudah aku lelah meneteskan
airmata untuk laki-laki yang hanya sekejap tinggal di hati.
ALLAMANDA BERSERAK BAGIAN XIV, XV DAN XVI
BAGIAN XIV
IBUKU
Mungkin
ini jawaban doaku kalau akhirnya ibu datang ke apartemenku dengan tangis
mengharu biru. Memelukku erat. Ibu mendapatkan alamatku dari Esty. Esty datang
ke rumah orang tuaku menanyakan kabarku, aku tahu Esty pasti berdrama pura-pura
tidak tahu aku berada dimana. Ibu juga baru tahu kalau aku sudah meninggalkan
rumah mas Rangga dari Esty, jadi benar bahwa mas Rangga tidak memberi tahu ayah
dan ibuku kalau telah menceraikanku dan memasukkan wanita lain. Betapa hebatnya
menantu pilihan ayah. Pandai mengelabuhi ayahku yang sangat membanggakannya.
Aku berdecak kagum atas prestasi perilaku tidak baik mas Rangga.
“Jadi
seperti ini nasibmu, nak” suara ibu di antara tangisnya.
“Sudah
lah, bu. Prita tidak apa-apa. Prita hanya ingin ibu percaya pada Prita.”
“Menikah
dengan mas Rangga sudah Prita turuti sebagai rasa bakti pada ayah dan ibu. Dan
Prita tidak akan senekad itu berselingkuh. Dari pada berselingkuh lebih baik
dulu Prita menolak dijodohkan dengan mas Rangga. Waktu itu mas Panji masih
sendiri, bu.”
“Iya
ibu percaya sama kamu, nak”
“Tapi
mas Rangga sudah menorehkan luka di hati Prita, Prita disakiti tanpa salah.”
“Maafkan
mereka karena sudah salah menilaimu, nak. Sabar lah.”
“Ibu
tidak tahu bagaimana sakitnya, aku. Aku yang dinilai salah, dia yang membawa
wanita lain dan mengusirku. Apa itu adil, bu?”
“Ibu
tahu, Prita. Ibu tahu..”
“Apa
ibu pernah mendidik Prita untuk pandai berbohong dan menyembunyikan sesuatu ?
Sejak dulu Prita berusaha jadi anak yang jujur dan bertanggungjawab. Itu sudah
Prita lakukan.”
“Tapi
nak…”
“Prita
tidak mungkin kembali pada mas Panji. Karena ayah dan ibu tidak akan merestui.
“
“Mungkin
karir dan rezeki mas Panji belum sehebat mas Rangga. Prita mengerti, bu. Itu
sebabnya ayah menjodohkan Prita dengan mas Rangga, Prita terima karena bagi
ayah kehidupan mapan dipandang penting dari pada perasaan anaknya sendiri.”
Kalimatku terus meluncur sebagai protes hati, baru ini aku berani mengatakan
ini yang membuat Ibu terus menangis.
“Prita
menerima semuanya dengan ikhlas, berusaha menjadi isteri yang baik.”
“Iya
nak, kamu anak baik. Ibu sangat mengerti kamu. ”
“ibu
seperti mendukung pendapat ayah dan mas Rangga, lalu Prita harus berlindung
kepada siapa, bu?”
“Sudah
Prita, jangan sudutkan ibu seperti itu, hati ibu tidak seperti itu.”
“Ibu
percaya kalau Prita berkhianat sampai berbuat nista ?” Ibu menggeleng.
”Tidak,
nak. Ibu tahu kamu dan Panji saling mencinta, ibu tahu kamu sangat patuh pada
ayahmu. Kalau tidak patuh pasti sejak mau dinikahkan kamu sudah kabur dari
rumah, tapi itu tidak kamu lakukan, nak.”
“Saat
bertemu mas Panji, mas Panji pun sudah berpisah sama isterinya, tapi tak terbersit
sedikit pun untuk mengganggu mas Panji, mas panji orang baik, bu. Dia juga
tidak marah pada Prita sekali pun Prita meninggalkannya menikah dengan mas
Rangga.”
“Jadi
Panji menjadi duda ?” aku mengangguk. Lama ibu terdiam.
“Suruh
Panii datang ke rumah, ibu akan berbicara dengan ayah.”
“Mas
Panji sudah pergi untuk selamanya kira-kira sepuluh hari lalu.”
“Panji
meninggal, maksudmu?” aku mengangguk lemah.
Pritaaa.”
ibu memekik dan memelukku. Aku menggigit bibir menahan tangis, aku tak mau ibu
melihat airmataku menangisi mas Panji.
“Mas
Panji sakit, bu dan dia sudah pergi, bu. Itu yang terbaik untuk mas Panji. “
aku tidak perlu bercerita kalau mas
Panji pernah berencana untuk menikahi aku. Tidak ada gunanya kuceritakan pada
ibu. Toh semua itu sudah tidak mungkin lagi terjadi.
“Prita
mohon maaf atas segala dosa dan kesalahan Prita, Prita selalu berharap ibu
mendoakan kebahagiaan untuk Prita. Prita mohon ibu mau berjanji tidak akan
menceritakan pada ayah tentang perilaku mas Rangga terhadap Prita.”
“Kenapa
begitu, ayahmu harus tahu nasibmu.”
“Jangan,
ibu. Prita mohon.”
“Pantas,
Rangga kalau mengantar Wanda selalu sendiri. Wanda ditinggal sama susternya di
rumah ibu, terus Rangga pergi, esoknya dia balik lagi menjemput Wanda. Tapi itu
tidak rutin hanya beberapa bulan sekali.” Cerita ibu. Aku hanya mengelus dada
pelan.
“Prita
mohon dengan sangat, tidak usah menceritakan perlakuan mas Rangga. Biar waktu
yang menjelaskan semuanya.
Hanya
itu kalimat akhir yang kuucapkan, sebelum ibu meninggalkan kamar apartemenku.
Sejak
itu ibu diam-diam ibu sering berkunjung ke apartemenku. Alasannya ke pasar atau
ke mall atau ke mana saja. Hatiku bahagia bisa melepas rinduku selalu pada ibu.
sering datang ke Apartemenku.
BAGIAN XV
NAIK JABATAN
Kubaca
surat keputusan perusahaan, bahwa aku diangkat jadi kepala cabang PT Lestari
Sejati Manufacture di Jawa Timur. Entah bahagia atau sedih tak bisa kulukiskan
hatiku. Mungkin ini usaha pak Asikin menghadiahi aku atas kerja kerasku.
“Terima
kasih atas, promosi dari bapak” ucapku pada pak Asikin.
“Itu
hasil kerja keras, bu Prita”
“Tanpa
bapak mempromosikan, saya tidak mungkin mendapat hadiah ini.”
“Jadi
ibu menerima penugasan ini ?. “
“Sebenarnya
saya tidak yakin dengan kemampuan saya. “
“Bu
Prita ditempatkan di Surabaya, sayangnya Panji sudah tiada.”
“Bapak
jangan berkata begitu, nanti saya jadi sedih.” kataku sambil tertawa kecil.
“Perjalanan
hidup manusia tidak pernah tahu, bu Prita”
“Iya,
pak. Saya berusaha menitinya sekuat saya. “
Aku mengemasi
Rumah
dinas yang diberikan kantor hanya berjarak 10 km dari pusat kota Surabaya dan
berjarak 7 Km dari kantorku. Rumah baru type cluster itu berdiri megah, tidak
terlalu besar cukuplah untuk aku yang hidup sendiri, bahkan menurutku
kebesaran. tapi masih dalam lingkungan sejuk dan asri, hawanya pun tidak
sepanas Kota Surabaya. Baru masuk saja aku sudah merasa senang dan nyaman.
Semoga aku betah di sini meniti kehidupan baru bersama pekerjaanku. Aku akan
terus meningkatkan karierku dan berkarya. Sejak berpisah dengan mas Rangga aku
sudah mulai mendisain baju Muslimah sendiri. Aku selalu berusaha mendidik
diriku menerima kehidupan dengan mengisi waktu. Alhasil inilah yang kunikmati.
Karirku meningkat dan kehidupanku mulai tertata dengan baik walau harus
sendiri.
Mobilku
di antar oleh sopir kantor. Aku dapat mobil inventaris dinas, tapi kutolak.
Karena aku masih senang dengan mobil yang kubeli dengan hasil keringatku
sendiri.
Sedih
juga jauh dari Esty sahabat baikku dan ibu yang sudah sering menengok aku. Tapi
aku tetap dengan tekadku.
“Tenang
aja Surabaya dekat kok, aku akan datang kalau kangen kamu.” Kata Esty
menghiburku.
“Nih
aku lagi mengandung anak mas Rudi, kalau cewek akan kuberi nama Prita.”
“Ooh
jangan, nanti nasibnya seperti aku.” Kataku bergurau.
“Beda
kali..”
“Yaudah
terserah kamu saja lah. Aku senang akhirnya kamu akan beranak juga.”
“IIh
songong loh. Gue kan normal..” kami berdua tertawa.
“Bagus
lah biar tiap hari kamu ga kelayapan kemana-mana”
“Tahu
aja aku tukang nglayap.” Balas Esty sambil tertawa. Aku pun tertawa, kami
tertawa ceria.
BAGIAN
PERMINTAAN
Pagi
sangat cerah, aku menata pot-pot tanaman yang baru kubeli untuk menghiasi
halaman rumah dinasku. Taksi berhenti di depan rumahku. Aku menghentikan
kegiatanku. Ini pagi yang mengejutkan. Ayah, mas Rangga dan Wanda keluar dari
mobil taksi, mereka datang ke rumahku. Belum hilang keterpanaanku Wanda berlari
langsung mendekapku. Aku memeluknya erat, kuciumi dengan penuh rindu. Akhirnya
Allah mengantarkan anakku untuk menemuiku. Ayah mendekatiku dan memeluk aku
yang masih memeluk erat Wanda. Aku pun
menangis pilu di pelukan ayah. Ayah yang sangat kurindu akhirnya mau
mengunjungiku. Kuyakin ini ekspresi ayah telah memaafkanku walau tiada kata
itu. Ini jawaban doa-doaku. Tangisku terguguk antara haru dan bahagia.
Kerinduanku pada ayah terobati.
Mereka
kuminta masuk ke dalam rumahku. Rumahku terbuka untuk mas Rangga, dan tidak
menghalangi seperti dulu mas Rangga menghalangi aku ketemu Wanda.
“Bunda
pulang ya” pinta Wanda kepadaku yang masih berada di gendonganku.
“Tante
Anggun sudah pergi dari rumah karena diusir ayah” aku terkejut, oh jadi
kebiasaan mengusir itu sudah jadi karakter mas Rangga. Senyum kecil di hatiku
menyeruak.
“Bunda
kerjanya di sini sayang. Wanda di Jakarta sama ayah ya.”
“Tapi
Wanda mau sama Bunda.”
“Iya
nanti sayang. Bunda masih bekerja di sini”
“Ini
rumahmu, Prita?” tanya ayah sambil pandangannya mengelilingi isi rumahku.
“Rumah
dinas, ayah, tapi nanti dalam beberapa tahun ke depan akan dihibahkan untuk
Prita. Doakan ya, ayah” Ayah mengangguk-angguk dengan netra membinar.
Sepertinya ayah bangga dengan apa yang kudapat.
Segera
ke dapur untuk membuatkan minuman untuk ayah, mas Rangga dan Wanda. Sedang aku
ke belakang membuatkan minuman, ayah bersama Wanda melihat seluruh sudut isi
rumahku, ayah juga membawa Wanda naik ke lantai atas. Mas Rangga mendekatiku
yang sedang mengaduk gula dicangkir teh.
“Aku
ingin kembali rujuk denganmu” ucap mas Rangga sangat hati-hati.
“Ooh
ya, mas ?” jawabku sambil menghentikan kegiatanku mengaduk gula di cangkir.
“Iya,
aku serius.”
“Tapi
saya tidak, tidak ingin Kembali pada mas. Maaf. “ jawabku tanpa melihat wajah
mas Rangga yang sedang mengamatiku. Kuraih Nampak di rak. Sama sekali aku tidak
ingin melihat wajah mas Rangga.
“Aku
minta maaf atas semua perilakuku kepadamu. Aku berharap kamu mau memaafkanku”
“Saya
sudah memaafkan, mas”
“Jadi
kamu mau Kembali padaku?” harapnya, aku mulai melihat wajah mas Rangga.
Wajahnya sayu seperti sedang Lelah. Aku menggelengkan kepala memastikan
ketidaksanggupanku Kembali pada mas Rangga.
“Apa
kamu gak kasian sama Wanda?” Oh jadi demi Wanda, senyum menyembul dari
bibirku.
“Kalau
itu jangan ditanyakan, mas. Harusnya mas Rangga bertanya pada diri mas sendiri
waktu itu, apa mas gak kasihan sama Wanda.” Kataku masih dengan senyum tanpa
arti. Mas Rangga terdiam.
“Sejak
dulu saya kasian sama Wanda, kashian
nasibnya memiliki ibu sepertiku yang hidup tanpa nilai di mata ayahnya.” Kataku
ketus. Kupalingkan wajahku dari pandangan mas Rangga yang penuh harap.
“Setelah
ada pengkhianatan di antara kita, kita tidak mungkin bisa seperti dulu, itu mas
yang ada dalam pikiranku. Entah siapa yang berkhianat lebih dulu di antara
kita, mungkin saya yang mas anggap hina,
tapi kita tidak akan membohongi perasaan kita walau lidah kita berbicara
tentang kepalsuan. Saya sudah ikhlas dengan semuanya. ” kataku sambil
menghentikan kegiatanku, kali ini aku mencoba manatap mantan suamiku.
Aku
sudah mulai berani menatapnya karena dia bukan suamiku lagi. Dulu aku selalu
takut berdebat sama mas Rangga. Apalagi sejak tuduhan itu mas Rangga selalu
membuang wajahnya setiap berjumpa denganku.
“Cerita
Wanda tadi tidak benar seluruhnya kan, mas. ?” mas Rangga terperanjat mendengar
pertanyaanku.
“Maksudmu
?”
“Mas
tidak sungguh-sungguh mengusir Anggun, mas berdrama di depan Wanda. Anggun mas
kembalikan ke rumah cluster di Selatan Jakarta, tempat dulu Anggun tinggal
sebelum mas bawa ke rumah yang mas tempati dengan Wanda” meluncur kalimatku
begitu saja. Mas Rangga tampak terkejut, seketika wajahnya pucat.
“mas
terkejut saya tahu semuanya?”
“Prita
kamu tahu semua itu dari mana?”
“Mas…
wanita yang mas anggap bodoh itu tidak selalu sesungguhnya bodoh.” Kataku
sambil menghadapkan tubuhku tepat di
depannya. Aku menajamkan pandanganku ke wajah pria pendusta ini. Senyum kecil
mengembang dari bibirku demi melihat wajah mas Rangga pucat seperti sedang diadili.
Tatapanku
semakin tajam ke arahnya. Ini wajah laki-laki yang dulu sangat kuhormati,
sekarang pucat pasi, hatiku
mentertawakannya. Aku memang beruntung lepas dari mas Rangga, kini jiwaku semakin kuat. Perilaku lelaki ini
sudah banyak mengajariku menjadi wanita kuat.
“Ya..ya
Prita, maafkan saya. Saya yang bersalah.” Katanya dengan wajah pias mungkin
rasa malu yang ada. Aku yakin hati mas Rangga sedang membuat pengakuan
kesalahan yang menggunung tapi kini semua bukan urusanku lagi.
“Saya
sudah katakan kalau saya memaafkan mas.
Dan sekarang saya sadar kalau mas Rangga pandai berdrama. Tentu saya sangat
kasian pada Wanda, hidup dengan seorang ayah penuh drama. “
“Aku
berusaha memperbaiki semuanya. ingin kembali hidup denganmu”
“Apa
mas berani bicara semua itu pada ayah. Berani kah mas mengatakan pada ayah
kalau di antara pernikahan kita ada wanita lain yang mas nikahi secara siri. ?”
“Sudah
Prita.. “ mas Rangga seperti menginginkan aku agar tidak bicara keras supaya
tidak terdengar oleh ayah. Aku pun mengerti, aku juga tidak ingin mengatakan
ini pada ayah. Aku hanya akan membuktikan kebenaran pada saatnya aku terlihat
dengan sendirinya.
“Sudah
Prita, stop. Saya akan merubah semuanya. saya sudah menceraikan Anggun karena
dia hanya mau harta saya. Saya hanya ingin kembali kepada kamu, mencintai
dengan sepenuh hati saya. “
“Tapi
mas juga sadar kan, kalau harta tidak bisa menyembuhkan rasa bersalah dan
menyelamatkan diri mas dari kedustaan ?” kalimatku menohok. Mata mas Rangga
memerah, dan satu bulir air mata jatuh. Aku tersenyum kecut, bisa juga
laki-laki kaya ini menangis. Hatiku tak tergerak untuk itu. Sudah lebih banyak
air mata yang kutumpahkan untuk keculasannya. Airmata sakitku dan airmata
cintaku pada mas Panji yang pupus. Aku
mendesah tanpa sadar.
“Akan
ada Anggun-Anggun yang lain dalam kehidupan mas Rangga.”
“Tidak,
Prita saya janji.”
“Saya
tetap tidak bisa, mas. Maafkan saya.” Penolakan tegasku.
“Kita
sudah saling memaafkan, tapi tidak perlu memaksakan hati kita untuk mendiami
satu tempat dengan perasaan asing satu sama lain.” Mas Rangga masih terdiam.
“Seharusnya
mas tidak perlu menyusul saya ke sini.” tanpa kulihat lagi wajah mas Rangga,
kutinggalkan dia yang sedang bengong dan berpikir, ini lah saatnya dia berpikir
tentang dirinya, saatnya dia merenungkan bahwa apa yang disembunyikan akan
terungkap.
Mas
Rangga sudah mengakui kesalahannya, Tapi apakah dia berani mengakui di depan
ayah kalau mas Rangga lebih dulu mengkhianatiku. Aku yakin dia tidak akan
pernah berani mengakui itu. Sekarang aku sudah masa bodoh dengan semuanya, aku
sudah lega ayah sudah memaafkan aku, aku tidak perlu kata-kata lain selain
sikap ayah yang sudah seperti dulu.
Seharian
ku ajak mereka keliling Surabaya, makan rujak cingur kesukaan ayah. Wanda pun
senang sekali saat kuajak minum ice cream Zangrandi. Saat ini aku lah yang
berdrama, berpura-pura baik di depan mas Rangga agar ayah hatinya senang dan
lega. Bukan kah ayah sudah pernah menerima drama hebat dari mas Rangga. Kini
saatnya aku yang berdrama, mas Rangga yang telah mengajariku. Ternyata berdrama
itu tidak sulit, pantas lah kalau mas Rangga melakukannya padaku. Ayah juga kubawa
ke masjid AL Akbar, masjid agung di kota Surabaya. Aku berharap hati ayah
terbuka memahami siapa dan bagaimana ibadah anaknya. Berharap ayah percaya aku
bukan seperti yang dituduhkan mas Rangga. Sujudku terpenuhi oleh ucapan syukur
tiada henti.
∞∞
Di
Bandara Juanda ayah berusaha membujukku untuk kembali rujuk dengan mas Rangga, mata ayah berkaca seperti
memohon, kali ini bukan aku tidak berbakti tidak menuruti keinginan ayah. Dulu
aku pernah berbakti, sekarang aku sudah cukup dengan sakitku. Aku akan memilih
kehidupanku sendiri dan tidak ingin terjerumus ke dalam lubang yang sama,
keledai bodoh pun tidak akan melakukan itu. Kupeluk erat tubuh ayah, kubisikkan
kalimatku.
“Maafkan
Prita, ayah, saat ini Prita masih butuh
waktu untuk menenangkan diri.” Kucium tangan ayah berkali-kali. Kelegaan ini
mengharukan karena ayah benar-benar sudah memaafkanku. Ayah mengusap-usap
kepalaku. Ayah yang telah melarangku datang menjumpainya kini sudah mengelus
kepalaku lagi. Aku menjadi seperti anak kecil yang dibelai ayahnya.
Perdamaian
hati dengan ayah sangat menyejukkan, tangan ayah seperti air es yang mengguyur
kepalaku yang sedang panas. Es itu mengeringkan lukaku, tapi tidak mencairkan
kebekuan hatiku untuk kembali kepada mas Rangga. Juga tidak berminat lagi
menjelaskan sebuah kebenaran. Semua telah lewat, kalau sosokku pun tetap
dianggap buruk pernah menorah noda dan luka di hati ayah, biar lah waktu yang
menggerakkan semuanya suatu saat aka nada kejelasaan.
“Jaga
dirimu baik-baik ya, nak”
“Iya
ayah.”
Meski
hati ini sangat perih aku melepas Wanda dari pelukanku, anak itu sangat
berharap bersamaku lagi, apa mau dikata, aku tak sanggup melakukan itu. Sekali
pun biasa aku ditinggalkan orang-orang yang kucintai, tak mampu aku menghalau
perihku.
“Aku
sangat mengharapkanmu.” Bisik mas Rangga meyakinkanku saat mengambil tangan
Wanda dari genggaman tanganku.
“Datanglah
demi aku dan anak kita “ kata mas Rangga sambil mencium pipi Wanda yang berada
di pelukannya, matanya melirik dan melontarkan senyum halus seakan merayuku.
Aku tersenyum mengambang. Senyum kepastian yang dapat menjawab harapan mas Rangga agar tidak berharap banyak pada
kembaliku.
Permintaan
mas Rangga, permintaan Ayah dan permintaan Wanda semua sama memintaku kembali
ke Jakarta hidup bersama lagi. Dan semua sama kutolak dengan kemantapan hati.
Semua hanya mampu melihat hidupku, mereka tidak pernah meresapi hatiku. Diriku
sendiri lah pemilik hati yang sesungguhnya, mampu menawarkan kepahitan,
mengguyurkan madu kehidupan untuk menghilangkan rasa pahit itu.
Aku
akan menyembuhkan diri dari kesakitan seperti saat allamanda yang berserakan.
Mungkin allamanda yang ditendang berserakan hanya sedikit melukaiku, tapi
tuduhan perselingkuhan, perzinaan dan
kedatangan wanita lain di rumahku itu serta cara mas Rangga mengusirku, membuat
hatiku lebih berserakan dari allamanda.
Juga
fitnah yang disampaikan kepada ayah dan ibuku yang membuat aku terbuang dari
mereka. Itu semua tidak mungkin membuatku tidak merasakan sakit. Untuk itu aku
bersikeras tidak ingin kembali lagi padanya. Aku harus benar-benar sembuh dari
luka itu.
Aku
sudah memahami wajah asli mantan suamiku. Bermuka baik bukan berarti baik
seluruhnya. Perselingkuhan yang ditutupinya yang menjerat aku kedalam tuduhan kenistaan. Tidak mungkin aku
kembali lagi pada laki-laki seperti itu. Semua perlakuan mas Rangga sudah
membentuk aku menjadi wanita kuat. Tidak perlu menjelaskan diri menjadi manusia
bermartabat, karena martabat itu muncul dari perilaku kita yang sebenarnya,
bukan cara kita menutupi keadaan yang sebenarnya. Dan aku kini memiliki
penilaian tersendiri terhadap mantan suamiku apakah martabatnya aurum atau
argon biar kusimpan dalam dadaku.
Kini
aku menertawakan rasa sakit yang pernah kunikmati dan kutangisi. Dibodohi itu perlu untuk berusaha menjadi lebih
pandai. Aku sudah pandai mengambil sikap untuk membalas luka dengan kekecewaan.
Walau pun itu bukan niatku. Mas Rangga kaya harta, tapi aku tidak pernah
memperhitungkan kekayaan, rasa lega dan
bahagia itulah yang membuat aku merasa sangat kaya. Arti mas Rangga bagiku
adalah telah memberi aku kesempurnaan diriku sebagai wanita dan ibu karena bisa
melahirkan anak di dunia ini. Aku sudah sampai pada kata terakhir dengan mas
Rangga yang kuakhiri dengan tanda titik.
-
Antagonis adalah karakter atau sekelompok karakter, atau, kadang-kadang merupakan institusi suatu kejadian yang mewakili oposisi men...
-
Kadang tak sepadan, tapi semua harus dijalani dengan benar.., Dua manusia yang berbeda latar belakang kehidupan, berbeda falsafah yang diter...